Senin, 25 Juni 2012

Mengais Jejak Masa Lalu di Banten Lama

Masid Agung Banten
Sekitar 500 tahun yang lalu pengaruh Islam mulai merambah di tanah Jawa menggeser pengaruh Hindu Buddha. Jatuhnya Kerajaan Majapahit, kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu Kesultanan Demak mendukung penyebaran Islam ke seluruh tanah Jawa. Demak tumbuh menjadi salah satu kerajaan terkuat di Jawa.

Di awal abad ke-16, Kesultanan Demak mengirim Maulana Hasanuddin untuk menaklukan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda di Barat pulau Jawa, yaitu Pelabuhan Kelapa. Bersama dengan Fatahillah dan pasukannya, Maulana Hasanuddin berhasil menguasai Pelabuhan (Sunda) Kelapa tersebut, kemudian mengganti namanya dengan Jayakarta. 

Maulana Hasanuddin merupakan putra dari Sunan Gunungjati dan seorang putri kerajaan Demak, adik dari Sultan Trenggana. Dari Jayakarta, Maulana Hasanuddin bergerak ke arah Barat hingga tiba di Banten Girang, disinilah beliau membangun kerajaan baru dengan nama Kerajaan Banten dan membangun Istana Surosowan.

Di luar dinding benteng Istana Surosowan, 5 abad kemudian, saya dan Rossa termangu di depan pagar hitam yang digembok. Mengikuti petunjuk dari tulisan yang tertera di papan pengumuman dan teriakan nyaring dari ibu-ibu menor kita sampai di depan pos jaga Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama.

Surosowan yang terkunci
Di depan pos jaga, seorang lelaki paruh baya, kurus berkulit coklat mengenakan setelan hitam sedang menghisap Dji Sam Soe nya dalam-dalam ketika saya dan Rossa linglung di muka bangunan yang mirip kantor kelurahan itu. Sepi banget. 

"Kalau mau masuk ke Istana Surosowan, bapak yang pegang kuncinya," ujar lelaki itu, bibirnya membuat gerakan semacam senyum dibawah kumis lebat. 

"Iya, kita mau kesana  tapi mau masuk museum dulu, Pak."

Jangan berharap ruangan museum yang ber-AC, dengan almari kayu mengkilat dan display kaca dengan lampu sorot yang membuat benda-benda kuno di dalamnya tampak bersahaja. Dengan  bayaran masuk hanya seribu perak yang kita dapat hanya lapisan debu tebal dan beberapa pasang kipas tua mengantung layu di langit-langit ruangan.

Di depan pintu masuk Museum terpampang daftar Sultan yang pernah memerintah di Kesultanan Banten. Di urutan pertama tertulis nama Sunan Gunungjati, walaupun ada keterangan bahwa beliau adalah penguasa pertama namun  tidak pernah menasbihkan diri sebagai raja. Dari Banten Sunan Gunungjati berangkat ke Cirebon dalam misinya menyebarkan Islam dan meminjam istilah dari M.C. Rickfles di bukunya A History of Modern Indonesia "established another royal line", yang kemudian terkenal dengan Kesultanan Cirebon. 

Tampak di sisi sebelah kiri pintu masuk terdapat sebuah maket kusam yang merupakan denah dari Banten Lama. Saya mempelajari denah tersebut berharap maket ini bisa jadi pengganti peta wisata. Tempat kita berada saat itu, Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama terletak berseberangan dengan Istana Surosowan dan Masjid Agung Banten. Sementara tujuan kita yang lain yaitu, Istana Kaibon dan Benteng Speelwijk letaknya agak jauh dari posisi saat itu.

Maket Banten Lama
Di maket, Istana Surosowan dan Masjid Agung yang posisi  nya di tengah. Istana Kaibon, letaknya di kiri bawah. Sekitar 1 kilometer dari Surosowan. Benteng Speelwijk yang di kanan atas berwarna abu-abu di maket. 

