Sabtu, 28 Juli 2012

Menuju Lands Beyond The Seas

Kadang saya suka aneh sama jalan pikir perusahaan penerbangan itu, kenapa semakin murah tiket yang kita beli justru rute nya semakin panjang. Bukannya kalau lebih jauh itu berarti lebih banyak pakai bahan bakar ya?  

Misalnya sekarang ini saya harus terbang 4 jam dulu ke Utara padahal tujuan saya sebenarnya ke Selatan. Jadi setelah terbang ke Kuala Lumpur, saya terbang kembali ke Selatan melewati pulau Jawa lagi menuju benua Australia.

Entahlah, kayaknya saya ga perlu mikirin gimana cara kerja mereka itu selama bisa dapat tiket murah meriah. 

Setelah melewati loket transfer penerbangan di bandara LCCT Kuala Lumpur saya menuju ruang tunggu yang penuh sesak sama penumpang. Beruntung saya mendapatkan tempat duduk pas di depan gate keberangkatan saya berikutnya, disebelah satu keluarga asal Australia yang (dari hasil nguping) sepertinya baru saja berlibur di Malaysia dan akan pulang ke negaranya.

Salah satu anak lelakinya yang berusia sekitar 8-10 tahun sedang memegang sepotong sandwich isi daging dan sayur-sayuran duduk pas disebelah saya dan melahap makanannya. Bunyi kriuk kriuk yang berasal dari perut saya segera menyadarkan saya yang lagi terpana sama sandwich dengan mata menatap nanar sambil menelan air liur. 

Wajar saja, sudah waktu nya makan siang dan dari pagi perut saya hanya diisi sebungkus wafer tango. Mau beli makan tapi ga punya uang ringgit. hadeeeeh... belom juga sampe ostrali udah memelas gini nasib saya. Emang dasar turis kere. Saya segera mengalihkan pandangan saya sebelum sepasang mata  biru anak laki-laki itu menangkap gelagat saya yang lagi mupeng sama makanannya.

Untuk menghibur cacing-cacing di perut saya yang mulai demonstrasi garuk-garuk kulit lambung sampai perih, saya mengeluarkan iPad. Biar Miskin asal Sombong, biar kelaperan asal gaya. Untuk menghabiskan waktu yang masih sekitar satu jam lagi saya membuka e-book The History of Australian exploration from 1788-1888 yang baru saya download kemarin siang.
***

Di tahun 1788, rombongan 11 kapal bertolak dari Inggris di pimpin oleh kapten kapal Arthur Philip. Rombongan itu terdiri dari 751 narapidana, 250 tentara beserta kru kapal, beberapa ekor sapi, babi dan kambing. Mereka menuju suatu daerah antah berantah yang mereka sebut Lands Beyond The Seas


‘First Fleet’ adalah sebutan bagi mereka, rombongan orang-orang (mungkin juga termasuk hewan-hewan ternak)  Eropa pertama yang telah melalui perjalanan ribuan kilometer dan ratusan hari, jauh berpisah dari tanah kelahiran mereka tanpa tahu apakah mereka akan  mati tanpa akan melihat nya lagi. Seperti perjalanan yang mereka tempuh selama berbulan-bulan, terombang-ambing di laut, seperti itu pula nasib mereka. Terombang-ambing. Entah kehidupan macam apa yang menanti mereka di seberang lautan.

Adalah James Cook dengan kapalnya yang bernama Endeavour, orang Inggris pertama yang berhasil menjelajah hingga ke bagian timur dari pulau ekstra luas yang saat itu belum banyak di ketahui orang, Terra Australis yang berarti pulau paling selatan dari semua pulau. Apa yang ada di dalamnya masih menjadi misteri besar, rute yang paling dihindari oleh para pelaut kecuali apabila terpaksa terseret badai. Menurut kabar berhembus dari pelaut yang pernah terdampar disana, pulau tersebut dihuni mahluk buas yang tinggi besar berkulit gelap mengkilat.

Sebelumnya para pelaut Belanda telah sampai di sana dan mengklaim bagian barat pulau itu dengan nama New Holland. Namun karena mereka tidak melihat adanya prospek di daratan itu jadi mereka tidak meng-eksplore pulau ini lebih lanjut. Lagipula, pas jaman itu mereka lagi sibuk-sibuknya berusaha menguasai pusat rempah-rempah di Nusantara.

Untuk menghambat ekspansi Belanda lebih jauh di pulau itu, Cook yang mendarat di bagian yang belum pernah di jamah oleh Belanda - di bagian timur pulau, mengklaim nya menjadi milik Kerajaan Inggris dengan nama New South Wales.

Beberapa tahun setelah Cook kembali ke Inggris dan melaporkan hasil temuannya ke Pemerintah Inggris, diputuskanlah untuk mengirim para narapidana ke daerah tersebut. Berbekal petunjuk dari Cook, kapten Philip menempuh perjalanan berbulan-bulan hingga tiba di lokasi yang dituju, Botany Bay.

