Senin, 30 Juni 2014

Petualangan sebelum Sop Duren

Salah satu kawan saya yang sebaiknya namanya tidak saya publikasikan disini pada suatu hari berkeinginan mencicipi Sop Duren yang (katanya) lagi happening, terletak di kota Bogor. Seperti seorang calon ibu yang hamil muda, ngidam sop duren nya diiringi syarat tak beralasan kalau harus sambil bolos kerja. Kalau saya sih bebas aja berkeliaran di jam kerja. Maka berangkatlah saya dan kawan saya itu di hari Jum'at.

Kami berangkat pagi-pagi dari Jakarta, di persimpangan antara arah Bogor dan Cisarua di toll Jagorawi dengan impulsif kami memutuskan untuk lurus dulu ke arah puncak. Tujuannya ke Curug Cilember, inspirasi yang baru saja didapat kawan saya dari hasil google nya beberapa saat sebelumnya, ketika baru memasuki toll jagorawi.

"Di sini ditulis setelah Cimory belok kiri," ujarnya mengacu kepada sumber yang dia baca di smartphone nya mengenai lokasi curug tersebut.

Belok kiri dari jalan Cisarua puncak itu jalan yang lebarnya kurang dari 5 meter dan di kiri-kanannya rumah-rumah penduduk padat berhimpit-himpitan. Kalau ada mobil dari arah berlawanan Blue On saya harus melipir mepet ke pagar atau tembok rumah orang dengan spion terlipat. Walaupun jalannya sempit tapi terasa terus menanjak, kami terus menyusuri jalan dengan rumah-rumah mungil yang rapat hingga jarak antara rumah makin jarang. di kiri- kanan jalan pemandangannya sawah menghampar, beberapa kali kawanan bebek menyebrang jalan. 

Makin ke atas suasana makin sepi, tidak ada rumah lagi, tidak ada sawah, jalanan mulai berbelok-belok, tanjakan makin tajam. Kami sudah makin jauh berjalan tanpa ada penunjuk atau tanda-tanda bahwa kita menuju curug. 

Jalan semakin menanjak dan semakin sepi. Pemandangan mulai berganti pepohonan, lembah dan villa dengan pagar yang megah dan tinggi, belum ada tanda-tanda kemana akhir dari jalan yang semakin lama semakin menyempit itu. 

Tiba-tiba di tengah-tengah sepi itu ada gerbang parkiran yang merupakan pintu masuk ke sebuah lapangan luas, di dalamnya seperti ada tenda besar sekali berwarna putih. Di papan yang terpancang di gerbang nya terdapat logo Matahari Departemen Store. 

"Coba aja kita masuk situ sekalian nanya dimana curug cilember nya," usul saya yang sudah mulai curiga bahwa kami tersesat.

Ternyata ada dua kali bayar tiket untuk masuk tempat ini. Yang pertama pada saat ambil tiket parkir, bayar 5,000 rupiah. Kami sempat bertanya sama mas di dalam booth tiket parkir. "Curug Cilember sebelah mana, mas?"

"ooo itu mah masih jauh keatas," anak laki-laki muda yang tampak belum mencapai usia 20 itu tampak menunjuk suatu tempat di awang-awang.

"mas nya belum pernah kesana ya?"

"belum hehehe"

Saya sudah hampir punya niat cuma mau puter balik di tempat itu dan melanjutkan lagi perjalanan ke arah atas, tapi lepas dari mas petugas parkir yang belum pernah ke curug Cilember kami langsung ditangkap oleh teteh petugas tiket masuk arena hiburan dan diminta 15,000 rupiah per orang untuk bayar tiket masuk.

"Di dalem ada apa sih, mba?"

"ya ada macem-macem, ada naik perahu, spa ikan...coba deh spa ikannya,"anjuran dari si teteh. 

Kami pun pasrah dan mencoba mengitari area taman hiburan yang ternyata luas nya berhektar-hektar dengan mobil, berusaha menerka-nerka, mengumpulkan data dari hasil survei dan mencoba menarik kesimpulan tentang tempat wisata itu. Di dalamnya ada taman bermain anak-anak, danau yang luas, waterboom, area foodcourt yang luas, papan penunjuk lokasi outbond dan rafting. Terus terang saya cukup terpesona bahwa ternyata di area puncak yang selama ini saya pikir cuma ada kebun teh ternyata ada tempat wisata keluarga yang luas seperti itu.

