Selasa, 24 September 2013

Pelangi di Bandengan

Tahun ini saya dapat suatu kerjaan di suatu Pembangkit Listrik yang lokasinya di sekitar Jepara. Hal ini menyebabkan saya musti beberapa kali bolak-balik Jakarta-Semarang-Jepara-Semarang-Jakarta dalam beberapa bulan belakangan ini. 

Bahkan seringnya saya melakukan perjalanan bisnis trip pulang-pergi ini dalam sehari. Pagi saya naik pesawat ke semarang, kemudian lanjut naik mobil 3 jam-an ke lokasi Pembangkit Listrik. Sorenya saya kembali ke Semarang, kalau masih sempat naik pesawat paling akhir ke Jakarta, kalau sudah terlalu malam sampai semarang saya naik kereta. Sampai di jakarta pagi, langsung deh meluncur ke kantor. 

Pernah juga urusan saya di Jepara selesai terlalu sore, jadi tidak sempat mengejar pesawat dan sepertinya tidak akan sempat mengejar beli tiket kereta juga karena saat itu kebetulan pas hari Jum'at, wiken. Akhirnya waktu lewat daerah Kudus dalam perjalanan dari Jepara menuju Semarang saya melihat di pinggir jalan ada pool bus malam Pahala Kencana, saya memutuskan turun dan menanyakan tiket bus malam ke Jakarta, ternyata masih ada dan kebetulan banget sudah akan berangkat dalam waktu beberapa menit. Saya segera memutuskan naik bus itu. Di perjalanan saya mikir, ini gak untuk urusan jalan-jalan maupun urusan kerja, ujung-ujungnya tetep aja saya musti bekpekeran gini. 

Satu kali pernah saya mengajak Chacha - adik saya yang juga satu kantor, ikut ke sana. Karena perjalanan satu hari dengan rute Jakarta-semarang-jepara-semarang-jakarta gak bisa dilakukan oleh setiap orang- khususnya chacha, jadi saya putuskan kali itu untuk menginap semalam di Semarang. Kita berangkat hari minggu, menginap semalam di Semarang baru Senin paginya ke Jepara. Seperti biasa, saya tidak beli tiket pulang, karena jam kepulangan yang tidak pasti dan over confidence berlebih kalau pasti akan dapat tiket pulang.

Minggu siang ketika sudah siap mau berangkat saya baru lihat tiket saya dan chacha, disitu tertera jam keberangkatan Pukul 5.45 hari Minggu. Saya baru sadar kalau 5.45 berarti jam 5 pagi, kalau sore akan ditulis 17.45. Artinya, saya dan chacha sudah ketinggalan pesawat karena saya salah liat jadwal. Perasaan saya, kita tuh  berangkatnya jam 5 sore bukan jam 5 pagi. Ternyata perasaan saya salah. 

Saya segera membuka web maskapai-maskapai penerbangan, berharap masih bisa dapat tiket di hari itu juga. Kebetulan ada salah satu maskapai yang ada jadwal penerbangan jam 6 sore, langsung saja saya beli online. Kita tetap berhasil berangkat ke Semarang hari itu, malahan sempat jalan-jalan di Simpang Lima dan makan Tahu Gimbal. 

Tahu gimbal

Pagi hari nya kita langsung berangkat ke Jepara, lokasi tepatnya sih sebenarnya masih sekitar satu jam lagi dari Jepara. Jadi kalau dari Semarang ke Jepara nya sendiri sekitar 2 jam, tambah satu jam menuju lokasi jadi total 3 jam perjalanan darat. Sampai di lokasi penyerahan barang - di gudang Pembangkit Listrik itu terjadi suatu insiden yang bikin saya sempat mau nangis berurai air mata karena barang yang kita antar ternyata gak seperti yang di inginkan oleh kepala gudang. 

Sebenarnya barang itu sudah sesuai sama gambar awal yang diminta sama user nya, tapi setelah barang nya datang si kepala gudang langsung bilang, "barang nya bukan beginiiiiiii." 

Bahkan si user yang ganteng dan tampak seksi dengan safety shoes nya pun gak bisa menolong saya walaupun saya sudah melemparkan pandangan mengiba minta diselamatkan dari si kepala gudang yang kejam. Pada akhirnya saya tetap disuruh repair barang itu sesuai dengan gambar revisi yang baru diberikan oleh kepala gudang nya saat itu. Gara-gara peristiwa itu sekarang saya agak mikir-mikir kalo dapat tawaran kerjaan dari situ lagi. Masalahnya bukan kali itu saja yang bermasalah, tapi tiap kali saya kesana selalu saja ada yang bikin saya nyaris nangis, gak pernah mulus. 