Kondisi Botany Bay tidak layak untuk di huni, tanahnya pun sangat kering hingga tak mungkin bisa ditanami. Akhirnya Philip memutuskan untuk mencari lokasi lain untuk rombongannya. Beliau memutuskan berlayar ke arah utara dengan perahu kecil menyusuri pinggir laut hingga menemukan lokasi yang cocok. Kapten Philip sampai di suatu lokasi yang sekarang telah menjadi salah satu pelabuhan terindah di dunia, Port Jackson. Kapten segera mengarahkan kapal-kapal nya menuju tempat itu dan memimpin pembentukan koloni pertama di tempat yang kemudian dinamakan Sydney.



Salah satu sisi Port Jackson di tahun 2012

Di hari itu - pas di tanggal 26 Januari 1788, dimana rombongan 'First Fleet' dari Inggris menjejakkan kaki mereka pertama kali, hingga saat ini diperingati sebagai Australia Day.

***

Pengumuman sayup-sayup dari speaker memberitahu bahwa penerbangan Air Asia X menuju Melbourne akan segera Boarding, saya pun segera berkemas dan siap-siap untuk duduk kaku di dalam pesawat selama 7 jam lagi. Saya hanya berharap penumpang yang duduk disebelah saya ga cerewet ngajakin ngobrol soalnya saya dan cacing-cacing saya mau tidur sampai nanti mendarat di Negeri Kangguru sambil dengerin Kylie Minogue, artis ostrali favorit saya.





Selasa, 24 Juli 2012

Nothing Like Australia

Sabtu malam itu saya melipat sepotong jaket serapih mungkin, berusaha menyelipkan onggokan kain padat itu ke sisa ruang dalam koper. Sesuai sms terakhir dari Cipu yang mengingatkan untuk membawa jaket tambahan yang agak tebal.  

Seluruh berat badan saya tumpukan di satu lengan yang  berusaha menahan tutup koper sementara tangan satu lagi menggapai-gapai resleting, menarik nya mengikuti jalur melingkar dengan sekuat tenaga. Setelah melalui perjuangan dan pergulatan beberapa menit, usaha berkemas saya pun tuntas. Di akhiri dengan menggantungkan gembok kecil manis di koper ukuran 24" yang akan menemani petualangan kali ini.

Di atas kasur tergeletak ponsel saya yang berbunyi nyaring, di samping lembaran print-out tiket dan buku tebal Lonely Planet Australia. SMS masuk, dari supir taksi langganan yang sudah saya kirim pesan sebelumnya untuk menjemput saya besok subuh. "Oke, Mba. Besok saya jemput jam 5," begitu isi pesan nya. 

Malam itu mata saya terpejam tapi antara tidur dan tidak, exciting dengan petualangan apa kira-kira yang akan menanti saya selama 10 hari kedepan.  

Ah...10 hari adalah waktu yang sangat sebentar untuk berpetualang di benua yang unik itu. Sebenarnya rencana awal nya saya mau pergi ke 3 kota, Melbourne, Perth dan Sydney. Tapi dengan berat hati saya harus mencoret Perth dari jadwal karena terlalu jauh di bagian barat. 

Semalaman saya memeluk kitab Lonely Planet edisi Australia yang saya beli hanya seharga 50 ribu rupiah di suatu bazaar buku bekas. Perjalanan kali ini bisa dibilang persiapannya minimal banget. Itinerary yang saya siapkan cuman berisi catatan tempat-tempat mana yang saya mau kunjungi, sisanya improvisasi nanti disana.

There’s Nothing Like Australia”, itulah tagline pariwisata negara yang terkenal dengan hewan khasnya, Kangguru dan Koala. Cocok sekali menurut saya, Australia memang berbeda.

Selain musim nya yang merupakan antithesis dari mayoritas negara-negara di dunia, ribuan tahun benua paling imut ini terisolasi dari dunia luar sehingga menyebabkan Flora dan Fauna yang ada disini unik. Dari 5,710 tanaman yang di temukan di benua ini, 5,440-nya hanya bisa dijumpai di Australia. Dari 58 spesies mamalia yang ditemukan di Australia, ada 46 spesies yang hanya di miliki oleh benua ini, termasuk Kangguru dan Koala. Tapi jangan salah, walaupun di sana asalnya sapi import yang dikonsumsi orang Indonesia, asalnya hewan ini bukan asli dari sana. Melainkan dibawa oleh para imigran dari Eropa sebagai hewan ternak.
Puluhan ribu tahun yang lalu diperkirakan Homo Sapien pertama kali tiba di daratan bagian selatan bumi ini. Pada saat itu Australia masih jadi satu dengan Papua Nugini dan pulau-pulau kecil di Timur Indonesia, membentuk satu daratan yang diberi nama Sahul. Sedangkan Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera menjadi satu dengan benua Asia membentuk suatu daratan raksasa bernama Sunda Land.

