Tidak jauh dari Labuan Bajo di ujung barat pulau Flores ada satu gua yang merupakan salah satu destinasi wisata di daerah itu, namanya Gua Batu Cermin. Konon setelah saya, mba efa dan Pagit diajak menyusuri lorong-lorong dan sudut gua itu, kami baru mengerti kenapa gua tersebut dinamakan Batu Cermin.
Di pintu masuk kawasan wisata sebelum memasuki gua, kami berkenalan dengan seorang pria Flores usia 40-an bernama John.
Setelah memperkenalkan diri, Om asli Flores itu membagikan 3 buah helm kuning dan senter kepada kami. Kesan awal melihat sosoknya kayaknya orangnya serius. Ternyata jauh menyimpang dari kesan pertama yang menipu itu. Masih di jalan setapak menuju gua aja kami sudah dibuat tertawa terus karena guyonannya yang acak dan absurd.
Setelah tahu saya, mba efa dan pagit datang dari Jakarta Om John langsung menceritakan masa mudanya saat mengadu nasib di Jakarta. Bermodalkan wajah galak seram serius, Om John berhasil mendapat pekerjaan menjadi preman keamanan di Tanah Abang, kemudian sempat jadi tukang parkir, sempat juga luntang lantung jadi pengangguran sampai tidak punya uang sepeser pun untuk beli makanan.
"Waktu itu saya dan kawan dua orang, kami sudah kelaparan sekali. Kemudian ingat kalau di kampung juga kami bisa hidup hanya makan daun ketela, akhirnya kami petik saja daun-daunan."
"Daun singkong?" tanya saya.
"Bukan. Kami tidak menemukan daun ketela, akhirnya sembarang daun saya kami petik. Mana kami petik dengan perasaan berdosa karena dari pekarangan rumah orang.
"Sebelum saya pergi ke Jakarta, Bapak saya berpesan: Apa pun yang kau lakukan disana, jangan kau mencuri. Nah itu karena terpaksa kami mencuri daun, karena kelaparan."
"Terus?"
"Setelah kami makan daun itu, malamnya kami semua sakit perut."
Saya, Mba Efa dan Pagit langsung tertawa padahal kalau dipikir-pikir, itu kan cerita sedih ya.
|
Jalan Setapak menuju Gua Batu Cermin |
"Hidup di kota itu sebenarnya enak. Kalau disini kemana-mana harus jalan jauh, naik turun bukit. Maka itu orang sini makannya banyak. Yang penting nasi nya banyak."
Kemudian Om John bercerita tentang kawannya yang merantau ke Jawa kemudian menikah dengan perempuan Jawa. Beberapa tahun menikah kawan nya itu pulang kampung ke Flores membawa anak dan istrinya. Selang beberapa waktu porsi makan istri kawannya mulai tambah banyak. Awalnya makannya 1/4 piring kemudian tambah jadi 1/3 piring, sampai akhirnya makan nasinya sudah menggunung penuh sepiring.
Suatu saat istri kawannya itu pulang ke Jawa, melihat dia makan ibu istrinya itu berseru,"Bisa mati nanti kau makan sebanyak itu!"
Saya, Mba Efa dan Pagit kembali terbahak-bahak. Saat itu kami sudah berada dalam lorong gua sehingga suara tawa kami menggema ke seluruh penjuru gua.
"Kalau dapat tamu seperti kalian itu enak, mudah dibuat tertawa," ujar Om John, "kalau dapat tamu dari Papua itu tantangan untuk saya, susah sekali dibuat tertawa. Mahal sekali mereka mau kasih unjuk gigi. Tapi saya tau kuncinya membuat mereka unjuk gigi..."
"Bagaimana?" tanya mba Efa.
"Ajak lomba lari saja. Selesai lari, ketika mereka terengah-engah baru kelihatan giginya," sembari menirukan gerakan orang terengah-engah habis lari sambil monyongin giginya.
Gua Batu Cermin ditemukan di tahun 1950-an oleh seorang Pastur Belanda yang juga seorang arkeolog bernama Verhoven. Jalan setapak untuk masuk ke dalam gua nya sudah dibuat dari conblock dan untuk naik ke jalan masuk ke gua yang ada di atas bukit sudah dibuat tangga dari semen jadi pengunjung tidak perlu memanjat.
