Sabtu, 30 Maret 2013

Mendaki Bukit Sikunir, Mengejar Golden Sunrise

Jam 4 tepat tanpa berani mandi, cuman percikin sedikit air ke muka dan gosok gigi seadanya, saya, chacha dan tince sudah siap di depan homestay. 3 ojek sudah menanti untuk mengantarkan kita bertiga keliling Dieng seharian. Tujuan pertama adalah mengejar matahari terbit dari atas puncak bukit Sikunir.

Hujan di malam sebelumnya membuat cuaca makin dingin, rencana saya untuk sok-sokan mengenakan celana pendek untuk treking terpaksa di batalkan.

Perjalanan naik motor dari homestay menuju parkiran Bukit Sikunir aja sudah cukup membuat muka saya beku kena angin dingin campur lembab-lembab embun pagi. Jalanannya pun cukup menantang maut, gelap gulita dengan jarak pandang  paling jauh 2 meter saja karena kabut tebal, ditambah jalanan yang menanjak berlubang-lubang dan licin. Sementara di sebelah kanan jalan, tampak jurang menganga lebar walaupun gak keliatan dalemnya sebagaimana karena gelap.

Sampai di parkiran Bukit Sikunir ternyata sudah ramai pengunjung, mobil-mobil dan motor-motor tampak sudah memenuhi area tersebut. Rombongan-rombongan turis pun sudah mulai ramai berduyun-duyun berjalan beriringan mengikuti arah jalan setapak. Mungkin karena kita datang disaat akhir minggu dimana hari selasanya tanggal merah, jadi long wiken bagi yang ambil cuti hari senin.

Perjalanan mulai berat sekitar 200 meter dari area parkir karena mulai menanjak di batu-batuan licin karena basah selepas hujan. Luas jalannya pun hanya bisa dilewati satu orang, jadi harus antri dan agak susah kalau mau melewati antrian itu. Sekitar setengah jalan menuju puncak, antrian rombongan terhenti karena ada salah satu pria yang gak kuat menanjak dan tergeletak tak berdaya di bebatuan yang dingin. Kita sempat melewati pria yang nyaris pingsan itu, tapi jalan antrian masih tersendat karena medan yang semakin curam. 

Guide kita pun berinisiatif mengarahkan saya dan chacha ke jalan lain yang ternyata jaraknya lebih jauh dan lebih tinggi dari tujuan para pengunjung yang mengantri itu. Kita tiba di Pos 3. Medan nya juga lebih sulit karena jarang dilalui, jalan setapaknya nyaris tertutup semak belukar sehingga kalau tidak ada mas-mas penunjuk jalan sudah bisa dipastikan kita pasti akan tersesat. Jalan nya pun tidak semuanya di tutup batu-batu dengan rapi seperti jalan menuju Pos 1, jadi kita harus hati-hati banget ketika melewati jalan tanah yang licin dan lengket menempel di sol sepatu. 

Sekitar 20 menit kita berjalan, sampai di pos yang dituju sepi banget. Hanya ada serombongan kecil fotografer yang sudah siap dengan posisi tripod sudah terpasang. Saya pun menggelar plastik dan duduk berdua chacha, mengeluarkan bekal roti dan susu, sembari sarapan menunggu kemunculan matahari dari balik awan.










Ya, kita hanya berdua karena Tince rupanya terbawa arus rombongan ke Pos 1, yang menurut tince ramai orang banget sampe si tince kegerahan. Sementara saya dan Chacha nyaris beku di pos 3, sampai kita numpang menghangatkan diri di api unggun anak-anak yang lagi kemping tidak jauh dari posisi kita menyaksikan sunrise. 

Saya dan Chacha ketemu lagi sama tince di area parkir, kita memutuskan untuk menghangatkan diri sambil ngopi-ngopi dan ngemil gorengan di warung. Tince yang sudah lepas jaket kegerahan, dan saya yang masih kedinginan dengan celana dan sepatu penuh lumpur. Jadi di jalan turun dari bukit saya sempat terperosok gara-gara tanah yang saya injak amblas. Rupanya karena jarang dilewatin dan habis hujan malamnya tanahnya itu jadi gak padat, jadi pas saya injak langsung jeblos gitu. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali saya tersuruk di tempat yang sama. Sudah pasti jadi bahan ketawaan si Chacha selama 3 minggu.