Di tiketnya ada 3 kupon gratis, untuk naik sepeda air, naik perahu karet dan sewa sepeda gratis. Kami memarkir mobil dan menuju ke tempat penyewaan sepeda, ternyata sepedanya hanya boleh di sewa untuk berputar-putar di sebuah pelataran kosong, tidak boleh dibawa keluar untuk dipakai di kompleks wisata. Kami pun mengurungkan niat dan melanjutkan keliling tempat itu jalan kaki. Masih dalam usaha menerka-nerka konsep dari taman wisata itu.

Anehnya loket-loket permainan yang ada di danau kelihatan sepi dan kios loketnya tutup tak berpenghuni. Kamipun mencoba mau naik ke atas menara lookout - yang gratis juga, tapi pintu masuk ke menaranya masih terkunci. Padahal saat itu sudah jam 11 siang lewat. 

Pengunjungnya juga sepi sekali, mungkin karena bukan hari libur. Yang banyak kami temui adalah keluarga-keluarga yang tampaknya berasal dari Arab, karena ibu-ibunya mengenakan Abaya hitam bercadar. Saya pun mengambil kesimpulan, mungkin tempat wisata ini target segmennya orang Arab, jadi di sana di iklanin besar-besaran sementara disini malah orang-orang (paling tidak saya dan kawan saya itu) tidak tahu tentang keberadaan tempat itu. 

Jangan-jangan tujuan utama turis-turis Arab itu ke Indonesia semata-mata adalah untuk ke tempat wisata berlogo Matahari Dept Store itu, layaknya turis Indonesia ke Singapura semata-mata untuk berkunjung ke Universal Studio. Mereka dengan riang gembira naik sepeda keliling-keliling pelataran kosong, yaelaaaah kalo naik sepeda kayak gitu doang sih saya meningan di rumah aja.



Dari rencana mulia ke Curug Cilember, kami terdampar di Taman Wisata berlogo Matahari Dept Store. Untungnya tujuan awal mencicipi Sop Duren Bogor yang happening terlaksana juga. Semoga kalau kawan saya itu benar-benar hamil muda, anaknya kalau lahir ga ileran.



Senin, 23 Juni 2014

One Million Dollar View

"Orang Jawa manja-manja," seru Wawan sembari mengemudikan APV hitam di jalan penuh tikungan tajam yang berlubang-lubang. Sesekali badan saya, pagit dan mba efa terpental-pental ketika mobil tersebut tidak berhasil menghindar di retakan aspal yang menganga.

"BBM baru naik jadi 6,500 rupiah saja sudah demonstrasi, protes dimana-mana," jari kurusnya memantik tongkat lampu sign, APV pun meraung melewati sebuah mobil tua yang kehilangan daya merayap di tanjakan yang terjal. 

Tangan sebelah kirinya mengangkat dengan gestur berapi-api,"harga BBM disini bisa mencapai 10 ribu seliter, itu pun terkadang harus mengantri di SPBU agar tidak kehabisan stok, tapi kami disini tertawa-tawa saja." Lubang jalan yang tiba-tiba muncul di depan tak sanggup dihindari lagi oleh Wawan sehingga membuat seisi mobil terlontar dari jok masing-masing.

Sistem pemerintahan sentralisasi yang terpusat di ibukota Jakarta membuat daerah yang jauh dari ibu kota semakin merasa terlupakan. Semakin jauh dari ibukota, semakin terlupakan.

"Cabut saja subsidi, naikkan saja harga bensin jadi 10ribu rupiah, kami disini tidak akan keberatan asal stok bahan bakar dijamin selalu ada oleh pemerintah," semakin berapi-api ucapan yang keluar dari bibir Wawan, anak muda Flores yang kurus mungil tapi lincah seperti kijang. Kijang berambut keriting. "Toh selama ini juga kami beli seharga itu."

Kami berada beberapa kilometer dari Labuan Bajo, menuju suatu tempat yang menurut Wawan punya pemandangan seharga 1,000,000 dollar. Dollar Amerika. Luar biasa banyak nol nya jika di rupiah kan.

Jadi ceritanya pada suatu hari ada seorang warga asing yang jatuh cinta pada tanah yang terletak diatas bukit itu dan menawarkan akan membeli sebidang tanah itu seharga satu juta dollar. Tapi si pemilik tanah menolak dengan halus, tanah itu tidak dijual (paling tidak belum akan dijual untuk waktu sekarang), berapapun harga yang ditawarkan. 

Menurut Wawan pemandangan yang bisa dilihat dari atas bukit itu memang bagus sekali, karena itulah dia bilang ini adalah Bukit One Million Dollar View.