Ya yang namanya kerjaan dimana-mana mesti ada masalah sih. Mungkin suatu hari nanti kalau kerjaan saya disitu sudah selesai semua dan dapat kesempatan lagi ya akan saya ambil juga. Memang kerjaan yang ini ribet nya banget dan secara fisik melelahkan sekali karena harus bolak-balik menempuh seribu kilometer lebih dalam sehari, tapi seberat apapun hari saya di situ bisa hilang tiba-tiba dengan hanya mampir di Pantai Bandengan.

Pantai Bandengan 

Waktu pertama kali menemukan Pantai Bandengan
Pantai Bandengan terletak di Jepara, dari jalan raya masuk kedalamnya lumayan jauh. Pantainya bersih banget dan terawat. Pasirnya juga putih dan lembut. Di daerah situ banyak cottage-cottage dan penginapan yang bagus-bagus. Bahkan kata orang situ kalau sabtu minggu banyak orang bule berjemur di pantai. Saya juga baru tahu kalau di Jepara banyak orang bule yang bisnis eksportir kayu jati ukiran Jepara.   

Pertama-tama saya ke Pantai ini karena waktu itu urusan pekerjaan saya selesai agak cepat dan saya dapat tiket pesawat jam 8 malam, jadi supir mobil sewaan mengajak saya melihat Pantai Bandengan yang ternyata bagus banget. 

Di hari saya ke Jepara sama Chacha itu, sebenarnya kita keluar dari lokasi Pembangkit Listriknya sudah sore banget, tapi saya mengajak Chacha ke Pantai Bandengan, liat sunset sambil melepas stress. Akhirnya kita jadi menginap semalam lagi di Semarang. Lagipula kita sudah kehabisan tiket pesawat dan tiket kereta untuk hari itu, bahkan keesokan harinya kita dapat tiket pesawat yang berangkat siang dengan harga 2 kali lipat dari harga normal. Kita baru sadar kalau hari kepergian kita itu ternyata barengan sama long weekend. 

Walaupun kepergian kali itu sepenuhnya adalah kekacauan; mulai dari ketinggalan pesawat gara-gara salah liat tiket, di omelin orang gudang dan barang-barang yang sudah dibawa ke sana disuruh bawa pulang lagi, kehabisan tiket pulang, sampai akhirnya dapat tiket dengan harga yang bikin gak rela. Tapi kita beruntung karena sore itu kita melihat pelangi di pantai bandengan.


Sunset di Bandengan

Pelangi di Bandengan

Reward dari hari yang berat

Rabu, 18 September 2013

Tur ke Great Ocean Road dan Grampian

Dari awal merencanakan perjalanan ke Australia salah satu tempat yang wajib mau saya kunjungi adalah Great Ocean Road - Jalan raya yang membentang menyusuri garis pantai di Australia bagian timur bawah. Di daerah sinilah terdapat Twelve Apostles yang terkenal dan menjadi salah satu daya tarik pariwisata di Australia. Twelve Apostles itu sebenarnya hanya semacam gugusan bebatuan yang terletak di deket pantai sih, tapi kalao lihat foto-fotonya itu keren banget. Nanti saya akan ceritain khusus tentang Great Ocean Roadnya di postingan lain, kali ini yang mau saya ceritain itu adalah tur nya.

Walaupun punya niat musti ke Great Ocean Road, tapi sudah sampai di Melbourne pun saya belum memutuskan bagaimana cara saya ke sana, mau pergi sendiri ngeteng naik bus dan menginap di salah satu kota kecil yang ada di situ atau ikut tur. Ketika saya berkonsultasi sama Cipu tentang rencana trip ke Great Ocean Road itu sambil browsing jadwal bus yang menuju sana, Cipu menemukan tur ke Great Ocean Road yang lagi diskon. 

Tur itu ternyata bukan hanya ke Great Ocean Road, tapi tur 2 hari satu malam ke Great Ocean Road dan Grampian. Saya tidak tahu apa itu Grampian. Tapi total biaya tur itu cuman beda tipis banget dari estimasi biaya saya ngeteng naik bus sendiri kesana. Dan ketika di lihat di itinerary-nya ada tulisan melihat koala dan kangguru, langsung saya memutuskan booking tur itu dan berangkat 2 hari kemudian.