Jalan pulang habis liat sunrise menuju parkiran di sebelah telaga cebong

Ngopi di warung

akibat nyusruk di kubangan

Selasa, 26 Maret 2013

Insiden antara Candi Sambisari dan Candi Kalasan

Masih inget ga cerita tentang kamera pocket baru saya (yang sekarang sudah tidak  baru lagi) yang saya bawa ke Australia tapi kabel charger nya ga kebawa ? Ketidak telitian saya itu membuat saya harus membeli charger baterai kamera seharga AU $40 disana. Tapi bukan saat itu saja kamera mungil saya  berhasil membuat jantung kembang kempis. Kamera itu kan krusial banget manakala semua orang di saat ini menganut paham No Pic - Hoax. Di Dieng kemarin ini pun ada sedikit insiden yang membuat saya agak ketar ketir.

Ketika terbangun jam setengah 4 subuh untuk bersiap-siap mendaki bukit sikunir melihat sunrise, saya mendapati kamera saya tidak bisa nyala. Berkali-kali saya pijit tombol on/off mungil berwarna silver yang terletak di pojok kanan atas kamera itu, tetap saja layar nya tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan. Apa mungkin habis baterai? ah tapi masa sih? saya yakin di malam sebelumnya, sebelum saya tidur saya sudah men-charge kamera itu sampai full.

Tapi tetap saja saya coba colokin lagi kabel charge nya ke stop kontak terdekat dan ternyata lampu indikator kamera saya menyala, menandakan kalau kamera itu lagi proses charging. Ketika saya coba menyalakan tombol on nya lagi, layarnya menyala dan indikator baterai nya menyatakan kalau baterainya habis. Sigh. Bagaimana mungkin baterai kamera habis dalam semalam di posisi off? Apa mungkin karena saya letakkan kamera itu di lantai keramik yang dingin jadi energi dalam baterai itu terserap oleh dingin? 

Untung saja ada satu gadget baru yang selama beberapa bulan ini sudah di adopsi kedalam keluarga besar gadget saya dan selalu dibawa kemanapun saya pergi - Power Bank. Segera saja saya copot kabel charger dari stop kontak dan saya cucuk di Power Bank, berharap ketika tiba waktu sunrise baterai kamera saya sudah memadai untuk di pakai memotret.

Sebelumnya pun terjadi insiden ketika saya dan chacha ke jogja. Hingga saat ini insiden itu masih memegang posisi insiden kamera terheboh.

Seperti pernah saya posting sebelumnya, perjalanan saya ke jogja bersama chacha dalam rangka pencarian innerpeace yang mengambil tema Sunrise di Borobudur, Sunset di Candi Boko. Dari mulai sunrise ke sunset itu seharian kita isi dengan Candi hoping, yang namanya terinspirasi dari istilah "island hoping". Candi-candi yang sempat kita singgahi adalah candi mendut, candi sambisari, candi kalasan, candi prambanan, candi sewu. 

Insiden ini mulai terjadi ketika kita tiba di Candi Kalasan, candi yang dibangun sekitar awal abad ke-8 yang merupakan penanda runtuhnya kekuasaan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu di Mataram kuno. Sekaligus merupakan penanda awalnya Dinasti Syailendra yang  beragama Buddha menancapkan kekuasaannya di wilayah tersebut. Dinasti Syailendra mampu menggusur Wangsa Sanjaya sebagai penguasa Mataram kuno karena di support oleh Kerajaan Sriwijaya yang saat  itu lagi jaya-jayanya. Raja dari Dinasti Syailendra lah yang membangun mahakarya bernama Borobudur.

Candi kecil sederhana itu menampakan pucuknya yang menjulang sehingga terlihat dari jalan raya, mengintip dibalik atap rumah yang terdapat di pinggir jalan. Mobil sewaan kita membelok ke jalan kecil yang berujung di pelataran Candi Kalasan. Saat itu lah saya sadar kamera saya tidak ada. Saya tumpahkan semua isi tas saya dan mencari ke ujung-ujung mobil berharap kamera mungil itu jatuh dan terselip dibawah jok, tapi hasilnya nihil. 

