Selasa, 29 Desember 2015

Anjing Pantai

Saya sudah pernah cerita tentang hewan-hewan yang berpengaruh dalam hidup saya, dalam postingan Peliharaan-Peliharaan Tante. Memang tidak secara langsung saya sadari tapi ternyata dari dulu saya memang punya ketertarikan khusus sama hewan-hewan. Pertanyaan terbesar dalam hidup saya adalah kenapa ikan  matanya disamping jalannya kedepan tapi kepiting matanya ke arah depan jalannya kesamping. Saya juga pernah bahas khusus tentang sapi di blog ini, tepatnya di postingan dengan judul Sapi.

Waktu traveling bukan hanya ketemu sama orang-orang unik yang saya kenal di jalan, saya juga banyak ketemu sama anggota spesies lain yang menginspirasi saya, seperti Komodo. Walaupun hanya bisa lihat sebentar tapi saya langsung jatuh cinta sama hewan reptil raksasa ini sampai-sampai saya menaruh hiasan replika komodo di dashboard mobil. 

Pernah ada tukang parkir yang komentar, "mba, itu biawaknya bagus." 

Saya langsung marah,"ini Komodo, pak. bukan biawak."

Pernah juga waktu isi bensin, komodo di dashboard mobil saya bikin takut mas-mas yang mau bersihkan kaca. Mas-mas malang itu rupanya punya fobia sama reptil, mungkin waktu kecil pernah digigit kadal atau pernah kejebak sama buaya darat seperti saya. Untungnya walaupun beberapa kali disakiti hatinya oleh buaya darat saya gak sampe trauma sama reptil. 

Sambil gemetaran si mas fobia kadal itu menghampiri jendela mobil sambil ngomong, "maaf bu, itu yang di kaca bisa ditutup sebentar, bu?". Wajahnya pucat pasi tapi dengan profesional tetap meneruskan pekerjaannya membersihkan kaca mobil saya. Kasian juga sih liatnya.

Cukup tentang komodo, saya akui memang saya belum bisa move on dari nya.

Tujuan utama posting saya kali ini sebenarnya mau cerita kejadian lucu waktu di Jimbaran, Bali. Saya lagi duduk sendirian sore-sore menjelang matahari terbenam di pasir. Dari kejauhan saya sudah lihat ada 3 ekor anjing menghampiri. Awalnya mereka duduk agak jauh dari saya, ada sekitar 1 meter. Lama-lama duduknya bergerak makin mendekat. Rupanya mereka lirik-lirik saya tidak bergeming ketika mereka duduk mendekat. lama kelamaan salah satu anjing yang berwarna putih berdiri memandang saya dan menghampiri perlahan dengan kepala agak menunduk minta dielus. Ketika saya mengulurkan tangan mengelus kepalanya, ketiga anjing itu nempel sama saya. Rupanya mereka sudah keseringan bergaul sama turis jadi manja.



Anjing termasuk hewan yang pertama kali di domestikasi oleh manusia dari serigala. Jadi nenek moyang anjing adalah serigala. Awalnya dipelihara untuk kegiatan berburu, tapi rupanya karena hewan ini yang paling cepat beradaptasi dengan kehidupan manusia, hingga sekarang anjing tetap populer sebagai hewan peliharaan. Dibandingkan dengan kucing, anjing sebagai hewan peliharaan lebih tahu bagaimana balas budi sama yang memelihara. 

Kalau kucing itu, walaupun kita pikir kita yang memelihara mereka padahal sebenarnya kita yang diperbudak. Kucing paling gak mau kalau disuruh-suruh dan suka ngambek kalau dimarahin, maunya cuma tidur-tiduran atau main-main. Semua kemauannya harus dituruti dan entah kenapa manusia selalu aja menuruti kemauan kucing-kucing. Anehnya makin judes mukanya, biasanya makin tinggi kasta kucingnya, kalau dijual lebih mahal dan kalau kontes-kontes biasanya menang. Ada sesuatu di muka nya atau pandangan matanya yang bisa mempengaruhi alam bawah sadar manusia untuk selalu mengikuti kemauannya. Mungkin karena itu di mesir jaman dahulu yang pertama-tama mempopulerkan kucing sebagai hewan peliharaan, salah satu dewanya berwujud kucing.

