Rabu, 29 Januari 2014

Galau Memantau Banjir

Sudah beberapa hari sejak kembali dari trip ke Dili saya berangkat dari rumah ke kantor subuh-subuh untuk mengantisipasi kemacetan dan banjir. Kondisi seperti ini bener-bener bikin hati galau, badan remuk dan saya si gadis tropis ini senantiasa menggigil kedinginan karena tiap hari harus mandi di dini hari dengan air dingin.

Kalau sebelum trip ke Dili saya sibuk sama prakiraan cuaca, setelah pulang kembali ke Jakarta saya sibuk sama twitter TMCPoldametro. Tiap pagi bangun tidur yang saya lihat adalah informasi banjir dimana saja untuk selanjutnya segera mengatur strategi menempuh perjalanan ke kantor. Sempat ada dua hari yang saya terjebak hingga 4 jam di perjalanan dari rumah menuju kantor dan ada satu hari dimana saya nyaris terkepung banjir yang tiba-tiba naik ketika saya sedang melintas di seruas jalan. Beberapa hari ini hidup di Jakarta benar-benar menguras segala tenaga dan emosi.

Bukan hanya Jakarta dan sekitarnya yang dilanda musibah banjir. Waktu itu di Manado sempat ada banjir bandang yang berasal dari air laut yang meluap hingga ke daratan. Rumah om, tante, sodara-sodara saya yang di kampung arab kelelep banjir hingga nyaris sampai ke atap, walaupun sudah surut tapi beberapa hari musti kerja keras membersihkan lumpur yang tertinggal.

Daerah yang hampir setahun ini sering saya kunjungi untuk urusan pekerjaan - Jepara, juga dilanda banjir heboh. Rencana saya ke Jepara sudah tertunda satu minggu lebih, sambil setiap hari saya terus galau memantau perkembangan kondisi di sana.

Hati saya sedih membaca kecamatan-kecamatan yang dilanda banjir, Pecangaan, Mayong, Nalumsari, Welahan, Kalinyamatan, saya familiar banget sama nama-nama itu. I knew it by heart. Beberapa bulan saya mondar-mandir di sekitar kecamatan itu, kadang sambil janjian sama supir truk yang membawa barang dagangan saya untuk diantar ke PLTU. Daerah-daerah itu bukan hanya jadi sekadar daerah yang saya lalui untuk mencapai lokasi proyek, tapi sudah terjalin suatu keterikatan emosionil yang diperkuat dengan kenangan suka dan duka ketika melewatinya. Saya jadi kepikiran sawah-sawah yang membentang di sepanjang jalan itu. 

Hampir sepanjang jalan, mulai dari daerah Demak menuju Jepara, membentang petak-petak sawah. Waktu awal mula proyek disana, saya perhatikan para petani banyak yang sedang mulai menanam padi. Minggu demi minggu berlalu, bulan berganti, saya menyaksikan perubahan padi yang baru ditanam berubah warna menjadi hijau segar seperti menyelimuti daratan dengan karpet hijau. Kemudian warna hijau terang mulai berubah, makin lama makin tua hingga berubah kuning kecoklatan. Saatnya panen. Para petani sibuk memotong-motong padi, menumpuknya di sepanjang pematang sawah. 

Batang-batang padi yang sudah di potong di bawa ke tempat-tempat penggilingan padi yang ada di pinggiran jalan itu juga. Di halamannya penuh dengan butir-butir padi berwarna putih yang sedang dijemur dan tumpukan karung-karung beras yang padat berisi. Ada desir kebahagiaan melihat tumpukan beras di tempat-tempat penggilingan, dengan ini mungkin ratusan jiwa bisa makan dan menyambung hidup. Kemudian siklus menanam padi berulang kembali, sejumput bibit padi di jajarkan dengan rapi oleh petani di bidang tanah gembur. 

