Saya pernah lihat acara di National Geographic tentang Project-nya Nike berusaha untuk membuktikan apakah mungkin seorang manusia menyelesaikan Marathon (42,2 km) dalam waktu kurang dari 2 jam. Record tercepat hingga tahun 2017 adalah 2 Jam 2 menit, itu jauh lebih cepat daripada waktu yang saya butuhkan buat finish Half Marathon yang jaraknya setengah dari Marathon.
Nike mensponsori 3 orang atlit, satu tim yang terdiri dari banyak ahli dari bidang nutrisi, fisiologi manusia, olahraga dan tentunya ahli sepatu. Ahli-ahli itu melakukan analisa dan perhitungan-perhitungan pakai rumus-rumus dan grafik mengenai latihan apa yang harus dilakukan atlit, makanannya, pokoknya segala macemnya untuk berusaha mencapai kondisi ideal yang diperlukan agar hitung-hitungan rumusnya berhasil. Rumus kan biasanya pakai kondisi ideal. Track lari nya pun dicari di lokasi dan dibuat dalam kondisi yang se-ideal mungkin, misalnya jalurnya rata, gak banyak belokan, temperatur gak terlalu panas atau dingin, kondisi angin dibuat ideal dan seterusnya.
Salah satu pelarinya yang namanya Eliud Kipchoge saat di interview bilang kalau selama ini gak ada yang lari Marathon dibawah 2 jam. Banyak yang percaya kalau lari Marathon dibawah 2 jam, orang bisa mati. Misalnya aja nih ya kalaupun pas 2 jam, untuk menempuh 42km berarti orang harus lari dengan kecepatan rata-rata diatas 20km/jam selama 2 jam. Naik becak aja 20km/jam cepet, bayangin aja kalau lari.
In fact, orang pertama yang tercatat dalam sejarah lari sejauh jarak itu, mati. Pasti udah banyak yang familiar sama ceritanya. Itu di jaman Yunani Kuno, ada orang namanya Pheidippides lari dari kota yang namanya Marathon ke Athena untuk kasih kabar kalau pasukan yunani menang di perang yang namanya Battle of Marathon. Jaraknya katanya sekitar 25miles (Marathon yang sekarang sudah berevolusi jadi lebih jauh 26,2 miles atau setara 42,2 km).
Di tahun 1896, pertama kali ada orang yang memecahkan rekor lari Marathon dibawah 3 jam. Sekarang pemenang-pemenang Marathon semuanya pasti dibawah 2 jam 10 menit. Apakah manusia berevolusi jadi makin cepat dan kuat? Pertanyaan itu mungkin akan saya tulis di postingan lain. Anyway, balik ke tahun 2017- lebih dari 1 abad kemudian, tim Nike berusaha membuktikan apakah bisa seorang manusia memecahkan rekor lari Marathon dibawah 2 jam.
Satu-satunya pelari yang bisa finish mendekati 2 jam adalah Kipchoge, 2 jam 25 detik!
Memang belum berhasil membuktikan bahwa dalam kondisi ideal manusia bisa lari marathon dibawah 2 jam, tapi kata-kata Kipchoge yang keren. Katanya, buat Kipchoge untuk mencapai itu mungkin adalah hal yang sulit, tapi kini dunia hanya punya 25 detik untuk bisa mencapai mimpi marathon dibawah 2 jam, orang lain pasti bisa.
Hal yang saya pelajari dari nonton dokumenter itu, terutama dari Kipchoge adalah bahwa segala sesuatu dalam hidup intinya adalah state of mind. Hal paling berat dari lari jarak jauh adalah mengalahkan state of mind kita sendiri. Kadang mau mulainya aja berat, seringnya ketika niat mau lari 15km tapi ditengah jalan menyerah cuma selesai 10km. Bagaimana kita bertahan itu adalah kekuatan pikiran. kalau pikiran kita bilang gak bisa, pasti seluruh tubuh ikut falling apart. Kalau pikiran kita bilang bisa, kita pasti bertahan. Bahkan kalaupun gagal, kita tetap akan percaya kalau pasti bisa, tapi belum sekarang.
Ketika di beberapa bulan terakhir ini saya merasakan ada di level rock bottom, tiba-tiba saya ingat film dokumenter itu dan coba cari lagi di google, ternyata ada di youtube. Ini linknya kalau mau cekidot sendiri Breaking2, Documentary special.
