Rabu, 19 Februari 2014

Kindness of Strangers

Kadang kita takut untuk pergi jauh dari lingkungan hidup kita sehari-hari karena khawatir bahwa dunia di "luar sana" adalah dunia yang kejam. Tapi buat saya ga selalu begitu. Ketika saya traveling saya selalu menemukan banyak orang  baik bertebaran dimana-mana, itu semakin membuat saya optimis dalam memandang dunia ini. 

Pengalaman saya selama traveling selalu positif, orang-orang yang saya temui di jalan kebanyakan adalah orang yang ramah dan baik. Malahan selama ini saya ga pernah (dan jangan sampe) kena modus scam atau ditipu. Kalau soal modus penipuan atau scam memang kebanyakan saya riset dulu sebelum pergi ke suatu tempat dan sebisa mungkin menjauhi tempat-tempat nya. Kalau memang tempat yang mau saya datangi itu yang banyak modus scam nya, ya saya waspada tingkat tinggi dan berusaha supaya ga narik perhatian - usaha yang ga gitu susah dengan ukuran badan segede saya gini sih. 

Sering juga saya dapet "peringatan" mengenai modus scam dari ngobrol-ngobrol sesama turis atau traveler atau backpacker atau whatever yang saya temui di jalan. Agak aneh juga kalau lagi jalan-jalan trus ketemu sesama pelancong walaupun dari beda negara, bahkan seringkali ga tukeran nama, tapi kita bisa ngobrol banyak. Tukeran informasi tempat yang sudah dan akan dikunjungi, tempat makan, sampai modus scam. Beberapa kali saya ngalamin kayak gitu, malahan di Bangkok saya sempat dapat lungsuran buku guide tentang thailand dari cowo bule agak tua yang ngobrol sama saya pas sarapan di hostel di hari pertama saya dan hari terakhirnya dia, trus dia mewariskan buku guide nya yang tebel tapi udah lusuh kumel karena di abuse selama hampir 3 bulan di Thailand. Sampai sekarang masih saya simpen.

Menemukan kebaikan hati orang yang ga kita kenal di tempat  yang asing itulah yang buat saya pengalaman paling berharga. Buat saya tingkat tertinggi dari tolong-menolong adalah yang tulus dan tanpa pamrih, satu tingkat lebih tinggi dari itu adalah tolong-menolong sesama orang yang kita ga kenal sebelumnya. Kita berbuat baik karena kita ingin berbuat baik, bukan karena orang itu adalah kawan kita atau bukan karena suatu saat kita mengharapkan kalau kita susah orang itu bakal bales nolongin kita juga karena belum tentu kita bakal ketemu lagi. 

Suatu saat ketika saya lagi bingung di pinggir jalan kota Bangkok, lagi mikir gimana caranya nyebrangin jalan dan lagi nunggu orang lokal yang nyebrang supaya saya bisa mencontoh tiba-tiba lewat di depan saya cewe bule yang nanya. "mau nyebrang jalan?".

Saya mengangguk.

Kemudian cewe itu menjelaskan, "kamu jalan dulu ke arah sana terus nyebrang di lampu merah di bawah jembatan, balik lagi ke arah di depan sana. Tadi juga saya bingung cari jalan nyebrangnya." Dan cewe itu langsung berlalu setelah saya mengucapkan terima kasih.

Sebelum saya ke Timor Leste saya ngobrol sama salah satu temen kuliah saya dulu, pas itu saya cerita kalau sebulan lagi saya mau jalan-jalan ke Timor Leste. Kemudian temen kuliah saya itu bilang kalau dia punya temen orang Dili, dulu temen satu kos di Bandung. Namanya Livio Jesus Amaral de Oliveira, panggilannya Kiko. Saya diberi nomor kontak Whatsapp nya dan beberapa hari sebelum saya ke Dili saya menghubungi nya. 

Kiko itu baik banget, pas saya sampe ke Dili saya langsung di jemput di bandara dan hotel yang sudah saya booking ga jadi ditempati karena Kiko menawarkan untuk menginap di rumahnya. Dari kantornya dia terus memantau, saya ada dimana atau apakah saya nyasar, "kalau nyasar nanti bilang aja, aku jemput," katanya. 