Saya ingat terakhir kali saya menggunakan kamera itu di candi sambisari yang kita singgahi sebelumnya. Tapi saya berusaha tetap tenang dan tetap berfikir positif bahwa mungkin saja kamera itu terselip dan akan muncul tiba-tiba jika saya sudah tidak panik lagi mencarinya. Saya pun turun dan memotret-motret candi kalasan menggunakan smartphone. Tapi jujur, pikiran saya tidak disitu, tetapi melayang-layang mengkhawatirkan keadaan kamera saya. 

Akhirnya kita memutuskan kembali ke candi sambisari yang kebetulan posisinya tidak jauh dari candi kalasan, hanya saja jalan masuk kedalamnya jauh banget. Saya dan Chacha sempat menertawakan sepasang turis asing yang dengan semangat berjalan kaki dari jalan raya menyusuri jalan masuk ke candi sambisari. Ketika kita sudah selesai keliling-keliling candi, sudah foto-foto, di jalan mau pulang kita ketemu lagi dengan sepasang turis asing itu yang masih setengah jalan menuju tujuan mereka. Kulit mereka sudah terbakar merah dan baju nya sudah basah kuyup berpeluh. 

Tujuan pertama kita adalah menanyakan ke warung yang ada di muka gerbang pelataran candi apakah melihat ada kamera kecil berwarna hitam yang terjatuh, tapi tidak ada yang melihatnya. Kemudian secara random chacha menyuruh melihat selokan yang terdapat di sisi mobil kita ketika parkir. Sementara saya sudah merelakan dan ikhlas kalau sampai kamera saya itu hilang. Tapi ternyata kamera itu masih berjodoh dengan saya, si hitam kecil manis itu tergeletak diantara genangan air selokan, menyangkut diantara alang-alang yang tumbuh di sisi-sisi got. Untung nya si kecil itu adalah kamera underwater, jadi genangan air tak akan merusaknya.

Foto-foto kita selama setengah hari perjalanan selamat, dan foto-foto perjalanan selanjutnya pun sukses di capture dengan kamera itu. Yang kurang hanya foto Candi Kalasan, candi yang justru merupakan tujuan terpenting saya dalam rangkaian perjalanan Candi hopping itu. Tapi saya tetap harus bersyukur, paling tidak tetap bisa menikmati foto candi sambisari, bukannya kehilangan kamera di candi sambisari.




Kamis, 21 Maret 2013

Di Hyang

Dieng berasal dari kata Di Hyang, yang bermakna tempat bersemayam nya para Dewa. Saya mulai mengerti asalnya orang-orang memberi nama tersebut ketika angkot jurusan Dieng-Batur yang saya tumpangi menembus kabut putih pekat kemudian semakin naik semakin cerah seolah-olah kita berada diatas awan. Imajinasi saya langsung membayangkan adegan Zeus yang lagi mengintip ke bumi dari atas awan. Well, kalau dalam hal ini mungkin lebih tepatnya Dewa Siwa yang lagi mengintip ke bumi melalui celah-celah awan putih selembut kapas.

Sekitar abad ke-5, ada sebuah kerajaan di daerah tersebut yang mengirimkan utusan ke China. Sumber China tersebut mencatat kerajaan tersebut bernama Ho Ling. Tapi banyak ahli yang percaya bahwa dimulainya kerajaan di daerah ini sudah dimulai jauh sebelum itu, ketika rakyatnya masih menganut kepercayaan animisme jawa kuno yang memuja leluhurnya. 

Konon menurut catatan sejarah dari negeri China, sekitar jaman itu ada seorang ratu yang memerintah dengan sangat adil dan tegas, kerajaan tersebut aman banget sampai-sampai tidak ada perompak yang berani macam-macam di kerajaan itu. Ratu Shima namanya. 

Dalam menegakkan keadilan, sang ratu tak pandang mana bulu mana putranya sendiri. Jadi suatu hari kaki sang pangeran tidak sengaja menyentuh sekarung emas yang sengaja diletakkan di tengah jalan oleh orang asing yang mau membuktikan keadilan Ratu itu. Sebenarnya orang asing itu cuman mau nge-tes, kalau dia taruh sekarung emas ada gak rakyat situ yang berani ambil. Ternyata ditunggu beberapa hari tidak ada satu pun yang berani menyentuh karung itu. Malahan si pangeran yang ga sengaja lewat situ dan ga sengaja kakinya nyentuh. 

