Saya
menyeret langkah lunglai menuju pesawat Jetstar dari Darwin menuju Denpasar,
Bali. Setelah melalui perjalanan nyaris 7 jam dari Sydney menuju Darwin
ditambah akumulasi kegiatan fisik yang maksimal selama 2 minggu membuat
otot-otot di sekujur tubuh saya menjerit kaku dan ngilu.
Di
lorong pesawat, pramugari berwajah oriental membantu mengantar saya ke tempat
duduk, diantara dua orang lelaki bule. Di sebelah kanan saya ada seorang lelaki
yang tampaknya sangat tinggi sampai-sampai kelihatan kesulitan menekuk kakinya
diantara ruang bangku yang sempit. Wajahnya tampan dengan struktur yang
menimbulkan kesan macho gitu, kulitnya kecoklatan akibat terpapar matahari. Di
sebelah kiri saya ada seorang lelaki yang mukanya Australia banget, rambut
pirang, berkulit putih pucat dengan flek-flek coklat. Bau bir nya itu
seakan-akan dia habis mandi berendam dalam 3 galon bir.
Saya
mulai mengeluarkan iPad dan main game sembari melirik-lirik ke sebelah kanan
saya, ke arah pria ganteng itu. Dia hanya tampak melamun memandang jauh keluar
jendela yang gelap, saat itu waktu sudah menunjukan sekitar pukul setengah 7
malam waktu Darwin. Sementara di sebelah kiri saya, si pria Australia tampak
gelisah membolak-balik majalah sambil kakinya tak henti-henti goyang-goyang.
Di
tengah perjalanan pramugari membagi-bagikan selembar formulir Custom
Declaration. Pria tampan di sebelah kanan saya akhirnya bicara, mau pinjam
bolpoin. Saya segera menyerahkan bolpoin saya, berikut bonus senyuman termanis.
Kalau saja dia meminta saya memberikan jiwa raga ini saya pasti bersedia,
sayangnya tidak.
Pria
pirang di sebelah kiri saya juga tiba-tiba ikut nimbrung, mau pinjem bolpoin
juga. Aksen Ausie nya kental sekali dan bau bir nya semakin pekat tercium
ketika dia berbicara, saya yang tidak suka banget bau bir jadi sebel. Kenapa
sih si cowok ini menganggu aja, bisa ga sih dia pergi saja dan meninggalkan
saya berdua dengan si cowok kece yang tinggi dan berkulit tanning persis
seperti prince charming dambaan saya ini?
Tapi
saya tetap mengangguk tanda setuju meminjamkan bolpoin saya.
“Where
do you come from?” tanya saya membuka percakapan dengan cowo kece itu.
“France,”
katanya dengan logat perancis yang kental.
“Wow,”
ucap saya sambil membayangkan diri saya berjalan berdua bergandengan tangan
dengan pria tampan dihadapan saya ini di depan menara Eifel. Tiba-tiba muka
saya jadi merah sendiri,” Saya pernah kursus bahasa prancis 6 bulan, tapi
satu-satu nya kata yang saya bisa cuman Je Mapele Mila.”
Pria
ganteng itu pun mengalihkan pandangannya dari formulir CD yang lagi di
oret-oretnya dan tertawa dengan manis di depan muka saya,”Hahaha.. nice,”
katanya sambil mengulurkan tangan, “Hi Mila, my name is nick”
Saya
meleleh.
“I’m
Mark,” tiba-tiba dari sebelah kiri saya ada celetukan,” ini pertama kali saya
naik pesawat makanya saya nervous sekali.” Kakinya terus goyang-goyang gelisah.
Dalam
hati saya, gue harus bilang wow gitu kalo
ini pertama kalinya lu naik pesawat?
Si
cowok ganteng itu ternyata berasal dari suatu desa kecil di perbatasan
Perancis, dia menunjukan posisi desa nya di peta prancis yang ada di paspornya.
Saya menduga dengan kesoktau-an tingkat kelompencapir mungkin dia masih ada
keturunan Algeria gitu, karena bentuk-bentuk mukanya cowok ini setipe sama
pemain bola Perancis Zinedine Zidane yang juga keturunan Algeria.
Dia
bukan sekedar traveling ke Australia, tapi juga sekalian mau mengadu nasib
mencari pekerjaan dan kalau bisa tinggal lama di Australia. Menurutnya Benua
yang terletak ratusan kilometer dari desa kecilnya itu lebih prospektif dibandingkan
di Perancis. Eropa sudah terlalu padat penduduk sehingga persaingannya ketat,
mencari pekerjaan dengan upah yang layak pun menjadi semakin sulit disana.
Sementara
di Australia, menurut dia, walaupun biaya hidup lebih tinggi tapi lebih banyak
pekerjaan tersedia dengan upah yang reasonable sehingga bisa menutup biaya
hidup yang tinggi itu.
“Jadi,
biaya hidup di Australia lebih tinggi dibandingkan di Eropa?” saya agak
terkejut mendengarnya.
“Ya,
Australia is very very expensive,” katanya.
Oke,
pernyataan ini membuat saya semakin memantapkan niat untuk nekat ke Eropa.
Nick sudah
pernah keliling benua Eropa, tempat favoritnya adalah Itali. Orang nya
ramah-ramah, makanannya enak-enak dan relatif lebih murah dibandingkan
Perancis. Baiklah, Itali officialy masuk ke dalam list Eurotrip saya nanti.
“But, this is my first time to Bali,” katanya dengan bahasa Inggris aksen
Perancisnya.
Hmm..
saya mulai iri dengan orang-orang yang beraksen gitu, menurut saya kalau bahasa
Inggris dicampur aksen dari bahasa eropa sana, kesannya jadi sophisticated.