Tuan Rumah di Dili yang namanya kayak pemeran telenovela

Di Pink Beach Pulau Komodo, ketika saya, Pagit dan Mba Efa sedang menikmati makan siang di atas kapal sebelum kapal kita menempuh perjalanan 4 jam kembali ke Labuan Bajo, kita di samperin sama salah satu orang dari kapal lain yang lagi bawa rombongan turis dari Bali. Perjalanan mereka berhari-hari dari Bali ke Pulau Komodo, bermalam di kapal dan berhenti di beberapa tempat yang dilalui sepanjang perjalanan. Tapi baru setengah perjalanan ada seorang perempuan bule yang sakit demam, ga mungkin nunggu beberapa hari lagi sampai mereka kembali tiba di bali, jadi orang itu minta ijin supaya penumpangnya boleh numpang kapal kita bertiga sampai Labuan Bajo.

Kita bertiga pun langsung memperbolehkan perempuan itu - ditemani sama pacar cowo nya, pindah ke kapal kita bersama barang bawaan mereka yang segambreng sampai di Labuan Bajo. Malahan kita sempat bawa mereka ke hotel tempat kita nginap karena mereka sama sekali ga ada persiapan mau terdampat di kampung kecil kayak Labuan Bajo. Beruntung mereka ketemu kita bertiga yang booking satu kapal, kalau mereka ketemunya sama kapal tur yang ada pemandunya pasti mereka bakal disuruh bayar mahal buat numpang ke Labuan Bajo. 

Buat Pagit, balasan datangnya ga lama. 

Lunch di atas kapal
Keesokannya saya, Pagit dan Mba Efa pergi ke air terjun. Kita jalan kaki lebih dari 5 km dari kampung terdekat menuju ke air terjun, menembus hutan belukar yang masih alami. Perjalanan pergi sih lumayan karena jalanan menurun, dalam hati saya udah mulai mikir ini jalan pulangnya pasti berat banget. 5 kilometer jalan menanjak di lumpur-lumpur. Mantap.

Sebelum masuk ke dalam hutan kita ketemu sama gerombolan bapak-bapak yang sedang mengatur napas nya. Mereka naik mobil 4WD ban gede yang bisa tembus jalanan Off-Road, ada 2 mobil. Melihat kita bertiga, cewe-cewe, dengan 2 orang pemandu orang lokal, bapak-bapak itu memberi semangat ke kita dengan berkata bahwa bagaimanapun perjalanan yang kita tempuh itu worth it karena air terjun nya memang indah luar biasa.

Air terjunnya memang indah luar biasa.

Perjalanan pulangnya juga luar biasa. Awalnya kita harus keluar dari hutan itu dengan posisi nyaris merayap karena jalan nya terjal. Keluar dari hutan kita masih harus jalan menanjak di tanah berlumpur, sampai ke kampung cuncawulang. Beberapa ratus meter berjalan, pagit sudah kepayahan jalan paling belakang sambil setengah sadar meracau, "Coca Cola Dingin... Coca Cola Dingin...".

Pemandu kita, seorang anak muda kurus tinggi penyabar dari kampung cuncawulang berusaha menghibur pagit, "iya sabar, nanti kalau udah sampai di warung ya, kakak."

Tapi pagit terus saja merapal , "Coca Cola Dingin.. Coca Cola Dingin..." seolah-olah itua dalah mantra yang menguatkan langkah nya yang tertatih. 

Tiba-tiba di kejauhan saya melihat dua mobil off-road milik gerombolan bapak-bapak terparkir di pinggir jalan lumpur. Saya segera menghampiri dan sok akrab ngajak ngobrol salah satu bapak yang kurus kecil.

"Kenapa, pak mobilnya?" tanya saya.

"Yang satu pecah ban," katanya sambil menunjuk salah satu mobil yang sedang di dongkrak, salah satu ban nya lagi dalam proses dilepasin,"ban  nya mau dibawa ke kota, mau dibenerin dulu."

"Oooo..." jawab saya.

"Kalian dari mana?" tanya bapak itu.

"Kita dari Jakarta, Pak. Jalan-jalan kesini," jawab saya, "Bapak rombongan darimana?"

