Dari dalam Menara Syahbandar yang remang dan berdebu saya menghela nafas. Terhirup aroma yang sudah tak asing lagi, sahabat yang selalu setia mengiringi. Saya pun menyapa dia, namanya : Hampa. Tangga kayu itu berderit seiring dengan langkah kaki saya berpijak ragu. Kuatkah selembar kayu ini menahan berat badan saya? Apakah lempengan yang tersusun jarang-jarang ini akan kehilangan upaya nya menopang tubuh saya, hingga kayu rapuh itu menyerah patah dan menghempaskan saya ke dasar menara?
Aku teringat mimpi semalam. Kamu memeluk erat dari belakang dan mengangkat aku tinggi dari permukaan tanah. Persis seperti yang kamu sering lakukan dulu, kamu buat aku terbang dan aku tidak pernah takut jatuh. Aku seperti Tinkerbell kecilmu, melayang dan bercahaya. Ah... rasanya kebahagiaan itu sudah berlalu seratus tahun, hingga buat aku lupa caranya bersinar seperti ketika kamu rengkuh aku. Aku sama seperti menara ini yang kejayaan nya telah luntur oleh waktu, kusam dan muram.
77 anak tangga mengantar saya sampai di puncak menara, jendela-jendela lebar tak berkisi tampak seperti layar tivi flat screen yang ditempel di tembok. Langit cerah, biru muda yang dihiasi sejumput awan putih empuk di sana sini. Angin semilir menyapa wajah melalui daun jendela, samar tercium aroma karat dari besi penahan jendela. Kemudian aroma amis pasar ikan campur bau sampah dan limbah mulai mendominasi.
77 anak tangga mengantar saya sampai di puncak menara, jendela-jendela lebar tak berkisi tampak seperti layar tivi flat screen yang ditempel di tembok. Langit cerah, biru muda yang dihiasi sejumput awan putih empuk di sana sini. Angin semilir menyapa wajah melalui daun jendela, samar tercium aroma karat dari besi penahan jendela. Kemudian aroma amis pasar ikan campur bau sampah dan limbah mulai mendominasi.
Satu hal yang kupelajari dari hidup adalah selera humornya yang kejam. Beberapa tahun belakangan aku merasa menjadi objek favoritnya, mainan kesukaannya. Dibuatnya aku bermain dalam peran yang menurut nya lucu. Dijungkirbaliknya aku dalam komedi satir yang sudah ada skenarionya. Pada akhirnya aku mencoba menghayati peran yang diberikan hidup padaku. Aku belajar menanggapi selera humornya, belajar tertawa pada apa yang dianggapnya lucu. Aku bahkan berbalik menghadapinya, menengadahkan kepalaku dan tertawa lepas.
Kalau kau dapati air mata berderai dari kedua mataku, itu bukan menangis. Itu karena aku tertawa terbahak-bahak hingga keluar air mata ku. Menertawakan komedi satir yang di peruntukan oleh hidup untuk aku. Kali ini pun aku menantangnya, ku kembangkan paru-paru ku dan kuhirup dalam-dalam segala macam aroma busuk yang campur aduk di tempat ini. Semua ini tidak akan bikin aku mati, ratusan manusia di Jakarta hidup di pinggir kali yang mampat oleh bangkai busuk dan di kaki gunung sampah, mereka tidak mati. Jadi, aku juga.
Menara Syahbandar jaman dahulu kala di tetapkan sebagai titik Nol kota Batavia. Artinya patokan titik pusat perkembangan kota adalah menara ini. Itu di masa silam, sebelum muncul menara lain yang lebih tinggi dan lebih cemerlang bernama Monumen Nasional yang segera menggantikan peran menara tua ini menjadi titik Nol pusat perkembangan kota. Menara Syahbandar lama kelamaan mulai tersisih, orang-orang mengenalnya hanya sebagai menara miring yang terletak di gerbang Pasar Ikan. Betapa cepatnya manusia lupa.