Pagi-pagi saya diantar Cipu sampai ke depan St. Paul's Cathedral yang terletak di seberang Stasiun Flinder, tempat dimana mobil tur akan menjemput saya. Pas sampai disana kita cari-cari rombongan orang yang kira-kira kelihatan mau ikut tur, tapi kelihatan masih sepi-sepi aja. Sampai akhirnya datang orang-orang yang keliatan seperti turis, Cipu langsung menghampiri mereka. Ternyata mereka ikut tur ke Great Ocean Road juga, jadi kita memutuskan untuk deket-deket sama mereka. 

Mobil tur minivan berlogo nama tur pun datang, berhenti di hadapan kita. Seorang pria keluar, rombongan turis yang bersama kita menyerahkan bukti transaksi ke pria itu dan masuk ke dalam minivan. Sementara saya yang juga ikutan menyerahkan bukti transaksi disuruh menunggu mobil yang lain, ternyata mobil itu untuk tur satu hari ke Great Ocean Road doang, sementara saya kan tur nya yang dua hari.

Tidak lama mobil tur saya pun muncul, sempat berhenti di depan suatu hotel menjemput seorang gadis pirang yang mungil. Tapi ternyata setelah jalan muter-muter beberapa blok, saya dan gadis pirang mungil itu diturunkan dan disuruh naik ke mobil tur lain yang sudah penuh berisi orang. Kita di perkenalkan dengan pemandu tur kita, namanya Damon, tinggi, masih muda, rambut coklat, lumayan ganteng.

Di dalam mobil sudah ada sepasang suami istri berusia 50-an, sepasang turis India, dan peserta lainnya anak-anak muda gitu. Satu-satunya orang asia cuman saya, itu juga saya dikira orang meksiko sama salah satu peserta tur yang ternyata orang Belanda. Eh tunggu, India juga asia dink. 

Masuk ke highway kantuk tak tertahankan mulai menyerang, apalagi si Damon nyerocos terus dengan intonasi suara yang datar, jadi makin nambah ngantuk. Terakhir yang saya denger dia lagi curhat sedang ngambil kuliah lagi buat jadi guru dan betapa dia menyesal sudah sia-siain masa mudanya, abis high school ga jelas nganggur-nganggur. Saya pun ketiduran.

Saya terbangun kaget. Melihat sekeliling, di dalam bus kecil itu cuman ada saya seorang. Saya melihat keluar jendela, minivan itu lagi terparkir di suatu tempat parkir di pinggir pantai dan peserta lain masing-masing lagi megang gelas minuman dan biskuit. Ketika saya mau keluar pintu bus terkunci. Gak lama Damon pun sadar kalau saya masih ketinggalan dalam bus. 

"I'm sorry, I didn't see you," kata Damon ketika saya menginjakan kaki keluar bus. Saya hanya tersenyum, masih memicingkan mata karena silau habis bangun tidur.

Pantai tempat perhentian pertama buat coffee break

Makan siang saya namanya Souvlaski (mudah2an bener nulisnya)

Me & Elaine
Saya segera menuju ke pagar pembatas dan melihat lautan terbentang di depan saya dengan pasir yang berwarna kecoklatan. Di sebelah saya cewek mungil yang dijemput di depan hotel bareng setelah saya, namanya Elaine, Irish Girl. Saya pinjem korek nya, dan sejak itu kita kemana-mana berdua terus selama tur. Ketika berhenti makan siang di suatu restoran, kita bahkan buru-buru makannya untuk sneaking out buat smoking sambil cekikikan kayak anak SMA. 

Ikut tur itu ternyata lebih kejam daripada studi tur jaman sekolah, pemandunya selalu bikin target waktu buat ke toilet, buat makan, buat ke suatu spot wisata, jadi kita malahan gak fokus sama tempat wisatanya tapi sama tenggat waktu yang dikasih sama guide nya itu. Apalagi kadang dari belakang dia tiba-tiba muncul sambil mengingatkan, "10 minutes." "5 minutes." "let's go, let's go."

Saya pun lelah.

