Mungkin ini yang namanya panggilan hati.
Beberapa hari sebelum keberangkatan saya, chacha dan pagit ke Lombok, kami melakukan pertemuan untuk menentukan itinerary selama seminggu. Yang sudah pasti adalah selama 3 hari saya akan berpisah dengan chacha dan pagit. Kami tinggal menentukan apa yang akan kami lakukan disisa hari yang akan kami lewatkan bersama.
Hmm.. sebenarnya kalau mau dibilang itinerary terlalu keren sih. Di hari sabtu yang cerah kami bertiga berkumpul di suatu cafe mungil di Jl. Gunawarman yang memiliki kecepatan free-wi fi yang bagus, sayangnya sekarang tempat itu sudah tutup, mungkin bangkrut. Yang kami lakukan lebih tepatnya adalah browsing tempat-tempat menarik yang mungkin kalau sempat akan kami datangi dan booking penginapan.
Secara random kami membuka website booking hotel dan memilih lokasi yang bukan merupakan tujuan utama turis lokal yang mau ke Lombok. Itu membuat Senggigi, Gili T, Gili Nemo dan Gili air dicoret dari daftar. Menyisakan lokasi penginapan di daerah Lombok Selatan. Akhirnya kami sepakat tujuan perjalanan pencarian innerpeace kali ini akan berlokasi di sekitar Tanjung Aan.
Dari web booking hotel itu ada dua resort yang menarik minat kami, yang satu resort bintang lima dan satu lagi resort yang dari fotonya mirip dengan resort bintang lima itu tapi dengan harga sepertiganya. Resortnya berupa rumah panggung dari bambu dengan atap yang terbuat dari alang-alang kering. Melihat namanya yang eksotis saya langsung merasakan ada semacam panggilan dari dalam hati bagaikan magnet yang langsung menarik jiwa saya untuk kesana : Bumbangku.
Bahkan dengan melafalkannya rasanya seperti sedang menyanyikan suatu nada eksotis : Bum bang ku bum bang ku bum bang ku.
Tiba di Bandara Internasional Lombok kami menunggu dan mencari jemputan dari Bumbangku, tapi ternyata tidak ada yang menjemput padahal sehari sebelum berangkat chacha sudah menelpon untuk memastikan ada yang menjemput kami di bandara. Ketika di telpon ternyata pihak cottage lupa mengirim orang untuk menjemput kami. Tak lama datang seorang pria yang mengaku kakak sepupu dari resepsionis Bumbangku yang ditugaskan menjemput kami. Kakak sepupu resepsionis itu kebetulan punya usaha rental mobil untuk turis dan kebetulan sedang mangkal di airport.
Jalan menuju cottage sepi sekali tapi aspalnya mulus mengkilat. Hampir mendekati ujung dari jalan aspal itu, sekitar 20-30 menit kami tiba di tujuan. Tau kan biasanya kalau kita melihat foto sesuatu di internet terus lihat aslinya dan ternyata tidak seindah fotonya? Di Bumbangku tidak begitu. Aslinya bahkan lebih indah dari fotonya. Kami tiba pas siang hari saat udara cerah, langit berwarna biru muda, laut berwarna biru kehijauan berkilauan, pasir berwarna putih.
Di hari itu kami bertiga adalah tamu satu-satunya. Kami dapat tempat di cottage bambu paling depan. Seluruh bangunannya terbuat dari bambu. Di dalamnya sangat sederhana, tidak ada meja dan kursi, hanya ada 3 buah kasur di letakkan di lantainya yang dilapisi tikar bambu dan sebuah lemari cabinet kecil setinggi dada. Kamar mandi nya outdoor. Bahkan kunci pintu nya saja kalau dari dalam menggunakan palang pintu yang di sematkan. Kalau dari luar pakai gembok. Di langit-langit tampak sebuah kipas dan lampu yang menggantung.
Saya suka sekali.