Manusia-manusia bermigrasi secara berkelompok dari Afrika menyebrang Laut Merah, melalui perjalanan beberapa generasi mereka sampai di Sunda Land. Sebagian melintasi genangan air yang membatasi dua daratan hingga tiba di Sulawesi dan mentok di selat Weber yang permukaan airnya rada dalem. 

Mungkin awalnya mereka coba-coba membuat alat yang bisa membuat mereka mengapung di air untuk mencari makanan, menangkap ikan atau kerang-kerang gitu. Tapi ternyata rakit sederhana temuan mereka fungsinya jadi berkembang digunakan untuk menyebrang selat Weber yang terletak di sekitar pulau Sulawesi menuju ke Sahul.

Kemudian terjadi perubahan besar-besaran di bumi. 20,000 tahun lalu permukaan laut naik drastik karena es mencair. Hal ini mengakibatkan persentasi air dan darat di bumi jadi seperti yang sekarang ini, 70 : 30. Sahul terpecah menjadi beberapa pulau kecil dan dua pulau besar Australia dan Papua Nugini yang kini terpisah oleh laut dalam. Manusia-manusia pertama yang berhasil sampai di kedua pulau besar itu pun terjebak, rakit sederhana mereka sudah tak mampu mengarungi lautan yang kini luas dan sangat dalam.

Selama beberapa ribu tahun setelah itu Terra Australis terisolasi dari the rest of the world. Suatu pulau raksasa yang berada sendirian di bagian bawah bola dunia, The Continent Down Under. Dengan demikian terisolasi pula seluruh isi pulau itu, flora dan faunanya beserta manusia yang telah turun temurun menghuni tempat itu sejak 40 ribu hingga 60 ribu tahun lampau.

Aboriginal yang mempunyai arti “the first” adalah sebutan bagi penduduk pertama yang menghuni benua Australia. Terisolasi di waktu sebelum 20.000 tahun yang lalu, terjebak di jaman batu. Bagaikan hidup di dimensi waktu paralel yang  berbeda, bagi mereka hidup adalah di era Palaeolitikum dimana mereka hidup nomaden dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan.

Kapal pertama dari "masa depan" yang berhasil sampai ke daerah dimana waktu berhenti itu bernama Batavia, kapal yang berlayar dari kota Batavia menuju Cape of Good Hope tapi nyasar terbawa badai hingga ke teritori yang waktu itu masih belum ada dalam peta. Peristiwa terdamparnya Batavia di bagian barat pulau raksasa ini yang mengantarkan Belanda sampai ke Terra Australis dan mengklaim wilayah baru yang ditemui mereka itu dengan nama New Holland.

Baru kemudian Inggris yang ga mau kalah datang meng-klaim bagian timurnya dan menjadikan nya sebagai tempat pembuangan para narapidana. Kehidupan damai para aborigins yang serasi dan seimbang dengan alam serta merta terganggu oleh kemunculan orang-orang asing, para imigran dari Eropa yang kelak menggilas keberadaan para penghuni "pertama" di Terra Australis. 

Bagi para imigran dari Inggris yang pertama tiba di Australia, tak mudah hidup di benua ini. Kondisi alam nya yang tidak ramah seolah-olah menolak kedatangan tamu asing. Kelaparan, kekurangan air dan cuaca yang tidak stabil membuat hidup para imigran berasa di neraka. Walaupun lambat laun para imigran bisa mengatasi masalah tersebut tapi tetap saja, hidup di benua ini tidak semudah dan seindah pemandangan alamnya. Kondisi alamnya sensitif banget. 

Karena itu rada wajar kalau peraturan yang berkaitan dengan lingkungan disana paranoid berlebihan, seperti misalnya semua kayu-kayuan yang mau masuk negara itu harus melalui proses fumigasi supaya ga ada rayap-rayapan yang lolos menyusup. Malahan antar state aja ada peraturan tidak boleh membawa buah-buahan lewat batas state karena takut lalat buahnya salah kawin sama varian lalat buah sembarangan yang tidak akan direstui oleh keluarga-keluarganya di state yang bersangkutan.

Bunyi alarm dari henpon membangun kan saya dari alam setengah tidur. Sudah saat nya. Petualangan baru pun dimulai sejak telapak kaki saya menyentuh lantai kamar yang dingin.

Rabu, 18 Juli 2012

Di Dalam Menara Syah Bandar

Dari dalam Menara Syahbandar yang remang dan berdebu saya menghela nafas. Terhirup aroma yang sudah tak asing lagi, sahabat yang selalu setia mengiringi. Saya pun menyapa dia, namanya : Hampa. Tangga kayu itu berderit seiring dengan langkah kaki saya berpijak ragu. Kuatkah selembar kayu ini menahan berat badan saya? Apakah lempengan yang tersusun jarang-jarang ini akan kehilangan upaya nya menopang tubuh saya, hingga kayu rapuh itu menyerah patah dan menghempaskan saya ke dasar menara?

