Rabu, 07 Maret 2018

Leyeh-leyeh di Taman Sritanjung Banyuwangi

Taman Sritanjung adalah taman kota yang terletak di Kota Banyuwangi. Tempatnya asik buat nongkrong sore-sore. Ada air mancur, hiasan lucu-lucu yang digantung di pohon-pohonnya, halaman yang luas dan bersih. Taman ini instagrammable. 

Pose di depan air mancur taman sritanjung

Di pinggir taman ini juga ada warung-warung penjual makanan yang terkoordinasi dengan rapih. Harganya murah meriah. Disediakan meja di bawah pohon, duduknya selonjoran. Sore-sore duduk-duduk dibawah pohon, ditemani segelas kopi dan semilir angin memang kegiatan yang cocok untuk melepas stress. Selain kopi, saya juga coba semacam tahu goreng yang agak unik. kayak baso tahu tapi beda, lebih enak, tahunya digoreng sampai crunchy banget. Sayangnya saya lupa namanya apa. Hmm... jadi pengen lagi deh.

warung di taman sritanjung

Tahu lupa namanya :p

Saya, Pagit dan Susi menghabiskan waktu disana hingga malam, menunggu jadwal kereta dari stasiun banyuwangi baru ke Surabaya. Toilet umum yang disediakan juga bersih. Sejak menginjakan kaki di Banyuwangi saya agak kaget dan kagum dengan kerapihan dan kebersihan kota kecil di ujung timur pulau Jawa itu. Selama ini yang saya tahu dari Banyuwangi hanya legenda seorang istri yang berusaha membuktikan kesetiaannya dengan terjun ke laut hingga airnya jadi wangi, banyu-wangi. Ternyata asik juga buat liburan. Saya juga baru tahu kalau di Banyuwangi banyak festivalnya, jadi makin pingin balik kesana ketika ada festival seru. Pingin balik juga karena kemarin belum sempat ke Alas Purwo. 

Semoga di waktu mendatang ada acara race marathon yang digelar di Banyuwangi, pasti deh saya daftar duluan. 


Kamis, 15 Februari 2018

Mengejar Blue Fire di Kawah Ijen

Satu lagi daftar di bucket list saya yang sudah bisa dicontreng, yaitu lihat Blue Fire di Ijen. 

Blue Fire saya masukan ke dalam rangkaian Birthday Trip. Sama seperti Baluran, Kawah Ijen terkenal melalui promosi pariwisata kabupaten Banyuwangi walaupun sebenarnya Ijen letaknay di Bondowoso. Ya, di perbatasan antara kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Bondowoso tepatnya. 

Baluransquad, yaitu saya, Pagit dan Susi mendapatkan rental mobil ke Ijen dari petugas ranger di Baluran, kebetulan adiknya yang mengantarkan kami. Pagit memutuskan tidak ikut mendaki ke Ijen, jadi dari Taman Nasional Baluran kami mampir ke Banyuwangi dulu mencari hotel untuk menitipkan Pagit sementara saya dan Susi akan berangkat ke Ijen.

Kami bertolak petang hari dari Baluran, sampai di kota Banyuwangi malam hari. Saya pun sempat tidur-tidur ayam sampai alarm berbunyi pukul 12 malam yang menandakan waktunya berangkat ke Ijen. Kami sudah harus tiba disana pukul 2 dini hari untuk memulai pendakian supaya tiba di puncak sebelum sunrise dan masih sempat lihat Blue Fire.

Sampai di Ijen ternyata dingin banget, saya hanya pakai jaket kaos tipis. Untungnya disana banyak yang jual sarung tangan, saya langsung beli sepasang. Tiket masuknya untuk wisatawan domestik Rp.5000 per orang. Kami berjalan mengikuti arah jalan wisatawan, banyak yang menawarkan gerobak untuk dinaiki dan ditarik sampai ke atas, jadi gak jalan kaki sampai ke kawahnya. Enak bener kan. Jalannya memang menanjak tapi relatif mudah. Cuma agak ngeri aja di jalan setelah lewat pos yang ada warungnya, karena jalannya di pinggir jurang, masih gelap dan anginnya kencang sekali sewaktu saya kesana itu. 

Sebelum naik ke puncak paling atas ada jalan menuju Blue Fire. Jalannya menurun lagi, nah ini agak sulit karena susunan batu-batu dan terjal. Jalan menuju Blue Fire sudah antri ketika kami tiba disana. Susi memutuskan menunggu diatas dan tidak turun lihat Blue Fire. Saya sewa masker N90 sama bapak-bapak karena katanya bau belerang dibawah sangat kuat. 

Blue Fire terletak di lokasi yang juga adalah tambang sulfur, jadi para pengunjung harus berbagi jalan dengan penambang sulfur yang bolak balik, naik keatas memikul bongkahan-bongkahan belerang. Api biru itu ternyata punya efek mesmerizing, kayak hipnotis gitu sangking kerennya. Sayangnya kamera handphone saya tidak bisa menangkap cahaya birunya. Karena tidak kuat bau belerang yang menyengat dan karena sudah semakin banyak orang di bawah, saya langsung naik lagi. Naiknya pun antri, dan gantian dengan pengunjung yang baru mau turun. 

Setelah mengembalikan masker, saya cari Susi. Dia lagi duduk di depan api unggun yang dibuat oleh penambang sulfur. Dini hari itu memang angin super kencang dan sangat dingin. Dinginnya sampai menusuk tulang belulang. Hidung saya saja rasanya sudah mati rasa. Ketemu hangatnya api unggun itu rasanya anugrah banget. Ketika banyak orang yang mendaki lagi hingga ke paling puncak untuk lihat sunrise, saya sudah malas beranjak. Lagi pula kata orang situ sunrise nya lagi kurang kelihatan karena sudutnya lagi kurang bagus. Dan di tempat saya duduk, di pinggir kawah juga, mataharinya juga kelihatan. 