Menyesuaikan dengan gaya hidup di Bali dan perilaku manusia-manusianya, maka anjing-anjing di Bali pun jadi lebih ramah dan supel. Bukan cuma anak pantai yang gaul, anjing pantai pun begitu. Waktu saya lagi tidur-tiduran di pantai yang terletak di belakang hotel pagi-pagi tiba-tiba di atas muka saya ada wajah berbulu. 


Adorable. Who can resist this kind of cuteness <3 div="">

Kamis, 17 Desember 2015

Racauan orang yang lagi kurang piknik dan kebanyakan nonton video random di youtube

Sejarah dimulai ketika manusia mengenal tulisan. Manusia mengenal tulisan setelah mereka mengenal teknik bercocok tanam dan sudah tidak hidup berpindah-pindah untuk mengumpulkan dan berburu makanan (hunters and gatherers). Sebelum masa sejarah (pre historic) manusia yang hidup berpindah-pindah belum mengenal tulisan, ilmu dan pengetahuan diceritakan langsung dan diajarkan turun temurun. Cara bertahan hidup di alam, apa saja yang boleh dimakan, bagaimana cara berburu semua diajarkan secara lisan dan langsung diterapkan dalam kehidupannya.

Manusia sudah hidup dengan cara mengumpulkan makanan dan berburu sejak ada di bumi, beberapa ratus ribu tahun kemudian teknologi yang dipakai untuk hidup semakin rumit. Awalnya alat bantu untuk senjata, mengolah makanan, dan sebagainya menggunakan batu-batuan. Lama-lama mereka punya ide meruncingkan batu. Kemudian mereka hidup berpindah-pindah dalam kelompok untuk terus mencari makanan. Semakin lama teknologi yang mereka temukan makin canggih, mungkin karena di tempat-tempat baru yang didatangi mereka terbentur dengan tantangan alam baru dan harus terus menemukan cara untuk menanggulangi tantangan alam dan bertahan hidup. 

Hingga sampai pada era manusia mulai bercocok tanam. Mungkin awalnya gaya hidup bercocok tanam masih bercampur dengan berburu dan mengumpulkan makanan dari tumbuhan liar di hutan. Kemudian di beberapa daerah yang pada akhirnya menjadi pusat dari awal mula peradaban manusia seperti di mesopotamia, gaya hidup bercocok tanam lebih maju dan manusia mulai memenuhi sebagian besar kebutuhan makanannya dari hasil pertanian. Tapi laju kemajuan teknologi di bumi tidak sama. Ketika jaman peradaban mesopotamia terbentuk, sebagian besar manusia di bumi ini masih hidup sebagai kelompok nomaden hunters and gatherers.

Ketika daerah Eropa sudah memasuki era modernisasi di tahun 1700-an, Suku Aborigin di Australia masih hidup sebagai hunters and gatherers. Di saat itu juga pasti di pedalaman-pedalaman hutan di Indonesia masih banyak dihuni oleh suku asli yang hidup nomaden. Di pulau Jawa mungkin keberadaan suku nomaden terdesak oleh masuknya arus migrasi dari manusia yang hidup bercocok tanam padi, yang populasinya merupakan cikal bakal terbentuknya kerajaan di Jawa. Tapi di pulau-pulau lain seperti Sulawesi dan Kalimantan, mayoritas pasti masih dihuni suku nomaden. Waktu saya kecil aja di Irian Jaya (Sebutan papua jaman orde baru) masih banyak suku asli yang hidup di hutan dengan cara berburu. Di kalimantan pun masih ada suku Dayak yang tinggal di hutan yang masih belum jadi kebun sawit. 

Saya mau cerita video singkat yang baru saya tonton tentang Waorani, dari suku asli yang tinggal di hutan Amazon . Kalau mau nonton sepertinya harus Log In dulu dan daftar, jadi saya cerita aja sekilas. 