Selama ini, anehnya, saya gak pernah mengalami hujan ketika ke jepara, cuaca selalu cerah cenderung panas terik. Pernah sempat ada hujan satu kali tapi hanya gerimis dan sebentar saja. Setelah urusan pekerjaan selesai sorenya saya suka main ke pantai, disana pantainya bagus-bagus. Selain Pantai Bandengan ada juga Pantai Kartini yang disebelahnya ada dermaga untuk yang mau menyebrang ke Karimun Jawa.

Jajanan di pantai Kartini

Pantai Kartini sore-sore

Museum bentuk Kura-kura di pantai kartini

Pantai Kartini
Terakhir saya lewat daerah situ bulan Desember tahun lalu saya lihat sawahnya mulai rata hijaunya lagi, gak kebayang gimana nasibnya kalau tiba-tiba padi-padi itu diterjang dan tenggelam di air banjir. Berapa kerugian yang harus ditanggung oleh para petani. Belum lagi rumah mereka yang kena banjir juga. Kasian banget. Sudah kena banjir, akses ke daerah nya terputus, pasokan BBM terhambat, tadi pagi ketika saya memantau perkembangan disana ternyata di sana juga ada gempa dan ada tanah retak juga. Semoga kondisi di daerah Jepara dan sekitarnya cepat kembali normal.

Banjir cepatlah berlalu. Please. 


Rabu, 22 Januari 2014

Cuaca Ekstrim

Beberapa hari sebelum berangkat ke Timor Leste, cuaca ekstrim menerjang Jakarta. Rencana saya pergi hari Rabu, hari Sabtu sebelumnya hujan deras mengguyur Jakarta seharian, bahkan sampai keesokan harinya. Banjir pun kembali menenggelamkan sebagian ibu kota.

Saat itu saya khawatir cuaca ekstrim mengancam trip liburan saya beberapa hari mendatang. Saya pun jadi concern masalah cuaca, membuka aplikasi di iPhone yang selama ini jarang banget saya pedulikan - weather forecast.  Melihat icon prakiraan cuaca beberapa hari kedepan gambar awan + petir semua membuat saya makin galau.

Saya memantau kondisi cuaca di Jakarta dan Bali, karena saya terbang ke Dili melalui Denpasar dulu. Saya juga cari kota Dili di prakiraan cuaca yahoo yang ada di iPhone saya, tapi rupanya kota Dili, Timor Leste belum terdaftar disana. Menurut kawan saya yang tinggal di Dili sih cuaca di sana cenderung panas, angin memang kencang tapi tidak ada hujan. 

Waktu di Australia saya heran dengan kebiasaan orang sana yang peduli sekali dengan weather forecast. Kalau saya bangun tidur pertama kali, liat handphone yang saya buka pertama adalah twitter atau facebook, orang disana bangun tidur yang dilihat pertama adalah weather forecast. Bahkan iklan paket data di televisi mengutamakan feature weather forecast, selain e-mail, message dan social media. 

Kata Cipu yang tinggal di Melbourne, itu karena cuaca di sana agak susah ditebak. Paginya bisa dingin banget tapi siangnya panas terik, jadi supaya gak salah kostum musti tau prakiraan cuaca hari itu kira-kira temperaturnya bakal berapa. Saya sempat tuh jadi korban salah kostum waktu ke Balarat karena paginya dingin, tapi ternyata siangnya panas terik. Tapi kan di Indonesia iklimnya tropis, yang ada palingan cuma panas dan hujan, temperatur juga ga akan drastis amat berubahnya, jadi saya tidak pernah peduli dengan prakiraan cuaca dan tidak pernah salah kostum. Itu dulu.

