Saya pergi ke Merbabu dengan rombongan. Perjalanan kami tempuh 3 hari 2 malam, naik di Wekas turun di Selo melintasi Puncak Kenteng Songo. Ditengah perjalanan rombongan terbagi dua kubu, kubu di depan dan kubu di belakang. Kubu di depan sudah lebih terbiasa naik turun gunung sehingga staminanya lebih kuat daripada kubu belakang yang kecepatannya kalah tertinggal.
Di hari ketiga, turun dari camp kita di sabana 2, salah seorang dari kubu depan mulai tidak sabar dan pundung. Ditambah lagi karena mereka harus mengejar kereta kembali ke Jakarta dari Jogja sore hari nya, jadi mereka jalan makin buru-buru, gak sabaran nunggu sebagian kelompok yang tertinggal di belakang.
Sementara saya kadang ada di depan, kadang ada di belakang, pokoknya prinsip saya hanya berjalan saja. Kalau lagi capek saya di belakang, kalau lagi semangat ya jalan di rombongan yang depan.
Malam kedua hingga pagi hari ketiga hujan deras sehingga tenda yang saya bawa sendiri basah. Karena takut resiko sisa-sisa baju dan sleeping bag saya ikut basah kalau tenda saya masukan tas jadi saya memutuskan menenteng tenda saya diluar backpack. Dalam keadaan kering saja agak susah mengepak tenda saya itu dalam tas 50L, itu pun frame nya gak cukup di masukan ke dalam tas jadi di selipkan di saku luar tasnya.
Perpecahan mulai meruncing ketika selesai foto bersama dengan background kawah Merapi dari kejauhan. Salah satu anggota rombongan yang pundung menolak untuk berfoto bersama, malah berjalan duluan ke arah turun. Saya sih dengan santai langsung mengikuti ke arah turun setelah selesai foto bersama, sementara beberapa masih foto-foto sendiri. Sementara itu kawan-kawan dekat nya mulai bergerak menyusul untuk menghiburnya.
Sampai di sabana 1, banyak sekali tenda beraneka warna pagi itu. Wajar karena bertepatan dengan hari libur long weekend. Saya melihat sosok kawan-kawan saya naik ke atas bukit dan segera mengikutinya. Itu setelah melalui turunan kejam yang terjal dan licin karena paginya habis hujan, dan saat itu sepatu saya mulai berasa kayak gigit-gigit kaki. Ternyata setelah naik bukit itu terulang lagi turunan terjal yang bahkan lebih licin lagi.
Setelah itu saya masih harus mengulangi satu set naik bukit dan turunan terjal, posisi saat itu sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan di depan dan yang di belakang belum terlihat. Setelah itu jalanan yang dilalui jadi makin aneh, melintasi sabana yang jalan setapaknya hanya cukup untuk satu orang. Saat itu sempat timbul pertanyaan di benak saya, kalau banyak pendaki yang lewat situ kog bisa ya jalan setapak yang terbentuk sempit banget? gimana kalau banyak pendaki yang berpapasan berlawanan arah?
Makin lama setapak makin gak jelas, banyak sudah tertutup rumput. Beberapa kali saya dan salah satu teman dari rombongan yang tertinggal bingung di persimpangan jalan setapak yang tidak ada keterangan apa-apanya. Saat itu saya merasakan perut saya mulai lapar. Penyesalan terdalam saya saat itu adalah karena pagi harinya saya menolak tawaran sepiring mie goreng dari tenda sebelah. Untungnya kawan saya punya 2 batang coki-coki yang akhirnya saya palak. Sementara itu bayang-bayang mie instan masih memenuhi hati dan pikiran saya.
Tiba di suatu titik dimana jalan yang kita lewati tampak nyaris buntu karena semua path tertutup rumput, saya dan kawan saya mulai bingung celingukan jangan-jangan kita mengambil arah yang salah di salah satu persimpangan. Untungnya gak lama kami dengar ada teman yang manggil-manggil dari balik salah satu rumput yang tinggi. Empat orang kawan lagi duduk menunggu kami berdua karena mereka tahu kami pasti bingung di jalan itu, sementara tiga orang lagi sudah duluan melesat di depan.
