Rabu, 24 Juni 2015

Menempuh Jalan Terjal Berliku Menuju Cafe D'Pakar


Hari ini sudah lewat 80ribu kilometer yang saya lalui bersama Blue On, city car mungil 1300cc Matic berwarna biru muda seperti warna langit yang cerah, warna favorit saya. Banyak orang menyamakan warna Blue On dengan warna taksi Blue B*rd yang banyak berkeliaran di jalan, bahkan saat hujan tak jarang para pejalan kaki di pinggir jalan yang sedang menunggu taksi melambai-lambaikan tangan ke arah saya dan Blue On. 

Karena warna mobil saya yang terlalu shocking dan langsung melekat di benak orang yang melihatnya, jadi banyak kawan saya yang ingat sama warna mobil saya tersebut. Di suatu malam ketika saya lagi hang-out di Citos, tiba-tiba ada notifikasi tag di facebook, teman saya posting foto dua mobil - Blue On dan mobilnya. “Parkir di sebelah mobil lo, nih” captionnya. Padahal teman saya yang nge tag di facebook itu juga kebetulan banget ke Citos juga dan dapat parkir sebelah mobil saya, bukan karena janjian.

Hampir 6 tahun saya dan Blue On mengarungi jalanan ibukota, pinggiran kota hingga berpetualang ke luar kota. Image citycar  warna biru ceria dan Mila sepertinya sudah melekat di benak kawan-kawan saya. Suatu hari saya di telpon sama salah satu kawan yang sudah lama tidak berhubungan, 

“Mil, ini mobil lo kayaknya di depan gw. Lo lagi di daerah menteng ya?”

“Ha? Gw lagi di kantor nonton youtube One Direction.”

“Lah ini bukan elo? Warnanya kayak mobil lo banget.”

“Mobil apaan?”

“J*zz.”

“Yeee bukan kaliiii.. mobil gw s*r*on.”

Bulan lalu saya merasa sangat bangga dengan Blue On kesayangan saya.

Saya, Chacha, Anissa (adik bungsu) dan Blue On ke Bandung untuk menghadiri pernikahan salah satu teman kuliah. Pulang kondangan saya penasaran kepingin ke suatu tempat bernama Café D’Pakar yang sehari sebelumnya saya lihat diposting oleh kawan saya di Path.

Di perjalanan menuju daerahnya saya menelpon kawan saya tersebut untuk menanyakan lokasinya, “lo ke arah Hutan Raya Dago Pakar, masih lewatin itu terus ke arah Tebing Keraton.  Jalannya susah sih, tapi ya bisalah….”

Waktu dia bilang “susah” saya gak kepikiran kalau jalan yang dilalui bakal offroad dan menanjak curam. Sampailah kami di jalan yang tampaknya membelah Hutan Raya, di kiri kanan banyak tulisan “Dilaran Berburu”. Nyaris saja saya memutuskan putar balik karena ke depannya jalan semakin mengerikan, menanjak, banyak belokan, tanah merah yang becek, dan berlubang-lubang. Saya ngeri mobil saya selip di tengah hutan.

Tapi masa sudah sampai sejauh itu mau balik arah. Akhirnya dengan penuh harapan saya putuskan tetap melanjutkan perjalanan menanjak.

Akhirnya sampai juga di jalan yang pinggir kirinya ada beberapa mobil parkir. Saya memutuskan parkir paling belakang dan Chacha turun untuk melihat apakah benar di ujung parkiran ada café.

Untungnya benar.

Sampai juga kami dan Blue On di Café d’Pakar.







Jalan pulang dari Cafe D'Pakar

Pilihan makanan dan minumannya memang tidak banyak, tapi tempatnya bagus sekali dan harganya cocok untuk kantong mahasiswa. Saya emang udah lama ga jadi mahasiswa sih tapi tampang dan kantong masih belum berubah dari jaman itu sih.

