Rabu, 23 Juli 2014

Nenek Tikungan

Sebelumnya, ini bukan cerita horor dan tidak ada hubungannya sama film Nenek Gayung walaupun ada bumbu-bumbu misteri nya. Saya tidak  tahu nama nenek ini, tapi karena setiap sore saya hampir selalu melihatnya berdiri di tikungan exit toll Jatiwaringin ke arah Pondok Gede, saya menyebutnya dengan nama Nenek Tikungan. 

Nenek ini perawakannya kurus dan kecil. Gaya berpakaiannya setiap hari selalu sama, daster tipis, blazer kegedean dan jilbab yang model langsung pake kayak mukena gitu, ga tau apa namanya. Nenek ini belum lama ada di tikungan itu, mungkin sekitar 2-3 tahun. Di awal kemunculannya nenek itu berkulit terang dan bersih, wajahnya juga ga jelek-jelek amat sih. Saya yakin waktu mudanya lumayan manis karena udah tua aja masih kliatan bentuk mukanya mungil, hidung mancung dan bibir tipis. 

Setiap sore nenek itu berdiri di pinggir jalan memegang gelas bekas air mineral. Nenek itu tidak pernah pasang muka minta dikasihanin kayak kebanyakan pengemis di jalanan yang sengaja pakai baju compang camping, malahan pura-pura cacat dan pasang muka memble mau nangis. Nenek itu mengharapkan sumbangan dari pengendara mobil yang lewat di jalan itu dengan gaya berkelas, berpakaian rapi dan tidak memelas. Nenek itu melakukannya dengan gaya sophisticated.  

Selang beberapa bulan nenek tikungan itu kulitnya mulai tampak gelap dan kumal, tapi pakaiannya tetap sama, daster dibalut blazer dan jilbab yang tidak pernah terlihat compang-camping walaupun bukan baju bagus. Belakangan nenek itu sering tampak berdiri dengan wajah yang lebih pucat dari hari-hari yang lain dan terbatuk-batuk. 

Tahun lalu di hari Jum'at, saya dan Chacha lagi duduk-duduk di Masjid Nabawi, Madinnah menunggu waktu sholat. Kemudian datang di sebelah kami rombongan perempuan-perempuan mengenakan abaya hitam yang menandakan rombongan dari daerah Arab dan sekitarnya. Di sebelah saya duduk seorang nenek, kecil mungil. Nenek itu ngeliatin saya, trus saya senyumin. Nenek itu nunjuk-nunjuk hidung saya sambil bicara dengan bahasa arab yang saya artikan dengan bahasa kalbu nanya asal saya dari mana. 

Saya menjawabnya, "Indonesia." 

Nenek itu kemudian bilang," Yaman? Yaman?" masih nunjuk-nunjuk hidung saya.

Di Madinah kalau lagi jalan di toko-toko, saya dan Papa Said memang suka diteriakin Yaman. Mungkin karena mereka lihat tipe wajah saya begini, kemudian liat gaya pakaian saya yang jamaah Indonesia banget. Nah karena tipe muka kayak saya dan Papa Said yang banyak di Indonesia itu adalah dari keturunan orang Yaman maka mereka langsung menebak kayak gitu.

Dengan bahasa Arab sepatah-patah yang saya gabung dari penggalan-penggalan kata yang saya tau saya berusaha menjelaskan kalau, iya memang kakek saya dari yaman, tepatnya dari Hadramut.

Eh tiba-tiba tu nenek langsung memeluk saya terus mengusap-ngusap kepala. Parahnya lagi dia mulai nyerocos ngomong panjang lebar bahasa Arab, saya cuman bisa ngeliatin sambil nyengir. Chacha duduk disebelah saya dengan muka ngantuk-ngantuk cuman ngelirik ga minat ketika saya melihatnya dengan tatapan minta tolong, "sukurin lo kak, lagian cari gara-gara sok ngomong arab. Gw ga ikut-ikut," katanya acuh tak acuh.

Nenek itu masih terus berbicara panjang lebar, asik bercerita. Saya memasang muka 'seolah-olah mengerti' sambil mengangguk-angguk.

Saya diselamatkan oleh Adzan yang berkumandang. Nenek itu langsung menarik lengan saya untuk merapatkan barisan dengan perempuan-perempuan dari kelompoknya. Bahkan ketika ujung bawah kain mukena saya tertiup angin dan ujung jempol saya yang terbungkus kaus kaki tipis tersingkap, nenek itu menginjakan ujung kakinya di atas ujung jempol saya untuk menutupinya dengan kain abayanya. Ketika selesai sholat dan mau bersiap meninggalkan Masjid, saya dan nenek misterius itu mengucapkan perpisahan, nenek itu masih memeluk saya sambil berkata berulang-ulang, "Barakallah, Barakallah."