Kami sengaja pilih kamar standar yang tidak pakai AC karena kamar yang pakai AC tidak terbuat dari bambu. Padahal kami kepingin merasakan sensasi eksotis tidur di tempat yang gak konvensional. Surprisingly, karena ga pakai AC kami pikir malam hari bakal gerah, tapi ternyata kami bertiga tidur kedinginan di dalam kamar bambu itu.
Kami makan siang di pinggir pantai, Nasi Balap Puyung yang kami take-away dari restoran di seberang bandara. Malam hari pintu kamar kami di ketok oleh staff cottage yang menanyakan apakah kami mau pesan makan malam atau tidak karena dia belum lihat kami makan malam padahal kami sudah makan mi instan seduh. Sebelum ke cottage kami juga sudah mempersiapkan diri membawa mi instan seduh karena kami pikir kalau pesan makan dari hotel harganya mahal. Ternyata tidak juga. Di Bumbangku harga makanan yang di jual di cottage nya buat saya wajar banget.
Keesokan harinya ketika sarapan saya makan pancake yang enak banget, lembut dan fluffy. Saya berkali-kali bereksperimen bikin pancake sendiri di rumah tapi ga pernah sekalipun bisa mencapai tekstur pancake yang seperti itu. Kopi lombok juga enak banget, smooth dan tidak asam. Saya suka banget kopi yang tidak asam. Sarapan kali itu buat saya sungguh membahagiakan, sebagian karena makanannya enak dan sebagian lagi karena sarapannya setelah menyaksikan matahari terbit yang sempurna seperti di gambar-gambar anak SD.
Dini hari kami bertiga bangun dan jalan menyusuri pantai di depan cottage. Di sebelah kiri cottage ada bukit batu yang kalau air laut surut ada gua-gua kecil yang bisa kita masuki. Tapi gua-gua itu tertutup air ketika pasang. Di hari pertama kita di Bumbangku, sore hari kami main-main di pantai yang ada gua itu. Di sebelah kanan cottage ada desa nelayan, di depannya ada pasir membentang yang bisa dilalui ketika air surut, dengan berjalan kaki melintasi itu kita bisa sampai di seberang teluk. Ketika air laut pasang hamparan pasir itu akan tergenang oleh air laut, kalau mau menyebrang teluk harus pakai perahu atau boat. Di seberang teluk ada bukit yang menurut staff hotel kalau mendekati musim hujan banyak kupu-kupu. Dan dibalik bukit itu ada pantai yang banyak digunakan untuk berselancar.
Kami berjalan sampai di bukit kupu-kupu. Di depan bukit kupu-kupu ada hutan bakau, di antara akar-akar bakau banyak ibu-ibu dari desa nelayan yang menunduk-nunduk membawa tas dari rotan dan jala, sedang mencari-cari sesuatu. Mungkin mencari ikan-ikan yang berenang ke situ ketika arus pasang dan terjebak di rongga akar bakau ketika air surut. Saat itulah saya ikut menunduk-nunduk tapi alih-alih melihat ikan saya malah melihat pasir di situ bertekstur beda dari pasir pada umumnya. Lebih kasar dan lebih bulat seperti bearing roda di mesin mobil yang super kecil. Mungkin ini yang dinamakan orang-orang pasir merica.
Kami kembali ke cottage ketika perut mulai lapar dan air laut mulai tampak akan pasang.
Seharian kami bertiga hanya tidur-tiduran di gazeboo yang memandang lurus ke pantai. Mendengarkan musik sambil membaca buku dibuai angin sepoi-sepoi. Ketika lapar kami memesan makan siang dari restoran cottage yang diantar langsung ke gazeboo kami. Hari itu diawali dengan sunrise yang sempurna dan diakhiri dengan sunset yang juga sempurna.
La Dolce Vita.
Ultimate Innerpeace.
Coba kalo waktu itu sudah ada ukulele....