Kemudian ada saksi mata yang melaporkan kejadian itu ke Ratu Shima. Sang ratu murka dan memerintahkan untuk memenggal kepala putranya sendiri. Tapi hal tersebut segera dicegah oleh para penasihatnya, akhirnya yang dipenggal hanya kaki Pangeran yang gak sengaja menyentuh karung emas itu. 

Nama Ratu Shima yang tersohor juga muncul dalam kisah Carita Parahyangan, cerita rakyat yang disusun berabad-abad setelahnya. Kerajaan tersebut disebut bernama Kerajaan Kalingga, yang wilayahnya kira-kira meliputi daerah Jawa Tengah yang sekarang. Ratu Shima menikah dengan Raja dari Kerajaan Galuh yang terletak agak disebelah barat pulau jawa. Salah satu anak mereka adalah Sanjaya, yang kemudian mempelopori Wangsa Sanjaya yang terkenal sebagai pendiri kerajaan Mataram Kuno, yang nanti ceritanya akan saya sambung pas saya posting cerita jalan-jalan ke candi-candi di daerah jogja dan sekitarnya.

Dieng sekarang.
Saat kabut mulai turun
Saya tiba di Dieng siang hari, desa tampak sepi karena sebagian besar penghuninya sedang bekerja di ladang. Mata pencaharian utama di daerah ini memang petani, mayoritas menanam kentang. Dari jauh tampak susunan ladang seperti motif kotak-kotak yang menyelimuti sekujur bukit. Para penghuni desa ini telah turun temurun selama ber-abad-abad tinggal di dataran tinggi yang subur itu. Malahan orang Dieng harus menikah dengan orang dari Dieng juga. Kalau ada pemuda Dieng yang jatuh hati dengan gadis "bawah" dari wonosobo, biasanya tidak akan direstui oleh keluarganya. Itu menurut kawan baru saya, orang asli Dieng yang punya usaha buka distro di Wonosobo.

Kompleks Candi Arjuna terdiri dari 5 candi yang dibangun untuk menghormati dewa Siwa. Candi-candi ini adalah candi tertua yang dibangun di Jawa, lebih tua satu abad dibandingkan Borobudur dan lebih tua dua abad dibandingkan Prambanan. Bentuknya lebih sederhana dan ukurannya lebih mungil dibandingkan dua kompleks candi besar yang saya sebut setelahnya, tapi kondisinya masih kokoh dan terawat walaupun penduduk Dieng sekarang sudah menganut Islam.   

Suasananya yang adem dan tenang memberi efek serupa yang merasuk ke dalam jiwa saya. Kalaupun memang benar disini tempat bersemayam nya para dewa, setelah dua hari di Dieng saya makin mengerti kenapa mereka memilih tempat ini.

Kompleks Candi Arjuna

Bidadari turun di candi

Kompleks candi pagi-pagi

Gunung Sindoro diantara dua candi

Bias sinar mentari pagi

Kamis, 14 Maret 2013

Purwaceng Putri

Pertama-tama saya akan memperkenalkan dulu Purwaceng buat yang belum tahu benda ini. Purwaceng itu adalah serbuk herbal yang berasal dari tanaman, dipercaya dapat meningkatkan stamina apabila dikonsumsi. Bisa dicampur dengan kopi, susu maupun teh. Purwaceng ini adalah salah satu minuman khas dari dataran Dieng.

Nah sekarang yang mau saya posting disini sebenarnya fokusnya tidak ke minuman Purwaceng nya tapi lebih kepada perjuangan Trip Dieng saya bersama satu adik dan satu kawan bernama Tince yang benar-benar membutuhkan stamina yang kuat banget. Kalau si Purwaceng itu butuh endorser kayaknya kita bertiga mau mengajukan diri nih.