Kerajaan Banten berdiri di waktu yang tepat, pas banget ketika Malaka sebagai pusat perdagangan rempah di kuasai Portugis dan berakhir tragis. Para pedagang dari Arab dan Cina kemudian beralih dari port Malaka ke port-port lain untuk mendapatkan komoditi yang saat itu harga nya mahal banget di Eropa, ya rempah-rempah itu. Salah satunya Banten, dengan posisi nya yang strategis dan keberhasilannya menaklukan Lampung kemudian menguasai perdagangan Lada disana membuat pelabuhan ini sebagai pusat perdangangan lada terbesar. Kesultanan Banten pun menjadi salah satu kerajaan terkaya dalam sejarah Nusantara. 

Uang yang digunakan untuk perdagangan di Banten
Kesultanan Banten mencapai masa puncak kejayaannya pada jaman Sultan Ageng Tirtayasa, di abad ke 17. Beliau membangun kanal puluhan kilometer untuk kotanya dan irigasi pertanian. Berhektar-hektar sawah baru dan perkebunan kelapa juga dibangun. Saat itu Kesultanan Banten mampu memesan kincir angin dari Belanda untuk di gunakan di pertanian. Kesultanan Banten saat itu sangat maju dalam hubungan perdagangan Internasional, dan dari segi militer mereka memiliki pasukan yang sangat kuat. 

Kecemerlangan Kesultanan Banten merupakan ancaman bagi VOC yang saat itu sudah berhasil menaklukan Jayakarta dan mengubah nya menjadi markas VOC bernama Batavia. Selain merasa terancam, VOC juga ngiler menguasai penghasil lada terbesar di pulau Jawa. Dengan segala tipu daya muslihat, tak lupa mempraktekkan politik devide et impera andalannya, VOC berhasil menguasai Kesultanan Banten.

Saat itu Sultan Ageng dan putranya, Sultan Haji mengalami konflik internal. Di panas-panasin dan di dukung VOC, Sultan Haji berhasil naik tahta dan Sultan Ageng menyingkir dari Kesultanan Banten. Setelah  itu VOC berhasil mencengkram Kesultanan Banten tunduk dibawah pengaruh nya.

Hingga saat jaman nya Herman Willem Daendels, yang kita kenal di pelajaran sejarah sekolah sebagai antagonis yang melakukan kerja paksa membangun jalan di Anyer itu. Sultan yang menjabat saat itu menolak perintah Daendels untuk memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Banten ke Anyer dan memindahkan pelabuhannya ke Ujung Kulon. Daendels pun marah dan menganggap aksi Sultan tersebut sebagai pemberontakan. Menambah list kelakuan antagonis nya, Daendels memerintahkan pasukan Belanda untuk meluluh lantakan Kesultanan Banten. Meruntuhkan Istana Surosowan dan menghancurkan Istana Kaibon.


Puing-puing Istana Surosowan

Menurut Pak Naraji, sang kuncen yang bukain pintu Surosowan untuk saya dan Rossa dan ngajak kita keliling, sebagian dari situs yang luasnya 3 kali lapangan bola ini masih belum di gali. Belanda rupanya niat banget meruntuhkan Istana ini sampai yang tersisa tinggal pondasi-pondasi nya dan kolam-kolam pemandian yang berada di bawah level tanah. 

Konon runtuhan pondasi yang bisa kita lihat sekarang, sebelumnya sebagian besar tertimbun tanah, walaupun tembok yang membentengi sekeliling Istana masih bisa dibilang utuh. Tapi kalau barang-barang berharga sudah hampir bisa dipastikan tidak ada lagi karena sudah habis di jarah massa selepas perang, bahkan pancuran air di kolam pemandian yang terbuat dari tembaga di cungkil orang karena dikira emas. Sesuai dengan nama pemandiannya yaitu "pancuran emas"

Tangga menuju tembok benteng dan pos jaga yang masih utuh

Salah satu gerbang Istana

Kolam Pemandian Pancuran Emas yang sudah dicungkilin

Struktur Istana Surosowan mengikuti struktur Keraton yang dibangun di tanah Jawa. Istana sebagai pusat pemerintahan berada di pusat, Masjid di sebelah Barat - Masjid Agung Banten yang dirancang oleh arsitek dari China, Pasar di sebelah Timur - Pasar Karangantu, Alun-alun berada di Utara. 

