Minggu, 25 Mei 2014

Tidur di Bandung dan Jogjakarta

Buat saya kriteria penginapan yang bagus dan nyaman itu yang ada tamannya dan suasananya rumahan. Sebenarnya saya kurang suka hotel yang bentuk gedung bertingkat, buat saya itu hanya tempat untuk mandi dan tidur saja tapi tidak untuk lama-lama leyeh-leyeh di hotel nya. Tapi kalau saya dapat hotel yang kriterianya seperti saya bilang di awal, walaupun gak mahal dan lebih sederhana daripada hotel gaya urban-architecture yang selalu tampak licin dan higienis - saya akan lebih betah. 

Kebetulan nih belum lama ini saya ada short trip ke Bandung dan Jogjakarta, saya menemukan penginapan yang masuk banget sama kriteria penginapan yang bikin betah. 

Wisma Joglo - Bandung

Bulan lalu saya melakukan short-trip ke Bandung di akhir pekan karena Chacha ada undangan pernikahan teman kuliahnya. Sambil menyelam minum air, saya dan Chacha pun mempergunakan kesempatan ini untuk bernostalgia mengenang masa-masa muda yang pernah kita lewati di Bandung beberapa tahun lampau.

Sudah dari sejak beberapa tahun lampau juga, yang namanya cari hotel di Bandung pas akhir pekan itu seringnya memerlukan perjuangan, khususnya di daerah Bandung Utara yang banyak tempat wisatanya. Dari mulai penginapan kelas losmen hingga hotel bintang lima selalu full-booked. Bahkan setelah semakin banyak hotel-hotel baru yang tumbuh, demand pun semakin tumbuh dan hotel-hotel itu  tetap penuh sehingga memasang tarif lebih mahal di akhir pekan. Disini hukum supply and demand berlaku dalam hal menentukan harga.

Saya & Chacha pernah menginap di hotel yang baru buka yang terletak di kawasan Dago, dekat lampu merah persimpangan Bandung Indah Plaza (BIP). Waktu itu sih katanya opening rate, jadi diskon walaupun menurut saya tetap saja ga sesuai dengan fasilitas yang di dapat. Hotelnya rapih sih, karena kan masih baru, tapi sempit banget kamar dan parkirannya. Dengan harga itu yang saya bayar hanya lokasi nya aja.

Weekend bulan lalu itu, saya & Chacha dapat penginapan enak banget dan menurut saya sesuailah value yang saya bayar sama yang didapat. Lokasi nya agak ngumpet, di Dago atas sebelum pintu masuk perumahan Dago Pakar Resort. Kalau kuat jalan kaki naik turun bukit bisa aja jalan kaki ke Warung Lela makan Mie Yamin, nongkrong sambil nyemil di Rumah Kopi, Resto Bumi Joglo yang terkenal sama Nasi Liwet nya, dan deretan resto/cafe yang terletak di daerah Ranca Kendal itu. Kalau saya sih naik mobil, soalnya walaupun jaraknya dekat tapi tanjakan nya itu bisa bikin betis kondean.

Saya dan Chacha sampai disana sudah malam, tempatnya luas banget tapi sepi, kata resepsionis nya akhir pekan ini sepi karena hanya 4  kamar yang terisi dari belasan kamar yang ada. Desain arsitekturnya tradisional jawa yang didominasi kayu-kayu ukiran, kesan rustic gitu, kalau malem-malem sepi ya berasa juga merindingnya. Apalagi ternyata saya dan Chacha dapet kamar yang luasnya bisa salto 3 kali dari ujung ke ujungnya. Furniture nya juga jaman dulu gitu gaya-gaya antik begitu. 