Dari dalam puncak Menara Syahbandar, saya melongok melalui jendela besar. Bangunan tua bekas kantor galangan kapal VOC yang sekarang sudah menjadi semacam kafe di sebelah selatan. Bangunan gudang rempah VOC yang sekarang dijadikan Museum Bahari di sebelah barat. Nun jauh di sebelah utara, melewati pemandangan sampah berserakan terlihat tiang-tiang kapal yang parkir di pelabuhan, Sunda Kelapa. Salah satu Pelabuhan kerajaan Sunda yang terbesar pada jamannya - berabad-abad lalu, sempat ditaklukan oleh pasukan dari Demak kemudian di rampas oleh pasukan Belanda.
Museum Bahari view |
Pelabuhan Sunda Kelapa view |
Bekas gedung galangan kapal VOC view |
Telinga saya menangkap bunyi riuh kendaraan di jalan raya, klakson mobil angkutan kota yang merayu genit memanggil calon penumpang di trotoar. Bunyi gas meraung yang keluar dari knalpot sepeda motor yang dipacu. Kemudian bunyi mesin kendaraan yang jelas terdengar lebih besar, sebuah truk raksasa melintas. Saya bisa merasakan getaran di lantai, impact dari kendaraan berat yang melintas di jalan telah menggoyangkan menara setinggi 12 meter ini.
Dari dalam puncak Menara Syahbandar, seluruh kekuatan yang aku punya ingin meneriakan nama kamu dengan lantang, menembus jendela lebar tak berkisi, jauh menyebrangi laut keruh yang membatasi kita. Tapi suara itu berhenti di kerongkongan, aku pun tersedak oleh kesedihan. Suara itu kutelan kembali bulat-bulat tanpa sempat terucap. Rindu menggantung di udara yang kini pekat oleh asap polusi truk raksasa yang baru saja lewat.
Di dalam menara tua Syahbandar yang miring seperti kakek tua yang bungkuk dan ringkih di tempa usia, aku melihat menara yang aku buat mulai goyah. Menara yang kubuat dengan pondasi kenaifan. Di atas nya ku susun batu bata penderitaan yang kurekatkan dengan air mata, lengkap dengan jendela-jendela kecil pengorbanan dan pintu besar kebodohan. Tak lupa ku tutup dengan atap impian semu yang tak mungkin jadi nyata.
Dari dalam puncak Menara Syahbandar, seluruh kekuatan yang aku punya ingin meneriakan nama kamu dengan lantang, menembus jendela lebar tak berkisi, jauh menyebrangi laut keruh yang membatasi kita. Tapi suara itu berhenti di kerongkongan, aku pun tersedak oleh kesedihan. Suara itu kutelan kembali bulat-bulat tanpa sempat terucap. Rindu menggantung di udara yang kini pekat oleh asap polusi truk raksasa yang baru saja lewat.
Di dalam menara tua Syahbandar yang miring seperti kakek tua yang bungkuk dan ringkih di tempa usia, aku melihat menara yang aku buat mulai goyah. Menara yang kubuat dengan pondasi kenaifan. Di atas nya ku susun batu bata penderitaan yang kurekatkan dengan air mata, lengkap dengan jendela-jendela kecil pengorbanan dan pintu besar kebodohan. Tak lupa ku tutup dengan atap impian semu yang tak mungkin jadi nyata.
Satu truk besar lagi lewat menggoyangkan lantai Menara Syahbandar yang masih berusaha bertahan. Sementara itu menara buatanku, menara yang kurancang sedemikian tingginya untuk menggapai kamu kini mulai luruh, hancur melontarkan serpihan-serpihan harapan yang kini berserakan di antara debu-debu kehancuran.
bekas gedung galangan kapal VOC jadi cafe??
BalasHapuspasti cafenya sangat sangat besar ya
itu bukan galangan kapal beneran kyknya, cuman kantor administratif yg ngurusin galangan kapal.. restorannnya ga gitu gede siy, halamannya luas tapi pelit..ga boleh foto2
Hapushemmm... puisinya panjang bangett..... *plakkk....
BalasHapusitu bukan puisi. klo puisi itu dalam satu bait ada 4 baris yang berima hehehehehee
HapusAku suka dengan gaya tulisan kamu di postingan kali ini. Waktu ngebaca, soul-nya beda dengan kamu yang biasanya. Tapi videonya rada maksa kayaknya. Wkwkwk... :D
BalasHapusklo begini kayak bukan gue yak hahaha...