Aku teringat mimpi semalam. Kamu memeluk erat dari belakang dan mengangkat aku tinggi dari permukaan tanah. Persis seperti yang kamu sering lakukan dulu, kamu buat aku terbang dan aku tidak pernah takut jatuh. Aku seperti Tinkerbell kecilmu, melayang dan bercahaya.  Ah... rasanya kebahagiaan itu sudah berlalu seratus tahun, hingga buat aku lupa caranya bersinar seperti ketika kamu rengkuh aku. Aku sama seperti menara ini yang kejayaan nya telah luntur oleh waktu, kusam dan muram.

77 anak tangga mengantar saya sampai di puncak menara, jendela-jendela lebar tak berkisi tampak seperti layar tivi flat screen yang ditempel di tembok. Langit cerah, biru muda yang dihiasi sejumput awan putih empuk di sana sini. Angin semilir menyapa wajah melalui daun jendela, samar tercium aroma karat dari besi penahan jendela. Kemudian aroma amis pasar ikan campur bau sampah dan limbah mulai mendominasi. 

Satu hal yang kupelajari dari hidup adalah selera humornya yang kejam. Beberapa tahun belakangan aku merasa menjadi objek favoritnya, mainan kesukaannya. Dibuatnya aku bermain dalam peran yang menurut nya lucu. Dijungkirbaliknya aku dalam komedi satir yang sudah ada skenarionya. Pada akhirnya aku mencoba menghayati peran yang diberikan hidup padaku. Aku belajar menanggapi selera humornya, belajar tertawa pada apa yang dianggapnya lucu. Aku bahkan berbalik menghadapinya, menengadahkan kepalaku dan tertawa lepas. 

Kalau kau dapati air mata berderai dari kedua mataku, itu bukan menangis. Itu karena aku tertawa terbahak-bahak hingga keluar air mata ku. Menertawakan komedi satir yang di peruntukan oleh hidup untuk aku. Kali ini pun aku menantangnya, ku kembangkan paru-paru ku dan kuhirup dalam-dalam segala macam aroma busuk yang campur aduk di tempat ini. Semua ini tidak akan bikin aku mati, ratusan manusia di Jakarta hidup di pinggir kali yang mampat oleh bangkai busuk dan di kaki gunung sampah, mereka tidak mati. Jadi, aku juga.

Menara Syahbandar jaman dahulu kala di tetapkan sebagai titik Nol kota Batavia. Artinya patokan titik pusat perkembangan kota adalah menara ini. Itu di masa silam, sebelum muncul menara lain yang lebih tinggi dan lebih cemerlang bernama Monumen Nasional yang segera menggantikan peran menara tua ini menjadi titik Nol pusat perkembangan kota. Menara Syahbandar lama kelamaan mulai tersisih, orang-orang mengenalnya hanya sebagai menara miring yang terletak di gerbang Pasar Ikan. Betapa cepatnya manusia lupa.

Dari dalam puncak Menara Syahbandar, saya melongok melalui jendela besar. Bangunan tua bekas kantor galangan kapal VOC yang sekarang sudah menjadi semacam kafe di sebelah selatan. Bangunan gudang rempah VOC yang sekarang dijadikan Museum Bahari di sebelah barat. Nun jauh di sebelah utara, melewati pemandangan sampah berserakan terlihat tiang-tiang kapal yang parkir di pelabuhan, Sunda Kelapa. Salah satu Pelabuhan kerajaan Sunda yang terbesar pada jamannya - berabad-abad lalu, sempat ditaklukan oleh pasukan dari Demak kemudian di rampas oleh pasukan Belanda.

Museum Bahari view

Pelabuhan Sunda Kelapa view

Bekas gedung galangan kapal VOC view
Telinga saya menangkap bunyi riuh kendaraan di jalan raya, klakson mobil angkutan kota yang merayu genit memanggil calon penumpang di trotoar. Bunyi gas meraung yang keluar dari knalpot sepeda motor yang dipacu. Kemudian bunyi mesin kendaraan yang jelas terdengar lebih besar, sebuah truk raksasa melintas. Saya bisa merasakan getaran di lantai, impact dari kendaraan berat yang melintas di jalan telah menggoyangkan menara setinggi 12 meter ini. 

Dari dalam puncak Menara Syahbandar, seluruh kekuatan yang aku punya ingin meneriakan nama kamu dengan lantang, menembus jendela lebar tak berkisi, jauh menyebrangi laut keruh yang membatasi kita. Tapi suara itu berhenti di kerongkongan, aku pun tersedak oleh kesedihan. Suara itu kutelan kembali bulat-bulat tanpa sempat terucap. Rindu menggantung di udara yang kini pekat oleh asap polusi truk raksasa yang  baru saja lewat. 

Di dalam menara tua Syahbandar yang miring seperti kakek tua yang bungkuk dan ringkih di tempa usia, aku melihat menara yang aku buat mulai goyah. Menara yang kubuat dengan pondasi kenaifan. Di atas nya ku susun batu bata penderitaan yang kurekatkan dengan air mata, lengkap dengan jendela-jendela kecil pengorbanan dan pintu besar kebodohan. Tak lupa ku tutup dengan atap impian semu yang tak mungkin jadi nyata.