It has been a rough year for me, sepanjang 2017 ini. Enam bulan pertama di 2017 saya habiskan dengan terombang-ambing diantara dua pekerjaan. Kenapa dua pekerjaan? Karena di akhir 2016 saya merasa tertekan, kemudian ada yang menawarkan sesuatu yang baru. Saya putuskan untuk coba yang baru, tapi sebagai jaminan kalau saya masih punya safety net ketika hal yang baru gak berhasil, saya gak sepenuhnya melepaskan yang lama. Ternyata di tempat baru yang perubahannya terlalu ekstrim saya malah lebih banyak kehilangan hal-hal yang saya suka, seperti teman-teman, comfort zone buat hang out, lari, berkebun, prepare my own food. Saya menghabiskan terlalu banyak waktu dijalan karena lokasinya sangat jauh dari rumah ke tempat kerja dan macet. Hal baru ini gak bikin saya terlepas dari beban batin akhir 2016, malah bikin saya tambah sedih dan rapuh dan sepi.
Ketika rombongan yang saya ikut waktu ke Merbabu tahun lalu mengajak saya naik gunung lagi ke Gunung Sumbing saya langsung bilang iya. Upaya menyesuaikan diri dengan kehidupan baru beneran bikin saya pingin lari ke gunung. Pasca trip ke Gunung Sumbing saya jadi lumayan sering hang out sama temen-temen ini, apalagi tempat kumpul mereka dekat rumah jadi gak perlu banyak effort untuk keluar dari jalur harian saya yang sudah panjang, berliku dan melelahkan. Dari gunung, kami iseng ke pantai, trip aneh dadakan. Selain perjalanan karena bisnis trip, sepertinya tahun 2017 acara jalan-jalan selain birthday trip cuma itu.
Setelah masa percobaan 6 bulan di tempat kerja baru selesai, saya memutuskan untuk berhenti. Saya mulai hubungi kawan-kawan lama di tempat nongkrong lama, merancang itinerary buat birthday trip bulan Agustus dan mulai mengatur jadwal rutin lari. Tapi tantangan hidup di 2017 belum berakhir buat saya. Setelah Birthday trip bulan agustus ke Banyuwangi dan Baluran saya mengalami breakdown. Mungkin ini adalah saat-saat terlemah saya atau bahasa kerennya my weakest moment. Setelah beberapa minggu tenggelam dalam momen itu, saya ingat Kipchoge dan state of mind-nya. Sesulit apa pun hidup kita, yang bisa membuat kita bertahan adalah kekuatan pikiran. Tapi mengendalikan pikiran kita sendiri gak semudah membalikan telapak tangan. Control your mind, or your mind will control you.
Untungnya masih ada hal yang masih bisa bikin saya timbul sedikit dari ketenggelaman (hah, gimana itu bahasanya?). Di awal tahun saya mendaftar dua event Half Marathon, yaitu Jakarta Marathon dan Lombok Marathon. Tapi sekitar bulan april atau mei, saya diajak oleh senior alumni kuliah saya untuk ikut jadi panitia dalam acara Ultramarathon yang diselenggarakan alumni universitas saya. Setelah beberapa bulan, konten dan tema acara ultramarathonnya berevolusi dan saya akhirnya udah bukan hanya panitia tapi juga ikut lari. Sebulan kemudian saya lari Half Marathon kedua saya di Jakarta Marathon. Kondisi fisik saya acak-acakan, gak seperti tahun lalu waktu ikut Bali Marathon, tapi saya finish juga.
Bulan Desember 2017 harusnya saya ikut Half Marathon lagi di Lombok Marathon, tapi acaranya diundur karena kondisi Gunung Agung yang lagi erupsi dan abu vulkaniknya terbang sampai kawasan Lombok.
Keadaan buat saya belum banyak berubah selama 2017. Saya yakin suatu hari nanti, mungkin di 2018 atau mungkin di tahun-tahun berikutnya, saya akhirnya bisa mengerti pelajaran hidup apa yang telah saya dapat di tahun ini. Sekarang saya tidak punya ekpektansi apa-apa dan resolusi apa pun untuk tahun depan. Kayak kata Kara Goucher, pelari idola saya:
"In the end, just remember: one foot in front of the other, and repeat"