Waorani lahir sebagai suku nomaden di pedalaman Amazon. Waktu kecil Waorani masih hidup berpindah-pindah. Setiap 3 bulan pindah tempat, dia ikut jalan diikat pakai tali ke orangtuanya atau didukung di pundak orang tuanya. Mereka hidup dari makan hasil hutan dan berburu, makanan utamanya Yuca atau kalau kita bilang disini Singkong. Mereka hidup berkecukupan, alam memenuhi segala kebutuhan mereka. 

Hingga suatu hari ketika Waorani sudah dewasa di tahun 90-an, datang orang-orang dari perusahaan minyak. Mereka membuat perjanjian dengan beberapa suku asli yang tinggal di hutan itu agar mereka bisa menambang minyak bumi disitu. Seharusnya perjanjiannya hanya 20 tahun, tapi sudah lebih dari 20 tahun perusahaan minyak itu masih beroperasi di sana. Waorani menyebutnya "the devil's tongue of spanish".

Kisah yang mirip pernah saya dengar dari Rio yang pernah tinggal bersama suku dayak di Kalimantan. Hidup mereka berubah drastis karena perusahaan kelapa sawit membeli tanah mereka untuk dibangun perkebunan. Mereka yang sebelumnya tidak terbiasa dengan konsep uang mempergunakannya secara konsumtif, beli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan dan tidak bisa jadi modal untuk hidup mereka selanjutnya kalau uang hasil penjualan tanah sudah habis. 

Sejak nenek moyang Suku Dayak hidup di hutan itu berabad-abad lalu, mereka hidup dari apa yang ada di hutan. Mereka punya kepercayaan, kewajiban dan tata cara yang diajarkan turun temurun bagaimana menjaga hutan agar bisa terus hidup dan makan dari apa yang ada di hutan. Mereka tidak perlu uang untuk beli makanan. Tapi karena hutan tempat mereka cari makan berubah jadi ladang sawit dan sudah ditukar sama uang, jadi otomatis hidup mereka berubah drastis. 

Sama persis seperti Waorani di hutan amazon. Sebelum perusahaan minyak datang mereka hanya makan apa yang ada di hutan; singkong, pisang, hewan buruan. Pakaian, alat berburu dan aksesoris lainnya diambil dari bahan yang tersedia di hutan, diajarkan turun temurun oleh orang tua mereka. Dan mereka merasa cukup. Setelah mengenal uang dan bisa beli bahan makanan, yang dimakan jadi lebih bervariasi; nasi, coca cola, biskuit, kue. Masalahnya adalah Waorani tidak punya skill untuk menghasilkan uang, sementara makin lama kehidupannya makin tergantung dengan uang karena hutan tempatnya tinggal sudah tidak sama seperti pada masa ayah dan kakeknya. 

Waorani khawatir dengan kondisi hutan yang semakin rusak karena pekerjaan ekplorasi, mereka sudah tidak bisa lagi hidup dari hasil hutan seperti dulu. Ya mirip-mirip kejadiannya antara di amazon, suku dayak di kalimantan, suku di papua. Itu juga yang terjadi sama banyak spesies hewan di dunia ini yang semakin lama semakin susah untuk bertahan hidup karena hutan tempat tinggal mereka makin lama makin sempit didesak oleh perkebunan, peternakan, jalan raya, perumahan, pabrik. Sekarang Waorani dan anggota suku yang tinggal di hutan itu tidak lagi bisa hidup berpindah-pindah. Anak-anaknya sudah tidak merasakan hidup nomaden, mereka menetap di rumah yang sudah di semen permanen dan sudah sekolah.

Waorani di Amazon, suku Dayak di Kalimantan dan suku di Papua merupakan sisa-sisa dari generasi hunters and gatherers di dunia ini. Anak-anak mudanya mungkin sudah tidak hidup sama seperti cara hidup kakeknya karena perkembangan dunia yang pesat tahun belakangan ini, mereka sudah tidak lagi berburu dan mengumpulkan makanan karena kebutuhannya dibeli di pasar. Mereka mungkin sudah tidak lagi mempelajari pengetahuan turun temurun dari orang tuanya tentang jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa jadi makanan atau jadi obat di hutan, tidak lagi mempelajari cara membuat pakaian dan membuat senjata dari bahan alami karena sudah sekolah dan belajar matematika, fisika dan kimia. 