HapusMila, tumben mellow.. :)
BalasHapuslagi iseng hihihiy
Hapusblog ini lagi dihack kayanya..
BalasHapushyaaaaah... enggaaaaak... ini gue yang asli hahahaa
Hapuswew..wew.. cerita perjalanan dibuat jadi cerita dalam novel. hehehe..
BalasHapusgw baru tau kalo menara syahbandar itu titik nol batavia.. dulu ke Sunda kelapa ngga mampir ke Museum Bahari..
yup! that's the idea hihihiiy... klo pengarang novel mah lsg nangkep yaaah...
Hapusbrarti lu musti kesana lagi hehehee
wah, rugi saya belum pernah kesana nih. jadi pengin nih, asli! coba nanti saya agendakan kesana, kayaknya asyik ya..
BalasHapustop nyanyinya. nyaingin Mbak Endah-nya Endah n' Resha deh.
iyaaa.. asik, naik sepeda keliling2 kota tua gitu, seru deh.
HapusKmu sudah jadi waras apa malah semakin gila.. Tulisanmu benar-benar beda kali ini. Galauer sejati
BalasHapusI take that as compliment thank yoooouuuu hahahaa
Hapussalut buat tulisannya mbak, ada 2 thema dalam satu tulisan....mantap.
BalasHapus:-*
HapusHhahaha...kok sama sih, tema tulisan kita kali ini: Galau...tapi serius tulisan lo ini keren banget, cara nulisannya itu loh, campur sari aduk-aduk. Keren, serius!!! Tp bener kata yg lain, blog ini kyk dihack hehehhee....teruskan Mil !!!
BalasHapusembeeerr... kayaknya bener deh tinggal di jakarta merusak kesehatan mental, buktinya aja gw bisa nulis tulisan galau begini huahahaa
Hapuslagi galau yak ? nongkrong di setarbak yuk pake voucher MAP kemaren... xixixixix
BalasHapusTraktir buka puasa yaaaaah... deket kantor gw aja sini, di kiri ada setarbak, di kanan juga ada setarbak hahahaa
HapusKok masih ada ya sisa-sisa peninggalan Belanda jaman dulu. Apakah masih terawat dengan baik menaranya?
BalasHapusya ada renovasi siy, tapi ya namanya di indonesia sebaik2 dirawat peninggalan sejarah ya gitu2 aja hehehee
HapusGalaunya keren banget :D
BalasHapusTapi kok gak yakin ini ya kalau ini mbak Mila... :p
Kayaknya di biarkan dihack secara sukarela oleh empunya blog.. hi hi hi
wkwkwk.... di hack oleh sisi lain kepribadian aku hihihiy
HapusBaus banget ceritanya, emang kalo lagi enggalau kadang titisan-titisan *cieee* kata-kata selalu terangkaikan menjadi gulis cerita yang amazing :)
BalasHapushaiyaaaah.. kata2 ku kalau tidak sedang galau juga tetap puitis kooooog
HapusAku malah baru dengan Menara Syah Bandar ini *tinggal di planet mana?*
BalasHapuskapan2 klo ke Jakarta, aku juga mau jalan2 ke kota tua ah...
Ini postingan Mila edisi Galau hehehe...Tapi keren deh, semakin galau semakin keren kata-katanya...HOHOHO ^^V
jangankan Mba Mayya, sopir odong2 yang kita naikin dari depan museum BI aja ga tau yang namanya menara syahbandar, sempet nyasar-nyasar kita.. hahaha...
Hapusgalau ??? jangan risau pakai kartu as hahahaha :D
BalasHapussalam sukses gan, bagi2 motivasi .,
BalasHapusPikiran yang positiv dan tindakan yang positiv akan membawamu pada hasil yang positiv.,.
ditunggu kunjungan baliknya gan .,.
Abis matiin handycam lu langsung mewek kan Mil. Ya kan ya kan ya kan???? Gue berasa pengen nangis gitu soalnya abis baca tulisan ini dan liat vidclip lu.
BalasHapusCup cup rossa.... *pukpuk
Hapus