Kedinginan di Ijen

Akhirnya saya dan susi duduk anteng menunggu matahari terbit di tempat itu. Ketika sudah mulai terang dan foto-foto, angin makin kencang. Saya minta ijin sama Susi untuk turun duluan dan menunggu di warung karena saya kedinginan dan lapar. Susi masih asik foto-foto. Sampai di warung saya langsung pesan mie instant hangat dan kopi hitam. Saya makan sambil ngobrol sama mbak-mbak, menunggu susi. 

Sudah lama menunggu Susi belum kelihatan. Jangan-jangan susi lupa letak warungnya, pikir saya. Saya pun jalan lagi ke mobil. Ternyata Susi sudah ada di dalam mobil. Katanya dia cari saya di warung tapi saya gak ada. Padahal warungnya kecil banget dan cuma ada 3 orang didalam warung ketika saya disana. Anehnya Susi merasa saya berjalan tidak jauh di depan dia, bahkan ada foto saya dari belakang. Padahal kalau dihitung-hitung waktunya, saat foto itu adalah saat saya lagi makan mie instant di warung, mana mungkin saya bisa ada di depan susi tapi sampai di mobil belakangan. Jalurnya hanya satu arah, gak ada belok-beloknya.

Jeng..jeng..jeng...


Kamis, 08 Februari 2018

Lombok Marathon 2017 yang diselenggarakan di 2018

Inget kan postingan saya tentang Force Majeure ? kalau tidak ingat atau belum pernah baca bisa klik lagi link warna birunya. 

Setelah galau dan sempat malas mau ikut lari, akhirnya 3 hari menjelang acara saya beli tiket juga. Malasnya itu karena semangatnya untuk ikut race sudah anti-klimaks. Latihan yang untuk HM pun sudah keteteran karena awal januari saya sudah mulai training plan dari awal lagi untuk Full Marathon. 

Saya berangkat dengan persiapan minim banget, saya pikir toh ini bukan half marathon pertama. Gak ada carbo-loading beberapa hari sebelum race, ga mikirin minum yang banyak untuk hidrasi dan gak tappering karena lagi ngikutin training plan FM. 

Saya berangkat Sabtu pagi. Di pesawat, cowo yang duduk di sebelah saya potongannya jelas atlet banget, kelihatan seperti orang dari bagian timur Indonesia sih. Sewaktu ditawarkan makanan sama pramugari dia menolak dan hanya minta air putih. Ketika mau keluar pesawat saya melihat backpack yang dipakainya ada tulisan NYC Marathon. Sampai lombok langsung ke epicentrum mall untuk pengambilan race pack. Saya baru tahu kalau di Lombok ada mall besar yang isinya Starbuck, Jco, Giordano, etc etc. Keren juga. Ambil race packnya tidak pakai antri, mungkin karena saya tiba disana jam 11an jadi masih sepi. 

Selesai ambil racepack saya rencana mau cari makan siang bergizi dulu di mall sebelum ke senggigi, tempat saya booking penginapan. Kemudian saya lihat ada orang norak lagi gangguin orang Kenya. Orang norak itu pakai kaos tim lari angkatan senior almamater saya. Sudah tidak aneh lagi kalau menemukan almamater yang kelakuannya norak sih. Jadi orang itu lagi maksa orang Kenya foto bareng dia di depan backdrop  Lombok Marathon dan orang Kernya yang malang itu dipaksa pakai sarung. Muka orang Kenya tersebut tampak bingung dan sedikit takut. 

Orang norak itu melihat saya lewat dan minta tolong saya fotoin mereka. Waktu balikin handphonenya saya basa-basi, membuka percakapan dengan membahas kaos tim yang dipakainya. Ternyata dia juga sendirian ikut Lombok Marathon. Singkat cerita, dari hasil pertemuan yang tidak disengaja ini saya dapat rejeki : ditraktir makan siang, dapat tebengan gratis ke Senggigi dan ditraktir makan sore menu khas Lombok yang sangat mewah. The perks of Nepotisme.

Sebenarnya target saya finish 2 jam 45 menit, tapi karena memang kurang latihan, di km 17 sudah mulai jalan karena sudah tidak mampu lari. Yah jadi target belum tercapai. Kalau mau Full Marathon saya memang harus break limitation saya di kilometer 17, saya gak tau kenapa disitu selalu batas dimana saya mulai merasa falling apart physically dan mentally. Pun yang terjadi di race HM sebelum-sebelumnya seperti itu. Cerita tentang lari di Lombok Marathon ini telah saya publish di Vlog. Like dan Subscribe yaaah..



Jumat, 02 Februari 2018

Naik Kereta Bandara Soekarno Hatta

Pulang dari Lombok kemarin kesempatan saya mencoba Kereta Api Bandara yang belum lama diresmikan Presiden Joko Widodo. Sekalian juga saya mau coba naik Skytrain bandara yang juga masih baru, cuma berselang beberapa bulan dari Kereta Api Bandara. 

Untuk menuju ke Stasiun Bandara Soekarno Hatta dari terminal 1, 2 atau 3 bisa menggunakan shuttle bus bandara atau sky train. Saya tiba di Bandara dengan pesawat pagi dari Lombok. Sampainya sih jam 7 pagi tapi saya makan dulu jadi baru jalan ke arah stasiun skytrain jam 7.30. Skytrainnya sepi. Dari terminal 1 saya turun di stasiun kereta bandara. 