Menurut penjual minuman di depan Masjid Agung, saat-saat liburan Masjid ini selalu penuh oleh para peziarah dari luar kota bahkan banyak yang berasal dari luar pulau. Mereka berziarah ke Makam Sultan-Sultan yang dimakamkan disana, diantaranya Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Ageng Tirtayasa. Selain menghormati dan mengirimkan doa kepada keturunan Sunan Gunungjati, sebagian punya misi tertentu untuk berdoa disana dan pulang membawa sebotol air yang dipercaya mujarab untuk cepat mengabulkan doa, menyembuhkan penyakit, hingga mendapatkan jodoh. - yaah.. percaya ga percayaaaa...

Begitu pula di hari saya berkunjung kesana, di lapangan parkir Masjid yang terpampang spanduk "Selamat Datang Bapak Rano Karno" tampak padat berbagai jenis mobil dan bis-bis pariwisata. Saya dan Lili berbincang dengan seorang penjual minuman sembari kita melepas dahaga di panas terik itu dengan sebotol teh dingin.

Abang penjual minuman : Dari kampus mana, Neng ?

Saya : dari Jakarta

Abang : dari kampus mana?

Lili : Kita dari Jakarta, bang.

Abang : iya, maksudnya rombongan dari kampus mana?

Saya : Li, kampus lu dimana ? (tanya ke Lili)

Lili : Unpad

Abang : Ooooh.. kalo neng yang ini, unpad juga? (nunjuk ke saya)

Saya : saya itebeh

Abang : oooh... dari bandung dong

Saya : iya, tapi tinggal di Jakarta

Abang : ooooh jadi kuliah nya di bandung trus tinggal nya di jakarta... (nyimpulin sendiri)

Lili : (mesem-mesem)

Saya : (pura-pura sibuk sama hape)

Abang : Semester berapa?

Saya : Tiga (sambil masih pura-pura sibuk sama hape)

Abang : loh kan sekarang masih semester genap, neng  (Jeng..jeng..jeng..)

Saya & Lili : (Liat-liatan)

- yaaah.. percaya ga percayaaa....

Di luar dari kompleks berjarak lima ribu rupiah naik becak,  dibangun Istana Kaibon yang dibangun pertama kali sebagai tempat tinggal ibu suri seorang Sultan  yang saat itu masih terlalu muda untuk menjabat, usianya saat itu baru 5 tahun. Kehancuran Istana Kaibon tidak separah Surosowan, mungkin karena dianggap karena penghuninya ibu-ibu doang. Sisi feminin dari Istana ini sudah mulai tampak dari sisi tangga yang di rol kayak poni rambut. 
Runtuhan Istana Kaibon
Sebagian temboknya masih ada

Sisi tangga yang di rol

Senin, 18 Juni 2012

Sehari bersama Neng Rossa di Banten Lama

"Mil, itu kabut ?" tanya Rossa, cemas.

"Bukan ah, masa kabut tebel banget kayak gitu. Apa ada truk bawa dry ice kebalik ya? asapnya putih banget kayak dry ice kena panas."

Berjarak tiga mobil di depan mobil saya, di jalan yang pas selebar dua mobil menuju situs sejarah Banten Lama, mengepul asap putih tebal yang semakin lama semakin pekat menutupi pandangan di tengah jalan itu. Orang-orang mulai keluar dari rumahnya, para pengendara motor berhenti sejenak di pinggir jalan, menduga-duga asal asap putih tersebut. Ada sesuatu yang terbakar? ada sesuatu yang meledak?

Tiba-tiba kerumunan orang-orang di depan kita berbalik arah, berlari dan berseru ke deretan mobil-mobil, "munduuuurrr...munduuuuurrr...." sembari melambai-lambaikan tangan diatas kepala. 