Setelah jalan setapak yang tertutup rumput itu selanjut nya kami mulai memasuki hutan lebat, jalan setapaknya semakin gak jelas - tertutup alang-alang, daun-daunan yang saling bersinggungan, akar pohon, bahkan sering kami harus merunduk melewati pohon-pohon tumbang. Kawan saya di depan berteriak mengingatkan untuk selalu jalan di kanannya jalan setapak karena di sebelah kirinya yang tertutup alang-alang ternyata banyak lubang-lubang curam. Jalan menurunnya sangat menantang, makin lama makin banyak jalan yang saya lewati dengan berseluncur duduk selain karena jalannya sangat licin dan terjal, kaki saya di dalam sepatu sudah makin lecet dan tidak kuat menjejak menahan beban di turunan.
Rasanya seperti mengulang pengalaman di Senaru, tapi lebih parah karena jalanannya basah, licin dan lebih sempit. Anehnya lagi sepertinya hanya rombongan kami yang ada di hutan itu, padahal kalau dilihat jumlah tenda di sabana 1 harusnya kami banyak berpapasan dengan pendaki-pendaki yang lalu lalang.
Saya mulai curiga jangan-jangan kami salah jalan.
Iisshh.. nyasar sih emang my middle name, tapi ya jangan nyasar di hutan di gunung juga keleeuuss...
Tiga jam berjalan akhirnya kami mendengar ada suara orang-orang ngobrol di kejauhan. Tapi agak ragu juga sih jangan-jangan itu cuma halusinasi.
Untungnya bukan halusinasi. Memang suara orang beneran yang kami dengar. Bukan juga suara orang jadi-jadian. Kami muncul di pertigaan. Jalan yang lumayan besar terbentang di hadapan kami. Tampaknya arah Selo ada di kanan kami. Di pertigaan itu, tepat di hadapan kami ada papan besar bertuliskan "PUNCAK" dengan tanda panah mengarah ke kiri.
Kami terduduk lega sejenak di pertigaan itu, belepotan lumpur dan peluh. Gak lama muncul rombongan anak-anak muda pendaki dari arah bawah, salah satunya bertanya, "kalau jalan yang itu tembusnya kemana ya?"
"sabana 1,"kata kawan saya.
"Jalannya lebih dekat ga?"
Saya dan kawan saya serentak langsung menjawab,"lewat jalur yang normal aja!"
Sementara itu apa kabar rombongan kubu belakang yang di cap lelet dan terlalu lambat sama rombongan kubu depan (yang saya ikutin sampai terseok-seok). Ternyata mereka lewat jalur normal dan gak salah jalan, jadi waktu tempuh nya sama aja kayak yang jalan buru-buru takut ketinggalan kereta padahal mereka jalannya santai sambil foto-foto, banyak break duduk-duduk dan merokok.
Sampai di basecamp, kawan-kawan yang mengejar kereta sore sudah langsung berangkat ke Jogja. Saya dan tiga orang kawan yang ikut kebawa salah jalan masih stay di basecamp karena gak ikut pulang ke jakarta hari itu. Kami di olok-olok dan di bully abis-abisan sama rombongan yang gak pake salah jalan.
"Lo lewat mana sih tadi? Jalur evakuasi monyet?" mereka tertawa puas, kami tertawa miris.
Masih untung jalan tembusnya bener, coba kalau ternyata emang salah jalan beneran, coba aja kalau tembusnya ternyata balik ke Kenteng Songo... Kalo gitu mah saya butuh di evakuasi beneran.
Sampai di basecamp, kawan-kawan yang mengejar kereta sore sudah langsung berangkat ke Jogja. Saya dan tiga orang kawan yang ikut kebawa salah jalan masih stay di basecamp karena gak ikut pulang ke jakarta hari itu. Kami di olok-olok dan di bully abis-abisan sama rombongan yang gak pake salah jalan.
"Lo lewat mana sih tadi? Jalur evakuasi monyet?" mereka tertawa puas, kami tertawa miris.
Masih untung jalan tembusnya bener, coba kalau ternyata emang salah jalan beneran, coba aja kalau tembusnya ternyata balik ke Kenteng Songo... Kalo gitu mah saya butuh di evakuasi beneran.
Lesson learned. Kalau suatu saat jadi orang yang kebetulan lebih kuat gak boleh sombong, memandang remeh yang lebih lemah, mencelanya dan menganggap sebagai penghambat. Karena kita ga pernah tau di depan kita akan ada kejadian seperti apa. So, Stay Humble :)