Pulangnya perjalanan lebih menantang. Memang jalannya menurun, tapi tetap saja karena becek ngeri selip. Sementara itu kendaraan yang naik ke atas semakin banyak, sehingga kami kadang terpaksa harus berhenti melipir di pinggiran jurang. Alhamdulillah, Blue On berhasil melalui itu semua dengan mulus. Saya benar-benar bangga sekali. 

Jumat, 19 Juni 2015

Menanam Terong


Saya tidak pernah suka makan terong ungu.

Sama seperti saya tidak pernah suka makan jengkol, pete dan paria. Bukan karena gengsi tapi karena memang tidak suka rasanya.  Sementara di rumah saya sih sering banget muncul menu-menu masakan dari bahan-bahan yang saya sebut diatas. Soalnya orang rumah pada suka makan.

Kalau tidak suka makan terong ungu kenapa menanam terong?

Pasti pada mau nanya gitu kan? Kan? Kan?

Ya soalnya waktu saya google soal home gardening banyak tuh nemu gambar pohon terong ungu, terus saya suka. 

Udah gitu aja sih yang memicu saya buat menanam terong ungu dari bibitnya.

Saya beli dua macam bibit terong, Terong Taiwan dan Terong Ungu. Terong Taiwan sempat tumbuh subur dan berdaun lebar-lebar, ada 5 pohon di dalam pot saya beri nama Tau Ming Tse, Hua Ze Lei, Xi Men, Mei Zuo dan San Chai yang kemudian saya sebut dengan Terong Meteor Garden (Terong Kebun Meteor). Tapi mungkin karena tidak cocok dengan cuaca Jakarta  bekasi yang panas, jadi gak pernah sempat berbuah.

Sementara Terong Ungu dalam waktu 4 bulan mulai tumbuh bunga. Bunganya cantik sekali, warna kelopaknya ungu didalamnya putik nya (atau serbuk sari?) berwarna kuning. Karena saat itu cuaca lagi galau, sebentar hujan deras berangin kencang, sebentar panas terik,  maka bunga-bunga terong yang tumbuh pertama-tama itu ga ada yang jadi buah.

Bunga Terong
Satu hal penting yang saya pelajari dari berkebun adalah kesabaran menunggu. Eh tapi kalau soal kesabaran menunggu sih saya udah ahli dink, sabar menunggu jodoh yang tak kunjung datang…eaaaaa….

Ganti deh.

Satu hal penting yang saya pelajari dari berkebun adalah bahwa tumbuhan itu sudah tahu sendiri caranya survive buat dirinya sendiri. Jadi mereka tahu sendiri gimana menentukan waktu kapan harus tumbuh daun banyak, kapan daun nya musti berkurang, kapan berbunga, kapan berbuah.

Terong Taiwan saya yang gak pernah berbuah walaupun sempat berbunga satu kali, itu mungkin karena terlalu banyak energy yang dihabiskan pohonnya untuk survive dari cuaca yang terlalu panas buat dirinya sehingga udah ga ada lebihan buat berbuah. Dan tumbuhan itu kan berbuah sebenarnya tujuannya buat reproduksi lagi, kalau buat dirinya aja mereka gak sanggup survive mungkin mereka mikirnya ya buat apa bereproduksi disitu. Dengan catatan kalo gak ada bantuan atau rekayasa apa-apa dari manusia ya.

Saya sih selalu percaya tanaman-tanaman saya adalah tanaman yang tangguh dan mandiri, jadi yang saya bisa lakukan hanyalah memberi perawatan dasar, menjaga dari hama/kutu/ulat dan menunggu mereka siap sendiri untuk berbuah. Jadi gak dipaksain berbuah pakai pupuk buah atau nutrisi-nutrisi lainnya gitu, palingan sebelum ditanam tanahnya saya campur kompos aja. Begitu juga dengan cuaca. Kalau tanaman saya ngerasa betah dengan kondisi cuaca di kebun saya ya seneng banget, tapi kalau mereka ngerasa gak cocok ya saya gak mau maksain. Saya mah selalu demokratis ama taneman-taneman saya, membiarkan mereka memilih jalan hidup (atau mati?) mereka sendiri.