Panik!

Saya lihat di spion, tidak ada ruang untuk mundur karena persis mepet di belakang saya ada truk segede gaban. Ya walopun saya ga tau gaban itu segede apa karena belom pernah liat, untuk sekarang kita asumsikan aja kalo gaban itu segede truk. Jadi dibelakang saya ada truk yang segede gaban yang segede truk. Demikian. Sementara angkot di depan saya bermanuver balik arah. Tanpa banyak berpikir saya segera  meniru angkot itu.

Sial!

Tidak semulus si angkot yang mungkin dalam sehari lewat jalan itu 5 kali. Daihatsu Sirion biru langit saya maju mundur 4 kali berusaha secepat mungkin melarikan diri dari tempat itu, sebelum "sesuatu" yang menimbulkan asap putih itu meledak. 

Di otak saya terangkai suatu adegan dari film Hollywood dimana ada scene sebuah mobil terlempar ke udara oleh ledakan maha dashyat disertai puluhan lidah api berwarna merah oranye yang menjulur-julur ke udara. 

Dalam AC mobil saya saat itu yang (tumben) dingin, sekujur tubuh saya bermandi keringat. Keringat dingin.Setir mobil tiba-tiba jadi seberat kayak narik ember dari sumur pas lagi nimba. Ketika posisi mobil saya sudah siap mau melaju, di hadapan saya sebuah motor tiba-tiba berhenti. Teeeeeeeeeeeetttttt..... saya pencet klakson sekuat tenaga. 

Eh tapi kog, truk gaban yang sebelumnya ada di belakang saya kembali melaju ke depan, ke arah sumber asap malapetaka itu? saya lirik spion, asap putih nya sudah menipis. Akhirnya saya kembali mengulang gerakan manuver balik arah di jalan sempit yang membuat ketiak saya bersimbah keringat. fiuh.

"Ga ada apa-apa kog, Mil. Cuman ada tumpukan kayu gitu," Rossa masih penasaran sama sumber asap putih pekat yang ternyata bukan berasal dari sesuatu yang mau meledak.

Perjalanan menuju sisa-sisa kejayaan Kerajaan Islam Banten pun dilanjutkan diiringi oleh hentakan beat dari lagu Pittbull.

Bermodalkan petunjuk singkat oret-oretan saya di selembar kertas notes: Exit toll Serang Timur - Belok kanan - 11 km sampai di Banten Lama,  akhirnya kita tiba di depan bangunan semacam benteng. Waktu menunjukan pukul setengah 10 pagi, total perjalanan sekitar 3 jam dari depan halte Komdak - tempat saya mengangkut Neng Ocha yang naik bus dari Bogor. Tapi itu pun sudah termasuk coffee break di rest area toll.

Coffee Break narsis
Sebenarnya saya janjian dengan segerombol perempuan-perempuan untuk berwisata ke sisa-sisa kejayaan Kerajaan Islam Banten yang terletak di bagian barat pulau Jawa itu jam 10 pagi. Tapi ternyata sebagian ada yang salah bus, bus nya balik lagi ke terminal Kampung Rambutan, dan ada juga yang nyangkut di Terminal Bus Serang ditemenin sama om-om berkumis. Akhirnya saya dan Ocha memutuskan masuk duluan ke bangunan semacam benteng yang namanya masih belum kita ketahui.

Berdua kita menyusuri jalan setapak yang dikiri dan kanan nya terdapat kios-kios penjual macem-macem barang, dari mulai tas, peci, minyak wangi, oleh-oleh khas banten hingga buah sawo dan kesemek. "kalo mau ke istana itu pintu masuknya disana, tapi masih di kunci." kata mas-mas yang lagi nongkrong di warung kopi. 

Di depan pintu reruntuhan Istana Surosowan yang terkunci
Setengah ga percaya kita tetap saja ngeloyor ke arah pintu gerbang dan bener ternyata kekunci. Ada papan pengumuman yang digantung kalau mau masuk hubungi petugas di museum. Ternyata bangunan semacam benteng itu namanya Istana Surosowan.