Kemarin-kemarin ini kegalauan saya akibat cuaca ekstrim membawa saya ke website BMKG (Badan Meteorologi dan Geofisika). Selama ini saya tidak pernah buka-buka website itu, ternyata disana informatif sekali. Selain prakiraan cuaca hujan atau panas, ada juga peringatan dini gempa, angin kencang, ombak tinggi, gunung berapi yang aktif bahkan ada disitu peringatan daerah banjir di ibukota. Lain kali kalau mau merancang perjalanan lagi saya pasti bakal buka website ini lagi walaupun dengan baca-baca website ini saya malah makin was was dgn peringatan dini hujan petir dan angin kencang di nusa tenggara timur bagian timur. Yang saya khawatirkan sudah pasti perjalanan udara naik pesawat, kalau angin kencang naik pesawat itu rasanya mengerikan karena terus bergoncang.

Saya masih ingat patokan menghafal pembagian musim dalam setahun yang diajarkan waktu saya sekolah SD dulu, kalau bulan yang akhirannya -ri seperti januari, februari itu berarti musim panas karena ada akhiran -ri, sama seperti matahari. Sementara yang akhirannya -ber, seperti november dan desember, itu berarti musim hujan karena seperti bunyi hujan yang turun dari talang genteng rumah menuju selokan ‘beeerrrrr’.

Sepertinya sekarang ajaran itu sudah tidak berlaku. Iklim sekarang sudah berubah, kita tidak bisa mudah menebak musim dari akhiran nama bulannya lagi. 

Kita memang beruntung hidup dijaman setelah era modernisasi, jadi hidup sekarang relatif lebih nyaman dengan segala teknologi yang ada. Tapi sebagai konsekuensinya sekarang kita hidup di alam yang rentan akibat keseimbangannya terganggu oleh 200 tahun lebih era modernisasi dan ketamakan manusia. 

Orang-orang bilang ini adalah Global Warming, meningkatnya suhu permukaan bumi karena emisi CO2 dari industri yang membentuk efek rumah kaca sehingga panas matahari yang sampai ke bumi terperangkap. Curah hujan yang deras di daerah tropis dan angin yang lebih kencang dan semakin powerful adalah akibat naiknya temperatur permukaan bumi di lautan, efek yang terasa di daerah kita yang tropis ya seperti yang sudah disebut diatas itu. 

Sementara itu Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia tidak pernah mengantisipasi hal-hal seperti ini, tidak pernah ada persiapan menyambut curah hujan yang makin deras. Di daerah perkotaan seperti Jakarta pemerintah bukannya mulai memikirkan bagaimana caranya menyisakan ruang-ruang hijau untuk penyerapan air malahan ruang-ruang kosong terus dibangun bangunan mall, apartement, perkantoran. Hidup di Jakarta ini bener-bener gila, baru dua minggu aja gak lewat jalanan yang sama, ntar pas lewat lagi tiba-tiba sudah ada bangunan baru yang sudah tinggi menjulang.

Saya sendiri juga salah sih. Hobi saya traveling, apalagi naik pesawat, itu salah satu penyumbang emisi karbon tertinggi yang bisa menimbulkan efek rumah kaca itu. Selanjutnya saya udah musti mulai mikirin gimana bisa punya hobi traveling yang ramah lingkungan juga nih, kalau enggak bisa-bisa beberapa tahun mendatang saya udah ga punya tempat tujuan buat menyalurkan hobi traveling saya lagi. Kayak misalnya kalau masih bisa naik kereta, saya akan milih naik kereta daripada naik pesawat karena kemarin saya coba-coba hitung pakai kalkulator carbon footprint, jumlah emisi yang dihasilkan pesawat udara dengan jarak yang sama jauh lebih besar daripada naik kereta api atau bus.

Pagi hari keberangkatan ke Denpasar, hujan deras dari pagi. Macet parah di jalan. Saya nyaris kehilangan harapan bakal sampe di bandara tepat waktu. Penerbangan saya jam 12 siang, dan jam 10.30 saya masih stuck di traffic jam daerah Kuningan. Untungnya setelah daerah kuningan, ke arah bandara lancar jadi saya tiba tepat waktu. Dalam pesawat menuju Bali jantung saya berdegup kencang karena cuaca buruk terus, sampai pramugari nya urung mengedarkan in-flight shop. 