Flores adalah salah satu pulau yang menjadi tujuan para pastur misionaris yang memperkenalkan dan mengajarkan tentang agama kepada suku-suku asli Flores jaman dulu yang masih primitif dan mayoritas masih hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Saat ini agama sudah merasuk ke pedalaman-pedalaman Flores, jadi mayoritas masyarakatnya menganut Katolik.
Pastur yang jadi misionaris bukan hanya memperkenalkan agama kepada suku primitif, tapi juga merubah gaya hidup mereka dengan cara membawa peradaban yang lambat laun merubah gaya hidup aslinya. Menurut Om John, Pastur di Flores yang mengkoordinasi pembuatan jalan raya di daerah tempat tinggal nya waktu dia kecil. Para kaum pria bergotong royong membangun jalan raya di gunung dan membelah bukit dengan dana sumbangan dari Gereja Katolik.
"Yang bangun jalan di sini bukan Soeharto. Yang bangun jalan disini adalah bapak saya dan kakek saya," kata Om John.
Yang membuat Verhoven tertarik dengan gua tersebut karena di dalam gua itu, selain stalaktit dan stalakmit, terdapat juga tanda-tanda fosil dan batu-batu karang dari laut. Jadi bisa dibayangkan kalau daerah itu dulunya ada dibawah permukaan laut, termasuk Labuan Bajo juga beberapa puluh ribu tahun lalu masih berada di bawah permukaan laut.
|
Mba Efa, Pagit dan Saya - Anak Goa |
|
Ukuran gua nya besaaarrr bingit |
Flores sendiri sudah ada sejak jaman purbakala, tapi karena permukaan dataran dan laut di bumi masih berubah-rubah - yang dulunya daratan bisa jadi laut, yang dulunya laut bisa jadi darat maka ukuran pulau Flores jaman dulu mungkin lebih kecil dari sekarang. Bisa jadi karena perubahan permukaan laut, atau bisa jadi karena pergerakan lempengan bumi menyebabkan posisi daratannya jadi naik, saya belum cari-cari info lebih mendalam tentang itu.
Tahun 2003 di Flores ditemukan rangka spesies Homo baru yang kemudian diberi nama Homo Floroensis. Setelah direkonstruksi di perkirakan spesies Homo yang telah punah tersebut berukuran lebih mungil daripada Homo Sapien maka spesies ini dijuluki The Hobbit. Kalau yang tau Lord of The Ring pasti tau deh. Manusia-manusia mini ini sebenarnya ada di legenda lokal yang diceritakan secara turun temurun oleh kakek nya kakek orang asli Flores, kalau tidak ditemukan fosil tulang itu mungkin beberapa generasi lagi legenda manusia mini di flores hanya akan jadi mitos.
Fosil tulang belulang Homo Floroensis atau Hobbit itu ditemukan di daerah Ruteng, beberapa jam lagi naik kendaraan kalau dari wilayah Gua Batu Cermin. Ya kemungkinan di saat Gua Batu Cermin masih di bawah laut, di Ruteng sudah daratan. Di Gua Batu Cermin kita juga bisa melihat fosil ikan purba yang sudah menempel di bebatuan.
Selain itu kita bisa melihat fosil-fosil batu karang dan kulit kerang yang sudah membatu. Ada batu berbentuk penis yang konon kalau diusap-usap oleh pria dewasa bisa menambah kejantanan. Ada juga yang disebut Om John sebagai Batu Bernyanyi, batunya menempel di dinding gua bentuk nya bulat-bulat dengan ukuran berbeda, tapi rupanya dalamnya kosong sehingga kalau di ketok-ketok menimbulkan suara yang nadanya berbeda. Makin kecil ukuran bulatannya nada yang dihasilkan makin tinggi. Dan tentu saja di dalam gua kita akan menemukan
Stalakit dan Stalakmit, sepasang batu romantis yang harus menunggu ratusan tahun untuk bisa bersatu.
Terus kenapa namanya Gua Batu Cermin?
Hmm.. kalau itu sepertinya kalian harus datang kesana dan lihat sendiri supaya paham darimana asal nama Gua Batu Cermin. Nanti kalau ketemu Om John, saya titip salam.
|
batu bernyanyi |
|
Foto Bareng
|
NB: Foto-foto di postingan ini ada yang saya pinjem dari foto Mba Efa, soalnya foto di kamera saya gak ada saya nya.