Pas lagi bingung-bingung mau cari orang yang bisa ditanya dimana letak museum nya, tiba-tiba kita di teriakin ibu-ibu menor. "Neng, kalau mau masuk ke istana ambil kunci dulu di pos museum. itu disana lurus aja. bagus di dalem buat foto-foto," seru ibu-ibu itu dengan suara high pitch nya tanpa kita tanya dulu. 

"Ini nih hebatnya orang Indonesia," kata saya ke Ocha, masih agak shock disapa ibu-ibu menor pagi-pagi. "Ramah nya nomor satu. Belom juga kita tanya, dia udah ngasih tau duluan."

Sampai di pos jaga Museum kita ketemu sama Pak Naraji sang kuncen (red. juru kunci). Beliau lah yang akhirnya mengantar kita sampai ke dalam Istana Surosowan dan menjelaskan tentang sisa-sisa bangunan yang ada disana, di tengah rintik hujan yang terbawa angin.

Di jalan menuju pintu masuk, si bapak itu berhenti di suatu undakan batu yang di sangkarin besi yang menurut papan keterangan bernama Watu Gilang. "Disini tempat pejabat-pejabat kerajaan di sumpah ketika pelantikan, ayo difoto," katanya setengah memaksa. Saya & Ocha ga ada yang bergeming buat ngambil kamera dan memotret objek yang buat kita ga menarik itu, tapi si bapak kayaknya ga akan beranjak dari situ sebelum kita ada yang motret deh.

Akhirnya saya mengalah, mengeluarkan kamera dan memotret Watu Gilang itu sekaligus sama Pak Kuncen berserta kumis lebat yang nongkrong pas memenuhi ruang antara bibir dan hidung nya. 

Pak Kuncen di depan Watu Gilang

Tetep eksis walopun ujan

di antara puing-puing reruntuhan Istana Surosowan
Pak Kuncen itu rupanya suka maksa. Setelah selesai menjelaskan tentang Istana Surosowan, kita dipaksa memilih mau ke Benteng Speelwijk dulu atau ke Istana Kaibon dulu. Kedua tempat itu jaraknya lumayan jauh dari lokasi kita berada sekarang. Maksud hati kita sebenarnya mau nungguin kawan-kawan lain yang masih kena aral melintang di jalan, tapi ga tega nolak kemauan si bapak akhirnya kita berdua pasrah di naikin ke atas becak menuju Istana Kaibon.

"Nanti Bapak bukain kunci Kaibon nya, kita ketemu disana ya," katanya melepas kepergian kita dengan becak.

Narsis di Becak
Lama ga naik becak, saya & Ocha ribut banget di dalem becak yang sempit. Di depan billboard besar bergambar Ratu Atut, becak yang kita tumpangi hampir terjungkir karena rodanya tergelincir di batas antara aspal dan jalan berbatu. Si abang dengan sigap mengarahkan setir becak ke kiri untuk menjaga keseimbangan ban yang tergelincir itu, tapi tidak melihat pas di depan kita ada sebuah sepotong selembar pintu mobil yang posisi nya lagi terkuak lebar. Becak mungil itu nyaris saja menubruk pintu mobil jika pengendara nya tidak sigap menarik pintunya dari dalam mobil. 
 
Dari kejauhan kita dapat melihat mobil acara dangdut Banten TV yang cat nya warna warni nge-jreng sudah parkir dengan manis di halaman istana. Rupanya sedang ada syuting. Istana Kaibon nasibnya masih lebih lumayan daripada Istana Surosowan, masih ada beberapa sisa-sisa bagian dindingnya yang kelihatan sementara Istana Surosowan beneran luluh lantak oleh gempuran Belanda semasa perang dulu. 

"Di sini juga sering di pakai syuting sinetron Indosiar," Pak Naraji menjelaskan. 