Perjalanan diawali dengan pertemuan kami bertiga di gerai kopi Starbuck di Stasiun Gambir, 3 lembar tiket kereta eksekutif menuju Semarang tergeletak di antara gelas-gelas kopi. Pukul 7.30 tepat kereta mulai beranjak dari Gambir tiba di Stasiun Tawang dini hari pukul 3. Kita memutuskan untuk menunggu sunrise di Dunkin Donut sebelum melanjutkan perjalanan panjang menuju Dataran Dieng.

Dieng adalah suatu dataran tinggi yang terletak di sebelah barat dua gunung kembar, Sindoro dan Sumbing. Sebagian dataran Dieng masuk ke kabupaten Wonosobo, sebagian lagi masuk kabupaten Banjarnegara. Dari Semarang kami berencana akan menembus Dieng di bagian Wonosobo nya. 

Matahari masih malu-malu muncul, langit belum sepenuhnya terang, kami bertiga berjalan keluar Stasiun Tawang yang berarsitektur klasik diiringi dentang jam besar yang semakin lama terdengar makin jauh sesuai dengan langkah kaki kita berjalan menjauh dari stasiun keluar gerbang. Pas di depan gerbang kita menunggu angkot jurusan Terminal Purboyo.

Di dalam angkot Tince ngobrol dengan ibu-ibu penjual makanan yang kebetulan searah dengan kita, mau ke terminal juga. Dari ibu yang  baik hati itulah kita mendapatkan tips-tips menuju Wonosobo, si ibu bilang kita jangan masuk ke dalam terminal bus nya karena kalau kita beli tiket di dalam harganya lebih mahal daripada kalau kita menghadang busnya di pertigaan sebelum pintu masuk terminal. Kita pun turun di tempat yang ditunjuk ibu itu dan ternyata memang banyak yang menunggu bus disitu.

Setelah satu  jam lebih menanti bus jurusan Wonosobo akhirnya muncul juga, sesuai dengan arahan ibu yang di angkot tadi, kita membayar tarif 20ribu rupiah. Sementara mba-mba di sebelah harus mengeluarkan kocek sebesar 30ribu karena membeli tiket di dalam terminal padahal tujuannya lebih dekat dari kita. *puk-puk mba-nya*

Perjalanan di dalam bus luar kota yang penuh desak-desakan dengan posisi memangku backpack selama 4 jam itu ternyata benar-benar kegiatan yang menguji kesabaran dan kekuatan tulang-tulang, rasanya Temanggung itu luasnya sepanjang pulau Jawa, lama banget ga sampe-sampe. 

Pengamen datang silih berganti, pantang menyerah menyempilkan gitarnya diantara desakan rapat penumpang yang berdiri berdesakan di selasar bus. Ada pengamen gondrong, bertatoo, muka preman, tapi nyanyinya lagu nasyid. Ada pengamen yang membawakan 3 lagu campur sari Didi Kempot yang membuat saya flashback ke masa muda saya di boyolali beberapa tahun lampau, kalua dliat2 sih orangnya mirip juga sama Didi Kempot. Tapi favorit saya adalah pengamen yang kreatif banget me-medley lagu-lagu iklan yang sebagian liriknya adalah:

"Aku anak sehat tubuhku kuat, karena ibuku selalu memberiku batere ABC."

kemudian lagunya ditutup dengan lirik:

"Sudah lama jadi pengamen tapi belum dapat istri."

*puk-puk mas pengamen*
 
Mana busnya sempat ada acara ganti ban lagi. Nah pas acara ganti ban itu kita bertiga pindah tempat duduk ke belakang karena bus sudah mulai sepi mendekati Wonosobo. Saya bertanya kepada kenek yang jaga pintu di belakang, "mas, nanti bus nya lewat pertigaan ke Dieng ndak?"

"Wonosobo?" tanya mas nya.

Saya mengangguk.

"yang di lampu merah itu?" tanya mas nya lagi

Saya kurang yakin juga sih karena petunjuk yang saya dapat cuman bilang pertigaan, gak bilang ada lampu merah atau tidak. "Yang ada angkot ke dieng nya."

Mas nya pun tersenyum, "iya, lewat. Mau muncak?" tanyanya lagi.

"Iya," jawab saya singkat.

"Ke Sindoro aja, lebih bagus," usul mas nya.