"Kita dari Bandung." kata bapak itu.

"Naik mobil dari Bandung sampai ke sini,pak?" tanya saya takjub.

"Iya. kita dari Geologi..." bapak itu mejelaskan.

Tiba-tiba entah darimana Pagit menyeruak masuk ke pembicaraan kita.

"Bapak dari Geologi? Bandung? kenal ibu A (pagit nyebut salah satu nama yang saya luap)?" 

"Kenal lah." kata bapak itu.

"Saya ini keponakannya, pak," kata pagit dengan intonasi seperti di sinetron-sinetron disaat seorang anak yang sudah bertahun-tahun hilang menemukan kembali jejak ibu kandungnya : saya ini anaknya, pak.

Tapi rupanya ban pecah itu, bapak-bapak dari Bandung yang sedang meneliti struktur batuan di air terjun itu, bapak-bapak dari Bandung yang kerja bareng tantenya Pagit itu, adalah semacam oase di padang pasir bagi pagit, bantuan yang dikirimkan Tuhan buat Pagit. Tidak lama Pagit sudah ada di salah satu mobil yang akan membawa ban pecah untuk diperbaiki ke kota, Pagit di antar sampai ke warung di kampung cuncawulang.

Cerita lebih lengkapnya dari sudut pandang Pagit langsung di cekidot disini:

Saya optimis bahwa diantara segelintir orang jahat, maniak, psikopat, pembunuh berantai, koruptor di dunia ini, masih lebih banyak orang yang baik. 

Jumat, 07 Februari 2014

Blue Mountains yang (ternyata) tidak biru

Setiap pergi ke tempat baru, saya selalu bernafas lega kalau menemukan suatu logo yang familiar, misalnya kayak KFC, McD, Burger King, Starbucks. Rasanya seperti menemukan teman yang saya kenal di tempat asing. Paling tidak mengurangi perasaan ngeri saya terhadap uncertainty suatu tempat asing. 

Ya. Saya selalu ngeri kalau mau pergi ke tempat yang  baru. Biasanya semakin mendekati lokasi saya makin deg-deg-an, adrenalin rush gitu kayaknya, perasaan ngeri yang bercampur dengan excitement. Itulah yang saya rasakan di dalam kereta dari Sydney menuju Blue Mountain, pandangan saya memang terlempar ke luar jendela tapi pikiran saya berkecamuk di dalam. Kayak apa disana? Mau ngapain disana? Apa disana ada peta turis? Apakah saya bakal nyasar? Apakah uang yang saya bawa cukup? Apakah orang disana galak-galak terus saya bakal dijutekin? 

Keluar dari Stasiun Katoomba saya mengamati kondisi sekitar. Tampaknya stasiun itu terletak di pusat pertokoan dan rumah makan yang mungil-mungil dan rapi. Di antara kios-kios itu saya melihat logo yang familiar, tulisan merah Hop On - Hop Off. Logo sebuah perusahaan bus pariwisata yang punya cabang dimana-dimana, saya pernah coba naik sekali waktu ke Kuala Lumpur. Setelah bernafas lega karena menemukan satu hal yang familiar, saya langsung menghampiri dan masuk ke dalam nya.

Di depan pintu masuk terbentang meja panjang yang lebih tinggi sedikit dari dada saya, seperti meja teller di bank. Mba-mba di belakang meja itu menyapa saya dengan ramah, saya menghampirinya dan langsung dijelaskan tentang rute tur yang ditempuh sama bus hop on hop off itu. Rute bus itu mengelilingi daerah pegunungan "biru", berhenti di sekitar 20-an spot yang tertera di peta. Spot itu macam-macam, ada titik tempat treking (ada petanya, jarak dan ada level kesulitannya juga), rumah makan, atraksi utamanya yang bernama echo point dimana ada 3 batu berjajar yang disebut Three Sisters, dan tempat wahana seru.