Sore hari di Bali, ketika saya duduk menanti sunset di Kuta ditemani Rio angin kencang sekali, saya sempat takut dan nyaris mengurungkan niat mau terbang lebih lanjut ke timur. Malam itu saya tidur di Bali, keesokan pagi saya tetap berangkat ke airport. Saya pikir kan perusahaan penerbangan punya standard keamanan, kalau memang tidak aman untuk terbang pasti akan di batalkan. 

Ketika saya tiba di Bali siangnya saya dapat kabar kalau di Manado ada banjir besar karena air laut meluap dan menerjang kota layaknya air bah. Rumah keluarga Papa Said dan seluruh Kampung Arab seperti kapal karam tenggelam, yang tampak hanya atap rumah di atas air kecoklatan. karena air datang cepat sekali, mobil-mobil tak sempat di evakuasi, tenggelam dalam air. Waktu menonton tayangan berita lebih parah dan lebih menyeramkan, mobil CRV mengambang seperti gabus di atas danau.

Bandara Ngurah Rai pagi hari, mendung tebal
Pagi hari sebelum berangkat ke Dili, hujan deras mengguyur Bandara Bali. Untungnya saya yang berjalan kaki dari hotel saya di daerah Tuban sudah tiba di dalam bandara ketika hujan mengguyur. Tapi mendekati jam keberangkatan hujan berangsur mereda, pesawat tetap berangkat tepat waktu walau di tengah rintik hujan.

Aneh nya di Dili, seperti yang di bilang kawan saya, cuaca lumayan cerah. Kadang awan mendung menggelayuti, tapi cepat menghilang. Hujan sesekali, tapi hanya berupa percikan air tipis yang terbawa angin.  

Sementara itu ketika nonton berita, Jakarta masih diguyur hujan deras dan ancaman banjir masih mengintai. Mengerikan melihat kondisi jakarta di berita waktu itu, dari tampak atas genangan air menenggelamkan jakarta, arusnya juga kencang, airnya berwarna coklat kotor. Ibu-ibu hamil dan bayi di evakuasi dengan perahu karet. Situasi di tempat pengungsian yang mayoritas ibu-ibu dan anak-anak juga kelihatan menyedihkan. Bukan hanya hujan, ancaman ombak tinggi menyebabkan kapal tidak bisa melaut, banyak calon penumpang terlantar di dermaga. Tidak ada nelayan yang berani mencari ikan. 


Di Kupang - yang ada satu pulau dengan Dili, ombak tinggi mengakibatkan pasokan bahan bakar terputus sehingga jadi langka dan mahal.  Tapi di Dili tetap cerah, sampai-sampai kawan saya bergurau kalau cuaca ekstrim tidak bisa lewat perbatasan karena paspornya expired.

Dili yang cerah

Jumat, 10 Januari 2014

Almarhum Sony DSC-TX10

Akhirnya kamera sony yang saya beli di tahun 2012 sebelum keberangkatan saya ke Australia sudah RIP - Rest In Peace. Ternyata kamera yang katanya bisa tahan dibanting dari ketinggian 1,5 m dan tahan dicelupin ke air sampe kedalaman 5 meter itu hanya kuat mendampingi perjalanan saya kurang dari 2 tahun aja. Mungkin dia gak setangguh yang saya harapkan ketika membelinya. Atau mungkin perjalanan saya yang terlalu ekstrim buat dia. Yang jelas hubungan kita gak bertahan lama.

Sebelumnya dia sudah nyaris hilang ketika perjalanan mencari innerpeace ke jogja, tapi waktu itu takdir masih mempersatukan kita lagi. Sepulang dari Arab, saya mendapati retak halus di tutup batere kamera itu. Ketika saya membawa ke service centernya, ternyata tidak bisa hanya diganti tutup baterenya saja, jadi saya harus ganti seluruh casing nya dengan harga setengah dari harga beli baru kamera itu. Karena takut retak halus itu akan jadi sumber kebocoran yang mengakibatkan masuknya air ke dalam kamera ketika saya mau gunakan di dalam air, maka saya menyanggupi untuk mengganti casing itu dan membayar biaya service nya.