Mungkin beberapa tahun lagi, ketika si pemilik tanah berubah pikiran merelakan tanahnya demi lembaran jutaan dollar, yang ada disitu mungkin seonggok resort mewah dengan view jutaan dollar. Seperti wajah gadis yang cantik natural kemudian jadi OKB (Orang Kaya Baru) tiba-tiba dipoles macam-macam make up mahal yang menor, orang-orang pun jadi lupa dengan kecantikan sederhana nya yang natural karena yang terlihat adalah kemenoran yang glamor belaka. 

Di tengah jalan kami sempat berhenti di pinggir jalan atas arahan Wawan, guide kami di Flores. "Pemandangan dari sini bagus, kak," katanya penuh percaya diri, memaksakan mobil kotak ber ban kecil melipir di pinggir jurang, di jalan yang sudah tak lagi beraspal. Kami pun turun dari mobil berusaha melihat pemandangan yang dimaksud dari pinggir, berjingkat-jingkat karena pandangan tertutup oleh daun-daun dari ujung pohon yang rimbun. 

Wawan tak ingin saya, Pagit dan Mba Efa kecewa, dia pun mengambil alih kamera saya dan memanjat ke atas kap mobil untuk mengambil gambar pemandangan yang dimaksud. Tapi hasil fotonya pun tertutup pemandangan pohon dan belukar yang lebat.

Akhirnya tiba juga di tempat yang dimaksud, Wawan memarkir mobilnya di pinggir jalan raya begitu saja. 

Saya pun bertanya, "dimana tempatnya?"

"Kita harus naik dulu sedikit."

Naiknya memang sedikit, tapi tingginya lumayan bikin betis langsung berasa kencang. 

Di puncaknya terdapat satu rumah panggung sederhana, kata Wawan rumah panggung itu memang sengaja dibuat untuk wisatawan yang mau mengenal rumah suku asli di Flores. Dari jendela nya melongok sesosok wajah pria Flores yang chubby nan jenaka. Wawan memperkenalkannya sebagai Valen. Senyumnya Valen selalu malu-malu dan suara pelan sekali, kebalikan dari Wawan yang senantiasa bersemangat. Bahkan beberapa kali Wawan berusaha mengambil alih tugas Valen menjelaskan tentang rumah adat itu, yang disambut dengan senyuman bermakna 'sok tau banget sih lo' dari Valen. 

Kami dipersilahkan masuk ke dalam rumah panggung terbuat dari kayu, masing-masing di berikan semacam bantal berbentuk kotak, katanya untuk di duduki di atasnya. Sementara Valen dan Wawan bergantian menjelaskan tentang kebudayaan Flores.

Valen

Alat Musik 

perlengkapan tari-tarian

Wawan & Pagit lagi ngobrol apa tuuu.. serius banget

Foto bareng tuan rumah

One Million Dollar View

Minggu, 15 Juni 2014

Pertama Kali


There will always be the first times in life. Selama apapun manusia hidup ga akan mungkin mengetahui semua hal yang ada di dunia karena banyak banget. Malahan menurut saya kalaupun ada manusia yang umurnya ribuan tahun, ga mati-mati kayak Buffy the Vampire Slayer tetap saja dia tidak akan mungkin tahu semua yang ada di dunia dan mengalami/mencoba semua yang ada, soalnya selain banyak banget, akan selalu ada penemuan dan perkembangan baru. 

Sebagai orang yang terdaftar sebagai penduduk Jakarta dan sudah tinggal di kota ini melampaui beberapa dekade, masih banyak aja daerah-daerah di Jakarta yang saya belum pernah datengin. Banyak hal yang dilakukan penduduk Jakarta sehari-hari yang belum pernah saya lakukan, misalnya nih: naik commuter line.



Kawan baik saya, Neng Pagit setiap hari menggunakan sarana transportasi ini dari rumahnya di kawasan bogor menuju pusat ibukota jakarta. Sering banget kalau janjian sama pagit janjian di sekitar stasiun kereta, bahkan hampir selalu nge drop dia di stasiun kereta. Tapi saya sendiri belum pernah naik commuter line itu. Walaupun kalau denger ceritanya pagit naik kereta itu enak karena cepet (dengan asumsi ga ada masalah kerusakan sinyal atau masalah teknis lainnya), tapi kalau saya naik comline ke kantor ga efektif, stasiun kereta paling deket dari rumah saya jaraknya nyaris sama kayak jarak ke kantor. 

Beberapa kali saya pernah naik KRL, itu udah lama banget sebelum ada yang namanya commuter line. Itu pun bukan untuk kegiatan rutin, cuma dalam rangka jalan-jalan. Sejak mulai ada comline yang merupakan perkembangan dari KRL saya belum pernah naik kereta dalam kota dan sekitarnya lagi. 