Perubahan memang tidak terelakan, tapi lucu. Jaman dulu dunia ini tanpa batas, kemudian manusia membuat batasan-batasan untuk melindungi tempat tinggalnya contohnya batas negara, tapi lama-lama gaya hidup nya jadi sama semua dan mulai banyak yang menginginkan dunia tanpa batas (lagi). Yang hidup di peradaban inferior pasti kepingin mengikuti manusia yang hidup di peradaban superior. Kalaupun gak kepingin pilihannya hanya harus mengikuti atau terdesak. Seperti suku di Amazon dan Dayak terdesak sama globalisasi, suku Indian dan Aborigin terdesak sama kolonisasi bangsa eropa jaman dulu. 

Waktu ke Rinjani, kawan-kawan bule saya yang bareng mendaki sama saya sepakat kalau saya mengingatkan mereka sama Pocahontas waktu lihat saya lari-lari gak pake sepatu dipinggir danau. Katanya karena kulit saya yang tanned (bukan item yah), kepangan rambut dan tampak seneng banget lari-larian telanjang kaki. 

Pocahontas di disney memang keren, dia juga dari suku indian asli yang tinggal di hutan. Tapi kenyataannya ga seindah di film animasi. Pocahontas itu tokoh nyata dan memang benar dia ketemu John Smith yang berlayar pakai kapal dari Inggris. Si John Smith ini sendiri yang menulis surat ke Ratu Inggris tentang Pocahontas, seorang gadis anak kepala suku indian yang menyelamatkan nyawanya ketika mau dieksekusi sebagai penyusup asing. Mungkin itu yang menginspirasi cerita Disney. 

Saya pernah baca cerita asli tentang Pocahontas, di dunia nyata Pocahontas akhirnya menikah dengan pria Inggris, bukan John Smith. Dia jadi perempuan Indian pertama yang hidupnya di-westernisasi. Pocahontas diajari bahasa Inggris, pakai baju kayak perempuan inggris di era itu, gaya hidup dan tata caranya berubah jadi kayak orang eropa. Buat saya itu tragis dan menyedihkan, tapi mungkin pas jaman itu dari suku primitif yang hidup di hutan jadi anggota peradaban eropa yang canggih itu keren.

Waktu jaman kolonial di Indonesia dulu, Belanda juga membawa gaya hidup Eropa ke raja-raja Jawa. Pangeran dan Putri disekolahkan ke Belanda atau disekolahkan di sekolah elit yang didirikan dan diajar oleh orang Belanda, mempelajari bahasa dan gaya hidup eropa. Coba aja perhatikan kalau lagi berkunjung ke keraton atau museum kerajaan-kerajaan di Jawa. Di tahun 1800-an Sultan pun mulai memasukan unsur Jas ke pakaiannya, seperti gaya pakaian orang Eropa. Sekarang kita pakai baju, rok, kemeja, T-shirt, Jeans itu hasil nyata dari era kolonial, kita semua bergaya pakaian seperti orang barat. 

Berakhirnya satu jaman beralih ke jaman lain memang tidak terelakan dan kalau kita baca buku sejarah memang selalu terjadi. Sekarang ini adalah saatnya jaman hunters dan gatherers benar-benar berakhir. Generasi yang lahir sekarang-sekarang ini mungkin hanya akan tahu suku primitif yang tinggal nomaden di tengah hutan hanya dari wikipedia atau dari jalan-jalan ke goa pre-historic dan lihat gambar-gambar hasil karya orang purba di dinding goa karena budaya hidup hunters and gatherers sudah punah. Tapi mudah-mudahan kita semua tidak akan lupa kalau ada saat dimana manusia hanya mampu bertahan hidup di alam, belum punya teknologi untuk berusaha mengendalikan dan menjadi mahluk congkak yang berusaha menguasai dunia ini. 

Senin, 07 Desember 2015

Kembali ke Tanjung Lesung

Setelah survei singkat ke Tanjung Lesung tahun lalu akhirnya beberapa bulan lalu saya kembali ke pantai yang terletak di Banten itu. Kali ini saya menginap dua malam di Kalicaa Villa yang terletak di kawasan wisata Tanjung Lesung bersama keluarga dan ukulele biru.