Selepas kepergian nenek itu dan rombongannya saya dan Chacha cuman bisa liat-liatan. 

Klimaks dari cerita ini adalah ketika saya sudah kembali di Jakarta, ketika di jalan pulang dari kantor menuju rumah saya melewati tikungan tempat Nenek Tikungan biasa berdiri kemudian saya tersentak tidak percaya. Ketika saya lihat wajah Nenek Tikungan itu mirip sama Nenek yang saya ketemu di Nabawi waktu hari Jum'at itu. Saat itu saya pengen nangis, antara berasa aneh dan merinding. Sejak Nenek itu mulai berdiri di tikungan itu saya merasa tertarik untuk bersedekah sama si nenek karena profilnya. Saya ga pernah kepikiran bakal ketemu nenek yang mirip Nenek Tikungan di Arab yang mem- Barakallah - in saya di halaman Masjid Nabawi waktu hari Jumat. 

Ga tau itu pertanda atau kebetulan, yang jelas buat saya ini adalah peristiwa yang bikin merinding dan misterius, yang entah kenapa buat saya kayak semacam pembenaran dalam diri bahwa Tuhan itu tahu apa yang kita perbuat walaupun orang lain ga ada yang tau dan Dia punya caranya sendiri untuk 'menyentuh' hati kita di saat kita ga akan pernah bisa menduganya.

Senin, 14 Juli 2014

Lembang Floating Market

Selalu ada yang baru di Bandung (dan sekitarnya). Sejak adanya toll Cipularang, kota yang pernah jadi lautan api ini progresif banget perkembangannya. Rumah-rumah jaman Belanda jaman kolonial yang kokoh dan dingin dengan halaman yang luas dan rindang satu persatu mulai tumbang digantikan dengan model rumah modern. Buat yang ada di atau dekat jalan sibuk berubah fungsi menjadi Factory Outlet atau Cafe/Restoran. Saya curiga jangan-jangan tiap satu minggu ada saja cafe baru, rumah makan baru, hotel baru yang buka di sana. 

Tempat kos saya waktu di Bandung dulu berada tidak jauh dari kawasan Dago, nah tidak jauh dari Kos saya, di pojokan jalan ada rumah tua yang katanya sempat masuk di 10 scariest place on .... saya lupa on apa. Tapi bahkan rumah tua yang angker pun harus mengalah dengan kemajuan, beberapa waktu lalu saya lihat rumah itu sudah berubah jadi bangunan baru. Entah bagaimana nasib tante kunti / teteh juju jurig / mbah genderuwo yang pernah tinggal disitu. Kasian banget kuburan digusur, jadi setan pun masih kena gusur *puk puk dedemit* 

"Cha, ini baru nih di Bandung," kata saya sembari menunjukan foto salah satu teman saya di Path.  

Lembang Floating Market.




Di jalan menuju Lembang saya dan Chacha masih sibuk meng google posisinya karena papan penunjuk menuju tempatnya jarang terlihat. Kami menuju ke arah pasar Lembang, memutarinya mengikuti arah satu jalur ke arah kembali ke Bandung, nanti baru ada papannya besar di kiri jalan.

Parkirannya luas sekali dan waktu kami tiba disana sekitar pukul 11, sudah banyak mobil parkir dan ada banyak Bus juga karena hari itu hari libur. Di pintu masuk parkiran dikenakan charge per orang untuk masuk ke Floating Market nya. "Kupon nya bisa ditukar satu free drink di dalam ya, kak," kata petugas karcis yang mengenakan topi caping dan baju hitam seperti orang-orangan sawah.

Kalau pernah ke Kampung Daun pasti menemukan kesamaan konsep disini. Bedanya disini dibuat semacam food court, kita beli koin untuk ditukarkan dengan makanan yang mau kita beli. Nah, sama seperti di Ah-Poong yang ada di Sentul City.  Uniknya di sana kios penjual makanannya berupa perahu yang bersandar di pinggir danau, jadi kita belinya langsung di perahu. Ati-ati nyebur ya. Koin-koin itu juga bisa ditukar untuk naik perahu, sepeda air, pijat refleksi terapung.






Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...