Kadang untuk mengejar waktu saya dan Elaine sampai berlari-lari sambil cekikikan juga dan mikir ini tur apa latihan militer. Dari pengalaman ini akhirnya saya dan Elaine bikin kesimpulan kalau mau ke Great Ocean Road itu enaknya ya patungan naik mobil sendiri, jadi bisa bener-bener menikmati tempat-tempat wisata nya, bukan cuman sekedar turun minivan, lari-lari menuju spot, buru-buru foto-foto, kemudian lari-lari balik lagi ke mobil. 

Malamnya kita berhenti makan malam suatu restoran di suatu kota kecil banget menuju Grampian. Ternyata makan malam kita kali itu adalah makanan thai, nasi dan curry. Saya dan Elaine bergabung dengan dua orang cewek lagi di satu meja. Yang satu namanya Tara - cewek yang agak chubby dan cerewet banget dari Inggris. Satu lagi namanya Kattie, cewek yang tinggi banget agak tomboy tapi cantik yang berasal dari Kanada. 

Bertiga Tara, Katie dan Elaine ngomongin tempat-tempat di eropa yang pernah mereka kunjungin dan saya cuman dengerin sambil ngunyah nasi dan thai curry saya. Kalau dari umur sih kayaknya mereka sepantaran saya, atau bahkan mungkin bisa lebih muda karena kan kalau orang bule emang kelihatan lebih dewasa dari orang-orang asia yang kecil-kecil. Tapi keren banget mereka udah kemana-mana, ke banyak tempat, saya jadi merasa belum pernah kemana-mana *gigit sendok plastik*

Setelah makan, Damon ngumpulin yang peserta tur yang muda-muda, katanya dia tau tempat jualan liquor di kota itu yang bisa dapet harga murah banget kalo belinya banyak, jadi kalau mau kita patungan gitu supaya bisa beli bir murah. Masing-masing nyumbang 2 dollar dapet 3 kaleng  bir. Elaine yang orang irlandia - yang terkenal kuat minum alkohol, langsung mempertimbangkan mau nyumbang 4 dollar supaya dapet 6 kaleng bir tapi saya langsung mencegahnya dengan bilang kalau dia boleh ambil jatah saya soalnya saya sebenarnya ga suka bir. Tara pun ikut bilang mau menyumbangkan jatah birnya ke Elaine karena dia pun ga gitu suka bir dan akhirnya Tara beli sebotol kecil Cider buat dirinya. Dari hasil uang patungan itu ternyata masih ada kembalian yang akhirnya di beliin marshmellow sama Damon.

Di perjalanan menuju penginapan kita di Grampian ini lah dimana kita semua turun dari mobil malem-malem gara-gara Damon melihat sekawanan Kangguru nyebrang jalan. Karena jalanannya gelap banget dan dikiri kanan itu cuman ada padang rumput jadi tidak terlihat apa-apa, boro-boro liat kangguru.

Nyari Kangguru

Akhirnya tiba juga kita di kabin tempat kita akan menginap. Damon menyuruh kita turun dari mobil dan membawa semua barang bawaan kita dan berbaris. Sebagai permintaan maaf karena udah  ngunciin saya sendirian di mobil, Damon ngasih saya kamar khusus - satu kabin cuman berdua sama Kattie. Nah kalau dia dikasih privillage karena sepanjang perjalanan dia bantuin Damon jadi asisten tour guide. Jadilah saya dan Kattie berdua satu kabin. Sementara peserta yang lain tidur di satu kamar yang seperti kamar asrama dengan tempat tidur besi bertingkat dan berjejer di satu ruangan besar.

Di dalam kabin kita sempet ngobrol-ngobrol. Kattie berencana akan tinggal lebih lama di australia, dia mau cari kerja di Adelaide. Tiba-tiba saya jadi ingat lagu Adelaide Sky. Ach.. kenapa waktu saya di sana terbatas banget, kalau masih ada waktu lebih banyak saya juga mau ke Adelaide.

Selesai beres-beres dan lurusin badan sebentar, saya dan Kattie pergi ke dapur. Di sana peserta lain yang muda-muda lagi pada kumpul, ngobrol-ngobrol. Sementara Damon lagi sibuk di halaman, nyusun kayu bakar buat bikin api unggun. Kattie yang lihat si Damon gak bener-bener nyusun kayu bakarnya langsung turun tangan. Katanya kalo di kampung nya sana di Kanada mah semua orang pasti bisa bikin api unggun. Trus salah satu cowok dari belanda nanya ke Kattie, "is it true that Canadian are afraid of the dark ?"