Sebenarnya Pak Kuncen naraji itu sudah menyiapkan rencana untuk kita ke tujuan berikutnya, tapi kemudian saya menjelaskan bahwa teman-teman saya sudah menunggu di dekat Masjid Agung yang lokasi nya di seberang Istana Surosowan. Pak Naraji segera melaju dengan motornya kembali ke museum, sementara saya dan Rossa berjalan kaki menyusuri balik jalan yang kita lalui dengan becak sepanjang hampir 1 Km diantara deru angkot dan bis pariwisata yang isinya rombongan anggota pengajian yang mau Ziarah. 

Selamat Datang di Banten Lama

Muka habis jalan kaki 700 meter
Menjelang saat makan siang kami tiba kembali di halaman museum. Dimuka gedung museum Lili melambaikan tangannya memanggil-manggil. Rombongan terkumpul di Mesjid Agung, total 8 perempuan cantik melakukan petualangan napak tilas sejarah Kerajaan Banten. Hari masih panjang dan petualangan masih berlanjut ke Benteng Speelwijk dan Klenteng, ditutup dengan pencarian kuliner Pecak Bandeng yang tak kunjung ketemu. Akhirnya rombongan berpisah di depan warung sate bandeng, sementara saya & Rossa kembali meneruskan perjalanan kembali ke Jakarta.

Senin, 11 Juni 2012

Persiapan Gadis Tropis Menyongsong Musim Dingin

Hal pertama yang saya lakukan setelah Visa berkunjung saya ke Australia di approved adalah shopping. Sebagai seorang gadis yang lahir dan besar di daerah tropis, ditambah punya campuran garis keturunan dari daerah padang pasir, saya ini sensitive banget sama yang namanya udara dingin. Kalau dingin sedikit bawaannya suka malas beraktifitas, pengen selimutan terus dan anti kena air. 
   
Memutuskan untuk pergi ke daerah ber-climate oceanic menjelang musim dingin membutuhkan suatu keberanian. Saya browsing dan tanya-tanya kesana kemari demi mendapatkan gambaran seberapa dingin nya kah dan apakah saya mampu bertahan. Kesimpulannya, kalau siang sepertinya tidak masalah, temperature berkisar antara 160-250 celcius, ya kurang lebih seperti di dalam ruangan AC. 

Nah, malam harinya ini yang problem karena katanya lagi dingin banget, sampai kadang temperature bisa drop dibawah 100 C. Di dalem AC kamar yang disetel 200 celcius aja saya tidur pake selimut tebel dan kaos kaki, gimana coba kalo saya tidur dalem kamar yang temperatur nya saingan sama kulkas di rumah. Bisa-bisa harus pasang api unggun di sebelah saya baru bisa tidur. Tapi kemudian disana saya diperkenalkan sama benda bernama: electric blanket. Jadi itu selimut yang ada kabelnya buat di cucuk-in ke listrik sehingga menghasilkan hangat gitu. Benda ajaib itulah yang menyelamatkan tidur saya dari sergapan udara dingin yang ganas.

Menjelang hari keberangkatan, saya pergi ke mall membeli legging, syal tebal, baju daleman kaos lengan panjang (long john) dan beberapa pasang kaos kaki. Saya terpaksa mencampakan backpack saya karena dengan impulsive memasukkan seluruh hasil shopping-an itu, beberapa kaos yang bisa dipakai dobel-dobel kalau kedinginan, kemeja untuk dipakai lagi di luar kaos, sweater, jaket, piyama flannel supaya hangat dan beberapa pasang kaos kaki lagi. Semata-mata karena ketakutan saya terhadap udara dingin.

Sudah jelas semua itu tidak muat di dalam tas backpack saya yang hanya berukuran 40L, soalnya kalau saya pakai tas lebih besar dari itu bisa-bisa namanya bukan saya yang bawa tas melainkan tas yang bawa saya karena tasnya lebih besar dari orangnya. Akhirnya saya pinjem koper Papa Said, itu pun masih  belum mampu menampung semua barang yang mau saya bawa. 