Tapi ketika keesokan pagi saya bangun dan keluar kamar, baru tampak keindahan penginapan yang kita tempati itu.  Karena pengunjung nya sedikit, pagi itu sarapan dipesan langsung, bukan model prasmanan yang bisa pilih gitu. Setiap orang boleh pilih lebih dari satu, saya pesan roti dan bubur kacang hijau tapi masih juga ditawarin nasi goreng. Mungkin muka saya kelihatan lapar karena sebelum sarapan morning run dulu naik turun tanjakan. 

Ternyata hotelnya juga ada semacam ballroom yang bisa disewa untuk acara kawinan, tidak besar tapi dekornya bagus. Benar-benar sesuai namanya, Joglo.

Saya suka dekor kamarnya

Bangun pagi liatnya begini

Suka perosotannnya - bukan tangga langsung tapi langsung dari undakan batu  

Dari atas ke bawah

Rumah Makan, tempat sarapan

View jalan menuju Dago Pakar

Lookout view - Bandung dari atas

Tanaman merambatnya cantik

Hotel Puri Pangeran - Jogjakarta  

Rencana saya ke Jogja baru-baru kemarin bisa dibilang dadakan, saya pesen tiket kereta dan booking hotel 3 hari sebelum berangkat. Saya pergi sendiri, janjian sama kawan saya Dayu Ary ketemuan di Jogja, tapi dia pergi sama suaminya jadi itu artinya kan saya ga bisa share bayar kamar hotel. Karena itulah salah satu pertimbangan saya booking hotel adalah yang tidak mahal tapi tidak jauh dari Malioboro karena saya pikir di sekitar area itulah Dayu Ary dan suaminya akan memilih penginapan.

Salah satu kawan saya merekomendasikan hotel yang namanya unik banget 'Rumah Mertua', kalau saya liat di internet sih bagus banget, sayangnya lokasinya jauh dari Malioboro dan walaupun tidak begitu mahal untuk ukuran hotel di Jogja tetap saja tidak masuk budget saya. Satu lagi rekomendasi dari Tante Debz, hotel yang dia tinggalin waktu ke liburan ke Jogja beberapa bulan lalu 'Sagan Huis', tarifnya masuk budget saya tapi lokasinya masih lumayan jauh sih dari Malioboro. 

Kemudian cari-cari di internet dapet hotel yang bernama 'Hotel Puri Pangeran', setelah di google liat rekomendasi dan review di blog-blog, entah kenapa saya jadi tertarik. Padahal sebenarnya reviewnya juga biasa aja sih, ga ada yang spesial gitu dari hotel ini. Dari lokasi sebenarnya lumayan jauh dari Malioboro, mungkin sama jaraknya dengan jarak Hotel Pop yang saya nginep terakhir sama Chacha ke Malioboro karena pas saya sampai disana tarif naik becak dari hotel Puri Pangeran ke Malioboro sama dengan tarif becak dari Hotel Pop ke Malioboro.

Di kereta mendekati stasiun Tugu Jogja saya SMS Dayu Ary, memberi kabar kalau saya tiba sebentar lagi. Dayu Ary membalas dengan memberi tahu kalau dia sudah sampai di hotel nya di jalan Mesjid daerah Pakualaman. Sebelumnya saya dan dia tidak saling memberitahu mau menginap di mana. Ternyata dia juga booking Hotel Puri Pangeran. Ga tau itu kebetulan, takdir, atau memang cara pikir saya sama kayak Dayu Ary. 

Saya suka hotelnya, halamannya bagus dan kamar saya di lantai bawah ada terasnya dan langsung menghadap taman. Kamarnya juga bersih, staff nya baik-baik, ramah dan helpful sekali. Staff yang mengantar saya ke kamar bahkan menolak ketika saya nyodorin tip, langsung ngacir aja gitu sambil nyengir-nyengir. Sukurlah, saya pun langsung ngantongin uang itu lagi, lumayan buat jajan.

Sarapannya juga enak walaupun pilihannya tidak banyak. Sambil diiringi pria yang nyanyi Jawa sambil metik kecapi. Walaupun ditulis disitu sarapan mulai pukul 6 - 9 pagi, tapi ketika senin subuh saya mau check out sebelum jam 6 saya disuruh sarapan dulu. "Sarapan aja dulu, mba. nanti kami siapkan minuman dan roti, tapi maaf nasi nya belum matang." 