Dalem hati saya mikir pasti tu cowo nonton di salah satu episode film seri how I met your mother. Seperti menyuarakan isi hati saya tiba-tiba saya denger Tara ngomong, "where did you hear that? how i met your mother?" 

Saya pun ngakak. 

Ya kalo dipikir-pikir emang potongan si kattie itu kayak Robin di film itu sih, gaya-gaya nya yang cuek, warna rambutnya, gaya ngomongnya. Mungkin itu tipikal kali ya. Sementara Tara yang cerewet nya beraksen inggris menjelaskan ke saya kalau aksen nya itu adalah aksen welsh, yang beda banget dari aksen british. Kalo Hugh Grant itu baru namanya british accent. Whatever lah, saya cuman manggut-manggut aja, gak ngerti bedanya dimana. 

Tara yang pke celana pendek jeans

Kabin pribadi saya dan Kattie yang atapnya hijau

Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan tentang kangguru , malem itu para peserta tur yang berasal dari macem-macem negara semua duduk mengelilingi api unggun, bercerita tentang hal-hal khas yang menurut mereka cuman ada di negaranya. Saya duduk mendengarkan sambil memegang gelas kopi saya, sementara yang lain sudah ngabisin berapa kaleng bir. Kita masih ngobrol-ngobrol waktu Damon mengingatkan kalo sebentar lagi udah pagi dan kita musti tidur soalnya agenda tur selanjutnya adalah mendaki gunung batu di Grampian yang katanya semacam Grand Canyon yang ada di Australia. (yang akan saya ceritain juga di postingan yang lain khusus tentang itu yaa)

Treking di Grampian

Ternyata bukan cuman saya yang kesulitan mengingat dan mengucapkan nama-nama orang-orang eropa yang susah-susah itu, Damon si tour guide ternyata kesulitan mengeja nama saya yang tertulis di list peserta nya : Djamila. 

"How to say your name?"

"Just call me Mila."

"Me - what?"

"Mila. Like movie star Mila Kunis."

Sejenak si Damon agak bingung, terus nanya siapa itu Mila Kunis. Terus dijelasin sama Kattie, si Mila Kunis yang maen film apa aja. Akhirnya si Damon ngerti, malahan bilang kalo Mila Kunis agak-agak mirip juga potongannya sama saya. Saya mah ge-er aja dibilang mirip Mila Kunis, tapi sadar diri juga lah kalo gak ada mirip-miripnya. Mungkin si Damon ngebayangin Kunis yang salah. Tapi semenjak itu dia jadi bisa manggil dan ngabsen saya sih. 


Kamis, 12 September 2013

Sunset di Ratu Boko - Failed Edition

Tidak jauh dari kompleks Candi Prambanan - sekitar 3 kilometer naik keatas bukit, ada Keraton Ratu Boko yang konon dibangun di era yang sama seperti Candi Prambanan. Ini adalah bangunan peninggalan jaman Hindu -Buddha pertama yang pernah saya kunjungi yang tidak berupa bangunan ibadah atau candi. Bangunan yang diperkirakan dibangun di abad ke 8 - 9 ini adalah keraton atau istana yang berfungsi sebagai tempat tinggal. 

Kata orang-orang matahari terbenam di daerah Keraton Ratu Boko itu indah sekali, karena itulah saya dan Chacha berencana menutup perjalanan candi Hopping kita di Jogja dan sekitarnya dengan menyaksikan matahari terbenam di Ratu Boko. Tiba di tempat parkir Ratu Boko cuaca mendung, bahkan sedikit percikan air hujan yang terbawa angin terasa lembab di wajah. Berkali-kali saya menengadahkan kepala memastikan itu hujan atau  bukan. 

Di pintu gerbang, tiket kita diperiksa dan kita masing-masing diberikan sebotol kecil air mineral. Kita bahkan ditawarkan payung untuk dipinjam. Dari gerbang pemeriksaan tiket kita menyusuri jalan setapak di antara taman yang rumputnya hijau rapih terawat. Dari kejauhan tampak susunan batu andesit keabuan yang tersusun rapi. Bunyi gemuruh guntur dari kejauhan membuat saya dan chacha mempercepat laju jalan kita.