Kita gak harus turun disemua point yang tertera di peta itu, lagian gak akan cukup buat satu hari. Kita boleh pilih mau turun di tempat mana yang buat kita menarik dan kalau mau naik bus lagi kita tinggal cari point pemberhetian bus hop on hop off yang terdekat, bus akan lewat di jadwal-jadwal yang sudah di tentukan dan tertulis di buku panduannya. Di buku panduannya juga komplit, objek wisata apa aja yang bisa kita lihat seperti air terjun dan tempat lookout dengan pemandangan memukau ada di situ, lengkap dengan peta dan foto juga. Dari gak tau apa-apa dan nekat pergi ke Blue Mountain, melihat buku panduannya itu langsung tau semua. Komplit. 

Saya langsung beli tiket terusan  buat naik hop on hop off seharian keliling Blue Mountain dan tiket masuk wahana. Komplit. 

Ketika saya lagi transaksi muncul dua orang turis amerika yang bareng sama saya di kereta, yang perempuan langsung ngomong, "eh disini juga," pake bahasa inggris tentunya. Saya nyengir sebentar dan langsung ngacir ke bus tingkat warna merah yang parkir di seberang jalan. 

Pas saya naik, sopir bus nya -bapak gendut yang ramah, langsung menyapa dan nanya saya dari mana. Saya jawab dari Indonesia. Semua penumpang yang naik di tanya sama bapak sopir itu asalnya dari mana. Dua turis amerika masuk, ditanya. Sepasang turis yang sudah tua masuk, ditanya, mereka bilang dari Itali. Satu turis laki-laki masuk, ditanya, dia jawab dari India. Ketika bus mau berangkat pak supir menyapa seluruh penumpang dalam bus dengan cara mengucapkan "Howdy" dalam bahasa negaranya masing-masing - Indonesia, Amerika, Italia, India. Untuk Indonesia, pak supir bilang : "Apa Kabar? Selamat datang."

Mendekati point pemberhentian yang ada air terjun nya saya memutuskan turun. Sebelum saya turun Pak Supir sempat memberi petunjuk arah ke air terjunnya, katanya sih gak jauh tapi jalannya menurun tajam dan agak licin jadi dia bilang, "hati-hati," dalam bahasa Indonesia.   

Udara semakin dingin menusuk waktu saya turun bus, saya mengeluarkan jaket dari daypack padahal saat itu saya sudah mengenakan sweater. Pakai baju lapis-lapis gitu juga masih terasa dingin banget buat saya. Tapi segera setelah saya melihat sekeliling saya yang indah banget, langsung lupa sama dingin. Jadi ada bangku kayu di bawah pohon yang menguning karena musim gugur, terus di bawahnya itu berserakan daun-daun kering yang berguguran - cantik bangeeetttt. Saya pun langsung foto-foto sendiri. Saat itu saya sendirian, bener-bener cuman saya dan alam ostrali musim gugur, bahagia.


Puas foto-foto kaki di antara daun-daun berserakan saya mengikuti tanda penunjuk arah menuju air terjun. Jalan setapaknya menurun dan berakhir mengecewakan karena ternyata air terjun nya jauh dan jalannya udah buntu. Jadi air terjun nya itu adanya di tebing seberang. Lagi iseng-iseng cobain fitur foto panorama di kamera saya, datanglah sepasang bule. Yang cewe pake baju dress terusan warna hitam yang lengannya pendek, sementara saya bajunya berlapis-lapis dan masih kedinginan tu cewe nyantai aja. Mereka senyum ke saya, dan saya ga mau membuang kesempatan itu untuk minta tolong salah satu dari mereka fotoin saya di depan air terjun. Ya beginilah nasib nya kalo pergi jalan-jalan sendiri, kalau mau foto musti tongsis - tolong sis.

Mba-mba bule tahan dingin itu menghitung, " one, two, cheese!" Tiba-tiba saya merasakan perih di bibir yang kering ketika saya berusaha menariknya untuk membentuk suatu lengkung di wajah yang bernama senyum. Senyuman pun berubah menjadi ringisan. Bibir kering saya pecah karena hawa dingin.

Meringis

Setelah mengucapkan terima kasih saya kembali ke tempat pemberhetian bus untuk menunggu bus berikutnya. Tujuan selanjutnya adalah ke suatu tempat bernama Scenic World. Tiket terusan bus hop on hop off yang saya beli termasuk paket naik 3 macam wahana di Scenic World itu. Ada Scenic Cableway, Scenic Skyway dan Scenic Railway yang diantaranya ada Scenic Walkway.