Depannya kamar saya, pendopo tempat sarapan dan taman yang rapi

Sabtu, 17 Mei 2014

Flaneur of The Rocks

Flaneur adalah istilah bahasa Perancis yang artinya kurang lebih jalan-jalan tanpa arah tujuan. Prinsipnya adalah keluar dari rumah, berbaur dengan kegiatan di kota untuk meresapi keadaan sekitar, membuka mata terhadap keindahan tumpukan bangunan-bangunan gedung di jalan, mengamati kegiatan dan kesibukan orang-orang nya dan mendengar setiap alunan suara percakapan orang, langkah kaki dan dengung kendaraan yang lalu lalang. Menjadi penonton kehidupan disekitar dan eventually, menjadi kota itu sendiri.

Sekitar abad ke-19, Flaneur merupakan kegiatan populer dan cenderung diminati para seniman penganut aliran Romanticsm. Dengan cara inilah mereka mendapatkan inspirasi. Salah satu yang populer adalah Charles Baudelaire, seorang poet yang merangkai puisinya dari apa yang dia amati dan resapi di kehidupan ketika melakukan flaneur. 

"For the perfect flaneur, for the passionate spectator, it is an immense joy to set up house in the heart of the multitude, amid the ebb and flow of movement, in the midst of the fugitive and the infinite.  To be away from home and yet to feel oneself everywhere at home; to see the world, to be at the centre of the world, and yet to remain hidden from the world - impartial natures which the tongue can but clumsily define.  The spectator is a prince who everywhere rejoices in his incognito." - Charles Baudelaire

Buat saya Flaneur asik banget dilakukan ketika traveling. Kadang saya sengaja untuk tidak terlalu banyak riset sebelum saya pergi ke suatu tempat. Ada sih beberapa kawan saya yang itinerary nya kalau jalan-jalan itu sangat detail dan matang, ada riset tempatnya, disana musti ngapain aja, apa yang harus dicoba disana, berapa yang harus dibayar untuk transportasi, berapa harga makanan, etc, etc. Tapi buat saya esensi dari jalan-jalan adalah untuk mengetahui sesuatu yang baru dengan cara mengalaminya langsung. Jadi seringkali saya skip the details, tentukan saja lokasi nya kemudian lihat apa saja yang akan saya temukan disana.

Contoh nya di suatu pagi di kota Sydney, setelah selesai sarapan bersama Mba Andri saya menuju kawasan The Rocks sendirian untuk Flaneur. Saya tahu The Rocks itu adalah area tempat koloni pertama - yang merupakan narapidana yang dibuang, membangun tempat tinggalnya di Sydney. Daerah itu dulunya mungkin kacau luar biasa, tapi sekarang disulap menjadi area turis yang banyak terdapat rumah makan, toko-toko, hotel mewah.  

Dan yang saya lakukan di The Rocks adalah hanya melangkah kemana kaki ini membawa saya, mengambil foto pemandangan yang menurut saya menarik. Otak saya tidak dipusingkan dengan target apa saja yang harus saya lihat di The Rocks dan target apa yang harus dilakukan setelahnya, saya hanya menonton yang ada disekitar saya. Sesekali ketika mulai letih berjalan saya akan duduk dan mengamati orang-orang lalu lalang. Saya juga masuk ke toko-toko, berbincang dengan penjaga tokonya yang kebanyakan wanita usia lanjut, terakhir saya berfoto dengan street performer Aborigin yang sedang bermain Didjeridu dan membeli CD nya seharga 5 dollar.