Saya hanya tersenyum.

Lewat terminal bus wonosobo saya menengok lagi ke mas keneknya, "Mas, pertigaannya belum lewat kan?"

Masnya hanya tersenyum manja sembari menggeleng. 

Tidak jauh dari terminal wonosobo mas nya memberi komando untuk kita siap-siap karena tempat kita turun sudah dekat. Kita pun turun di pertigaan yang ada lampu merahnya dan menyebrang jalan atas instruksi mas-masnya.

Di pertigaan itu ada pangkalan ojek, jadi saya meyakinkan diri dengan bertanya ke tukang ojek yang lagi duduk-duduk disitu, "Mas angkot ke dieng disini kan?"

"Iya mba, tunggu aja disitu, sebentar lagi lewat."

Angkot ke Dieng yang ada LCD tivi nya
Kita diantar angkot naik keatas gunung, menembus kabut tebal yang menggelayuti langit  semacam pesawat menembus awan sampai ke depan Rumah Makan Dieng yang terletak di seberang penginapan yang telah kita booking via telpon, Homestay Lotus. Jam sudah menunjukan pukul 12 siang lewat dan perut kita sudah keroncongan. Chacha dan Tince memesan soto sapi, sedangkan saya memesan sate sapi yang langsung dingin berlemak dalam waktu tak sampai 10 menit gara-gara udara dingin.

Setelah satu setengah hari penuh menjelajahi Dieng Plateu yang membutuhkan banyak aktifitas fisik di dera udara dingin, kita menempuh perjalanan kembali ke Jakarta via Jogjakarta. tadi kan pergi ke Diengnya via Semarang, pulangnya kita memilih rute berbeda via Jogja.

Kita memulai perjalanan pulang dengan pamit kepada ibu pemilik Homestay yang baik banget, kita naik angkot langsung dari depan Homestay ke pertigaan tempat kita naik angkot pertama ketika mau naik ke Dieng, 10 ribu per orang. Karena angkot itu tidak mengarah ke Terminal Wonosobo maka kita harus ganti angkot lagi dari pertigaan itu ke Terminal Wonosobo, 2000 per orang. Disitu kita menunggu Bus ke arah Magelang, tarifnya 10 ribu per orang.

Dari Wonosobo ke Jogja tidak ada bus langsung, jadi kita harus ambil jurusan ke Magelang kemudian ganti bus ke Jogja di terminal Magelang, bayar 8000 rupiah. Lama perjalanan dari Wonosobo ke Terminal Jombor Jogja, termasuk ganti bus di Terminal Magelang memakan waktu hampir sama dengan perjalanan Semarang - Wonosobo. Di Terminal Jombor Jogja, kita tinggal naik Bus TransJogja menuju Malioboro, dimana kita akan menginap semalam di daerah Sosrowijayan.

Keesokan pagi nya rangkaian terakhir dari perjalanan yang menguji stamina dan ketahanan mental adalah naik kereta api bisnis Fajar Utama Jogja menuju Jakarta dari Stasiun Tugu. Kira-kira begitulah rangkaian perjalanan yang saya, chacha dan tince tempuh di Trip pencarian innerpeace kita ke Dieng Plateu. Melelahkan memang, tapi sebanding dengan keindahan dan ketenangan jiwa yang kita dapat di sana.

ceritanya sok-sok niup bunga kayak di film2



Di kawah Sikidang

Rumpian di pinggir jurang


Sunrise di Bukit Sikunir

Pagi di kompleks candi arjuna


Leyeh-leyeh

Tim Purwaceng Putri

Dapet salam dari Purwaceng

Selasa, 05 Maret 2013

Ke Ballarat, Salah Kostum

Hari kedua saya memutuskan berkunjung ke Ballarat, 3 jam perjalanan naik kereta dari Melbourne. Pagi hari udara cukup dingin, sekitar 16 - 18 der C. Cukup lama saya tertegun di depan koper, berpikir baju apa yang akan saya pakai. 

Malam hari sebelumnya saya merasakan yang namanya dingin ketika saya jalan kaki pulang dari rumah kerabat Cipu yang sakit bersama Kak Masni, angin malam berhembus sampai menembus kulit dan daging sampai ke tulang sumsum, gigi saya pun otomatis gemerutukan. 