Stasiun Bandara juga masih sepi, mungkin karena masih baru dan belum banyak yang tertarik naik kereta karena masih mudah dapat taksi atau damri. Mungkin juga sepi karena masih pagi, kios-kios jualan makanan dan minuman juga belum ada yang buka. Saya celingak celinguk di ruangan yang sepi itu kemudian lihat mesin beli tiket. Saya segera menuju mesin  yang kosong.

Mesin untuk beli tiket tersebut tampaknya tidak menerima uang cash. Jadi ada 3 metode pembayaran: Kartu Prepaid (Brizzi, BNI tap), Kartu Debit/kredit, voucher. Saya tidak punya kartu prepaid dari bank yang bisa dipakai, yang saya punya e-money malahan belum bisa digunakan di mesin itu. Jadi saya pilih metode pembayaran menggunakan kartu debit. Mesin EDCnya disediakan, jadi kita swipe sendiri kartu kita dan memasukan kartu pin. 

Awalnya saya bingung karena ketika saya swipe layar monitor tidak menunjukan perubahan, saya pikir swipe nya belum terdeteksi, ternyata ada tulisan masukan pin di mesin edc nya. Untung ada mas-mas baik hati yang nyamperin dan ngasih tau saya ketika saya tampak kebingungan.

Setelah masukan pin, kita pilih jadwal keberangkatan kereta jam berapa. Harga tiketnya 70ribu, berhenti di Stasiun Sudirman Baru. Jadwal kereta bisa dilihat di websitenya www.railink.co.id. Ruang tunggu stasiunnya edgy banget desainnya. Kita masuk ke dalam kereta dengan menempelkan barcode tiket kita di portal masuk. Nanti keluar juga tempel barcode, jadi tiketnya jangan sampai hilang.

Kereta bagus dan masih sepi. Lagi-lagi saya bingung karena di keretanya ada nomor tempat duduk sementara di tiket saya tidak ada nomor bangkunya. Pemberhentian pertama di Stasiun Batu Ceper. Setelah itu Baru di Stasiun terakhir, Sudirman Baru. Stasiunnya ternyata tidak menyambung dengan stasiun KRL dalam kota, jadi akhirnya saya naik taksi dari situ ke kantor saya di wilayah pancoran. Argonya 50 ribu.

Kalau dihitung-hitung, apabila saya langsung naik taksi dari bandara ke kantor, termasuk bayar toll mungkin biayanya sekitar 150rb-160rb. Dengan naik Kereta Bandara, 70 ribu tambah 50 ribu, jadi 120ribu. Bedanya tidak begitu jauh apabila saya pergi sendiri. Kalau perginya berdua atau bertiga masih lebih murah naik taksi. 

Mungkin dengan kereta waktu tempuh lebih cepat karena tidak macet. Tapi kalau berhentinya di tengah-tengah sudirman sementara rumahnya di bekasi, ya sama saja sih.  Misalkan saja kereta bandara boleh berhenti di stasiun-stasiun krl yang terhubung dengan rute dalam kota, nah itu lebih enak lagi. Setidaknya dengan adanya kereta bandara ini merupakan suatu kemajuan dalam sistem tranportasi umum di Jakarta yang saya lihat makin banyak kemajuannya.




Kamis, 25 Januari 2018

Birthday Trip; Menginap di Baluran

Diluar ekspetansi ternyata penginapan yang kami tempati jauh dari bayangan saya tentang gubug reyot di tengah hutan. Penginapannya bagus. Rumah panggung dari kayu yang bers
ih dan nyaman. Tapi listrik hanya ada mulai dari jam 6 sore hingga jam 10 malam saja, karena pakai genset.

Sebelumnya juga kami khawatir soal makanan, takut susah. Ternyata sebelah penginapan ada warung makan yang komplit, ada nasi, mie instant, kopi, cemilan. Harganya pun gak jauh lebih mahal mentang-mentang warung satu-satunya disitu. Harganya wajar. Ternyata kami tidak sendirian, banyak mahasiswa yang sedang penelitian. Disana ada juga semacam asrama untuk penginapan mahasiswa yang sedang penelitian. Jadi warung satu-satunya itu ramai juga kalau siang. Bukanya hanya sampai sore, tapi saya sempat beli dan bungkus buat makan malam. Walaupun ketika disimpan dikamar ada semacam misteri tentang hewan apa yang menggerogoti ujung bungkus makanan saya itu. 

Warung makan di Baluran

Kami sangat bersemangat ketika tiba di Baluran. Setelah menyimpan barang-barang didalam kamar, kami langsung menjelajah savanna. Di baluran ada dua area savanna (yang kami tahu dan kami lewati), Savana Bekol dan Savana Bama. Di Savana Bama ada pantainya, namanya Pantai Bama. 

Penginapan kami letaknya di Savana Bekol, tepat di depan rak yang berisi tengkorak kepala-kepala kerbau dan banteng yang menjadi ikon Baluran. Ternyata kalau sore hari savanna depan penginapan kami jadi tempat berkumpul kerbau dan burung merak. Jarak dari Savana Bekol menuju Pantai Bama kira-kira sekitar 3 km, kami putuskan untuk jalan kaki sambil berharap bisa ketemu satwa-satwa di perjalanan. 

Berjalan di tengah savanna yang luas dan terbuka memang sangat terekspos, susah cari tempat sembunyi kalau ketemu musuh atau predator. Satu-satunya cara mungkin adalah lari. Apalagi kalau kita, manusia yang jalannya tegak, mungkin lebih aman kalau kita jalannya melata. Mengalaminya sendiri saya baru mengerti keuntungan nenek moyang kita berjalan tegak. Dengan jalan tegak, kedua tangan bebas bisa untuk memegang senjata untuk bela diri. Walaupun saya pernah baca kalau homo sapien itu tubuhnya berevolusi agar bisa berlari secara efisien, tapi kalau soal kecepatan masih kalah jauh sama banyak jenis predator. 