Di hari keberangkatan ke Tanjung Lesung saya ada janji sama orang urusan pekerjaan di suatu pameran di JCC. Selesai urusan lagi jalan-jalan tanpa arah di pameran tiba-tiba saya lihat sosok yang familiar. Rupanya Cipu lagi jaga stand pameran.

Woow, saya tidak mengira akan bertemu Cipu.

Cipu
Saya janjian sama adik saya di kantor, target mau makan siang di Serang, tapi karena macet sedikit di jalan toll makan siang jadi agak terlambat. Kami berhasil tiba di Tanjung Lesung sebelum sunset, jadi masih sempat menyaksikan matahari terbenam di teluk yang terletak di bagian barat pulau Jawa itu. Langit cerah, laut disana tampak biru jernih dan pasir putih bersih. 

Villa yang kami tempati terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu, dapur, dua kamar mandi yang satu berukuran lebih kecil ada di kamar tidur utama yang ukurannya lebih luas, gazeboo untuk santai-santai dan kolam renang kecil. Ternyata kalau malam anginnya dingin. Saya, adik bungsu dan sepupu yang punya rencana mau berenang malam di kolam renang itu terpaksa mengurungkan niat. Kamar mandi utama yang terletak di luar shower di bawah langit alias tidak pakai atap, tren kamar mandi resort terkini yang diadaptasi dari gaya hidup tradisional di pedesaan. Waktu menyalakan shower saya langsung sadar kalau saya tidak sendiri, ada seekor kodok dipojokan yang lagi memperhatikan saya.

Woow, saya tidak mengira akan ketemu kodok di kamar mandi.

Dini hari, masih gelap, saya keluar dari villa menuju dermaga diikuti oleh adik dan sepupu. Sampai di dermaga masih gelap dan banyak bintang, saya tiduran sambil memandang bintang dan mendengarkan bunyi gemericik ombak di bawah dermaga. Angin bertiup kencang dan dingin. Tak lama semburat warna jingga mulai tampak di bagian timur. Semakin lama semakin terang, saya melihat kebawah dermaga ternyata penuh dengan terumbu karang bagus-bagus dan tampak jelas karena airnya bening sekali.

Koralnya terlihat dari atas dermaga
Ketika mulai terang kami pun beranjak dari dermaga dan mejelajahi area sekitar. Dermaga itu tempat saya foto sama ukulele tahun lalu, ada di kompleks Green Coral beach camp. Jaraknya sekitar satu kilometer dari kompleks Kalicaa Villa tempat saya menginap. Disitu ada tenda-tenda camping yang disewakan, ada paketnya per pax termasuk makan dan minum. Kalau mau snorkelling di situ ada tempat yang menyewakan peralatan snorkeling dan ada paket trip juga kalau mau snorkelling yang agak jauh pakai boat. Tempat penyewaan alat snorkelling baru buka jam 10 pagi, jadi rencana berikutnya kami akan balik ke villa untuk sarapan kemudian balik ke situ untuk snorkelling.

Di jalan balik menuju villa saya lihat ada tanda panah ke kebun binatang mini, ada jalan setapaknya. Sebidang tanah tidak begitu luas yang di dalamnya ada kandang-kandang kecil. Isi kandang itu ada beberapa jenis ayam, kelinci, kambing dan beberapa macam burung diantaranya ada burung merak. Favorit saya adalah ayam yang suara berkokoknya aneh, kayak lagi ketawa.

Woow, saya tidak mengira akan ketemu ayam yang bisa tertawa ngakak.

Diantara kompleks Green Coral Beach dan Kalicaa Villa ada Tanjung Lesung Beach Hotel. Hotel & Resortnya beda kompleks dan beda konsep sama Villanya, tapi sepertinya pengelolanya sama karena waktu saya check in di lobby hotel Tanjung Lesung juga. Karena waktu check in di lobby hotel, maka kami pikir breakfast nya di restorant hotel itu juga. Jadi kami ke villa, ambil kupon, kemudian jalan ke hotel lagi. Sampai di restoran baru diberitahu kalau untuk villa sarapannya di restoran berbeda yang ada di kompleks Kalicaa Villa. Yah jadi kami berbondong-bondong balik lagi ke kompleks villa. 