Akhirnya bulan lalu ada kesempatan untuk pertama kali merasakan naik moda transportasi umum ini. Tujuannya adalah ke Stasiun Kota untuk menukar tiket KA ke Jogja yang saya pesan online dari website PT KAI. Hari Jumat, berangkat dari kantor saya di bilangan pancoran sekitar jam 11, jalan kaki menuju stasiun cawang. Sebelumnya saya sudah browsing peta comline dan jadwalnya di internet. Saya langsung menuju loket dan dikasih kartu untuk satu kali perjalanan. 

Dengan penuh percaya diri saya menuju pintu masuk dan meletakan kartu tiket saya di sensor, tapi ketika jalan maju besi penahan pintunya ga muter. Terus ada satpam langsung menghampiri, ternyata saya meletakan kartu di sisi sensor yang salah - bukan pasangan pintu nya. Untung waktu itu sepi, jadi saya cuma sendiri di situ, malu nya jadi ga seberapa. "hehee maklum pak, baru pertama nih,"ujar saya ke satpam yang pandangannya seolah-olah berkata 'kemana aja, neng?'

Misi menukar tiket Kereta Api pun sukses dengan gemilang dan hanya memakan waktu sekitar 1 jam hingga kembali lagi ke Stasiun Cawang. 

Keesokan harinya saya pun kembali melakukan sesuatu untuk pertama kalinya dalam hidup: Naik Kereta ke luar kota dari Stasiun Senen. Biasanya kalau mau naik KA luar kota di Jakarta saya selalu memilih Stasiun Jatinegara yang paling dekat dengan posisi rumah. Tapi sejak ada peraturan kalau di Stasiun Jatinegara sudah tidak melayani pemberangkatan keluar kota, saya naik dari Stasiun Gambir. Tapi peraturan baru, Stasiun Gambir pun sekarang hanya melayani pemberangkatan kereta eksekutif dan Argo. Sedangkan kereta Bisnis dan ekonomi AC berangkat dari Stasiun Senen.  Tiket KA saya ke Jogja bulan lalu adalah Fajar Utama, jadi berangkatnya harus dari Stasiun Senen.

Dini hari, saya mengawali sejarah pertama kali memasuki Stasiun Senen dengan tatapan galak penjaga tiket masuk. Saya tiba di Stasiun jam 5.55, karena kereta saya jadwalnya jam 6.30 saya dengan polosnya ikut di antrian masuk. Pas sampe giliran saya mengajukan selembar tiket dan selembar KTP, pandangan petugas tiket tiba-tiba judes menusuk kalbu tapi saya tetap diperbolehkan lewat. Tapi setelah itu dia teriak ke arah antrian, "Tawangjaya Tawangjaya". Oalaaa ternyata itu antrian masuk masih giliran Tawangjaya, belum giliran Fajar Utama. 

Saat itu juga pertama kali nya saya naik KA Bisnis lagi setelah terakhir kali tahun lalu saya naik KA bisnis dari Jogja ke Jakarta dalam rangka perjalanan innerpeace ke Dieng. Ternyata KA Bisnis sekarang ada AC nya. AC split kayak di rumah-rumah, merk panasonic, yang ditempel di atas langit-langit gerbong kereta. Semuanya berjalan menyenangkan di dalam gerbong yang dingin hingga kereta melewati Cirebon, di gerbong saya AC nya mulai ga berasa. Sampai ada ibu-ibu yang duduk di barisan ga jauh dari saya marah-marah ke petugas keretanya sambil kipas-kipas. 

AC Di gerbong kereta api bisnis
Saya pun mulai kegerahan dan berinisiatif buka jendela - untung jendelanya masih bisa dibuka. Yang bikin saya makin gerah pasangan yang duduk di baris sebelah saya, udah tau panas, gerah, sumuk masih aja peluk-pelukan, sambil mesra-mesra ketawa-ketawa bahagia gitu. Jadi pengen teriakin woooii panas wooii *tunjuk dada* *lemparin es balok*









Rabu, 04 Juni 2014

Catatan di pertengahan 2014

Bulan Juni, yang berarti tahun 2014 ini sudah di pertengahan. 

Tahun-tahun terakhir ini rasanya seperti tersesat dalam dimensi waktu, kalau dirasa dalam satu hari rasanya waktu jalannya super lama bin slow motion, tapi kalau dilihat tahunnya ternyata si waktu cepat banget jalannya. Ngebut. Tidak terasa tiba-tiba berlalu gitu aja *cring* kayak sekejap mata. 