Satu truk besar lagi lewat menggoyangkan lantai Menara Syahbandar yang masih berusaha bertahan. Sementara itu menara buatanku, menara yang kurancang sedemikian tingginya untuk menggapai kamu kini mulai luruh, hancur melontarkan serpihan-serpihan harapan yang kini berserakan di antara debu-debu kehancuran.


Senin, 09 Juli 2012

Meniti Tembok Karang Benteng Speelwijk

Benteng Speelwijk merupakan bekas markas VOC di Banten setelah kerajaan ini berhasil ditaklukan oleh mereka. Puluhan tahun VOC mengincar Banten karena lokasinya yang strategis sebagai pusat perdagangan dan sumber nya lada. Sejak mulai melakukan aktifitas dagang di Banten tahun 1603, dengan segala tipu daya muslihat VOC baru berhasil menundukan Kesultanan Banten sekitar 80 tahun kemudian dan baru membangun benteng ini setelah itu.

Di postingan sebelumnya kan saya singgung, Kesultanan Banten berdiri di timing yang pas banget sama kejatuhan Malaka - yang sebelumnya merupakan pusat perdagangan rempah-rempah internasional. Portugis yang berhasil menguasai Malaka saat itu tidak berhasil meneruskan kejayaan port itu, yang ada malah pedagang-pedagang Cina dan Arab beralih mencari port lain untuk menghindari konflik di selat Malaka itu. Banten ini lah salah satunya sumber penghasil lada yang jadi banyak disinggahi pedagang-pedagang.

Portugis, sebagai bangsa Eropa pertama yang berhasil mencapai "spice land" mengunci rapat-rapat rahasia rute navigasi mereka dari bangsa Eropa lain. Tentu saja dengan tujuan supaya mereka bisa monopoli perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Tapi rupanya di antara orang Portugis itu menyusup mata-mata Belanda yang membocorkan penemuan Portugis itu. Sebagai eksperimen, dikirimlah Cornelis de Houtman dan sampai juga dia di Banten, itu di akhir abad ke 16. De Houtman berhasil membawa rempah-rempah kembali ke negeri nya, misi nya sukses walaupun di pulau Jawa dia rupanya berhasil mendapatkan banyak musuh akibat ketengilannya.

Peta jaman dulu di Museum Situs Purbakala Banten, Australia belum ditemukan
Keberhasilan misi Cornelis De Houtman membuat perusahaan-perusahaan dagang lain dari Belanda kemudian memutuskan untuk berlayar ke "spice island" juga. Beberapa waktu berselang, di Banten saja terdapat 4 agen perusahaan dagang Belanda yang saling bersaing mendapatkan rempah-rempah. Kemudian pemerintah Belanda memerintahkan 4 perusahaan itu merger dengan nama VOC. Yang awalnya hanya punya niat dagang, VOC kemudian jadi ikut campur dalam politik kerajaan-kerajaan dan akhirnya jadi semakin ngelunjak mau menguasai wilayah.

Di puncak masa kejayaan Banten pada jaman Sultan Ageng, selain ngiler pengen menguasai perdagangan lada disitu, VOC juga mulai merasa terancam sama kekuatan kerajaan ini. Apalagi Sultan Ageng anti banget sama VOC dan letak Batavia yang merupakan markas utama VOC sebelahan sama Banten. Tapi kemudian VOC melihat ada celah, konflik antara Sultan Ageng dan putranya Sultan Haji. VOC kemudian mendekati Sultan Haji untuk mendukungnya merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri. Sultan Ageng berhasil disingkirkan, ga lama Banten pun takluk di tangan VOC.

Benteng tua Speelwijk masih terletak di kawasan Banten Lama, lumayan jaraknya dari kompleks Istana Surosowan dan Masjid Agung Banten. Kalo jalan kaki ya lumayan gempor. Rombongan petualang cantik yang sempat saya singgung di postingan awal mengenai trip ke Banten Lama ini menyewa sebuah angkot. Di halaman depan Benteng Surosowan kita disambut kembali oleh pak kuncen Naraji yang naik motor dari Surosowan untuk membukakan Benteng untuk kita.

Uniknya, bangunan ini merupakan perpaduan dari batu bata dan batu karang. Di halamannya yang hijau beberapa ekor domba tampak asik merumput. Kumpulan bocah-bocah lincah bermain bola sepak  di bawah teduh nya pohon kelapa yang berjejer jarang-jarang di luar tembok benteng.  
Halaman dalam Benteng Speelwijk

Batu Bata dan Karang dalam satu tembok
Masuk ke dalam Benteng suasananya ngeri mencekam. Aroma lumut dan lembab jadi satu menggelitik rongga hidung. Konon di sini pernah menjadi tempat penahanan anggota kerajaan yang ditangkap semasa Daendels memerintahkan penyerangan terhadap Kesultanan Banten. Kita dibawa menyusuri lorong yang gelap dan sempit menuju gudang penyimpanan senjata. Bebatuan dan air yang terserap di dalamnya membuat udara di dalam lorong benteng itu dingin, bulu tengkuk saya jadi merinding. 

