Jumat, 19 Agustus 2016

Catatan di Tahun ke-34

Ada orang yang senang jalan-jalan karena suka petualangan, senang melihat tempat baru, ketemu orang baru, foto-foto untuk kenang-kenangan. Ada orang yang perjalanan travelingnya berawal dari perasaan sedih, dari perasaan tersesat dalam hidup dan keinginan untuk mencari jawaban. Ada orang yang perjalanannya dimulai karena kehilangan sesuatu dan berusaha mencari gantinya. Tapi intinya sama, orang traveling karena kepingin bahagia. 

Banyak yang bilang kalau kita gak perlu cari kebahagiaan jauh-jauh, karena bahagia itu ada di dalam diri kita. Tapi kadang untuk menemukan sesuatu yang ada di dekat atau di dalam diri kita, kita perlu melihat keluar dan pergi jauh dulu. 

Kalau ada yang pernah baca buku Alchemist-nya Paulo Coelho, si pemeran utama menghabiskan waktu bertahun-tahun dan perjalanan jauh yang berliku hanya karena mimpi lihat piramida di mesir dan menemukan harta karun. Tapi ketika akhirnya dengan segala macam perjuangan dia sampai di mesir, ternyata harta yang dia cari ada di bawah pohon tempat dia tidur siang pas lagi mimpi itu. 

Walaupun tidak se-ekstrim pengalaman hidup Elizabeth siapa itu di buku Eat, Pray, Love yang merasa depresi dalam hidupnya kemudian pisah dari suami dan traveling sendiri selama berbulan-bulan. Gak juga mendekati pengalaman hidup Cheryl Strayed di buku Wild yang ketika ibunya meninggal karena penyakit kanker kemudian memutuskan hiking sendirian di gunung selama 4 bulan. Tapi ada miripnya sedikit dengan kedua perempuan itu, saya memulai jalan-jalan ini karena sedih. Saya pergi karena sedih dan mau cari sesuatu yang bisa bikin saya bahagia, hingga akhirnya saya sadar kalau tidak perlu kemana-mana untuk bahagia, semua itu ada di dalam diri kita sendiri.

Yup, waktu kawan saya dulu pertama ngajak saya backpacking perdana ke Singapura, saya langsung meng-hayuk-kan tanpa pikir dua kali karena saya lagi sedih dan tidak stabil secara emosional. Waktu itu umur saya 26 tahun. Memang sebelumnya pekerjaan saya banyak travelingnya, tapi ketika memutuskan untuk backpacking pertama itu saya lagi sedih, bukan karena aslinya saya adalah orang yang suka adventure dan berpetualang. Selama ini memang saya selalu denial tentang alasan asli saya pergi waktu itu, tapi kalau saat situasinya beda mungkin saya akan menunda pengalaman backpacking pertama saya dengan alasan tidak punya cukup uang. Apalagi saat itu saya juga baru saja berhenti dari pekerjaan sebelumnya dan belum dapat yang baru. 

Waktu itu ketika saya menulis tentang pengalaman backpacking pertama ke Singapura dan kuala lumpur itu saya mengutip kalimat Paulo Coelho yang diambil dari buku Alchemist itu, "when you want something all the universe conspire to help you." Beberapa tahun berlalu, setelah melalui banyak hal, belajar banyak, dan mengalami proses evolusi dalam cara berpikir, sekarang saya gak percaya hal itu sama sekali. 

When you want something, the universe will not conspire to help you. They will against you. Mereka akan merintangi, menghalangi, mencoba menjauhkan kita dari hal yang kita inginkan itu. Yang bisa membuat kita mendapatkannya hanyalah seberapa besar kita menginginkannya dan rela berusaha mendapatkannya. Hidup ga semudah itu.

Tapi ada saatnya kapan kita harus usaha, ada saatnya kita hanya harus menunggu waktu yang tepat. Bahkan cowo di buku itu juga ada saat dimana dia harus nunggu beberapa tahun kerja di toko sebelum melanjutkan perjalanannya lagi lihat piramida. Tantangannya adalah, bagaimana kita tahu kapan harus berusaha, kapan harus menunggu dan kapan harus merelakan sesuatu yang kita inginkan.