Masalah baru muncul ketika saya ambil kamera itu, saya memang kurang teliti dan tidak memeriksanya. Saya tidak membuka nya dari kantung plastik pembungkusnya. Di rumah baru saya buka. Saya mendapati retak halus baru lagi di salah satu sudut kamera. Tadinya saya pikir karena pemasangan casing yang tidak benar karena saya tidak pernah melihat retak itu sebelum saya membawanya ke service center untuk diganti casing nya. 

Saya bawa kembali ke service center. Menurut mereka retak itu sudah ada ketika saya bawa kamera itu untuk diganti casing pertama kali. Karena malas berdebat saya mengiyakan saya dan setuju untuk mengganti bagian yang retak itu lagi, kali ini dengan membayar biaya sekitar 500ribu rupiah. 

Setelah di service untuk kedua kali itu saya belum pernah pakai kamera saya di dalam air hingga liburan tahun baru kemarin. Saya sedang bermain di kolam renang ketika mencelupkan kamera underwater saya itu dan muncul gelembung-gelembung dari dalam kamera. Layar nya langsung padam, dan kamera itu mati. 

Kamera underwater itu kemasukan air. 

Saya langsung mengeringkannya, mengeluarkan batere dan memory card kemudian coba saya keringkan dengan hairdryer. Tapi sampai keesokan harinya kamera itu tetap tidak menyala. 

Awalnya saya berpikir mau kembali ke service center itu, tapi setelah saya hitung-hitung berapa besar effort yang harus saya keluarkan untuk pergi ke service center nya yang jauh dari wilayah saya sehari-hari, terus nanti setelah menunggu lama dikabari biaya perbaikan yang harganya bakal sama kayak harga beli satu kamera baru lagi, ditambah lagi peristiwa service terakhir yang benar-benar tidak meng-enakan, maka saya putuskan untuk merelakan kamera itu. 

Yah jadilah kamera stylish yang katanya tough itu, di usianya yang masih teramat muda sudah menjadi bangkai yang menghiasi rak buku di kamar saya. 

"It takes getting everything you ever wanted and losing it to know what true freedom is," kata Lana Del Rey. Dan kayaknya sangking seringnya beberapa tahun terakhir ini saya kehilangan sesuatu, lama-lama jadi terbiasa untuk melepaskan sesuatu dengan penuh kerelaan. Beberapa bulan lalu juga saya kehilangan blackberry saya yang sudah menemani saya selama hampir 5 tahun. 

Mungkin hidup ini kayak traveling, semakin banyak barang/beban yang harus dibawa maka traveling nya jadi ribet dan berat. Tapi kalau kita bisa milih untuk membawa apa saja yang benar-benar kita butuhkan sehingga bawaan kita ga banyak, perjalanan akan jadi lebih simpel dan ringan. Apalagi kalau bisa benar-benar jalan dengan hanya bawa diri sendiri - maybe that's what true freedom is, kita gak takut kehilangan apa pun lagi kalau kita ga punya apa-apa. 

Selasa, 07 Januari 2014

Hari Pertama di Sydney: Disambut Kabut di Circular Quay dan Manly Scenic Walk Pakai Koper

Salah seorang kawan beberapa hari lalu mengkritik saya tentang penggunaan kata "kita" dan "kami" di blog saya. Karena malas mikir, saya tidak pernah menggunakan kata "kami" dan menganggap semuanya adalah kata ganti "kita", lagipula sepertinya saya sudah jarang mendengar orang menggunakan kata "kami" di percakapan sehari-hari, jadi saya bilang, "kata 'kami' itu udah nyaris punah, mungkin 2 generasi setelah ini udah ga ada yang ngerti kata itu." Tapi di postingan kali ini saya mau coba menggunakan kata 'kami' deh, walopun agak lucu-lucu gimana gitu.