Lorong dalam Benteng

Kurang cahaya di dalam benteng tidak menyurutkan semangat para petualang cantik untuk tetap eksis narsis berfoto-foto. Sementara itu pak kuncen sudah mulai alih profesi menjadi juru foto karena kerap kali dimintai tolong memotret kita bareng-bareng. Pucuk kumis di ujung bibir nya pun bergoyang-goyang tatkala pak kuncen mulai berhitung, " satuuuu... duaaaa.... tigaaaa...," diikuti kilatan lampu blitz dari kamera mungil di tangannya.

Lepas dari lorong yang gelap, kita dibawa ke atas benteng yang terik oleh sinar matahari. Mata saya memicing sementara pupil saya menyesuaikan diri dengan perubahan cahaya. Dari atas celah benteng kita dapat melihat atap merah cerah sebuah klenteng yang diatasnya tampak sepasang naga hijau saling berhadapan, Vihara Avalokitesvara. Vihara ini sedang di renovasi akibat kebakaran beberapa waktu lalu. Dari sisi lain, kita bisa melihat tambak milik masyarakat yang merupakan pertanda bahwa lokasi itu tidak jauh dari laut.

Seolah-olah kayak mau bungee jumping di New Zealand, diantara domba-domba

Rossa lagi ngintip gudang senjata dari atas

Pemandangan dari atas benteng ke bagian dalam

Lantai atas benteng, kelihatan ada menara penjaganya

Salah satu pojok benteng

Tiba-tiba dengan intonasi menantang pak kuncen berseru,"Siapa yang berani jalan di atas tembooook?"

Ga bisa dapet challenge kayak gitu, para petualang-petualang cantik pun serta merta menyambut gayung tantangan sang kuncen. Begitulah, delapan orang perempuan meniti tembok benteng setinggi 5 meter dengan gagah berani dan tak lupa narsis doooonk...

Di atas tembok benteng, bersama pak kuncen paling belakang  (pic by Mba Ariya Dewi)






...dan ini lah 8 petualang cantik nya (pic by: Uni Afrina )


Minggu, 01 Juli 2012

Mila "Nyasar" Said

Tidak ada manusia yang terlahir sempurna. Begitu pula saya. Dibalik kecantikan, keanggunan dan pesona saya ada kelemahan yang kadang membuat saya menepuk jidat dan mengelus dengkul saya sendiri. Disorientasi alias nyasar terus. Adakah yang lebih menyedihkan dari seorang traveler yang harus menghadapi kenyataan bahwa nasib terus menjerumuskannya untuk terus kesasar?

Kesasar adalah faktor utama yang selalu membuat perjalanan saya menyimpang dari itinerary yang saya buat sebelumnya. Yang seharusnya dalam sehari bisa pergi ke 5 tempat, buat saya cukup 3 saja karena waktu yang seharusnya untuk 2 tempat lain saya habiskan untuk berputar-putar tanpa arah di perjalanan. Masalah utama saya adalah karena saya punya masalah membaca peta dan karena saya sulit membedakan kiri dan kanan. 

Waktu di sekolah dasar dulu saya paling males kalau ada acara baris-berbaris, ga pernah bener. Disuruh hadap kanan - saya hadap kiri, disuruh hadap kiri - saya  hadap kanan, disuruh balik kanan - saya berputar ke kiri. Sebagai pembelaan diri terhadap guru olahraga saya yang ngajarin baris berbaris, saya berkata bahwa saya hanya ingin tampil beda. Tapi jauh di lubuk hati, saya harus menerima kenyataan pahit bahwa seumur hidup tidak mungkin akan terpilih menjadi anggota Paskibraka 17-an yang bisa nampang di tivi pas hari kemerdekaan. Itu - dan juga karena tinggi badan sih.

Baru aja sampe di Singapura, nyasar. Di Krabi, nyasar. Di airport Penang, nyasar waktu mau cari pintu keluar. Di Bangkok, saya bingung setengah mati di sebuah persimpangan jalan raya dari hotel saya di daerah Bhanglampu menuju Royal Palace Wat Phra Kew. Kalau dari peta, letak Wat Phra Kew itu diseberang jalan raya yang harusnya saya sebrangi, tapi saya ga ngerti gimana cara nyebrangnya. 

Menunggu beberapa lama, maksudnya mau mencontoh kalau ada orang yang nyebrang tapi ternyata tidak ada satu mahluk pun yang muncul di pagi hari itu. Saya pun mondar-mandir di sisi jalan itu sembari memegang peta Lonely Planet dan memutar-mutar arahnya supaya sesuai dengan arah jalan saya. Akhirnya saya semakin disorientasi karena petanya saya puter-puter sendiri. Di tengah kegalauan saya memutuskan masuk ke Seven Eleven, sembari beli minuman dingin di kasir saya menanyakan arah ke Wat Phra Kew. Penjaga kasir bilang, terus aja ke kanan, nanti ada tempat penyebrangan.