Di gerbang keraton yang megah tampak seorang foto model sedang bergaya di potret oleh satu tim fotografer, membuat saya dan chacha kesulitan mengabadikan diri kita sendiri tanpa intervensi dari perkakas fotografi rombongan itu. Waktu matahari terbenam masih lumayan lama, jadi saya dan chacha memutuskan menjelajah bagian dalam keraton yang ternyata luas banget. Ada pendopo nya, ada kapuntren (tempat tinggal putri-putri/ selir-selir  raja), ada tempat pemandian yang keren banget, ada candi-candi juga. Kesemuanya sudah berupa puing-puing, tapi beberapa bangunan temboknya masih lumayan berbentuk. 

Sembari menunggu matahari turun kita minum kopi di kedai yang terletak di dalam kompleks puing keraton itu. "Kalau kata orang-orang jaman dulu, kalau melewati gerbang yang di depan itu otomatis dosa-dosanya tertinggal diluar. Jadi pas masuk keraton ini dalam keadaan suci gitu," cerita ibu pemilik kedai sembari menuang air panas ke gelas kopi pesanan kita. 

Saya dan chacha duduk di atas bangku panjang yang disusun dari batang-batang  bambu. "Bu, kalau mau lihat sunset yang bagus dari sebelah mana ya?" saya bertanya, pas saat si ibu menaruh gelas belimbing yang didalamnya berisi cairan hitam mengepul panas. 

"Bagus dari depan Candi Pembakaran, itu candi yang di depan gak jauh dari gerbang masuk."

Saya dan Chacha mengangguk-angguk sambil berpikir candi yang dimaksud sama si ibu itu, karena pas tadi kita lewat situ gak merhatiin ada candi apa enggak.

"Tapi sekarang - sekarang ini lagi tidak ada sunset, gelap jadi tidak kelihatan. Kalau mau kesini musim panas, sunsetnya bagus," sambung ibu itu yang kemudian masuk ke dalam kedainya lagi.

Mendengarnya saya dan Chacha agak kecewa juga sih. Udah paginya gagal nemu sunrise di Borobudur, eh sorenya gagal juga nemu sunset di Ratu Boko. Perjalanan kita kali ini bener-bener failed. Ya walopun menurut si chacha semua trip nya yang sama saya failed semua sih, tapi yang kali ini bener-bener total failed lah. 

Tapi kita tetap optimis. Setelah menghabiskan kopi kita dan membayarnya, berdua kita menuju lokasi yang disebut si ibu itu. Menggelar kain pantai di atas rumput, menghadap arah matahari terbenam yang gak jelas dimana karena ketutup awan-awan gelap. Dan menunggu. 

Gerbang depan Ratu Boko

Dapet sunsetnya cuman begini :(




Senin, 02 September 2013

Weleh Weleh.... Si Komo

Langit biru cerah dengan sedikit sapuan awan putih lembut ketika perahu kami merapat ke dermaga Pulau Komodo. Setelah 4 jam perjalanan dari Labuan Bajo dengan perahu, menyusuri gugusan pulau-pulau indah di area kepulauan komodo akhirnya tiba juga saat yang sudah saya impikan sejak lama. Melihat Komodo secara langsung. Salah satu spesies hewan tertua yang hingga kini masih hidup di bumi ini. 

Saya, Pagit dan Mba Efa melompat dari perahu, menjejakan kaki-kaki mungil kita di atas titian kayu yang memanjang membentuk dermaga. Berjalan dengan riang gembira menuju pintu masuk area konservasi komodo. Tiba-tiba seekor Komodo muncul, menghadang jalan masuk dengan pandangan sinis yang bikin hati langsung ciut. Memberi makna baru yang lebih pas untuk kata "judes". 

Komodo memang hewan besar yang tidak banyak bergerak dan tampak malas-malasan, tapi menurut hasil browsing-browsing saya, kalau hewan buas ini sudah bergerak bisa cepat sekali. Dalam sekejap mata bisa-bisa kaki kita sudah hilang di gigit. Hewan ini juga jago berenang di laut. Sebelum kita berangkat ke Pulau Komodo Pagit bertanya apa kita bisa snorkeling di pulau komodo situ? Saya cuman bilang, ya boleh aja sih kalo mau balapan renang sama komodo. 