Tahun lalu (2013) saya sudah selesai mencicil cerita tentang jalan-jalan saya di Melbourne dan sekitarnya (Ballarat dan Great Ocean Road), walaupun sudah hampir 1,5 tahun berselang saya akan cerita waktu pertama saya tiba di Sydney - setelah melalui insiden nyaris kehilangan koper di bus dari Melbourne ke Sydney.

Kami - Saya dan Cipu, tiba terlalu dini di Sydney Central Stasiun, tempat pemberhentian terakhir Bus yang mengantarkan kami dari Melbourne. Stasiun Central masih sepi, mungkin karena kebetulan hari itu hari Sabtu. Kami langsung mencari tanda yang menunjukan arah ke Toilet, ternyata toiletnya besaaaarrrr sekali dan waktu saya cuci-tangan-cuci-muka-gosok-gigi di wastafel airnya hangat. Untunglah karena udara pagi itu dingin sekali - ga sedingin di Melbourne sih, tapi cukup dingin untuk bikin saya, si gadis tropis menggigil kedinginan.

Sydney Central
Sydney Central Station bangunannya sama klasik seperti Flinders Station di Melbourne tapi lebih luas dan besar. Segala-galanya lebih luas dan besar di Sydney kalau di bandingkan Melbourne, kotanya lebih luas, bangunan-bangunannya lebih besar-besar, bahkan kereta di Sydney lebih besar dan bertingkat. Kami membeli tiket kereta menuju Circular Quay, karena janjian sama Mba Andri di Sydney Harbour agak siang karena paginya Mba Andri ada latihan menari.

Kabut pekat menyapa kami di Sydney Harbour, kapal-kapal Ferry di dermaga-dermaga yang ada di situ bahkan tidak berani beroperasi karena gelapnya kabut. Tadinya kami mau jalan-jalan naik Ferry mengelilingi teluk sydney itu dulu sambil nunggu ketemu Mba Andri, tapi karena ferry tidak ada yang berani jalan kami sarapan di McD sambil nunggu kabut mereda.

Bukan Cipu namanya kalo ga sok akrab sama orang asing. Waktu lagi makan di McD dia ngajak ngobrol bapak-bapak pakai seragam petugas yang lagi sarapan. Bapak itu orang Nepal, katanya mungkin orang Nepal pertama yang pergi ke Australia, kerja dan menetap disana. Katanya waktu dia pertama kali datang suasana rasisme nya masih  terasa banget, tapi sekarang sudah banyak berkurang. Sebelum pergi Bapak itu sempat memberi tahu lokasi market yang hanya buka sabtu dan minggu.

Bersamaan dengan berlalunya Bapak Nepal itu, kabut mulai reda. Dermaga Ferry mulai membuka loketnya. Disana ada beberapa dermaga dengan tujuan beda-beda, ada yang ke kebun binatang juga tapi kami memilih pergi ke Manly yang jaraknya paling dekat. Saya masih dengan menggeret koper kemana-mana.

Ferry-Ferry di dermaga

bersama cipu di atas Ferry

Sydney Opera House yang belakangnya masih ada kabut pekat menggelayut
Manly adalah daerah sub-urban di daerah Sydney yang lokasinya sebelahan sama pantai. Rumah-rumah disana bagus-bagus dengan view yang langsung memandang birunya laut. Waktu itu hari sabtu pagi, ketika kami merapat di Manly udara semakin cerah dan terasa hangat, sinar matahari yang ceria mulai menggantikan kabut yang muram. Kebiasaan orang Aussie yang suka banget sama kegiatan outdoor sangat menyenangkan dan seru buat diamati, ada yang jogging, berenang, mendayung perahu kanoe di laut, bahkan anjing pun main surfing sama majikannya.