Iya, ini ada hubungannya sama lari. Konon katanya tubuh homo sapien – ya kita-kita ini, beradaptasi dan berevolusi untuk dapat berlari efisien. Salah satu fitur hasil evolusi diantaranya adalah pori-pori di kulit yang membuat kita bisa berkeringat dari kulit. Keringat fungsinya mendinginkan tubuh, sehingga homo sapien bisa kuat lari lebih lama dibandingkan mamalia atau hewan lain yang tidak bisa berkeringat. Kebanyakan hewan kalau kepanasan hanya keluar air dari lidah, sehingga tubuhnya lebih cepat panas dan gak kuat lari jauh. 

Homo sapien berlari di savanna bukan hanya untuk menghindar kalau dikejar predator, tapi juga untuk mengejar buruannya. Menurut para ahli, cara berburu manusia ketika senjatanya belum canggih ya dengan mengejar mangsanya hingga mangsanya kelelahan sehingga lebih mudah diserang. 

Sebenarnya jenis satwa penghuni Baluran sangat banyak, tapi yang bisa kami temui kebanyakan hanya rusa, merak,monyet dan kerbau. Ada juga burung-burung yang kami tak tahu namanya. Katanya ada juga Lutung, macan, anjing hutan dan masih banyak lagi. Tapi kalau mau lihat hewan-hewan yang lain harus benar-benar dicari dan ditunggu di tempat-tempat yang bisa mereka datangi. Datangnya juga harus lebih duluan dan sembunyi, karena kalau tahu ada manusia hewan-hewan liat itu pada ngumpet. 

Katanya Banteng di Baluran pun mengalami perubahan perilaku. Banteng yang biasanya berkeliaran siang, di Baluran baru keluar malam hari karena males ketemu manusia. Mungkin mereka menghindari drama jadi males berinteraksi sama manusia. Kami lihat Banteng di penangkaran. Ada juga penangkaran untuk mengembak biakan Banteng di Baluran. Karena populasinya makin sedikit jadi dikembang-biakan di penangkaran. Kalau dibiarkan secara alami makin lama jumlahnya bisa makin sedikit. Mungkin karena mereka keluarnya malem jadi makin susah cari jodoh soalnya gelap. Lah, siang-siang aja saya susah cari jodoh, apalagi malem yang gelap, Teng (Ngomong sama Banteng) 

Penangkaran Banteng


Savana Bama

Pantai Bama


Pantai Bama terletak di ujung Taman Nasional Baluran. Kami tidak eksplor pantainya lebih jauh, tapi disana ada hutan bakau, resort/tempat penginapan dan warung bakso. Rata-rata pengunjung yang kami amati datang ke Baluran rutenya pertama foto di depan tengkorak kerbau, kemudian langsung ke pantai Bama. Jadi pengunjung lebih banyak menghabiskan waktu di pantai. 

Malam hari di savanna suara-suara lebih ramai daripada siang hari. Awalnya saya pikir itu suara Banteng, ternyata setelah keesokan pagi ketemu sama mahasiswa yang lagi penelitian dia menjelaskan kalau suara-suara yang saya dengar malam-malam adalah suara rusa jantan . Saat itu katanya musim kawin rusa jadi rusa jantan lebih agresif katanya, kalau saya bilang sih lebih cerewet. 

Menjelang jam 8 di penginapan kami datang pengunjung lain, dua orang cowo. Mereka datang naik motor. Sempat ada kehebohan karena ternyata kedua cowo itu takut sama tokek. Ketika mereka datang juga mereka ngaku di jalan ketakutan dikejar macan. Gak lama mereka masuk kamar tiba-tiba salah satu teriak-teriak. Gara-gara lihat tokek di dinding.

Sebenarnya waktu mereka datang, sebelum masuk kamar saya sudah bilang kalau sepertinya di kamar itu ada tokek karena saya yang lagi duduk-duduk di teras depan mendengar suaranya dengan jelas. Tapi mungkin karena baru abis ketakutan dikejar macan mereka tidak begitu sadar. Setelah terdengar teriakan kemudian keduanya berhambur keluar, saya masih di teras mengecharge handphone karena listrik hanya akan ada hingga jam 9. 

Mereka kemudian heboh mencoba menghubungi penjaga penginapan, tapi handphonenya tidak aktif atau susah sinyal. Akhirnya mereka memutuskan pergi ke pos jaga dan memboyong penjaga. Bapak penjaga datang tergopoh-gopoh bersama dua cowo itu, mengenakan sarung dan membawa sapu lidi. 

Mereka bertiga masuk kamar, yang saya dengar hanya teriakan kedua cowo itu, suara kaki menghentak-hentak di lantai kayu dan kibasan sapu lidi bapak penjaga penginapan. Kemudian ketiganya keluar dari kamar tanpa membawa tokek, katanya tokeknya kabur melalui celah kayu. 

Tokek yang malang, pasti shock berat dan mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) syndrome kalau lihat manusia. 

Saya terbangun jam 4 subuh. Dari teras penginapan saya melihat ke langit, bintang-bintang masih bertaburan. Bunyi jangkrik masih nyaring. Rasanya masih betah dan ingin tambah semalam lagi. Ketika langit mulai terang saya lari pagi. 