Yang membuat saya kepikiran menulis ini karena beberapa hari lalu saya dan salah satu kawan terlibat diskusi. Berawal dari kawan saya suruh saya supaya berusaha cari jodoh. "Cari donk!" katanya, "berdoa kek, tahajud gitu." Saya jawab, iya saya doa kog, doa saya agar diberi yang terbaik dalam hidup. Saya percaya apabila saat ini saya belum dikasih jodoh berarti ini jalan hidup yang terbaik dan saya sudah dikasih lebih banyak hal selain itu dalam hidup saya. Apa yang saya dapat kan tidak harus sama seperti yang didapat orang lain. Jalan hidup orang tidak harus sama semua, ini bukan eropa abad ke-18 atau ke-19 dimana kita harus mencapai standard kehidupan tertentu supaya bisa diterima society. 

Ketika kelas 5 sd, saya pernah tanya sama papa saya. Kalau misalnya orang ditakdirkan kaya dia gak usah kerja bakal tetap jadi kaya donk, sementara orang yang ditakdirkan miskin mau kerja bagaimana pun tetap miskin. Entah di titik mana dalam perjalanan ini saya mulai mengerti bahwa ada takdir yang tidak bisa kita ubah seperti lahir dan mati, kita gak bisa pilih kapan kita lahir atau kapan kita mati. Tapi kita dikasih hidup bukan hanya untuk kemudian mati, kita dikasih pilihan mau jadi apa dalam hidup. Jadi kita bisa pilih mau jadi jahat atau baik, mau jadi kaya atau miskin, walaupun di dunia ini gak ada yang betul-betul hitam atau putih.

Misalnya kaya atau miskin, itu relatif bagaimana kita memilih untuk memandangnya. Ada orang yang punya segalanya, punya uang banyak, tapi tetap merasa kurang karena belum punya ini itu. Ada orang yang walaupun gak punya banyak tapi merasa cukup kaya. Ukuran seberapa kaya pun relatif. Buat orang yang gak punya mobil, orang yang punya Avanza dibilang kaya. Buat orang yang punya Avanza, kaya itu kalau udah punya Mercedes. Sementara orang yang punya Mercedes tetap saja merasa uangnya gak pernah cukup dan berusaha supaya uangnya makin banyak. Dan semakin banyak uangnya, hidupnya makin gak tenang karena makin takut kehilangan semua yang dia punya.

Jadi kita tidak bisa memilih kapan dan dimana kita dilahirkan. Kita tidak tahu kapan, dimana dan bagaimana kita akan mati. Tapi diantara itu kita kan harus hidup. Nah disinilah kita bisa memilih mau dijalanin seperti apa. Satu, kita bisa pilih untuk menyadari dan menikmati apa yang kita punya saat ini. Atau dua, menginginkan sesuatu yang kita gak punya saat ini hanya karena semua orang yang kita kenal punya sehingga waktu yang kita punya saat ini dihabiskan untuk usaha sehingga kita gak sadar sama apa yang kita punya sekarang dan gak sempat menikmatinya. Saya pilih nomor satu.

Bagaimana dengan orang-orang yang hadir dan pergi semasa hidup kita? Kita juga gak bisa memilih siapa yang akan kita temui dalam hidup ini kan? Apakah orang yang kita temui itu akan bikin kita bahagia. Atau orang yang kita temui akan melukai kita dan bikin kita sedih. Apakah orang yang kita temui itu akan jahat sama kita atau malahan akan jadi penolong disaat kita susah. Kita tidak bisa memilih dan tidak akan pernah tahu orang datang dalam hidup kita akan jadi apa, bisa jadi suatu saat orang yang datang ke hidup saya akan jadi jodoh saya atau bisa jadi orang itu sudah ada disekitar saya tapi memang belum waktunya.

Yang pasti menurut saya semua orang yang kita temui adalah pelajaran dalam hidup dan kita bisa memilih pelajaran itu akan kita gunakan untuk hal berguna apa di hidup kita kemudian harinya.

Kalau saya tidak ketemu sama orang yang bikin sedih mungkin saya tidak akan jadi pribadi yang seperti sekarang, mungkin saya pada akhirnya tidak akan pernah kemana-mana, tidak lihat banyak hal, tidak ketemu banyak orang baru, tidak belajar hal baru sebanyak sekarang ini. Yang terpenting adalah, mungkin saya tidak akan pernah ketemu dengan diri saya sendiri sehingga saya tidak akan pernah tahu apa saja yang mampu saya lakukan - what i'm capable of.