Kanoe buat di dayung di pantai

Penunjuk kilometer manly scenic walk

pemandangan sydney cove dari Manly

Lari-lari di pantai gini mengingatkan saya sama masa kecil saya nih

Cipu sangat menikmati jalan-jalan pagi di Manly scenic walk sambil ga berenti ngakak ngetawain saya yang geret-geret koper sepanjang scenic walk 2 km sementara bule-bule jogging lalu lalang. Sebenarnya scenic walknya ada yg 9 km, tapi yang ada jalur wheelchair nya cuman yang 2 km, ya anggap aja roda koper itu sama kayak roda wheelchair. Belakangan baru saya tau, Cipu gak cuman ngetawain saya, tapi juga motret-motret pemandangan absurd yang memalukan itu dan membahasnya di blognya, jadi saya ga perlu bahas dua kali, klik aja link nya : Cipuism.

Ketika kami kembali dari Manly menuju ke Circular Quay lagi cuaca sudah cerah,  melalui jendela ferry kelihatan jembatan Sydney Harbour yang terkenal. Dan ternyata di dalam ferry nya ada wi fi. Ya sebenarnya ga istimewa-istimewa amat sih ya secara di sini dalem Bus AKAP dan Damri aja ada wi fi nya. Di Circular Quay kami makan siang fish and chips di taman di antara burung-burung, saya tetap sama koper.

di dalam ferry kembali ke circular quay

Jembatan Sydney Harbour

Fish & Chips (dan koper)


Minggu, 05 Januari 2014

Ride

I just love this song by Lana Del Rey, the video and the narration in the video before the song starts:

I was in the winter of my life, and the men i met along the road were my only summer.
At night I fell asleep with visions of myself, dancing and laughing and crying with them.
3 years down the line of being on an endless world tour, 
and my memories of them were the only things that sustained me, and my only real happy times.
I was a singer - not a very popular one,
I once had a dreams of becoming a beautiful poet, but an unfortunate series of events saw those dreams dashed and divided like million stars in the night sky that I wished on over and over again, sparkling and broken.
But I didn't really mind because I knew that it takes getting everything you ever wanted and then losing it to know what true freedom is.
When people I used to know found out what I had been doing, how I'd been living, they asked me why, but there's no use in talking to people who have home.
They have no idea what it's like to seek safety in other people - for home to be wherever you lay your head.

I was always an unusual girl.

My mother told me I had a chameleon soul, no moral compass pointing due north, no fixed personality, just an inner indecisiveness that was as wide and as wavering as the ocean.
And if I said I didn't plan for it to turn out this way I'd be lying.
Because I was born to be the other woman, who belonged to no one, who belonged to everyone.
Who had nothing, who wanted everything, with a fire for every experience and an obsession for freedom that terrified me to the point that I couldn't even talk about it, and pushed me to a nomadic point of madness that both dazzled and dizzied me.


Every night I used to pray that I'd find my people, and finally I did on the open road.
We had nothing to lose, nothing to gain, nothing we desired anymore......
except to make our lives into a work of art.
Live fast. Die young. Be wild. And have fun.
I believe in the country America used to be.
I believe in the freedom of the open road.
And my motto is the same as ever:
"I believe in the kindness of strangers. And when I'm at war with myself I ride, I just ride."
Who are you?
Are you in touch with all of your darkest fantasies?
Have you created a life for yourself where you can experience them?
I Have. I am fucking crazy.
But I am free.


Rabu, 01 Januari 2014

2013 ; The Unexpected Journey

Di film the hobbit bagian pertama yang judul nya sama seperti judul postingan tahun baru saya ini, Bilbo Bagins sedang santai di depan rumahnya sambil menghisap tembakau di pipa yang panjang ketika di datangi Gandalf yang mengajaknya untuk pergi berpetualang. Bilbo yang saat itu menikmati kehidupan rumahannya yang nyaman dan gak pernah pergi jauh kemana-mana langsung menolak, katanya petualangan itu konyol dan cuman bikin orang telat pulang untuk makan malam.