Siangnya saya, pagit dan susi menikmati hari terakhir di savanna bekol, duduk-duduk dibawah pohon, menyesap kopi sambil mengamati kelakuan turis-turis lokal yang datang berkunjung. Hari itu hari Minggu. Sore hari kami beranjak dari Baluran menggunakan mobil yang kami sewa dari koneksi salah satu ranger baluran, menuju Ijen.

Rabu, 17 Januari 2018

Latihan Lari Interval

Dua minggu telah berlalu sejak saya menetapkan niat ikut Training Plan Full Marathon.

Dua minggu ini mood terasa low banget, susah untuk ngumpulin semangat buat lari. Ditambah lagi kebiasaan makan (agak) sehat sudah beberapa bulan ini ditinggalkan, makan kembali gak teratur dan sembarangan. Berat badan gak naik sih, tapi sejak mulai program training rasanya lapar terus, apalagi hari minggu setelah long run dan hari seninnya. Minggu kedua malahan udah mulai lapar terus sejak hari jumat pagi, mungkin jumlah kalori yang masuk kurang, atau bisa juga sebenarnya saya kurang minum. Yang jelas perut gak enak banget karena kurang serat dari buah dan sayur. 

Vlog part 2 juga sudah di publish. Saya cerita soal interval training disitu. Lari interval itu termasuk program latihan lari marathon yang ada dimanapun. Salah satu efeknya adalah peningkatan kecepatan lari atau Pace. Dari hasil riset, browsing sana sini saya berhasil merangkum kegunaan interval training. 

Pertama-tama definisi Interval Training yang saya dapat dari wikipedia kayak gini:

a type of training that involves a series of low - to high - intensity workouts interspersed with rest or relief periods.

Jadi interval training itu adalah latihan dimana kita melakukan gerakan yang bisa berintensitas rendah hingga intensitas tinggi, diselingkan dengan periode istirahat atau rest. Kalau dalam hal lari berarti intensitas tinggi adalah lari pake usaha, rest nya bisa jogging, bisa jalan, bisa juga berhenti. 

Kegunaan Interval Training yang berhasil saya kumpulin dan rangkum dari berbagai sumber kira-kira sebagai berikut:

1. Meningkatkan Level of Fitness  

Level of Fitness biasanya diukur sama yang namanya VO2Max. Makin tinggi nilai Vo2Max maka makin fit. Yang diukur adalah Oksigen atau 02, satuannya adalah ml/min/kg, jadi seberapa banyak oksigen yang mengalir dalam tubuh dengan berat badan sekian dalam waktu 1 menit. Makin tinggi jumlah oksigen yang ada dalam tubuh, maka orang itu makin fit. 

Kalau mau ukur Vo2Max biasanya orang lari di treadmill pakai masker oksigen, dari situ akan ketauan nilainya. Tapi  kebetulan sportwatch Garmin saya ada fiture Vo2Max, saya gak tau seberapa akuratnya, tapi kalau diperhatikan angkanya akan naik kalau pace lari saya naik, mungkin ada rumus hitung-hitungan dengan berat badan dan detak jantung juga. 

Kalau kita melakukan high intensity workout, kayak sprint atau lari cepet gitu, detak jantung atau heart rate akan langsung meningkat. Kemudian turun lagi di fase istirahat atau rest. Repetisi atau pengulangan naik turun detak jantung itu katanya semacam latihan buat jantung supaya makin kuat. Jantung kan tugasnya memompa darah ke seluruh tubuh. Darah itu membawa oksigen untuk disalurkan ke seluruh tubuh. Jadi kalau jantung makin kuat memompanya, aliran darah akan makin lancar, supply oksigen ke seluruh tubuh juga makin banyak. Secara logika dan matematis, maka angka vo2max akan meningkat kalau jantung makin kuat. 

2. Tubuh terbiasa dengan gerakan sprint atau lari cepat. 

Tubuh kita sebenarnya punya memory sendiri yang kadang gak sepenuhnya dikontrol oleh otak. Pernah gak kita jalan dari rute yang tiap hari kita lalui, misalnya dari parkiran mobil ke meja kantor, sementara itu otak kita mikirin hal lain tiba-tiba pas sadar udah sampai di meja. Kita gak ingat momen perjalanan menuju ke meja karena tubuh kita udah otomatis bergerak tanpa harus disuruh otak. 

Kurang lebih itu yang terjadi waktu kita lari. 

Karena gerakan repetitif dalam jangka waktu yang lumayan, lama-lama gerakan itu terekam dalam memory tubuh. Gerakan jogging untuk lari jarak jauh dan lari sprint pasti beda karena kalau lari jarak jauh kecepatan lari kita pelankan supaya hemat energi, sementara di lari sprint kita gak mikir mau hemat energi buat nanti-nanti jadi akan lari secepat-cepatnya. Tubuh kita bisa otomatis menyesuaikan gerakan kayak gitu tanpa perintah khusus dari otak.  

Kalau terlalu lama terbiasa lari di kecepatan hemat energy mungkin lama-lama tubuh kita jadi terlena dan makin lama makin “malas” untuk menambahkan effort lebih untuk memacu kecepatan. Teorinya dengan menyelipkan interval training ke training plan untuk long distance running, tubuh dan otot-otot kita jadi “ingat” gimana caranya untuk lari lebih cepat. 

3. Supaya tidak bosan 

Lari dengan kecepatan konstan, apalagi jarak jauh, bisa bikin kita bosan. Kalau training plan kita isinya cuma target jarak, makin lama bisa bosan karena gak ada variasi, akhirnya demotivasi. Beberapa orang berusaha mendapatkan motivasi lagi dengan cara beli baju baru, sepatu baru, bahkan gear baru demi untuk melanjutkan training plan hingga selesai. Tapi kalau belanja melulu tiap bosan kan lumayan boros. Padahal katanya olah raga lari adalah olahraga paling hemat karena modalnya cuma dengkul (literary). 