Scenic Cableway, semacam gondola besar yang nyebrangin lembah

Lantai nya kaca, view langsung ke jurang bikin merinding

Scenic Railway, semacam roller coaster yang menukik 

Scenic View

Keretanya Scenic Railway

Scenic Walkway

Scenic Skyway

Dalemannya Scenic Skyway
Saya dapat dua orang kawan baru di Scenic World ini. Kita  kenalan di wahana pertama, Scenic Cableway, sejak itu kita jalan bertiga. Dua orang kawan baru saya itu adalah dua perempuan filipina sebaya saya yang bekerja di Singapura. Mereka orangnya asik, jadi kita langsung nyambung, belom ada 5 menit kenal udah cekikikan bareng. Dari Scenic World kita bareng lagi naik bus untuk makan siang, lanjut ke Echo Point untuk melihat Three Sisters.

Bersama dua orang kawan baru di depan batu Three Sisters (3 batu di kiri belakang)
Dua kawan baru saya memutuskan untuk mengakhiri perjalanan mereka di Three Sisters, sementara saya masih betah di Blue Mountain, jadi kita berpisah di bus - saya turun di salah satu tempat untuk trekking menghabiskan waktu hingga sore, mereka lanjut ke stasiun katoomba lagi. 

Udara semakin dingin dan berkabut, saya merasakan rambut saya mulai lembab karena uap kabut yang mengandung air, tapi saya tetap bersemangat menyusuri jalan setapak yang sepi. Saya terus jalan sendiri melewati pohon-pohon yang daun-daunnya rimbun di kanan kiri saya, terus mendaki bukit yang di kiri kanan saya hanya ada batang-batang pohon gundul tanpa daun, meniti seruas jalan di pinggir tebing yang langsung berbatasan dengan jurang, duduk sebentar di bangku memandang ke lembah Blue Mountain yang ternyata ga biru-biru amat kalau dilihat dari dekat.

Selfie jalan2 sendirian di hutan


Jalan setapaknya

jalan di tepian tebing

Disini tempat duduk sambil berkontemplas dengan alam *tsah

Akhir jalur treking

Model rumah di Blue Mountain

Ujung jalur treking ini berakhir di komplek perumahan yang rumahnya dari kayu-kayu. Saya duduk di bangku shelter pemberhentian bus sambil mengkhayal gimana rasanya kalo tinggal di komplek rumah model kayak gitu. Tidak lama bus hop on hop off merah muncul, ketika pintu dibuka ternyata sopirnya pak gendut yang di bus pertama, dia langsung menyapa ramah sambil nanya mau kemana lagi. Saya jawab, mau ke stasiun. Di perjalanan pak sopir itu sempat cerita kalau dia dan istrinya baru saja pulang liburan dari Bali dan Jakarta, sempat pamer juga beberapa kalimat bahasa Indonesia yang dia bisa dengan aksen aussie  nya. Lumayan bikin saya ngakak.






Senin, 03 Februari 2014

Trip Spontan ke Blue Mountain

Saya tidak merencanakan akan pergi ke Blue Mountain.

Anjuran dari Cipu dan Mba Andri ketika kita ngopi-ngopi di Darling Harbour, Sydney yang membuat saya memutuskan untuk pergi ke Blue Mountain. Tanpa tahu ada apa saja dan apa yang bisa dilakukan disana. Saya punya budget untuk masuk ke museum-museum di Sydney dan kebun binatang, itulah yang kemudian saya alihkan untuk budget perjalanan spontan ke Blue Mountain.

Saya berangkat sendiri, berpisah dengan Cipu di stasiun kereta. Cipu sudah ada janji sama kawannya yang lain di Sydney. Di loket pembelian tiket kereta Cipu memesankan tiket ke Blue Mountain untuk perjalanan pulang-pergi saya. Tiket sudah didapat, kemudian saya dan Cipu menuju papan pengumuman untuk melihat di peron berapa kereta yang akan berangkat ke Blue Mountain. Cukup lama saya dan cipu bingung mondar-mandir dari satu papan jadwal ke papan lain karena tidak ada tertera tujuan "Blue Mountain" dimana-mana. Cipu berinisiatif menanyakan ke mba-mba yang ada di kotak pengawas yang terletak di peron, mba-mbanya menjelaskan kalau mau ke Blue Mountain cari yang jurusan Katoomba - stasiun itu ada di Blue Mountain Line.

