Jumat, 30 Agustus 2013

Semacam Duta Pariwisata

Saya menyeret langkah lunglai menuju pesawat Jetstar dari Darwin menuju Denpasar, Bali. Setelah melalui perjalanan nyaris 7 jam dari Sydney menuju Darwin ditambah akumulasi kegiatan fisik yang maksimal selama 2 minggu membuat otot-otot di sekujur tubuh saya menjerit kaku dan ngilu.

Di lorong pesawat, pramugari berwajah oriental membantu mengantar saya ke tempat duduk, diantara dua orang lelaki bule. Di sebelah kanan saya ada seorang lelaki yang tampaknya sangat tinggi sampai-sampai kelihatan kesulitan menekuk kakinya diantara ruang bangku yang sempit. Wajahnya tampan dengan struktur yang menimbulkan kesan macho gitu, kulitnya kecoklatan akibat terpapar matahari. Di sebelah kiri saya ada seorang lelaki yang mukanya Australia banget, rambut pirang, berkulit putih pucat dengan flek-flek coklat. Bau bir nya itu seakan-akan dia habis mandi berendam dalam 3 galon bir.

Saya mulai mengeluarkan iPad dan main game sembari melirik-lirik ke sebelah kanan saya, ke arah pria ganteng itu. Dia hanya tampak melamun memandang jauh keluar jendela yang gelap, saat itu waktu sudah menunjukan sekitar pukul setengah 7 malam waktu Darwin. Sementara di sebelah kiri saya, si pria Australia tampak gelisah membolak-balik majalah sambil kakinya tak henti-henti goyang-goyang.

Di tengah perjalanan pramugari membagi-bagikan selembar formulir Custom Declaration. Pria tampan di sebelah kanan saya akhirnya bicara, mau pinjam bolpoin. Saya segera menyerahkan bolpoin saya, berikut bonus senyuman termanis. Kalau saja dia meminta saya memberikan jiwa raga ini saya pasti bersedia, sayangnya tidak.

Pria pirang di sebelah kiri saya juga tiba-tiba ikut nimbrung, mau pinjem bolpoin juga. Aksen Ausie nya kental sekali dan bau bir nya semakin pekat tercium ketika dia berbicara, saya yang tidak suka banget bau bir jadi sebel. Kenapa sih si cowok ini menganggu aja, bisa ga sih dia pergi saja dan meninggalkan saya berdua dengan si cowok kece yang tinggi dan berkulit tanning persis seperti prince charming dambaan saya ini?

Tapi saya tetap mengangguk tanda setuju meminjamkan bolpoin saya.

“Where do you come from?” tanya saya membuka percakapan dengan cowo kece itu.

“France,” katanya dengan logat perancis yang kental.

“Wow,” ucap saya sambil membayangkan diri saya berjalan berdua bergandengan tangan dengan pria tampan dihadapan saya ini di depan menara Eifel. Tiba-tiba muka saya jadi merah sendiri,” Saya pernah kursus bahasa prancis 6 bulan, tapi satu-satu nya kata yang saya bisa cuman Je Mapele Mila.”

Pria ganteng itu pun mengalihkan pandangannya dari formulir CD yang lagi di oret-oretnya dan tertawa dengan manis di depan muka saya,”Hahaha.. nice,” katanya sambil mengulurkan tangan, “Hi Mila, my name is nick”

Saya meleleh.

“I’m Mark,” tiba-tiba dari sebelah kiri saya ada celetukan,” ini pertama kali saya naik pesawat makanya saya nervous sekali.” Kakinya terus goyang-goyang gelisah.

Dalam hati saya, gue harus bilang wow gitu kalo ini pertama kalinya lu naik pesawat?

Si cowok ganteng itu ternyata berasal dari suatu desa kecil di perbatasan Perancis, dia menunjukan posisi desa nya di peta prancis yang ada di paspornya. Saya menduga dengan kesoktau-an tingkat kelompencapir mungkin dia masih ada keturunan Algeria gitu, karena bentuk-bentuk mukanya cowok ini setipe sama pemain bola Perancis Zinedine Zidane yang juga keturunan Algeria.

Dia bukan sekedar traveling ke Australia, tapi juga sekalian mau mengadu nasib mencari pekerjaan dan kalau bisa tinggal lama di Australia. Menurutnya Benua yang terletak ratusan kilometer dari desa kecilnya itu lebih prospektif dibandingkan di Perancis. Eropa sudah terlalu padat penduduk sehingga persaingannya ketat, mencari pekerjaan dengan upah yang layak pun menjadi semakin sulit disana.

Sementara di Australia, menurut dia, walaupun biaya hidup lebih tinggi tapi lebih banyak pekerjaan tersedia dengan upah yang reasonable sehingga bisa menutup biaya hidup yang tinggi itu.