Mungkin buat banyak orang traveling itu adalah liburan untuk menikmati hidup, bersantai di resort mewah atau ikut tur kapal pesiar. Dari satu comfort zone ke more comfort zone. Tapi buat saya traveling itu adalah petualangan konyol yang bikin saya telat makan, keluar dari kenyamanan rumah saya agar selalu ingat bahwa dunia ini luas dan saya bukan siapa-siapa, insignificant. Banyak sekali yang saya ga tau di luar sana dan apa yang saya tau sekarang ga ada apa-apanya banget, malahan semakin memancing pertanyaan-pertanyaan baru untuk dicari jawabannya. 

Perjalanan dimulai dengan pencarian innerpeace ke Dieng, bersama  Chacha dan Tince, kami berangkat berpetualang ke tempat peristirahatan para dewa - Di Hyang, dengan menggunakan kereta api-bus-angkot. 

Entah kenapa saya sudah tidak begitu antusias melakukan riset mendalam ketika mau jalan. Saya justru ingin tahu berapa banyak kejutan dan berapa banyak saya bisa belajar dari journey itu sendiri. Karena itulah saya menanggalkan sesuatu yang bernama itinerary plan di perjalanan ke Dieng. 

Itinerary plan juga tidak ada di perjalanan saya ke Pulau Komodo. Saya, Pagit dan Mba Efa waktu itu hanya punya misi: bertemu Komodo, bagaimana proses mencapai misi itu biarlah menjadi Unexpected Journey.

Tuhan pun punya Unexpected Journey untuk saya, berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan umroh. Ketika sedang jalan-jalan ke Jabal Magnet saya dapat kabar kalau saya dapat proyek di Jepara, yang anehnya membawa saya ke titik pusat penyebaran Islam di Jawa - Demak dan Kudus.  

Perjalanan hidup sendiri pun adalah Unexpected Journey. 

Tahun kemarin saya punya mainan baru, sebuah smartphone. Awalnya saya belum terbiasa menggunakannya, smartphone canggih itu hanya saya gunakan untuk socmed, foto dan telepon. Tapi saya mencoba mempelajarinya, memahaminya dan bermain dengan smartphone saya. Cepat sekali saya terbiasa dengan barang itu. 

Memang awalnya butuh keberanian untuk ngutak ngutik barang baru itu. Takut salah pencet, takut rusak, takut nanti ada masalah. Tapi kalau takut mulai meng-eksplore, saya tau bahwa barang itu bakal mubazir, lagian saya punya rasa penasaran yang tinggi. Sekarang banyak sekali yang bisa saya lakukan dengan smartphone saya itu. 

Beberapa kali memang ke-sok tauan saya menimbulkan masalah, tapi kalau ada masalah saya tinggal meng-google nya atau liat di forum bagaimana orang-orang lain yang pernah kena masalah kayak gitu berbagi solusinya. Hingga saat ini saya bahkan belum pernah membuka manualnya.

Mungkin hidup harus begitu. Apalagi kan kalau manusia udah jelas-jelas pas lahir gak bawa manual, jadi ga ada acuan pasti tentang hidup. Mau digunakan seperti apa hidup kita ya semua tergantung diri sendiri. Mungkin agar terbiasa kita harus mempelajari hidup secara langsung dengan ber-eksperimen, kemudian mencoba memahaminya dan -jangan lupa, bermain! Konsekuensi nya memang kita pasti akan melakukan kesalahan-kesalahan, bikin masalah dimana-mana, tapi itulah yang membuat kita belajar. Bagaimana belajar dari kesalahan yang kita buat dalam hidup dan memperbaiki masalah yang ada. 

Selamat Tahun Baru 2014.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...