Di saat kita lagi ragu-ragu dan merasa terintimidasi oleh tatapan galak komodo betina itu munculah seorang ranger (pemandu yang sudah dilatih khusus untuk menghadapi komodo) dengan tongkat kayu yang ujungnya bercabang dua, mirip galah untuk memetik mangga di atas pohon. Cabang di ujung kayu itu berfungsi untuk menahan leher komodo supaya gak bisa menjilat. Jadi kalau anjing kan kalau menjilat-jilat majikannya itu tandanya sayang, nah jangan di samakan sama komodo ya. Soalnya kalau sampai kena jilatan komodo itu bisa fatal banget, gak bisa cuman di basuh tanah 7 kali, malahan kalau dalam waktu 4 jam gak dapet pertolongan khusus kita bisa mati kena racun yang ada di lidahnya itu.

Ranger itu pun menyambut dan mempersilahkan kita bertiga untuk masuk dan melewati komodo yang lagi mejeng di pantai itu. "Jangan goyang-goyangin tas ya," kata ranger itu. Kita bertiga pun patuh, berjalan kaku melewati komodo yang hanya melirik jutek, berjingkat-jingkat sambil nunduk-nunduk sopan. Takut menyinggung perasaannya. 

"Itu dia mencium bau sesuatu yang ada di antara kapal-kapal itu," kata ranger berperawakan mungil itu sembari menunjuk ke jajaran perahu-perahu yang lagi parkir di dermaga, seolah-olah bisa membaca pikiran kita yang lagi bertanya-tanya ngapain ada komodo disitu. Ranger yang ternyata bernama Latif itu menjelaskan lebih lanjut, "komodo kan penciumannya bisa sampai 5 kilometer, ya tergantung angin juga sih, kadang bisa lebih jauh." 

Komodo Judes

Karena itu lah kalau ada wanita yang lagi datang bulang dilarang banget deket-deket komodo kalo gak mau langsung dicaplok gara-gara kecium bau darah. 

Latif mengantarkan kita bertiga menuju loket administrasi untuk membayar biaya-biaya masuk. Sebelum-sebelumnya kita bertiga survei di labuan bajo, kira-kira berapa biaya masuk yang harus kita keluarkan. Hasil survei itu membuat kita galau, konon menurut khalayak ramai mau masuk sana aja musti bayar sampai ratusan ribu per-orang. Ternyata pas kita sampai sana dan melakukan transaksi sendiri, murah bangeeettt... ternyata yang selama kita survei tanya-tanya di Labuan Bajo itu tarif masuk untuk turis asing, sementara untuk turis domestik bedanya jauh. *elus-elus dada, elus-elus dompet*

Sebelum mulai tracking pencarian komodo kita bertiga di briefing mengenai rute yang akan kita jalani. Ada rute gampang, menengah, dan susah. Yang membedakannya adalah jaraknya, dan juga possibility ketemu komodonya, walopun di setiap akhir kalimat penjelasan Latif selalu menambahkan "Ya belum pasti juga sih."

Contohnya nih.

"Nanti kita akan jalan ke sini," menunjuk suatu lokasi di peta yang gambarnya berupa kolam,"komodo-komodo biasanya suka menunggu mangsa disini karena disini tempat minum rusa, babi hutan dan hewan-hewan lainnya di pulau itu yang jadi buruan komodo. Biasanya sih ada. Ya tapi belum pasti juga sih."

Contoh lain.

"Di sini adalah dapur umum ranger, nah biasanya suka ada komodo disini nunggu jatah makanan. Ya tapi belum pasti juga sih."

Pokoknya tidak ada yang pasti kalau menurut Latif. Kita jadi ragu-ragu mau mulai tracking, takutnya udah capek-capek masuk hutan malah gak ketemu komodo.

Akhirnya setelah saya, pagit dan mba efa berdiskusi, kita memutuskan mengambil rute yang tingkat kesulitannya menengah. Eh bener aja, di tempat kolam air yang ditunjuk Latif, yang katanya suka ada komodo mengintai mangsa, kita gak nemu satu pun komodo.

Latif malah dengan semangat memperlihatkan sebuah pohon yang katanya adalah pohon bernama Palang Sandi. "Ini daunnya suka di pakai di acara gereja-gereja."

Mba efa yang rajin ke gereja berpikir keras, "oooo.... buat acara yang hari Rabu itu ya."

Sementara Pagit diam-diam masih mikir itu jenis tanaman yang biasa digunakan di kegiatan Pramuka soalnya ada kata-kata Palang nya dan ada kata-kata Sandi nya.

"Ini Palang Sandi," Latif masih ngotot seolah-olah mikir ini cewek-cewek kota kog bodoh-bodoh amat yak. "Palang Sandi itu biasa dipake di hari Minggu. Sandi kan Minggu."