“Jadi, biaya hidup di Australia lebih tinggi dibandingkan di Eropa?” saya agak terkejut mendengarnya.

“Ya, Australia is very very expensive,” katanya.

Oke, pernyataan ini membuat saya semakin memantapkan niat untuk nekat ke Eropa.

Nick sudah pernah keliling benua Eropa, tempat favoritnya adalah Itali. Orang nya ramah-ramah, makanannya enak-enak dan relatif lebih murah dibandingkan Perancis. Baiklah, Itali officialy  masuk ke dalam list Eurotrip saya nanti. “But, this is my first time to Bali,” katanya dengan bahasa Inggris aksen Perancisnya.

Hmm.. saya mulai iri dengan orang-orang yang beraksen gitu, menurut saya kalau bahasa Inggris dicampur aksen dari bahasa eropa sana, kesannya jadi sophisticated. Saya pernah bertemu dengan orang Amerika di Thailand yang menanyakan kenapa beberapa orang-orang dari Indonesia, khususnya yang muda-muda (berarti tidak termasuk saya) bahasa Inggrisnya bergaya Amerika.

Saya berusaha menjawab walau kurang yakin, “Ya mungkin karena sebagian besar anak-anak muda jaman sekarang di tempat saya pada kursus bahasa Inggris di Lembaga Inggris Amerika dan nonton Glee?” 

Nick ternyata mau liburan ke Bali bersama teman-temannya, tapi teman-temannya sudah duluan disana.

“Ini pertama kalinya saya ke Bali juga,” si Aussie di sebelah kiri saya yang sedari tadi tampak menguping pembicaraan dan menunggu momen untuk menyelak masuk tiba-tiba mengeluarkan suara. Kakinya tetap masih bergoyang-goyang gelisah. “Kamu liburan juga ke Bali?” tanyanya.

“Oh, saya hanya transit di Bali, sebenarnya saya mau pulang ke Jakarta”

“Jakarta, dimana itu?”

Sabar..sabar..elus-elus dada..

“Jakarta itu ibukota nya Indonesia.”

“Oh..,” katanya mengangguk-angguk sembari menatap kosong kursi didepannya, kemudian kembali  mengalihkan pandangannya ke saya,”Dimana itu Indonesia?”

Hwaaaaaah… gue tendang juga nih bule.

“Indonesia itu adalah suatu negara. Bali itu adalah suatu pulau bagian dari negara Indonesia. Dan Ibukotanya negara Indonesia itu adalah kota Jakarta,” saya berbicara lambat-lambat menyesuaikan dengan spesifikasi prosesor di otak si bule dongdong di kiri saya yang kayaknya belom pentium.

“Saya punya teman di Jakarta,” Nick menyambung pembicaraan saya, sementara Mark masih dengan tatapan kosong berusaha mencerna ucapan saya. “Katanya disana macetnya parah.”

Sekalinya ada yang tau Jakarta yang pertama terlintas adalah soal kemacetannya. Oh well, semua orang juga berpikiran begitu kan kalau lagi berbicara tentang New York?

Beberapa kali saya bertemu orang asing di perjalanan yang tidak mengerti Indonesia itu ada dimana, kadang sebagai orang Indonesia saya sebel juga karena tanah tumpah darah saya ternyata tidak terkenal sedunia. Kadang saya jadi semacam duta pariwisata yang berusaha menjelaskan bahwa tidak hanya Bali yang ada di Indonesia, tapi 5 ada pulau besar dan Bali itu hanya pulau kecil di Indonesia. Sekaligus saya ceritakan macam-macam objek wisata menarik di darat maupun di lautan.

Teman saya yang orang kanada, sepupu nya sekolah di Amerika, katanya orang-orang Amerika itu sangking sombongnya jadi ignorant gitu, di sekolah dasar nya yang dipajang hanya peta Amerika doang, floating out of nowhere. Tapi itu kan kata dia, saya yang belum pernah ke Amerika ya percaya aja katanya begitu. Sebelum saya menuduh orang itu ignorant karena tidak tahu negara asal saya, yah saya positif thinking aja mungkin orang-orang yang tidak tahu Indonesia itu tertidur pas pelajaran geografi ketika lagi membahas negeri-negeri di South East Asia.

Sama seperti saya, yang selalu tertidur pas pelajaran geografi dan akhirnya jadi buta peta.

Pada suatu hari ada fiancé nya teman saya dari Amerika yang bilang kalau dirinya bukan asli dari Amerika tapi dia sebenarnya Hispanic. Asalnya dari Puerto Rico. Waktu itu saya berusaha memetakan dalam bayangan dimana lokasi Puerto Rico dan gagal total, atau kalo istilah Justin Bieber nya Epic Fail.