Dengan menyelipkan interval training ke training plan, bisa menambah variasi dalam latihan jadi gak bosen. Orang swedia menemukan istilah fartlek untuk latihan lari semacam ini,.Kadang tidak perlu pakai rumus berapa menit kali berapa kali, kita hanya memilih satu titik –misalnya tiang listrik di depan kita atau perempatan, dimana kita akan lari secepat-cepatnya menuju titik itu ketika kita lagi di easy pace, kemudian kembali ke easy pace setelah mencapai titik itu.

Nah sekarang, jangan lupa nonton Vlog nya ya. Like dan Subscribe! 



Jumat, 12 Januari 2018

Nostalgia Lari di Sabuga, Menemukan Tempat Asik di Lebak Siliwangi

Ini adalah throwback story tentang throwback memory. 

Balik ke tahun 2017 lalu, waktu saya ikut acara ITB Ultramarathon Jakarta - Bandung yang pernah saya ceritakan beberapa waktu lalu. Selepas acara, hari minggu saya masih tinggal di Bandung. Senin pagi saya memang rencana mau recovery run di Lapangan Sabuga (Sasana Budaya Ganesha). 

Sabuga itu adalah stadium olah raga yang letaknya bersebrangan dengan kampus saya dulu, bersebrangan juga dengan tempat kos saya dulu. Di dalam Sabuga sebenarnya ada beberapa sarana olahraga selain track lari. Ada lapangan sepak bola, lapangan basket, lapangan tennis, kolam renang. Di tahun pertama kuliah, di kampus saya ada mata kuliah olah raga. Ujiannya tes lari di track Sabuga. Demi lulus ujian mata kuliah olahraga dan ditambah dengan tuntutan harus kuat lari-lari malam waktu ospek, saya jadi sering latihan lari di Sabuga. 

Kalau dipikir-pikir waktu muda dulu, kegiatan fisik saya lumayan aktif. Selain lari, dari tempat kos ke kampus jalan kaki, ikut klub karate di kampus, ospek, dugem. Oooh masa muda, entah energi dari mana bisa punya kekuatan melakukan itu semua, padahal kalori yang masuk mayoritas asalnya cuma dari mie instant dan telur. Begadang 3 hari juga kuat. Sekarang mah boro-boro, jam 10 aja udah abis energinya kayak handphone yang baterenya udah tua, cepet low bat. 

Kebetulan saya menginap di Hotel Royal Dago yang tidak jauh dari Sabuga, jadi dari hotel saya lari ke sana, ke pintu yang dulu saya biasa masuk. Ternyata ditutup. Saya lari memutar jalan ke bagian belakang Sabuga, ada ibu-ibu jualan sarapan yang memberi tahu saya kalau pintu masuk ke track lari sekarang melalui Lebak Siliwangi. Saya lari lagi ke Lebak Siliwangi hingga ketemu jalan masuk ke track lari dan lari beberapa keliling. Target saya lari 5 kilometer, pace nya sudah tentu pace nostalgia.



Dulu saya biasa lari 3 hingga 5 keliling lapangan Sabuga, satu keliling 400m. jarak lari maksimal saya dulu hanya 5 keliling sabuga, jadi sebenarnya hanya 2 kilometer. Kalau dibandingkan dengan sekarang, 2 km itu buat saya kurang banget, short run saja 5km. Tapi memang gak instant sih, kalau buat saya untuk naik dari jarak standard 2km ke 5km memang butuh waktu satu tahun. Dulu boro-boro kepikiran bisa lari sampe 20an km, apalagi 40an km. 

Selesai lari nostalgia, sebelum gerbang melewati parkiran Lebak Siliwangi saya melihat sesuatu yang menarik. Ada semacam elevated structure, semacam jembatan mirip seperti yang di atas jalan cihampelas. Nah, tapi ini dibawahnya tanam-tanaman, jadi seru seperti jalan di jembatan yang menerobos hutan-hutan. Mungkin karena hari senin jadi tempatnya sepi, kalau weekend pasti rame. Sayangnya ide buat bikin kayak gitu terlambat 17 tahun (buat saya). 





Jumat, 05 Januari 2018

Birthday Trip ; Naik Angkot ke Savana Baluran

Saya nulis postingan ini sambil bersenandung lagu Camila Cabello yang judulnya Havana, tapi H nya diganti S. "Savana..o..na..na..."

Kata orang-orang Baluran itu seperti miniatur Afrika, mudah-mudahan sih kata orang yang pernah ke Afrika karena saya belum pernah. Hutan Nasional Baluran yang terletak di ujung timur pulau Jawa itu merupakan Hutan Savana. Perbedaan signifikan dengan hutan tropis yang kebanyakan ada di Indonesia adalah Savana ini merupakan padang rumput luas yang jarang pepohonannya, sementara kebanyakan hutan tropis di Indonesia pohon nya padat-padat. Jenis pohon atau vegetasinya juga beda. Sementara itu Afrika terkenal dengan Savana-nya.

Ada beberapa teori evolusi manusia yang berpendapat bahwa evolusi homo sapien dari generasi pertama sampai yang modern kayak sekarang itu erat kaitannya dengan savana. Ketika masa pra-sejarah, nenek moyang kita Homo Sapien generasi pertama, sebelum bermigrasi dan menguasai seluruh dunia ini berasal dari daerah yang sekarang kita kenal dengan Afrika. Diduga karena suatu peristiwa yang hingga kini masih menjadi misteri, homo sapien (mungkin terpaksa) menjelajah keluar dari tempat asalnya. 