Saya makin khawatir. Dalam hati saya mulai menyesal kenapa gampang banget dipengaruhin dan dijerumuskan sama Cipu. Belom pergi aja udah nyasar-nyasar di stasiun karena ga tau mau ke stasiun apa.

Katoomba itu apa dan dimana, saya juga gak tahu. Pokoknya saya naik kereta, nanti kalau ada stasiun Katoomba saya akan turun. Mudah-mudahan sih saya gak nyasar, berhasil sampai di Blue Mountain dan sore harinya bisa kembali ke Sydney, dimana saya sudah janjian ketemuan lagi sama Cipu dan Mba Andri di Circular Quay.

Malam itu ada kejadian lucu ketika saya dan Cipu menginap di backpacker hostel. Kita berdua check-in di malam hari, diantarkan oleh mba resepsionis ke suatu kamar dormitory yang didalamnya terdapat 2 tempat tidur bertingkat. Masing-masing tempat tidur itu di bagian bawahnya sudah diisi - tampak dari tas yang terletak di sampingnya. Karena sudah letih akibat malam sebelumnya tidur ga bener di bus dan seharian keliling Sydney, saya dan cipu langsung tertidur.

Pagi harinya saya mendapati dua penghuni di tempat tidur bawah sudah tidak ada. Terus Cipu cerita, malem-malem dua penghuni itu -yang ternyata cewe dua-duanya, minta pindah karena mereka pesennya di dorm khusus cewe, tapi ternyata mba resepsionisnya menaruh cipu dikamar itu. Mereka gak terima. Dua cewe itu pun langsung minta pindah kamar. Yang jadi pertanyaan saya adalah, apakah dua cewe itu yang di taro di mixed dorm atau mba resepsionis di malam kita menginap yang salah mengira kalau cipu itu cewe juga. Entahlah. Saya dan Cipu gak ambil pusing, subuh-subuh kita udah check-out dari hostel itu.

Saya duduk manis dalam gerbong  kereta yang kosong, memegang tiket saya dan terbaca apa yang sedari tadi harusnya saya baca: nama stasiun tujuan saya. Ternyata di tiket tertera tulisan stasiun yang harus saya tuju dengan huruf Bold: Katoomba. Kalau saja saya atau cipu baca tulisan itu lebih awal, ga perlu mondar-mandir ga jelas sebelum naik ke kereta.

Tidak lama sebelum kereta berangkat muncul sepasang turis (kelihatan dari pakaian & gayanya), yang perempuan menoleh ke saya sembari bertanya untuk memastikan mereka ada di kereta yang benar, "Blue Mountains?". Saya mengangkat bahu sambil tertawa, "I hope so." Sepasang turis itu pun tertawa dan mengambil tempat duduk satu deret di belakang saya.

Dari selipan tas daypack, saya mengambil selembar kertas rute kereta, menghafal nama stasiun sebelum stasiun Katoomba supaya gak kelewatan. Sepasang turis yang masuk belakangan ke kereta juga tampak melakukan hal yang sama. Stasiun demi stasiun terlewati, penumpang masuk dan keluar di tiap stasiun. Hingga tiba di stasiun Leura, satu stasiun sebelum tempat saya turun. Saya pun bersiap-siap mau turun, melirik ke bangku di belakang saya, ke sepasang turis amerika tadi. Walau  hanya saling tatap-tatapan saya dan perempuan amerika itu seolah-olah saling memberi kode bahwa kita turun di stasiun berikutnya.

Kereta berhenti si stasiun Katoomba, saya turun dari kereta langsung mengikuti tanda panah ke arah keluar, sementara turis amerika yang turun kereta bareng saya pamit mau ke toilet dulu. Celingukan di depan gerbang stasiun Katomba, saya bener-bener ga tau mau ngapain.

...to be continued.  



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...