Ternyata saudara-saudara, Latif itu okkots. Saya sih sudah curiga karena dia senantiasa menambahkan huruf G di kata-kata yang berakhiran N. Yang dimaksud nya dengan Palang itu ternyata adalah Palm. Dan Sandi itu adalah Minggu. Jadi tanaman itu tulisannya adalah Palm Sunday, dibaca Palang Sandi.

Mungkin dalam hati Latif berpikir, ini cewek-cewek kota kenapa bodoh-bodoh amat yak. Jelas-jelas Sandi itu Minggu, kalo Rabu yang namanya Wenesdi.

Dan kita pun meneruskan perjalanan kita menyusuri hutan-hutan. Kata Latif sebenarnya di kepulauan komodo ada 3 pulau yang dihuni oleh Komodo, yang sering dikunjungi wisatawan adalah Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang letaknya lebih dekat dengan labuan bajo. Sementara pulau satunya lagi itu jauh banget. Kita gak sempat ke Pulau Rinca, tapi kata Latif, komodo di pulau Rinca lebih kecil-kecil tapi lebih agresif. Kebanyakan insiden penyerangan komodo ke manusia terjadi di Pulau Rinca. Kondisi alamnya juga beda banget sama Pulau Komodo, kalau di pulau komodo adem, rindang, banyak pohon-pohonnya, sementara di Pulau Rinca itu adanya savana dan panas.

Sampai di atas bukit, kita bisa memandang pulau komodo dari atas. Kemudian tiba-tiba Latif menyuruh kita jangan berisik. Ternyata ada seekor komodo sedang leyeh-leyeh di antara rumput. Kepalanya aja yang keliatan lagi melongok-longok ke kiri dan kanan. Lagi-lagi kita terintimidasi oleh kegagahannya. 

Di atas bukit di Pulau Komodo

Pagit yang sedang merenung

Komodooooooo

Berusaha mendekati walopun sambil gemeteran
Kata Latif, walopun komodo itu sangat gesit dalam mengejar mangsanya tapi sebenarnya trik berburunya adalah menyamar jadi batu. Jadi komodo akan diam gak bergerak sama sekali sehingga mangsanya gak sadar kalau ada bahaya yang sedang mengincar nyawanya, mangsa pun lengah dan hap! komodo pun akan menerkamnya.

Konon populasi komodo di pulau itu ada ratusan, tapi karena mereka pemalu dan mungkin pas kita lewat lagi pada menyamar jadi batu makanya kita tidak melihat mereka. Tapi menurut Latif kita sudah sangat beruntung bisa lihat komodo yang diatas bukit itu. 

Di belakang dapur umum ranger, sesuai kata Latif, kita ketemu dua komodo lagi sedang tumpuk-tumpukan. Latif pun segera menghampiri sambil teriak-teriak, " woooi homooo." Soalnya menurut latif itu dua-duanya komodo jantan lagi peluk-pelukan, tapi ya gak gitu juga kali ya sampe musti teriak-teriak homo di muka komodo itu. Untung kayaknya mood mereka lagi bagus, jd cuman ngelirik judes males-malesan aja ke si Latif, coba kalo moodnya lagi jelek, pasti tuh langsung di cabik-cabik si Latif.

Komodo gay

Pagit, Mba Efa, Saya dan Latif

Pantai Komodo
Yang pertama menemukan hewan-hewan Komodo Dragon di Pulau Komodo ini adalah pelaut-pelaut Belanda waktu jaman kolonial dulu. Tapi sebenarnya penduduk lokal punya satu legenda tentang reptil raksasa ini. Jaman dahulu kala ada seorang putri yang melahirkan anak kembar, yang satu adalah manusia dan satu lagi adalah komodo. Karena rupanya yang menyeramkan maka komodo di kucilkan. 

Hingga suatu hari kembaran manusianya komodo sedang berburu dan nyaris membunuh komodo, munculah sang putri ibu mereka memberi tahu bahwa sebenarnya mereka bersaudara, jadi gak boleh saling menyakiti. Nah karena itulah di Pulau Komodo ini ada penduduk manusia yang hidup berdampingan dengan aman bersama Komodo tanpa saling menyakiti satu sama lain.

Tapi..tapi.. kalau manusia dan komodo tidak boleh saling menyakiti satu sama lain, trus kenapa hati ku masih sering disakiti sama buaya darat sih? kan sama-sama reptil *hiks 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...