Saya pun berjalan, di bawah terik matahari yang sudah tidak pagi lagi. 2 jam lebih saya menyusuri jalan ke arah kanan (eerr.. waktu itu sih saya pikir itu kanan), pada akhirnya saya menyebrang juga tapi setelah menyebrang 4 kali saya makin hilang arah dan sudah ga bisa bayangin kemana tujuan saya. Peta ditangan saya sudah lecek dan sedikit lembab oleh bercak keringat dari tangan saya, itu baru hari pertama di Bangkok. 

Persimpangan yang bikin bingung gimana nyebrangnya
Setelah melewati pekarangan gedung kantor, lewat jalan tikus disebelah sungai dan menyebrangi sungai itu, menerobos kerumunan semacam pasar, dan lewat di jalan sepi diantara pagar-pagar tinggi yang entah itu bangunan apa akhirnya mata saya menangkap bentuk atap-atap keemasan, ah.. akhirnya... itu pasti istananya. Saya menghabiskan waktu 3 jam lebih untuk menuju ke Royal Palace, pas baliknya saya mengikuti jalan besar lurus-lurus aja ternyata cuman butuh 20 menit jalan kaki kembali ke hotel saya di Bhanglamphu.

Sampe di Wat Phra Kew udah lepek keringetan gara2 nyasar

***

Pada suatu hari, tinggal 1,5 kilometer lagi menuju rumah tiba-tiba saya mendapati sepotong jalanan di tutup karena sedang ada perbaikan. Saya lewat jalan itu tiap hari pulang kantor dan jalan lain yang saya tau terlalu jauh buat muter. Dengan penuh keputus asa-an, melalui kaca jendela yang terbuka saya bertanya ke seorang bapak yang lagi duduk pakai sarung di teras rumahnya, "pak, ini lewat mana jalan alternatifnya?". Bapak itu hanya bilang, "ikutin aja angkot K-37". Saya pun balik arah dan melaju perlahan menuju jalan yang dilewati rute angkot tersebut sambil berharap lagi ada yang lewat. Nah kebetulan, pas banget ada K-37 ga jauh di belakang, saya menepi ke kiri mempersilahkan angkot itu lewat.

Kendaraan umum berwarna merah itu pun melaju melewati saya, masuk ke jalan perumahan yang kecil banget tanpa aspal. Belokan-belokannya tajam dan sempit sehingga saya harus pelan-pelaaaaan banget kalo ga mau di sisi mobil saya ada goretan. Di jalan yang selebar pas satu mobil dan gelap banget, saya kehilangan jejak angkot. Akibatnya saya berputar-putar bagaikan tikus berada dalam maze, lebih dari se-jam saya baru berhasil keluar dari situ dan mendapati diri saya di jalan yang saya kenal. Jalan raya yang letaknya 5 kilo lebih dari rumah saya.

Tapi itu bukan pertama kali saya nyasar di jalan dari kantor menuju rumah. Selepas lembur tengah malam saya nyasar di suatu daerah di Bekasi karena ada satu belokan yang kelewatan. Saya baru sadar kalau itu sudah melenceng dari jalur karena bentuk jalan nya semakin asing dan gerbang toll tidak kunjung kelihatan. Saya berusaha mencari balikan arah, tapi tidak ada. Sepanjang jalan itu dibatasi oleh separator beton.

Entah kenapa, saya juga bingung tiba-tiba saya sampai di depan gedung mall yang saya kenal. Nah, kalau dari situ saya tau deh jalan pulang. Sampai sekarang saya masih belum  ngerti waktu malam itu saya lewat jalan mana ya?  Hmmm... Karena itulah kalau diajak hang-out gitu, ga pernah saya ikutan mabok. Bukan apa-apa. Sober aja pulang ke rumah nyasar, gimana kalo mabok? Bisa-bisa nyasar sampe Timbuktu.

***

Jangankan pas lagi traveling di tempat baru atau nyasar karena ada perubahan rute dari kantor ke rumah, di lorong hotel aja saya kerap kali nyasar. Ah, kenapa sih yang bikin hotel-hotel itu lorongnya dibikin sama semua, karpet nya sama, dinding-dindingnya sama, pintunya sama, lampu-lampunya sama - kan bikin saya desperately binguuuuung. Kadang saya butuh waktu 10 menit untuk menemukan kamar saya akibat nyasar di lorong hotel.

Tempat yang paling saya benci adalah tempat parkir, apalagi yang berbentuk basement atau gedung parkir. Saya selalu lupa parkir dimana -______-".  Sering saya lupa lantai nya, B1 atau B3? Kali lain yang saya lupa adalah posisi parkirnya. Kadang malah sampe harus kelilingin gedung parkir demi mencari sosok mobil mungil berwarna biru nge-jreng. Di mall Grand Indonesia saya selalu disorientasi parkir di East Mall atau West Mall. Akhirnya saya menemukan cara, yaitu me-ngetwit nomor tempat parkir jadi saya ga mungkin lupa tempat nya atau atau lupa dimana saya catet nomor parkir saya. Dan kalo saya lupa pun kan saya bisa tanya, asal ada nomor parkir nya.