Penjelajahan itu menyebabkan Homo Sapien harus melintasi dan hidup di savana yang kondisinya sangat kejam dan dipenuhi hewan-hewan predator yang mencari mangsa. Karena kebutuhan alias kepepet bertahan hidup itulah - di antara perjuangan mencari makanan dan perjuangan agar tidak jadi makanan hewan, Homo Sapien nenek moyang kita mulai berinovasi dan berevolusi. 

Sama seperti nenek moyang kita - saya, Pagit dan Susi terpaksa berinovasi dalam mencari transportasi dari Hotel Watu Dodol Resort ke Taman Nasional Baluran. Sebelumnya saya pikir Baluran itu termasuk wilayah Banyuwangi karena selama ini pariwisata di Baluran gencar dari area Banyuwangi. Ternyata Baluran itu beda kabupaten, masuknya ke wilayah Kabupaten Situbondo. Untuk menuju Baluran dari hotel kami jaraknya sekitar 30km, lumayan jauh juga. Itu baru sampai di pintu gerbang, dari pintu gerbang ke savana-nya, tempat kami menginap, masih butuh waktu sekitar 1 jam lagi karena jalannya rusak dan memang jauh masuk ke dalamnya, mungkin ada 10km-an lagi kali.

Seperti biasa, saya males riset sebelum berangkat, jadi modal tanya sana sini ketika sudah sampai Banyuwangi. Salah satu yang saya tanya adalah supir angkot yang mengantar kami dari stasiun ke hotel ketika baru tiba di banyuwangi. Iseng-iseng saya tanya kalau carter angkot dia untuk antar ke Baluran berapa. Kami pun saling bertukar nomor handphone. 

Waktu itu saya belum pasti carter bapak itu karena masih mau cari alternatif lain. Setelah tanya sana sini rupanya untuk menuju dan masuk ke dalam kawasan baluran cara yang paling feasible adalah rental motor dan rental mobil. Karena diantara kami tidak ada yang bisa bawa motor dan punya sim motor maka terpaksa harus rental mobil. Akhirnya kami memutuskan carter angkot, karena lebih murah dari sewa mobil, anginnya alami soalnya. Sebelum saya menghubungi bapak supir angkot, bapak itu sudah berinisiatif duluan menghubungi saya. 

Pagi-pagi kami dijemput angkot, berangkat menuju Baluran. Tidak lupa mengabadikan perjalanan kami bersama pak supir angkot dan angkotnya. Perjalanan carter angkot ini semacam nostalgia dari beberapa tahun lalu disaat saya, pagit dan susi juga melakukan perjalanan ke air terjun di bogor dengan carter angkot. Waktu itu susi memasak dan bawa makanan, rencananya mau piknik makan siang di outdoor. Tapi entah kenapa waktu itu kami malah dibawa oleh sopir angkotnya ke teras rumah warga yang kami tidak kenal dan akhirnya kami piknik di teras rumah. Sementara penghuni rumahnya ada di ruang tamu menonton televisi, mungkin juga sambil nonton sekelompok cewe-cewe aneh yang numpang piknik di teras mereka.

Sabar ya, kali ini  ceritanya agak panjang.

Saya dan Susi di depan loket pintu masuk Taman Nasional
Sebelum berangkat ke Banyuwangi, saya sudah booking penginapan di dalam Taman Nasional Baluran. Nomor telepon orang Taman Nasional saya dapat dari browsing-browsing di Google. Buat yang kali aja berminat mau menginap di dalam kawasan Baluran bisa menghubungi Pak Tri Hari (HP 082332213114). Untuk harga tiket masuk, kami membayar 15ribu per orang, tarif wisatawan lokal.

Setelah mendaftar dan membayar biaya masuk petualangan naik angkot melintasi hutan savana baru dimulai. Sepertinya waktu kami kesana bulan Agustus baru masuk musim kering, jadi daun-daunan dan rumput-rumput sudah pada menguning tapi masih ada yang hijau. Jalan masuk yang bergelombang membuat angkot terguncang-guncang dan pantat kami lompat-lompatan di atas jok angkot yang keras. Saya duduk di depan di samping pak supir, sementara Pagit dan Susi duduk sambil berpegangan erat ke apa pun yang bisa di pegang dibangku belakang angkot agar tidak terhempas. 

Setelah beberapa lama melewati hutan yang kanan-kirinya tampak kering tiba-tiba angkot mulai memasuki area hutan yang hijau, rimbun dan sejuk. Ternyata ada area hutan tropis ditengah-tengah hutan savana. Kami baru tahu ketika mau pulang lewat area hutan ini lagi, katanya di kawasan ini adalah rumahnya macan loreng dan macan kumbang yang warna hitam alias phanter. Kami gak lihat macan, tapi di tengah-tengah jalan sepanjang hutan yang hijau banyak banget kupu-kupu terbang. Jadi angkot nya menembus kawanan kupu-kupu sepanjang jalan. aaaaahhh... indah banget, rasanya kayak pintu masuk menuju alam fantasi apa gitu.

Selanjutnya saya akan cerita ngapain aja di dalam kawasan hutan nasional Baluran (selain lari pagi) dan gimana rasanya tidur di gubuk di tengah-tengah savana diantara hewan-hewan liar. 




Selasa, 02 Januari 2018

Journey to Full Marathon

Postingan pertama di 2018.

