Akhirnyaaaaah sampai juga kita ke postingan yang ditunggu-tunggu permisah.
Eh ada yang nungguin gak ya?
Eniwei, untuk mengingatkan, sekuel dari postingan ini sudah dipublish di blog ini duluan dan bisa dibaca disini : Mendadak Bali Part 2; Dalam Rangka Bisnis Trip. Alasan kenapa saya nulis part 2 nya dulu baru part 1 nya juga bisa dibaca disitu.
Cerita kali ini berkorelasi dengan perjalanan saya ke Merbabu. Kenapa saya bisa tiba-tiba langsung terbang ke Pulau Dewata selepas turun dari Puncak Kenteng Songo bisa dibaca disini: Terdampar di Muntilan.
Sekarang saya akan melanjutkan cerita mulai dari dini hari di Bandara Udara Adisucipto, Jogjakarta. Waktu itu sempat deg-degan takut ketinggalan pesawat. Saya salah perhitungan waktu dan underestimate kondisi bandara udara di Jogja saat itu, saya tiba satu jam kurang sebelum waktu keberangkatan. Nah, saat itu entah kenapa hanya ada 4 loket check in yang buka, maskapai yang saya akan tumpangi kebagian dua loket yang menerima semua tujuan check-in.
Saya tidak web check-in sebelumnya karena saya pikir toh nantinya juga harus mengantri di loket karena saya bawa tas besar banget habis naik gunung. Antrian panjang mengular dan lama banget majunya. Setengah jam berlalu, jatah waktu check in untuk penerbangan saya nyaris di tutup padahal saya ada di posisi ke 8 di antrian dan penumpang di depan saya kopernya banyak. Di antrian sebelah, saya sempat melihat ada kawan saya yang tidak begitu kenal dekat. Karena kondisi deg-degan ketinggalan pesawat dan suasana yang sumpek karena kebanyakan orang saya males menyapa, pura-pura gak liat aja.
Saat keringat dingin sudah mulai keluar dan mulai resah ngintip-ngintip mba-mba di loket, tiba-tiba jurusan pesawat saya dipanggilin dari depan loket untuk diutamakan karena sudah mau boarding. Saya segera meluncur ke depan antrian, sedikit menyikut orang yang ada di depan counter yang gak mau minggir (maap ya pak). Masuk ke ruang tunggu langsung meluncur ke pintu boarding. Fiuh...
Sekitar satu jam setelahnya saya sampai di Bali, dijemput sama Chacha yang begitu melihat saya di pintu keluar kedatangan bandara Ngurah Rai langsung ketawa ngakak. Waktu itu saya pakai sepatu gunung belepotan lumpur, compression pants (semacam celana legging), jaket wind breaker, keril 50L yang belepotan lumpur dan menenteng tenda yang sudah gak saya masukin lagi ke dalam tas. Sementara orang-orang lain tampak fresh dan posh gaya orang mau liburan di Bali.
eksis pake kacamata cengdem |
Pagi itu saya langsung diboyong ke Ubud. Di mobil saya sempat ganti sepatu gunung pakai sendal karet dan memoles lipsetik merah menyala supaya gak keliatan terlalu kumal. Ketika itu saya baru ingat ada satu item super penting yang lupa saya bawa, yaitu kacamata hitam.
Jalan-jalan di Bali gak pake kacamata hitam rasanya kurang afdol. Di Pasar Ubud saya iseng-iseng nawar kacamata hitam cengdem (seceng adem), tapi harganya gak beneran seceng, setelah proses tawar menawar yang alot saya beli kacamata itu seharga 40 ribu. Si Chacha pun ikut beli topi pantai super lebar disitu.
Ubud berasa panas banget karena hari sebelumnya saya sempat menggigil di puncak gunung. Saya pun memilih ngadem sambil makan gelato. Setelah makan siang di kawasan Ubud, sorenya Chacha punya ide ke Pantai Pandawa karena kami memang belum pernah kesana. Ya memang agak ketinggalan jaman sih ya.
Jalan menuju ke Pantai itu memang luar biasa, seperti menembus tembok bukit kapur. Tapi setelah saya mengintip dari atas ke kawasan pantainya yang berpasir putih, tiba-tiba entah kenapa jadi ga semangat buat main di pantai. Mungkin karena pantainya kelihatan ramai sekali kayak di ancol, waktu itu memang bertepatan dengan libur anak sekolah, jadi banyak bis-bis rombongan anak-anak sekolah. Mungkin juga karena saya kecapekan karena sudah berapa hari tidurnya gak bener. Tapi kalau saya ke Bali lagi sudah jelas ini bukan pantai yang akan masuk ke dalam kategori 'yang harus dikunjungi lagi', lebih cocok masuk ke kategori 'asal tau saja'.
masih dengan kacamata cengdem |
Chacha booking hotel yang lagi promo di salah satu web pemesanan hotel. Letaknya di daerah Batu Belig yang tidak terlalu ramai. Keluar sedikit dari halaman belakang hotel sudah ketemu pantai.
Malamnya saya dan Chacha janjian sama Rio di cafe yang kebetulan banget berada di tempat yang tidak jauh dari situ. Saya dan Chacha naik shuttle dari hotel yang berangkat tiap jam ke arah Kuta dan Legian, tapi karena malam itu yang naik shuttle hanya kami berdua maka pak supir inisiatif mengantar kami sampai di depan pintu cafe. Padahal seharusnya kami diturunkan di depan jalan besar kemudian jalan sedikit beberapa meter ke cafenya.
Malamnya saya dan Chacha janjian sama Rio di cafe yang kebetulan banget berada di tempat yang tidak jauh dari situ. Saya dan Chacha naik shuttle dari hotel yang berangkat tiap jam ke arah Kuta dan Legian, tapi karena malam itu yang naik shuttle hanya kami berdua maka pak supir inisiatif mengantar kami sampai di depan pintu cafe. Padahal seharusnya kami diturunkan di depan jalan besar kemudian jalan sedikit beberapa meter ke cafenya.
Sampai disana Rio sudah menunggu, katanya baru pulang kondangan. Saya terakhir ketemu Rio waktu transit di Bali ketika mau ke Timor Leste. Dari sejak itu ada rencana mau kemah ceria yang hingga sekarang masih merupakan wacana yang belum sempat terlaksana.
ceritanya lagi diskusi serius sama rio. kelihatan serius kan? |