  Edit your travel wardrobe: Start by laying out everything you think you need…then remove a quarter of it” – Gabriele Hackworthy, Bazaar’s fashion editor 

Sebanyak itulah barang yang saya sisihkan, termasuk sepasang legging dan sepotong kaos dalam lengan panjang yang baru saja saya beli. Saya sudah mempersiapkan diri untuk mencuci pakaian disana kalau misalkan bawaan saya tidak cukup untuk 10 hari.

Sebelum saya pergi Cipu pun sempat mengingatkan untuk membawa satu jaket yang tebal karena di malam sebelum saya tiba di Melbourne temperature nya mencapai 80Celcius. 

Hari pertama saya di Melbourne, matahari terasa hangat melindungi si gadis tropis ini dari terpaan angin dingin yang membuat bulu tengkuk merinding. Udara cerah, 230C saja. Seolah-olah kota Melbourne sedang menyambut saya dengan ramah, “welcome” katanya. 

Hari pertama yang cerah, saya pun berlompat kangguru
Begitu pula di hari-hari selanjutnya, ketakutan bakal kedinginan di musim gugur tidak pernah terwujud. Walaupun kabut tebal seringkali menggantung di langit, tapi overall cuacanya cerah selama saya disana. Kecuali satu hari waktu saya ke Blue Mountain dimana rasanya muka ini sampai mati rasa gara-gara kedinginan.


Kamis, 07 Juni 2012

Tiga Cewek Perkasa di Warung Kopi Nusantara

Kebetulan masih masuk dalam rangkaian posting soal kopi dan warung nya, tapi yang dibahas kali ini bukan kopi atau pun warung nya. Kali ini ga jauh-jauh letaknya cuman di Mampang, tapi untuk mencapai kesini saya memerlukan waktu 1,5 jam lebih.

Ga sampe setengah jam dari rumah saya ke daerah Mampang, 1 jam lebih menyusuri Mampang, Warung Buncit sampai ke Pejaten, puter balik kembali ke Mampang, puter balik lagi sampai di daerah Duren Tiga, puter balik lagi sampe ke Mampang dan akhirnya menemukan lokasi yang di maksud ga jauh dari kantor imigrasi. 

Yah, bukan mila namanya kalo ga ada acara nyasar. Bukannya pembelaan loh yah, tapi kali ini level kesulitan nya memang tingkat tinggi karena Warung Kopi yang mau saya tuju itu petunjuk namanya tersamarkan sama toko duren dan semacam klinik gitu.

Pas saya masuk ke dalam ruangan acara sudah mulai. Salah satu bintang tamu talkshow, Rini sedang menjelaskan mengenai petualangannya di New Zealand. Terbuka nya pintu masuk yang posisi nya di samping panggung oleh saya mengalihkan perhatian Rini sejenak sehingga dia menoleh ke arah saya yang sedang berusaha berjingkat masuk tanpa menarik perhatian. Melihat saya, Rini malah melambaikan tangan, ya jadi deh seluruh mata peserta tertuju ke arah saya yang tampangnya lagi semacam mahasiswa-mengendap-ngendap-telat-masuk-kelas-takut-ketauan-dosen.

Masih dengan style "berjingkat" saya menyusup kedalam kerumunan peserta, mengambil posisi duduk di depan panggung dan mendengarkan acara talkshow dengan khidmat sambil menyeruput segelas kopi Aceh.

Acara talkshow ini diselenggarakan oleh @backpackseru , dengan bintang tamu tiga orang travel writer perempuan, Sari  Musdar - Rossa Indah (@rossa_indah) - Rini R (@riniraharjanti).

Mba Sari cerita pengalamannya waktu traveling ke Eropa dan Australia, Rossa menuturkan kisah nya ke negara Skandinavia yang dingin, sedangkan Rini berbagi pengalaman serunya menantang maut loncat dari atas pesawat di New Zealand. Masing-masing juga sudah mengeluarkan buku travel guide ke tempat-tempat yang mereka kunjungi.

