Malam itu malam pertama saya di Rinjani. Saya tidak bisa tidur. Angin bertiup kencang sekali di Plawangan Sembalun dan saya yang hanya sendirian dalam tenda khawatir kalau tenda itu diterbangkan angin dengan saya di dalamnya yang kemudian akan berakhir di dalam kawah gunung berapi. Beberapa kali saya hampir terlelap, namun terbangun kembali karena tubuh saya serasa mau di jungkirbalikan oleh angin.
***
Perjalanan yang cukup melelahkan di hari pertama saya di Rinjani dimulai pagi hari di Sembalun, sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil dari Senaru. Driver mobil yang membawa saya, Alix, Liz dan Al, awalnya tidak mengira kalau saya asli orang lokal. Ketika saya berbicara bahasa Indonesia pak supir langsung bersenda gurau sembari memberi tips-tips untuk survive di Rinjani.
"Pokoknya apa pun yang terjadi jangan lihat ke atas, mba. Lihat saja ke bawah dan terus berjalan. Jangan pikir apa-apa, pokoknya terus saja melangkah," katanya.
Tips-tips itu kemudian saya alih bahasakan ke kawan-kawan baru saya satu tur itu. Ketika pak supir menyinggung tentang Bukit Penyesalan, saya pun mengalih bahasakan ke 3 orang turis asing itu - The Hills of Regret.
Awalnya medan yang ditempuh tidak terlalu berat, hanya saja panas di daerah dataran savana yang menyengat itu menguras tenaga, seolah-seolah energi dalam tubuh menguap bersama hawa panas.
|
Satu hari jalan sampai ke atas gunung yang di belakang itu |
|
Mulai ke atas savananya mulai berkabut |
|
Porter Rinjani yang tangguh |
Setelah makan siang medan perjalanan semakin menantang. Kombinasi jalan menanjak yang sudah mulai curam, melompati dan memanjat batu-batu besar dan terik matahari yang menyengat membuat saya ketinggalan dari 3 orang kawan bule saya. Di pos 3 ternyata saya sudah ditunggu oleh Mas Anto, guide saya. Di situ saya istirahat sejenak, karena menurut Mas Anto jalan selanjut yang ditempuh hingga sampai ke Plawangan lumayan berat.
Ternyata saya dibohongi. Jalan selanjutnya yang di tempuh hingga ke Plawangan itu berat aja ga pake lumayan. Saya rasanya sudah nyaris menghempaskan diri ke tanah dan meneruskan perjalanan dengan merayap.
Sudah 2 jam lebih berjalan tapi saya belum sampai juga. Mas Anto sudah saya minta tunggu di Plawangan saja. Udara mulai terasa dingin dan angin mulai terasa kencang, kadang hembusan angin turut menerbangkan pasir-pasir dari tanah, hingga sekujur tubuh saya dilekati oleh debu-debu pasir. Saya bisa mendengar suara angin di sekitar saya dan siulan burung-burung yang seolah-olah mengejek saya yang kehabisan napas.
"Mas, ini kita di Bukit Penyesalan ya?" tanya saya ke Mas Anto sebelum dia jalan duluan.
"hahahaa iya betul," dia malah tertawa-tawa.
"Akhirnyaaaaa.... saya menyesal juga," saya pun mengerahkan sisa napas yang saya punya hanya untuk sekedar terkekeh.
Mulai tidak kuat menahan dingin saya minggir sejenak, duduk diatas batang kayu sambil mengeluarkan sweater saya dan mengenakannya. Seorang bapak berusia sekitar 45-an menghampiri dan duduk disamping saya. Beliau tampak mengatur napas juga. Saya sempat bertemu rombongan bapak ini, bersama kawan-kawannya berseragam sama semua, bapak-bapak semua, mereka adalah komunitas pecinta alam PT. Krakatau Steel.
"Yang penting disiplin, dik," kata bapak itu,"coba melangkah dengan jumlah konstan, kalau bisa 15 langkah bagus, kalau tidak bisa 10 saja cukup. Jadi, 15 langkah berhenti 5 detik, kemudian melangkah lagi 15 langkah, berhenti 5 detik. Terus begitu, niscaya akan sampai di atas."
Saya pun mencoba tips dari bapak itu. 15 langkah, berhenti 5 detik, kemudian lanjut lagi 15 langkah. Saat itu saya belajar bahwa mendaki itu tidak sekedar kekuatan fisik tapi juga keteguhan dan konsistensi. Akhirnya saya sampai juga di Plawangan Sembalun, sekitar jam 5 sore, matahari masih belum terbenam.
Saya sempat berbincang dengan Bapak dari pencinta alam KS itu di pinggir Plawangan sebelum berjalan lagi ke arah dimana tenda saya didirikan. Sampai di tenda, Alix, Liz dan Ali sudah santai-santai sambil makan pisang goreng dan minum teh. Setelah membersihkan debu-debu pasir yang menempel di tubuh dan ganti baju di dalam tenda, saya bergabung dengan mereka. Tidak lama matahari terbenam dengan indahnya di seberang danau Segara Anak yang tampak di bawah.
|
Matahari Terbenam dari Plawangan Sembalun |
***
Dari luar tenda saya merasa ada yang memanggil-manggil nama saya, Mas Anto. Saya pun segera membuka resleting tenda, angin dingin menyeruak masuk membuat saya menggigil. Mas Anto menjelaskan bahwa karena angin terlalu kencang maka dia tidak berani ambil resiko untuk membawa kami ke puncak Rinjani.