Papa Said memberikan sepetak tanah di kebunnya khusus untuk saya menanam apa saja yang saya mau. Supaya gak di ganggu ayam-ayam peliharaan Papa Said yang berandalan, saya dibantu Papa Said memagari bidang tanah punya saya itu.  Disitu saya memindahkan Terong Ungu yang mulai tumbuh besar dari Polybag ke tanah, sementara satu terong yang sudah mulai berbunga di pot tidak dipindah.

Baby Terong

Petak Tanah milik saya di kebon Papa Said, ada terong, cabe, buncis, kacang panjang

Hasil panen

Kira-kira satu bulan kemudian mulai muncul bakal buah terong berwarna ungu dari dalam bunganya Warnanya kontras dan cantik bangeeettt. Gak lama saya sudah bisa memanen Terong Ungu hasil kebun sendiri.

Menurut orang rumah yang pada mencicipi Terong Ungu hasil kebun saya, rasa terong nya manis dan enak.

Ya wajarlah, kan yang nanemnya juga manis…

Sabtu, 06 Juni 2015

Trekking Rinjani


Sebulan sebelum perjalanan ke Rinjani, yang saya lakukan adalah riset operator trekking. Setelah usaha ajak sana sini tidak membuahkan hasil saya memutuskan gabung dengan operator tur saja.

Konon memang biaya yang dikeluarkan relatif lebih mahal daripada kalau mendaki dengan rombongan sendiri, tapi lebih praktis karena tidak perlu menyiapkan apa-apa. Buat saya yang hanya punya waktu cuti sebentar juga lebih efektif, tinggal bawa diri sendiri dan sedikit perlengkapan pribadi. Peralatan lain seperti tenda, sleeping bag, konsumsi disiapkan oleh operator trekking.

Pilihan saya jatuh ke Rudy Trekking www.rudytrekker.com karena perlengkapan yang ditawarkan paling lengkap dan untuk ukuran naik gunung itu mewah banget. Di dalam tenda disiapkan matras dan bantal, makan tiga kali sehari ditambah snack sore. Saya sadar bahwa operator yang saya pilih memang menawarkan paket yang eksklusif.

Saya dijemput di Senggigi, komplit dengan kertas bertuliskan nama saya dan ucapan selamat datang. Tiba di basecamp Rudy trekking langsung disambut dengan ramah oleh Mas Antok dan disuguhi minuman hangat. Pembayaran dilakukan saat itu. Saya yang sebelumnya sudah menyiapkan uang  tunai karena berpikir gak mungkin di tengah hutan bias bayar pakai credit card agak shock melihat mas Antok menenteng mesin EDC. “bayar cash atau credit card?”

“Canggih banget, mas,” saya ternganga.

Dijemput di Senggigi
Perjalanan dimulai keesokan pagi, jadi malam itu saya diantar menggunakan mobil SUV double cabin sampai ke penginapan. Langsung disambut oleh pemilik penginapan - orang bule yang bahasa Indonesia nya sudah lancar. Harga paketnya memang sudah termasuk menginap semalam di hotel. Saya senang, penginapannya bagus sekali. Bangunannya dari bambu dan batu bata exposed, tempat tidurnya besar dan berkelambu. Kamar mandinya menggunakan keramik dengan warna senada  dan ada air hangat. Saya tidur nyenyak malam itu diiringi suara tokek.

Keesokan paginya saya dan 3 orang partner mendaki satu rombongan dijemput. Kami sarapan di basecamp, menunya boleh pilih roti atau pancake pisang atau keduanya. Sambil sarapan masing-masing dibagikan peralatan berupa headlamp dan sarung tangan. Masing-masing juga dipinjamkan trekking pole.

Sementara kami sarapan rupanya porter kami menyiapkan barang bawaannya, kesemuanya di angkut dalam dua keranjang anyaman yang dipikul. Menurut guide kami, Mas Antonio, masing-masing porter bisa membawa beban hingga 70kg. Porter berangkat lebih dulu dengan pick-up baru kami menyusul ke sembalun.