Peserta talkshow


Suasana acara

Mba Sari lagi curhat

Traveler narsis dan sadar kamera *hadeeeeh

"Mbak-mbak, kalau traveling lebih senang rame-rame atau sendiri?" tanya salah satu peserta.

Mba Sari, "Saya sih lebih seneng pergi sendiri."

Rossa, "Saya juga lebih seneng pergi sendiri, soalnya lebih bebas. Tapi ga enak juga sih, ga ada yang fotoin"

Rini, "Saya sih sebenernya seneng pergi sama temen, tapi ga banyak-banyak. Cuman ya susah aja cari temen yang bisa "pas" timingnya buat diajak jalan. Ga pas cuti nya, ga pas lagi punya duitnya. Jadi seringnya sih saya pergi sendirian."

Nah itu dia semangat kemandirian yang tumbuh di jiwa-jiwa muda para petualang cantik yang perkasa ini, dari cara travelingnya aja udah keliatan nih ke-independen dan ke-perkasaan nya. Tak gentar walau harus terjun ke situasi yang asing dengan orang-orang asing sendirian, tetap tegar walaupun jalan-jalan tanpa ada yang foto-in. Ibu Kita Kartini pasti bangga sama mereka.


Jumat, 01 Juni 2012

Cerita Konyol Kopi Susu Vietnam Masuk Majalah

Bisa dibilang ini pertama kali tampang saya yang manis dan mempesona ini nampang di salah satu majalah Lifestyle. Bukan sebagai foto model, bukan sebagai bintang iklan, cuman sekotak ukuran 3 x 4 senti-an kayak pas foto KTP gitu. Nah kenapa saya bisa ada di situ, ceritanya agak aneh juga sih. Jadi di suatu saat tiba-tiba bak bidadari turun dari kahyangan munculah seorang jurnalis perempuan di hadapan saya, ngajak ngobrol. Nah gitu deh, tau-tau saya jadi salah satu dari sekian traveler (cewek semua) yang share pengalaman konyol, unik & aneh nya ketika traveling dalam suatu artikel di majalah CLEO edisi bulan Juni.
Secara ya pengalaman traveling saya di dominasi sama kekonyolan, saya sempet bingung mau ceritain yang mana. Karena yang diminta cuman minta pengalaman singkat, ya jadi saya cerita deh soal pengalaman mesen kopi susu di Vietnam.

Aib ini sebenarnya sudah pernah saya buka secara gamblang di postingan saya yang jaman dulu, dengan judul CA PHE DEEEEEECH .

Kebetulan ini masih satu tema sama dua postingan saya sebelumnya, tentang kopi di Belitung dan kopi di Melbourne. Sekalian aja saya bahas kopi di Vietnam hihihiii.... kog tiba-tiba jadi punya ide mau travelling dengan tema kopi gini yak. 

Ca Phe Sua Da sendiri yang paling enak saya rasain di Vietnam, di sini ga ada nemu yang rasanya seenak disana. Mungkin karena kopi yang digunakan beda, mungkin juga karena condensed milk nya. Konon katanya ada merk susu kental manis tertentu yang biasa digunakan untuk membuat ca phe sua da yang nikmat.

Khas nya kopi vietnam adalah menyeduhnya biasanya menggunakan alat yang bernama Metal Drip, jadi itu logam semacam saringan yang diletakkan diatas gelas, didalamnya diisi kopi dan air panas nanti di bawahnya akan menetes kopi hitam pekat wangi. Kopi sendiri bukan budaya asli orang Vietnam, melainkan di bawa dan perkenalkan oleh Perancis di abad ke-19, karena itu kopi ini terkenal dengan sebutan Indochina coffee. Indochina itu adalah daerah-daerah di South East Asia yang pernah jadi koloni Perancis di jaman itu, Vietnam salah satunya.


Gerobak jualan Ca Phe di Ho Chi Minh


Lagi meracik kopi pake Metal Drip

Model warung kopi outdoor di HCMC

Ibu penjual ca phe langganan yang mangkal di depan hotel
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...