Saya lihat jam di ponsel saat itu menunjukan pukul 2 dini hari. Saya sudah tidak bisa memejamkan mata lagi, selain angin kencang yang seolah-olah masih berusaha menerbangkan tenda, saya kebelet buang air kecil. Operator tur saya, Rudy Trekker, sebenarnya menyediakan tenda toilet tapi saya takut keluar tenda sendirian di malam gelap dan berangin seperti itu, takut kebawa angin ga ada orang yang lihat.
Jam 5 lewat baru saya berani mengintip ke luar tenda, langit mulai terang. Saya pun buru-buru lari ke tenda toilet dan menuntaskan hasrat yang terpendam sejak beberapa jam sebelumnya. Setelah itu saya menunggu matahari terbit di depan tenda saya. Ketiga kawan baru saya baru keluar tenda mereka setelah matahari sudah bulat sempurna melayang diatas hamparan awan.
|
Matahari terbit dari Plawangan Sembalun |
|
Puncak Rinjani |
Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan rombongan lain, ternyata hari itu tidak ada satu pun yang naik ke puncak. Ada satu rombongan yang mencoba, tapi baru jalan beberapa ratus meter sudah kembali lagi karena tak kuat menerobos angin.
Setelah sarapan kami meneruskan perjalanan turun ke Danau Segara Anak. Perjalanan turun memang menantang karena harus melewati bebatuan dan jalan terjal berpasir. Tapi setelah melewati bagian terberat nya yang curam kami seperti masuk ke alam mimpi, sabana luas yang kehijauan dibatasi deretan pohon pinus dikejauhan. Begitu saya melihat ke belakang tampak tebing yang baru saja kami turuni, ternyata tinggiiii hahaha.
|
Jalan dari Plawangan Sembalun ke Segara Anak |
Saya ikut ke pemandian air panas yang ada tidak jauh dari Segara Anak, sebenarnya saya pun sudah pakai baju renang, tapi begitu lihat tempat pemandiannya ramai dan tidak ada tempat tersembunyi saya pun urung melepaskan baju dan berendam. Akhirnya saya pamit ke guide saya mau ke Segara Anak saja.
Saya pun duduk di pinggir danau Segara Anak yang cantik sekali sambil merendam kaki di airnya yang sejuk.
|
Segara Anak |
"Target kita hari ini sampai di Pos 3," kata Mas Anto setelah kami menyelesaikan makan siang dan bersiap mau pergi lagi.
Saya curi-curi start jalan duluan sementar ke-3 orang bule itu masih mau berenang di danau segara anak. Saya tau pasti kalau di jalanan yang tanjakannya curam saya pasti ketinggalan langkah sama bule-bule yang tinggi-tinggi dan porsi makannya dua kali porsi makan saya.
Eh benar saja. Sudah pake curi-curi start tetap saja mereka bertiga bisa nyusul saya ketika sedang manjat-manjat batu menuju Plawangan Senaru. Alhasil saya ketinggalan lagi. Saya tiba di Plawangan Senaru jam setengah 5, bule-bule itu sudah tidak ada disana. Sementara itu guide kami Mas Anto menemani saya yang ketinggalan di belakang. Kami meneruskan perjalanan dari Plawangan Senaru menuju Pos 3, dimulai jam 5 sore dan sampai di Pos 3 jam 7 malam lewat. Alix, Liz dan Al baru selesai makan malam, berselimut sleeping bag mereka di Shelter Pos 3 sambil mengoles kan salep muscle pain reliever di kaki mereka.
Malam itu saya tidur dengan nyenyak tanpa merasa takut diterbangin angin seperti malam sebelumnya.
Paginya kami mulai perjalanan dari Pos 3 menuju Desa Senaru. Saat itu karena saya tidak menggunakan sepatu hiking, kaki saya mulai terasa lecet dan melepuh, mungkin akibat menahan beban di jalanan menurun yang curam dan berpasir hari sebelumnya. Belum lagi bagian paha saya nyeri akibat manjat-manjat batu. Jadi di senaru tetap saja saya ditinggal sama bule-bule itu. Seorang porter ditugasi menemani saya yang tertinggal di belakang. Tapi kali ini selisih saya dan ketiga bule itu sudah tidak jauh, hanya beda beberapa menit saja, karena mereka juga sudah pada mengeluh "all my body hurts".
Saya berhasil tiba di gerbang senaru jam 12. Makan siang terakhir kami di Rinjani adalah Spagetti, tapi saya tidak mampu menghabiskan nya, karena masih kekenyangan sama burger dan kentang yang merupakan menu sarapan kami. Ya, makanan yang di masakin porter nya Rudy Trekker memang canggih-canggih semua, kayak di restoran.
|
Babak belur tapi sampai juga di finish line |
Setelah makan kami masih jalan sekitar 20 menit menuju mobil SUV yang menjemput kami dan mengantarkan kami kembali ke kantor Rudy Trekker. Alix, yang kelihatan sangat kepayahan melihat ada motor di parkir di tempat kami makan siang dan dia pun menanyakan ke Mas Anto apa bisa minta diantar sama motor itu karena sudah tidak kuat jalan lagi.
Mas Anto nyengir-nyengir sambil menjelaskan kalau itu motor pribadi bukan ojek. Dengan penuh keputus-asaan Alix pun berkata, "I'll Pay."
Tapi tetap saja pada akhirnya Alix pun harus menyeret kaki nya yang kaku menyusuri jalan menurun landai selama 20 menit. *puk puk Alix*