Kemungkinan besar itu yang terjadi pada cowok yang baru pertama kali naik pesawat dan baru pertama kali keluar dari tempurung pulau raksasa tempat tinggalnya, buta peta. Dia mungkin akan menjadi orang Aussie yang liburan ke Bali tanpa tahu tahu lokasi nya dipeta, pokoknya tempat dimana dia bisa minum bir sepanjang hari di suatu pulau eksotis.

Tapi mudah-mudahan dengan dia bertemu saya di pesawat setidak-tidaknya ilmunya nambah, kalau pulau Bali itu ada di negara Indonesia. Teman saya pernah bilang, “Dengan traveling itu, mau ga mau wawasan kita mesti bertambah. Suka atau tidak.”

Nah Mark, sekarang wawasan mu bertambah, suka atau tidak.

Pengumuman dari pilot yang menginformasikan ketinggian pesawat, kecepatan pesawat, kondisi cuaca dan perbedaan waktu menandakan bahwa sebentar lagi kita sampai di Bali.

Iseng-iseng saya mengajarkan sedikit bahasa Indonesia kepada mereka. “Se la mat da tang, artinya ‘Welcome’.”

Mereka pun mencoba mengikuti dengan terbata-bata, “Se la …..”

“Se la mat,” ucap saya lebih pelan, “da tang”

“Se la mat da tang,” ucap keduanya nyaris berbarengan.

“Selamat datang,” dan kita bertiga pun bertepuk tangan, sementara penumpang-penumpang lain memperhatikan tiga orang yang berisik di bangku tengah.

“Oke, sekarang ‘Thank You’ bahasa Indonesianya…….” Saya pun melanjutkan kursus singkat Bahasa Indonesia kepada kedua teman baru saya itu. 

Senin, 12 Agustus 2013

Masjid Demak, Pertama di Pulau Jawa

Sejarah Modern Indonesia dimulai sejak masuknya Islam ke wilayah kepulauan ini. Masa sebelum-sebelumnya, ketika kerajaan Hindu Buddha berjaya itu namanya jaman sejarah klasik. Umumnya ajaran Islam menyebar melalui kegiatan perdagangan, jadi mulainya biasanya selalu dari wilayah pesisir yang banyak interaksi dengan pedagang muslim dari belahan dunia lain. Kerajaan Islam pertama adalah Samudra Pasai yang terletak di ujung utara Sumatera. Sedangkan di pulau Jawa, kerajaan Islam pertama muncul di wilayah Kerajaan Majapahit di masa-masa keruntuhannya bernama Kerajaan Demak. 

Kerajaan Demak yang terletak di wilayah pesisir utara Pulau Jawa adalah kerajaan maritim yang maju di bidang perdagangannya. Raja-rajanya yang terkenal ada Raden Patah, Sultan Trenggana dan Pati Unus. Di jaman Sultan Trenggana, Demak mengirimkan Fatahilah dan Maulana Hasanuddin untuk merebut Sunda Kelapa dari tangan Portugis dan berhasil. Maulana Hasanuddin, yang masih keponakannya Sultan Demak membangun Kerajaan Islam baru di bagian barat pulau Jawa, bernama Kerajaan Banten.

Tidak seperti Kerajaan Banten yang masih ada sisa-sisa reruntuhan keratonnya, Kerajaan Demak keraton nya masih merupakan teka teki besar. Yang masih megah berdiri di Demak adalah Masjid pertama di Pulau Jawa yang dibangun oleh 9 orang tokoh penyebar Islam di Indonesia yang bernama Wali Songo. Kisah penyebaran Islam oleh para Sunan yang tergabung dalam Wali Songo ini sering di bumbui oleh kisah mistis dan supranatural, jadi konon katanya Masjid ini dibangun oleh ke-9 orang sakti ini hanya dalam waktu satu malam. 

Masjid Gaya Jawa

Menara Masjid

Dari Depan

Situs Kolam Wudlu, gak ngerti juga apa maksudnya

Karena kebetulan beberapa bulan belakangan ini saya ada kerjaan di daerah Jepara dan selalu berangkat dari arah Semarang, jadi sering melewati Masjid Agung Demak ini. Masjidnya kelihatan humble dan sederhana, di depannya terbentang alun-alun kota yang ramai di sore hari. Kota Demak sendiri itu kalau sekarang sih saya bilang termasuk kota kecil. Tapi di sini - di Masjid sederhana di pojok kota kecil ini, ternyata titik awal merambatnya pengaruh Islam hingga ke ujung barat dan ujung timur Pulau Jawa. 500 tahun kemudian Pulau Jawa telah menjadi salah satu pulau  yang terpadat penduduknya  di dunia dengan populasi muslim mayoritas banget.
 
Minal Aidin Wal Faidzin. Mohon maaf lahir batin ya teman-teman blogger sekalian. *kecupjawuh
 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...