Ternyata itu pun tak menyelesaikan masalah. Di suatu malam mendekati waktu tutup di Pacific Place, saya bersama dengan dua orang teman pergi ke tempat parkir P1 L11, hanya untuk mendapati mobil yang parkir disitu bukan mobil saya. Saya pun panik. Kemana mobil sayaaaaa?

Kita baru berhasil menemukan mobil saya setelah keliling tempat parkir yang pengap bak di sauna, kedua teman saya sudah banjir keringat dan saya taruhan pasti betis mereka cenat cenut akibat high heels nya. Ternyata saya salah  nge-twit, harusnya P2 L11. Saya pun hanya bisa menyengir lebar ke dua orang teman saya yang sepertinya ga lama lagi bakal getok kepala saya pake high heels mereka.

***

Beberapa waktu lalu saya nganterin adik saya, Chacha ke dokter di RS Premier Jatinegara. Dia lemes, kurang enak badan. Saya turunin dia di lobby sementara saya parkir mobil di gedung parkir. Setelah di periksa dokter, diagnosis nya adalah hampir sakit jadi dia dikasih resep vitamin. Pulangnya dia ikut saya ke gedung parkir, saya bilang di jalan " Cha, kayaknya gw lupa deh gw parkir dimana. Tadi lupa dicatet, kalo ga di lantai 6 di lantai 7, tapi supaya aman kita naik lift trus berenti di tiap lantai dari lantai 5 aja."

Muka nya Chacha yang tadinya semi pucat, jadi pucat banget karena mungkin mulai merasa sesuatu yang ga beres.

Lift terbuka di lantai 5, Chacha menahan pintu lift sementara saya berlari mengintip keluar. "Ga ada, Cha. Brarti Lantai 6." Lift terbuka di lantai 6, Chacha menahan pintu lift sementara saya mengintip keluar, "Ga ada, Cha. Lantai 7 nih kayaknya."  Lift terbuka di lantai 7, Chacha menahan pintu lift sementara saya mengintip keluar, "Cha, bentar-bentar. itu ada biru-biru." Chacha pun keluar dari lift, saya berlari ke arah biru-biru itu ternyata bukan mobil saya tapi taksi.

"Cha, mungkin lantai 5 tadi. Gw kog jadi yakin di Lantai 5. Mungkin tadi ketutupan. Coba kita balik." Akhirnya kita kembali naik lift, turun ke lantai 5. Sementara adik saya semakin pucat dan lemas, sampai-sampai saya suruh dia minum vitamin nya saat itu juga. Di lantai 5 saya menyusuri setiap deret mobil, ga menemukan ada mobil saya. Saya berputar naik ke Lantai 6 hingga kembali ke lantai 7 - kali ini tanpa lift dan Chacha mengikuti di belakang, mobilnya ga ada.

Saya & Chacha, terduduk lemas di kursi kayu di depan lift. "Mungkin lantai 4, Cha."

Si Chacha, mukanya udah sinis banget.

Lift terbuka di lantai 4, Chacha menahan pintu lift sementara saya berlari mengintip keluar. "Cha, itu dia mobilnya huahahahaa...." Tapi Chacha sepertinya sudah tidak punya sense of humor lagi gara-gara terlalu lemes abis muter-muter gedung parkir. Andaikata dia di cek lagi sama dokter, pasti diagnosis nya udah bukan hampir sakit lagi, tapi udah jadi beneran sakit.

***

Anno yang punya blog Team Touring pernah membuat kesalahan fatal dengan minta petunjuk jalan dari saya yang ratunya nyasar ini. Waktu itu dia - yang dari Jogja, lagi di Jakarta jalan-jalan di area Monas. Anno bbm saya menanyakan posisi Museum Gajah kalau dari Monas, berkat arahan dari saya dia berhasil kelilingin luarnya lapangan monas 4 kali hingga akhirnya menemukan museum yang di mau dituju nya.

Ciloko nyaaaah, hari itu adalah hari Senin dan ternyata museum itu tutup kalo hari Senin. Saya membayangkan wajah sendu Anno di depan pintu museum yang terkunci dengan peluh bercucuran akibat kelilingin lapangan monas 4 kali di bawah terik matahari ibukota yang menyengat. 

Berkat arahan kedua saya untuk menuju Mesjid Istiqlal dari museum gajah, Anno berhasil kelilingin monas lagi sebanyak 3 kali. Jadi totalnya hari itu dia tawaf muterin monas 7 kali, kalo misalkan ada gelarnya dia udah berhasil dapet gelar Haji Monas yang mabur.

Berminggu-minggu saya diliputi penyesalan karena telah menyesatkan anak orang, tapi kemudian ketidak sengajaan saya membaca bio di account twitternya Anno @annosmile membuat saya menghela nafas lega: Pengendara motor yang suka kesasar #teamtouring #teamblusukan. So, it's not all my fault after all *cucitangan*
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...