Bayangan saya kalau di gunung itu makannya tidak akan jauh dari makanan kaleng, mi instant dan makanan cepat saji lain. Tapi ternyata kenyataan sangat jauh dari angan, melebihi ekspektasi.

Makan siang pertama kami dibuka dengan appetizer berupa Fresh Salad dengan saus thousand island.  Sambil menunggu main course dimasak, kami disuguhi minuman kopi, teh, pulpy orange, coca cola. Main course nya Nasi ayam, tahu, tempe, sambal dan kerupuk. Ya. Kerupuk! Terakhir disuguhi potongan buah segar yang ditata cantik komplit dengan ujung nanas yang ada daunnya ditengah, persis seperti di hotel berbintang.

Fresh Salad di tengah Savana

Makan siang bergizi dan komplit

Pendaki-pendaki lain memandang kami dengan iri.

Setelah melalui penyiksaan lahir batin di Tanjakan Penyesalan, tiba di Plawangan Sembalun  tenda saya sudah siap. Saya langsung bersih-bersih dan ganti baju yang berlumuran pasir dalam tenda. Pas keluar, sudah disambut pisang goreng yang disiram susu coklat dan teh hangat. Bangku lipat sudah rapih terpasang di samping tenda menghadap matahari terbenam.

Pisang goreng di atas gunung !
Luxurious!

Setelah matahari terbenam angin bertiup sangat kencang sehingga kami semua terpaksa harus masuk tenda. Saya dapat tenda satu untuk sendiri. Makan malam berupa nasi dan soto diantar ke tenda masing-masing.

Makan malem hangat di udara Plawangan Sembalun yang dingin

Pagi hari, kopi dan roti sudah disiapkan untuk sarapan. Sepanjang perjalanan menuju danau, Mas Antonio mengeluarkan cemilan terus dari carriernya, sampai saya curiga jangan-jangan dia bukan bawa carier tapi bawa kulkas. Soalnya tiba-tiba keluarin Beng Beng, trus tiba-tiba coca cola, trus wafer, setelah itu nawarin pulpy lagi.

Di pinggir danau kami makan mewah lagi, mie goreng pakai sayur dan ayam goreng. Ditutup dengan potongan buah segar yang ditata cantik. Pendaki-pendaki lain tetap memandang iri sampai salah satu tidak tahan dan bertanya kami pakai tur apa sih?

Perut saya kenyang bukan main, padahal saya selalu minta porsi setengah dari porsi yang dikasih ke 3 orang lain, mereka kan bule makannya lebih banyak. Karena kekenyangan saya terpaksa skip makan malam di hari kedua. Benar-benar sudah tidak mampu makan. Tapi saya tetap dipaksa untuk menyimpan snack sore hari itu, 4 potong risoles, buat jaga-jaga kalau malam hari terbangun karena lapar.

Pagi hari terakhir sarapannya sangat mencengangkan. Tiba-tiba mas Antonio membawa piring-piring Burger berisi daging burger, telur mata sapi, daun selada, potongan tomat segar dan potongan acar mentimun. Kentang goreng gemuk-gemuk mengisi sela piring yang kosong. Bahkan bule-bule yang serombongan sama saya juga terkejut. Kami menikmati sarapan di tonton oleh monyet-monyet bergelantungan diwarnai semerbak bau counterpain.

Makan siang terakhir hari itu ditutup dengan spaghetti yang sudah tak bisa masuk ke perut saya lagi, jadi saya hibahkan ke porter. Baru kali ini saya naik gunung dan kekenyangan, biasanya yang ada malah berasa kurang gizi.

Kami dijemput di gerbang Senaru dengan SUV double cabin kembali ke basecamp. Pak Rudy pemilik Rudy trekker sudah menanti, bersama dengan kaleng-kaleng coca cola dingin dan handuk dingin untuk membasuh peluh.

Komentar saya, “Pak Rudy, it was fantastic. You bring luxury to the mountain.”

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...