Saya memang gak bisa memilih akan bertemu siapa. Apakah orang yang saya temui akan bikin saya bahagia atau membuat saya sedih. Tapi sekarang saya malah harus berterima kasih sama orang yang bikin saya sedih waktu itu, because when you pushed me off the cliff, i didn't fall and die, i was flying.

Jumat, 12 Agustus 2016

Silom Village Inn, Bangkok

Ada 3 hal yang saya pertimbangkan dalam memilih hotel waktu trip ke Bangkok tahun ini. Pertama, ada rumah makan halal dekat dengan lokasi hotel. Kedua, lokasinya tidak terlalu jauh dari lokasi yang mau dikunjungi dan akses kendaraan mudah. Ketiga, walaupun saya cari hotel yang lokasinya tidak jauh dari pusat keramaian tapi saya menghindari lokasi hotel yang berada di pusat keramaian, karena untuk masuk dan keluar hotel biasanya agak ribet karena terhalang macet. Bangkok macetnya nyaris sama seperti Jakarta.

Atas dasar pertimbangan diatas saya pilih lokasi daerah Silom. Di daerah ini ada tiga stasiun BTS yaitu Chong Nongsi, Surasak dan Saphan Taksin. Dekat juga dengan dua dermaga (pier) untuk naik Chao Praya Express,  yaitu Sathorn pier dan Oriental pier. Kalau mau ke daerah pusat pertokoan seperti Siam square dan Pratunam juga tidak jauh, bisa naik taksi. Bahkan ketika disana sempat juga naik tuktuk dari MBK ke hotel di Silom karena antrian taksi panjang, ongkosnya memang sama seperti taksi tapi naik tuktuk ternyata lebih cepat sampai walaupun pakai olahraga jantung.

Di Silom banyak hotel yang bagus-bagus dan tidak mahal. Yang letaknya dekat sungai Chao Praya adalah hotel-hotel mahal bintang 5. Setelah lihat-lihat banyak pilihan hotel di Agoda, saya tertarik dengan Silom Village Inn. Menurut websitenya, bangunan hotel ini desainnya bangunan tradisional thailand yang dibangun di tahun 1900-an menggunakan teak wood. 

Sampai disana ternyata di dalam lokasi Silom Village Inn juga ada restoran, panggung pertunjukan, kios-kios merchandies khas thailand, spa & thailand massage. Saya booking kamar deluxe yang berada di bangunan lama yang dibangun dari teak wood, tapi karena bangunan lama jadi tidak ada lift, harus naik tangga. Kamarnya luas dan bersih, desainnya klasik dan sederhana. Lumayanlah, sesuai dengan rate yang dibayar.

Saya ambil paket kamar yang tidak termasuk sarapan karena biasanya juga percuma karena sarapannya tidak halal. Tapi pas disebelah hotel ada seven-eleven jadi gampang kalau pagi-pagi mau beli kopi. Selain itu juga tidak jaug dari hotel ada pasar yang pagi-pagi sudah ramai jual sarapan. Di ujung pasar ada mesjid kecil, jadi disekitar situ banyak ibu-ibu pakai kerudung yang jualan. 

Malam hari dari hotel bisa jalan kaki ke Patpong Night Market. Ke Ratanakosin, tempatnya Grand Palace (Wat Phra Kew) dan Sleeping Buddha bisa naik Chao Praya Express dari dermaga, kami waktu itu naik tuktuk ke oriental pier untuk naik express boat. Cari makanan halal juga tidak sulit disekitar situ, bisa dilihat di postingan saya yang Edisi Ngiler [Part 3].

Silom road sepertinya termasuk jalan yang sibuk, di pagi hari dan malam hari jalanannya padat merayap, motor-motor jalan di trotoar juga persis kayak di Jakarta. Tapi untungnya disana hanya macet ketika rush hour, selain itu cukup lenggang. Pagi-pagi banyak orang kantor yang take away sarapan di seven-eleven dan gerobak-gerobak di pinggir jalan. 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...