Ternyata memang benar ada restoran juga di kompleks villa. Sarapan ada dua macam, menu Indonesia yaitu nasi goreng dan menu western yang terdiri dari roti, omelet dan sosis. Setelah menunggu sekian lama sampai lemas karena lapar akhirnya datang juga sarapannya. View dari restorannya yang langsung ke pantai sih bagus, tapi karena udah kelaparan dan lemas akibat banyak jalan dari sebelum matahari terbit jadinya sudah tidak nafsu sama pemandangan pantai yang bagus. 

Setelah sarapan dan energi sudah kembali full saya memprovokasi adik-adik dan sepupu untuk jalan lagi ke Pantai Bodur. Saya sebelumnya belum pernah kesana, cuma pernah lihat di suatu blog dan lihat tanda panah penunjuk arah yang terlihat dari jalan masuk ke kompleks villa. Saya tidak tahu seberapa jauh ke dalam, ternyata jauh juga kalau jalan kaki. Apalagi di tengah perjalanan matahari mulai terik. Sebelum sampai ke pantai ada bidang tanah luas yang mirip savana-savana-an kalau di foto. Pantainya bagus, pasir putih, ada ombak dan sepi banget, jadi berasa pantai milik berempat. 

Saya menggelar kain pantai di bawah pohon kelapa dan mengeluarkan camilan yang dibawa, sambil main-main ukulele, foto-foto dan ngobrol-ngobrol. Kalau kondisi begini sih betah banget, sampai gak berasa udah siang lagi. Waktu itu Eyang saya ikut sama Papa Said dan Mama Said, mereka udah telpon nyari-nyari untuk makan siang. Kami pun di jemput pakai mobil ke Pantai Bodur dan makan siang di restoran yang ada di Green Coral beach camp. Tahun lalu waktu juga kami makan siang di restoran itu.

Sayangnya kami tidak bawa baju berenang, padahal bisa tuh habis makan langsung snorkeling. Kembali ke villa malahan asik berenang-renang di kolam villa dan leyeh-leyeh di gazebo, ternyata sadar-sadar sudah sore. Tempat penyewaan snorkeling tutup jam 4 sore. Yasudah kami terusin berenang di kolam kecil sambil ngemil kentang goreng, menjelang sunset kami baru beranjak ke pantai di depan villa. 

Anissa, adik bungsu

Hari terakhir di Tanjung Lesung, saya bangun pagi dan melaksanakan ritual morning run. Berangkatnya menyusuri pinggir pantai, kali ini sudah terang. Saya terus berlari sampai pintu gerbang kawasan Tanjung Lesung, dibawah barisan pohon yang membentuk kanopi. Disisi jalan masih ada hutan, saya mendengar bunyi monyet-monyet dan ketika saya menengok keatas mereka lagi gelantungan nonton saya lari pagi. Tapi ketika saya berhenti dan mengeluarkan handphone untuk memotret, mereka kabur.

Woow saya tidak mengira akan ketemu monyet.

Sampai di gerbang saya putar balik, di pinggir jalan ternyata ada tanda-tanda lalu lintas gambar hewan. Ada gambar monyet. Ada gambar Babi hutan. Ada gambar komodo atau buaya atau kadal.

Woow saya tidak mengira akan ketemu babi hutan dan komodo. Untungnya sih gak ketemu.

Pemandangan Lari Pagi di Tanjung Lesung

Sampai di kompleks villa saya lihat adik dan sepupu saya lagi main di pinggir pantai, saya bikin kopi dan ambil buku kemudian menyusul mereka. Tapi lihat air jernih jadi pengen nyemplung, akhirnya ganti baju renang dan nyebur ke laut. Airnya dingin. Ketika air mulai menghangat kena sinar matahari pagi, ikan-ikan mulai bermunculan berenang-renang dibawah saya.

Woow, saya tidak mengira akan ketemu ikan. 



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...