Dua tahun lalu saya menghabiskan malam tahun baru di UGD RS Persahabatan Rawamangun. Kejadiannya mengerikan waktu dialami tapi agak konyol kalau diingat-ingat sekarang. Waktu itu Papa Said iseng main petasan sendirian pas malam tahun baru, sementara itu saya sudah terlelap di dalam tenda yang didirikan di kebun setelah kekenyangan menyantap sate kambing, plus kelelahan ngipas-ngipas satenya. Tiba-tiba saya terbangun oleh bunyi petasan yang sangat keras dan bunyi alarm mobil yang masif. Saya langsung terbangun dan keluar tenda lari ke arah mobil yang alarmnya bunyi, disitulah saya menemukan Papa Said dengan tangan dan baju berlumuran darah. 

Singkat cerita, saya dan Chacha langsung bergegas membawa Papa Said ke RS naik mobil Chacha. Tapi pas tengah malam pergantian tahun baru, jalan utama dari rumah say ake arah jalan raya penuh dengan kerumunan massa. Saya langsung turun berusaha membelah kerumunan tapi sia-sia. Sementara itu Chacha di belakang langsung putar balik dan ketika saya sadar hampir saja saya ditinggal. Saat itu saya merasa latihan lari saya membuahkan hasil, saya lari mengejar mobil hingga chacha sadar dan menghentikan mobilnya, saya langsung naik.

Pertama kami pergi ke RS Harum, yang terdekat dari rumah. Disitu Papa Said mendapat pertolongan pertama dan disitu kami baru tahu kalau satu ruas jari manis sebelah kanannya hilang. Tapi di RS Harum tidak ada dokter bedah yang bisa menjahit, satu-satunya dokter bedah yang ada 24 jam yang terdekat ada di RS Persahabatan Rawamangun. Dokter bilang akan lebih cepat kaalu naik mobil sendiri daripada naik ambulance. Di jalan keluar UGD RS Harum, saya melihat ada satu lagi korban petasan yang lebih parah dari Papa Said.

Sampai di UGD RS Persahabatan kondisinya lebih parah. Rasanya kayak ada di bangsal rumah sakit pas lagi perang, yang saya suka liat di film-film. Pasien di UGD sudah penuh, hampir semua berlumuran darah. Sementara itu masih banyak lagi yang terus berdatangan, berdarah-darah juga. Kebanyakan korban kecelakan motor dan petasan, ditambah lagi ada korban-korban tawuran warga yang kejadiannya tidak jauh dari Rawamangun. Dibandingkan dengan yang lain, ternyata cedera Papa Said masih belum parah-parah amat. Mungkin itu kenapa setelah luka dibersihkan dan diberi infus, Papa Said dibiarkan menunggu. Katanya ruang operasi dan dokter bedahnya sibuk, pasien antri. Kami baru dapat giliran jam 8 pagi, itu pun operasi menjahitnya dilakukan di ruang klinik, bukan ruang operasi. 

Tahun ini malam tahun baru saya tidak memacu adrenalin seperti dua tahun lalu itu. Saya menghabiskannya di kamar, membaca buku Memoar pendiri Brand olahraga terkenal, Nike. Namanya Philip Knight. Buku itu bercerita bagaimana Philip Knight mengejar passionnya untuk jualan sepatu olahraga di tahun 1960-an, hingga jadi distributor sepatu jepang Onitsuka di US, hingga akhirnya mendirikan salah satu perusahaan sepatu dan pakaian olahraga terbesar di dunia, Nike. 

Dulu saya pernah ngobrol dan bilang ke salah satu kawan saya. "coba deh lo baca buku biografi orang-orang pendiri perusahaan-perusahaan besar. Chapter yang menceritakan saat dia berhasil mencapai impiannya atau tujuannya atau goal-nya palingan cuma satu chapter, paling banyak dua chapter. Tapi belasan bahkan bisa puluhan chapter sebelumnya isinya cerita tentang kegagalan, perjuangan, kegalauan."

"Kalau misalkan kita sukses dan kelak bikin buku biografi, mungkin hidup kita sekarang masih ada di chapter-chapter awal, kita masih belum tau berapa chapter lagi sampai kita mencapai chapter terakhir yang isinya menceritakan tentang impian kita yang sudah tercapai." Mungkin juga chapter itu gak akan pernah ada, selalu ada kemungkinan buat itu. Tapi bisa juga chapter terakhir itu ditulis saat kita udah gak ada untuk bisa cerita sendiri - itu kalau apa yang kita lakukan bisa jadi inspirasi buat orang lain. 

Sebenarnya saya takut mau lari full marathon, 42.2 km itu jauh banget. Untuk lari half marathon yang 21 km aja buat saya sudah penuh perjuangan, terutama lewat dari 17km, itu kayaknya semua badan rontok seketika. Tapi ya kayak saya bilang, saya terinspirasi. Ketika ikut race saya selalu mupeng sama orang-orang yang berhasil finish Full Marathon, begitu pula waktu saya riset tentang lari dan menemukan pengalaman first marathon orang-orang di youtube. Tapi gak tau kenapa yang paling memotivasi dan membulatkan tekad saya adalah Karlie Kloss, model victoria secret, pilihan motivasi yang aneh sih buat ikut Full Marathon. 

Selain itu saya juga terinspirasi ketika baca buku tentang Kara Goucher. Saya terinspirasi ketika baca-baca dan nonton youtube tentang Paula Redcliff. Saya terinspirasi ketika nonton film dokumenter tentang founder New York Marathon. Saya terinspirasi oleh musisi idola masa muda saya Alanis Morissette. Saya terinspirasi sama Oprah Winfrey. Saya terinspirasi sama kisah senior-senior usia 70an yang masih mampu finish full marathon. Dan tahun 2018 ini saya mau coba menaklukan jarak 42.2km itu. 

Saya akan share pengalaman saya di channel youtube saya, mudah-mudah sempat update terus dan lebih memotivasi saya untuk latihan. 



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...