Rasanya seperti diperdaya oleh waktu yang membuat saya merasa terjebak dalam rangkaian hari yang lambat padahal sebenarnya saya sedang di bawa nya ngebut. Rasanya seperti duduk di pesawat ketika udara bagus, terasanya diam padahal kita lagi dibawa meluncur dengan kecepatan seribu kilometer per jam. Rasanya seperti dikhianati oleh Teori Relativitas.

Tiba-tiba perasaan melankolis melanda. Saya tidak mau ke kantor hari ini. Sudah beberapa bulan ini pergi ke kantor buat saya butuh kekuatan mental 3,000 kali lebih kuat, saya harus menyeret langkah tiap pagi seberat tahanan penjara jaman rennaisance harus menyeret bola besi yang mengganduli pergelangan kakinya. Saya bahkan tidak mau turun dari tempat tidur.

Alarm sudah berbunyi dari mulai jam 4. Kemudian jam 4.10. Diikuti selanjutnya jam 4.30. Jam 4.45. Terakhir jam 5.00 alarm berbunyi dari iPad saya yang sengaja saya letakkan agak jauh agar perlu usaha ekstra untuk mematikannya. Setelah mematikan alarm jam 5 saya kembali meringkuk di tempat tidur, membuka-buka socmed di smartphone. Untuk keberapa kalinya saya melihat quote itu lagi, di ukir dengan tulisan sophisticated dan melingkar-lingkar di atas foto pemandangan gunung melihat kebawah yang di filter dengan warna agak memudar : 

Life begins at the end of your comfort zone - Neale Donald Walsch

Pertama-tama  kali lihat quote ini hati saya selalu bergetar menuntut jawaban dari pertanyaan, apakah hidup saya sudah dimulai? Tapi lama-lama saya mikir, enggaklah... kayaknya buat mikir kayak gitu kog udah telat banget ya, hidup saya sudah terlanjur dimulai hampir 32 tahun yang lalu. Quote ini cuman jadi korban, di salah gunakan oleh industri turisme untuk 'mendorong' orang-orang dari apa yang di ilusikan sebagai comfort zone untuk keluar dari itu semua; traveling, explore new places, pergi naik pesawat, booking hotel mewah dan membayar untuk semua itu. 

Awalnya saya pikir comfort zone itu ada dimana saja, tapi lama-lama saya jadi mikir kalo satu-satunya comfort zone yang diketahui manusia adalah dalam rahim ibunya, makanya ketika manusia lahir - keluar dari rahim - dari comfort zone nya, disitulah kehidupan dimulai. Karena setelah kita lepas dari tali pusar yang menyokong kehidupan kita yang nyaman di dalam perut Ibu, kita tidak akan pernah bisa seutuhnya merasa nyaman. 

Kalau memang ada yang namanya comfort zone lain saya akan segera melompat kepelukannya dan tidak peduli kalaupun itu dosa sekalipun, bahkan kalau itu berarti tidak hidup. Memangnya kalau kita jadi pegawai yang digaji tiap bulan dan (kebetulan) menyenangi pekerjaan kita artinya itu comfort zone? Rumah hasil cicilan sendiri yang kita dekor dengan perabotan dari IKEA pun tidak akan pernah bisa menyaingi kenyamanan di rahim ibu, karena tetap saja kita harus berjuang untuk bayar cicilannya.

Bahkan ketika saat ini saya hanya ingin berbaring di tempat tidur saya yang terlindung oleh tembok-tembok kamar, terlindung dari kekejaman traffic di jalanan ibukota dan kumpulan orang-orang yang antri ga sabar mau menyerang kita hingga babak belur tapi ga lama perut saya akan menuntut makanan untuk mengisi nya dan saya harus keluar. Kamar dan tempat tidur ini bukan comfort zone sejati. Saya harus tetap hidup.

Comfort zone itu ilusi kolektif. Sama seperti kesuksesan menurut saya, ilusi kolektif. Kita beramai-ramai diajak untuk menamakan sesuatu yang ga nyata, yang hanya ada dalam angan-angan doang, makanya saya bilang ilusi kolektif. Membuat kita berharap ada sesuatu yang bisa diraih tapi sebenarnya hanya menimbulkan kesedihan karena kan ilusi adalah bayangan dan bayangan ga mungkin bisa diraih di dunia kita yang ada di dimensi tiga ini, jari-jemari manusia hanya akan menembus aliran udara dan gelombang spektrum cahaya ketika berusaha meraihnya. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...