Saya pernah bertemu dengan orang Amerika di Thailand yang menanyakan kenapa beberapa
orang-orang dari Indonesia, khususnya yang muda-muda (berarti tidak termasuk
saya) bahasa Inggrisnya bergaya Amerika.
Saya
berusaha menjawab walau kurang yakin, “Ya mungkin karena sebagian besar
anak-anak muda jaman sekarang di tempat saya pada kursus bahasa Inggris di Lembaga
Inggris Amerika dan nonton Glee?”
Nick ternyata mau liburan ke Bali bersama teman-temannya, tapi teman-temannya sudah
duluan disana.
“Ini
pertama kalinya saya ke Bali juga,” si Aussie di sebelah kiri saya yang sedari
tadi tampak menguping pembicaraan dan menunggu momen untuk menyelak masuk
tiba-tiba mengeluarkan suara. Kakinya tetap masih bergoyang-goyang gelisah.
“Kamu liburan juga ke Bali?” tanyanya.
“Oh,
saya hanya transit di Bali, sebenarnya saya mau pulang ke Jakarta”
“Jakarta,
dimana itu?”
Sabar..sabar..elus-elus dada..
“Jakarta
itu ibukota nya Indonesia.”
“Oh..,”
katanya mengangguk-angguk sembari menatap kosong kursi didepannya, kemudian
kembali mengalihkan pandangannya ke
saya,”Dimana itu Indonesia?”
Hwaaaaaah… gue tendang juga nih
bule.
“Indonesia
itu adalah suatu negara. Bali itu adalah suatu pulau bagian dari negara
Indonesia. Dan Ibukotanya negara Indonesia itu adalah kota Jakarta,” saya
berbicara lambat-lambat menyesuaikan dengan spesifikasi prosesor di otak si
bule dongdong di kiri saya yang kayaknya belom pentium.
“Saya
punya teman di Jakarta,” Nick menyambung pembicaraan saya, sementara Mark masih
dengan tatapan kosong berusaha mencerna ucapan saya. “Katanya disana macetnya
parah.”
Sekalinya
ada yang tau Jakarta yang pertama terlintas adalah soal kemacetannya. Oh well,
semua orang juga berpikiran begitu kan kalau lagi berbicara tentang New York?
Beberapa
kali saya bertemu orang asing di perjalanan yang tidak mengerti Indonesia itu
ada dimana, kadang sebagai orang Indonesia saya sebel juga karena tanah tumpah
darah saya ternyata tidak terkenal sedunia. Kadang saya jadi semacam duta
pariwisata yang berusaha menjelaskan bahwa tidak hanya Bali yang ada di
Indonesia, tapi 5 ada pulau besar dan Bali itu hanya pulau kecil di Indonesia.
Sekaligus saya ceritakan macam-macam objek wisata menarik di darat maupun di
lautan.
Teman
saya yang orang kanada, sepupu nya sekolah di Amerika, katanya orang-orang
Amerika itu sangking sombongnya jadi ignorant
gitu, di sekolah dasar nya yang dipajang hanya peta Amerika doang, floating out
of nowhere. Tapi itu kan kata dia, saya yang belum pernah ke Amerika ya percaya
aja katanya begitu. Sebelum saya menuduh orang itu ignorant karena tidak tahu negara asal saya, yah saya positif thinking aja mungkin orang-orang
yang tidak tahu Indonesia itu tertidur pas pelajaran geografi ketika lagi
membahas negeri-negeri di South East Asia.
Sama
seperti saya, yang selalu tertidur pas pelajaran geografi dan akhirnya jadi buta
peta.
Pada
suatu hari ada fiancé nya teman saya dari Amerika yang bilang kalau dirinya bukan
asli dari Amerika tapi dia sebenarnya Hispanic. Asalnya dari Puerto Rico. Waktu
itu saya berusaha memetakan dalam bayangan dimana lokasi Puerto Rico dan gagal
total, atau kalo istilah Justin Bieber nya Epic Fail.
Kemungkinan
besar itu yang terjadi pada cowok yang baru pertama kali naik pesawat dan baru
pertama kali keluar dari tempurung pulau raksasa tempat tinggalnya, buta peta.
Dia mungkin akan menjadi orang Aussie yang liburan ke Bali tanpa tahu tahu
lokasi nya dipeta, pokoknya tempat dimana dia bisa minum bir sepanjang hari di
suatu pulau eksotis.
Tapi
mudah-mudahan dengan dia bertemu saya di pesawat setidak-tidaknya ilmunya
nambah, kalau pulau Bali itu ada di negara Indonesia. Teman saya pernah bilang,
“Dengan traveling itu, mau ga mau wawasan kita mesti bertambah. Suka atau
tidak.”
Nah
Mark, sekarang wawasan mu bertambah, suka atau tidak.
Pengumuman
dari pilot yang menginformasikan ketinggian pesawat, kecepatan pesawat, kondisi
cuaca dan perbedaan waktu menandakan bahwa sebentar lagi kita sampai di Bali.
Iseng-iseng
saya mengajarkan sedikit bahasa Indonesia kepada mereka. “Se la mat da tang,
artinya ‘Welcome’.”
Mereka
pun mencoba mengikuti dengan terbata-bata, “Se la …..”
“Se
la mat,” ucap saya lebih pelan, “da tang”
“Se
la mat da tang,” ucap keduanya nyaris berbarengan.
“Selamat
datang,” dan kita bertiga pun bertepuk tangan, sementara penumpang-penumpang
lain memperhatikan tiga orang yang berisik di bangku tengah.
“Oke,
sekarang ‘Thank You’ bahasa Indonesianya…….” Saya pun melanjutkan kursus
singkat Bahasa Indonesia kepada kedua teman baru saya itu.