Akhirnya pagi itu saya memutuskan membungkus seluruh tubuh saya dengan baju dalaman lengan panjang warna hitam, dress garis-garis hitam putih dan legging hitam. Pikiran saya, di kota saja dingin,di gunung pasti lebih dingin. 

Cipu masih menginap di rumah kerabatnya yang sakit. Kak Masni di ruang tengah sedang mengerjakan tugas dengan tekun di depan laptopnya, Tony sedang membuat sarapan disela kegiatannya membuat tugas kuliah juga. “Selamat mengerjakan tugas, aku jalan-jalan dulu yaaaa...,” saya pun pamit sambil buru-buru ngacir keluar sebelum ditimpuk pakai toaster. 

Stasiun kereta Anstey - stasiun yang terdekat dari rumah Cipu, pagi itu ramai oleh para komuter yang akan berangkat kerja ke kota. Semua kereta dari daerah suburban akan mengarah ke 5 stasiun utama - Flinder Street Station, Southern Cross Station, Flagstaff Station, Melbourne Central Station dan Parliament. Semua kereta akan berputar melewati stasiun-stasiun tersebut sehingga dinamakan City Loop, arah loop nya bisa ke kanan dulu atau ke kiri dulu tergantung pagi atau sore. 

Masuk ke dalam kereta Metro, saya duduk di bangku kosong di hadapan dua orang perempuan muda kira-kira berusia 25-an berbusana kantoran. Dua-duanya mengenakan rok mini, legging hitam dan sepatu boot. Yang satu berambut pirang lurus terurai sebahu, yang satu lagi berambut brunette di ikat gaya ballerina bun (konde di atas kepala) yang agak berantakan tapi tetap kelihatan keren. Keduanya memangku chrochete, kedua tangan mereka sibuk merajut gulungan benang dengan dua jarum besar sembari terus mengobrol. 

“Vest kamu bagus deh,” kata wanita berambut coklat. Temannya mengenakan semacam vest yang panjangnya hampir menyamai rok mininya, berpola kembang dan daun-daunan warna oranye-hijau. Vest itu dibiarkan tidak terkancing dan jatuh tergerai di sisi-sisi tubuhnya. 

“Sebenarnya ini dress loh,” kata si rambut pirang. 

 “ah yang benar,” kata si rambut coklat tak percaya. 

“iyaaa… suer. Ini dress yang kancing nya dibelakang, tapi aku pakainya dibalik. Yang ada kancingnya ini aku pakai di depan,” si rambut pirang berusaha meyakinkan temannya. 

Mereka pun meneruskan rajutannya, si rambut pirang sesekali mengajarkan trik-trik pola rajutan ke si rambut coklat, mereka pun turun di Flinder Street Station. Sementara saya meneruskan perjalanan terus ke Southern Cross, stasiun kereta yang menghubungkan kereta Metro dalam kota dan kereta V/Line untuk ke luar kota. Dari sana saya akan beli tiket kereta V/Line ke Ballarat karena kartu Myki saya hanya berlaku untuk transportasi dalam kota saja. Setelah berputar di City Loop kereta akan kembali ke jurusannya, jadi yang mau ganti jurusan juga bisa turun di salah satu stasiun tersebut dan menyambung naik ke jurusan lain. 

Southern Cross terminal adalah stasiun kereta paling besar di Melbourne dan paling modern juga. Modal tanya kiri kanan saya berhasil menemukan loket penjual kereta V/Line. Beruntung sekali karena kebetulan ketika saya beli tiket kereta itu adalah jam off-peak, jadi saya bisa beli tiket dengan harga lebih murah daripada kalau saya beli di jam orang-orang berangkat dan pulang kerja (peak).

***

Kereta V/Line tiba di Stasiun Ballarat yang mirip stasiun Jatinegara versi lebih bersih nya. Saya menghampiri loket informasi dan bertanya cara ke Sovereign Hill. “Kamu keluar pintu ini, terus tunggu saja bus nomor 9,” sambil menjelaskan perempuan muda berambut pirang itu keluar dari booth nya, mengantar saya sampai ke depan pintu keluar dan menunjuk halte bus yang terletak di muka stasiun dengan ramahnya.