Kamis, 08 Mei 2014

Selamat Natal di Pertengahan Januari

Pertengahan Januari. Rasanya seperti mau masuk ruangan ujian; mules dan deg2an. Petugas tiket depan ruang check in Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar tersenyum mencurigakan waktu membaca tujuan di tiket saya, "Dili?" katanya. Entah itu pertanyaan yg harus dijawab oleh saya atau oleh dirinya sendiri utk meyakinkan kalau cewek imut didepannya mau ke Dili. Mungkin karena saya bukan orang asing dan ga ada potongan seperti orang Timor, ditambah lagi karena penampilan dan barang bawaan saya juga tidak terlihat seperti akan melakukan bisnis trip.

Hampir semua orang yang saya kabari kalau saya mau jalan-jalan ke Dili bertanya, "ngapain jalan-jalan ke Dili? disana kan ga ada apa-apa."  Kalau maksudnya 'apa-apa' yang identik dengan jalan-jalan itu seperti di Bali atau Jogja atau Bandung atau Phuket, sudah jelas di negara umur 12 tahun yang bahkan belum punya mata uang sendiri tidak akan ada seperti itu. Dan memang bukan itu yang saya cari. 

Di loket check in, bapak-bapak botak gede galak mondar mandir depan loket. Beberapa orang di antrian check in tampak dikenalnya, dia salaman kesana kemari dan menyapa calon penumpang pesawat yang dikenalnya. Sepertinya tidak banyak orang yang mondar mandir Dili naik pesawat. Mbak petugas counter check in bertanya apakah ini kunjungan pertama kali ke Dili dan saya mengangguk. Bapak botak itu langsung menghampiri dan bertanya apa urusan ke Dili, ada kenalan atau tidak disana, berapa hari disana, dan menjelaskan peraturan imigrasi di Dili, kalau tiap orang harus punya minimal 100 USD/hari untuk bekal survive di sana. 

Saya menggangguk dan melempar senyuman 'everything is under control'. Terakhir dia berpesan, jangan lupa siapkan 30 USD untuk Visa on Arrival. Saya mengangguk lagi, "sudah disiapkan".

Di ruang tunggu no 5 hanya ada beberapa gelintir orang. Di luar, langit dipayungi awan hitam tebal menggumpal, rintik hujan membasahi landasan udara yang basah akibat diterjang hujan deras yang baru saja berhenti beberapa menit sebelumnya.

8.50, satu jam lagi sblm keberangkatan pesawat, 4 jam sebelum waktu mendarat di Dili, saya masih diliputi kecemasan kalau pesawatnya akan di cancel karena badai dan kemungkinan di deportasi dari Timor Leste karena alasan kedatangan saya yang tidak bermutu : jalan-jalan. Untungnya mendekati waktu keberangkatan hujan berangsur berhenti, panggilan boarding tepat waktu dan pesawat berangkat sesuai jadwal walaupun take-off di tengah gerimis.

Tiba di bandara Dili yg diberi nama seperti nama presiden pertama nya, Nicolau Lobato, saya melenggang mengikuti arus penumpang menuju antrian loket Visa On Arrival. Tanpa ditanya apa-apa, tanpa isi formulir apa-apa, saya hanya menyerahkan Paspor dan disuruh bayar 30 dollar, paspor di kasih cap Visa terus lanjut antri di loket imigrasi.

Airport Dili

Di loket imigrasi saya disambut bapak-bapak berwajah tegas tapi ramah, beliau bertanya dengan bahasa Indonesia tujuan ke Dili, saya jawab : turis, vacation. Kemudian dia tanya berapa hari, saya jawab hanya 2 hari. Kemudian bapaknya bilang (entah kenapa ini yang selalu di protes sama orang imigrasi yg mau ngecap paspor saya), "kenapa sebentar sekali?" sambil menatap gak rela.

Saya hanya mengangkat bahu.

"Baiklah, disini saya beri waktu 15 hari," dia menuliskan 15 hari di atas cap Visa on arrival, di cap kemudian dikembalikan ke saya sambil berkata "Selamat Natal” 



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...