Ballarat Station

Ballarat Station dalamnya

Keluar dari stasiun kereta Balarat rasanya seperti terlempar dari mesin waktu dan tersesat di abad ke – 19. Semua bangunan nya bergaya Victoria, elegan dengan detil-detil dan berwarna dominan kecoklatan. 

Sejak mulai ditemukannya bahan tambang emas di tahun 1850-an di daerah ini, perkembangan Ballarat menjadi maju dengan pesat. Berita penemuan emas di daerah ini cepat menyebar luas ke seluruh penjuru dunia, sehingga orang-orang dari seberang benua mulai berdatangan selama periode Gold Rush itu. Untuk menertibkan penambangan emas pada jaman itu, pemerintah menetapkan peraturan untuk para penambang agar memiliki Miner’s license. Tapi kelamaan Miner’s license itu terasa memberatkan dengan pajak dan biaya-biaya lain yang mencekik para penambang. Akhirnya penambang emas di Ballarat membuat aksi pemberontakan yang dinamakan Eureka Rebellion . 

Konon jaman dahulu kala, seorang ilmuwan bernama Archimedes pusing bukan kepalang tatkala sang Raja menanyakan kepadanya apakah mahkotanya terbuat dari emas asli atau tidak. Inspirasi datang ketika beliau berendam di bak mandi dan menyadari ada air yang tumpah sebanding dengan berat nya. 

“Eureka! Eureka!,” Archimedes berseru kegirangan, dengan cara itulah dia dapat membuktikan bahwa ternyata mahkota raja itu tidak asli emas. 

Mungkin kata Eureka yang diserukan oleh Archimedes ketika menemukan cara menentukan keaslian emas itulah yang menginspirasi nama dari pemberontakan tersebut. Tapi terlepas dari adanya kericuhan itu, penambangan emas di daerah ini lah yang membuat negara bagian Victoria berkembang pesat dan ikut mengangkat nama kota Melbourne. 

Udara di Ballarat berbeda sekali dengan Melbourne, matahari nya disini terasa lebih dekat ke kepala. Saya mulai merasa terpanggang didalam kostum serba hitam-hitam ini. Tak lama bus nomor 9 muncul dari ujung jalan. 

“Sovereign hill?” saya melongok dari pintu depan dan bertanya ke supirnya. 

“Yep,” jawabnya memberi kode dengan kepala agar saya naik ke atas bus. 

Ketika saya mau memasukan uang kedalam mesin, pak supir segera mencegah dan menjelaskan kalau saya tidak perlu bayar fare bus lagi kalau mau ke Sovereign Hill, cukup menunjukan tiket kereta V/Line saya. Dia juga menanyakan apakah saya tahu dimana harus berhenti kalau mau ke Sovereign Hill. 

Saya menggeleng. 

“Alright. I’ll tell you where to stop,” katanya dengan ceria. 

Sejauh ini pengalaman saya selama di Australia positif banget, orang-orangnya ramah dan helpful. 

Saya masuk ke Sovereign Hill yang merupakan lokasi wisata terkenal disana. Saya perhatikan para pengunjung rata-rata menggunakan T-shirt dan celana pendek, sementara saya dengan baju lapis-lapis semacam baru turun dari gunung bersalju. Saat itulah saya baru menerima kenyataan pahit dengan lapang dada bahwasanya saya telah membuat kesalahan fatal. Salah kostum. 

Saya sedang duduk di depan salah satu bakery sembari mengunyah strawberry pie ketika ada ibu-ibu tambun usia 50-an tiba-tiba menghampiri saya, “Baju kamu bagus deh, beli dimana? Di Melbourne bukan?” Rupanya si ibu tertarik dengan baju dalaman hitam saya yang sebenarnya adalah semacam manset buat yang pakai jilbab karena ada penutup kepala yang menyambung di kerah kaos nya. Entah itu ibu benar-benar tertarik sama baju saya atau ibu itu hanya heran melihat pakaian saya yang kayak orang meriang sementara dia pakai tank top, celana pendek dan sneakers. 

Di Ballarat. Salah kostum

Ballarat musim gugur

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...