Kamis, 28 November 2013

Throwback Thursday: Williamstown dan St.Kilda

Walaupun pemerintah Indonesia dan Australia sedang bersitegang gara-gara sadap menyadap, saya akan tetap melanjutkan cerita jalan-jalan saya ke benua kangguru yang sudah dari lama gak selesai-selesai. Karena saya nulisnya tergantung mood dan seringnya diselingin sama jalan-jalan tempat lain, ga berasa ternyata udah lewat setaun sejak kepergian saya ke sana. Jadi kalau saya nulis tentang Aussie lagi, itu bukan berarti saya pergi lagi ya, ini istilahnya #throwbackthursday 

Kedatangan saya ke Melbourne bukan hanya bertepatan dengan musim gugur, tapi juga musim tugas buat para mahasiswa, termasuk Cipu. Merasa bersalah karena tidak bisa menemani saya terus selama disana, Cipu menyediakan satu  hari khusus untuk jadi guide menyusuri Melbourne. 

Seperti biasa, saya suka males mikir kalo pergi sama Cipu, enakan cuma terima beres ngintilin dia kemana-mana. Mungkin karena itu kita sering traveling bareng, soalnya si Cipu selalu antusias pengen kesana kemari, pengen liat ini itu. Ingat kan peristiwa City Council di Ho CHi Minh City? Sementara saya yang ga pernah punya ambisi untuk pergi ke suatu tempat tertentu, tanpa banyak perdebatan ikutin aja kemana dia mau pergi. Kalau buat saya sih yang penting jalan-jalan. 

Hari itu kita janjian di depan Perpustakaan Melbourne. Kata Cipu tempat ini adalah salah satu meeting point paling hits dikalangan muda mudi melbourne. Pagi-pagi Cipu ke kampus dulu, sementara saya jalan-jalan ke Old Melbourne Gaol dan ikut simulasi masuk penjara. Ketika saya tiba di depan perpustakaan, Cipu sudah duduk di kursi yang terletak di trotoar sambil baca buku karangan Dewi Lestari titipannya yang saya boyong dari Jakarta. 

Untuk mengenang salah satu trip fenomenal kita ke HCMC, Cipu mengajak saya makan Pho di RM Vietnam langganannya. Ironis nya adalah, waktu ke HCMC cipu gak sempet makan pho karena mungkin terlalu terobsesi sama city council dan ca phe sua da

Kita naik kereta dari Flinders, berhenti di stasiun Footscray. Rasanya seperti naik mesin waktu dari jaman Victorian ke masa depan, soalnya bentuk stasiun Footscray itu futuristik banget. 

Flinders Station yang Victorian

Footscray yang futuristik

Jalan sedikit dari stasiun Footscray sampai di depan suatu rumah makan mungil. Cipu mendorong pintu kaca, serta merta disambut oleh pria berwajah viet layaknya kawan lama. satu hal yang jadi ciri khas dari Cipu adalah, semua orang adalah kawan lama nya. Bahkan kalau lagi jalan dimana gitu tiba-tiba ada yang manggil dia, kawan lama dari makasar. Lagi makan di foodcourt Grand  Indonesia,tiba-tiba dia nyamperin seorang perempuan mungil yang lagi makan sendirian,  kawan lama di ostrali. 

Cipu memesan semangkuk Pho dan segelas es kopi vietnam, saya pun memesan sama. Makan siang pesanan kita muncul dalam mangkuk besar yang dari dalamnya meruap-ruap asap panas kuah Pho. Serakus-rakusnya saya di indonesia, saya tidak akan pernah sanggup menghabiskan satu porsi makan standard aussie. Entah porsi nya yang kelewat jumbo atau ukuran lambung saya yang menciut karena udara dingin. 

Kembali ke Stasiun Footscray, kita melanjutkan perjalanan dengan kereta Metro menuju salah satu daerah sub-urban melbourne paling ujung, Williamstown. Didalam kereta metro cipu melanjutkan bacaan nya sementara saya melongok ke jendela memperhatikan stasiun-stasiun yang terlewati. Yarraville. Spotswood. Newport. Williamstown.

Terletak di pinggir teluk tepi laut, Williamstown bisa dibilang merupakan fishing village. Tapi jangan dibayangin fishing village macam di Labuan Bajo ya, disini yang parkir di pinggir dermaganya barisan yacht  warna-warni, bukan kapal nelayan dari kayu. Dari dermaganya, nun jauh di seberang lautan, terlihat skyline gedung-gedung bertingkat dari pusat kota Melbourne. 

Kenorakan saya kumat ketika  melihat pancuran air minum yang cantik banget, langsung pengen cobain minum dari keran situ. Tapi rupanya karena saya terlalu pendek, air yang keluar dari kerannya berpancur terlalu tinggi, bukannya masuk ke mulut saya tapi langsung menuju mata, membasahi sekujur muka dan belepotan sampai ke baju saya. basah semua. Cipu ngakak.

Kita masuk ke kantor tourist information, yang jaga seorang nenek. Begitu tau kalau Cipu adalah mahasiswa di Melbourne nenek itu langsung bertanya, "Kamu supporter Tim Footy apa?"

Jujur, saya kurang ngerti esensi dari jalan-jalan ke Williamstown itu. Menurut saya tidak ada yang menarik banget, kotanya sepi dan buat saya terlalu bersih dan teratur dan membosankan. Kurang dari satu jam kita di sana, mondar-mandir memotret-motret yacht dan burung (yang kata cipu namanya) Seagull. Disana emang saya nyaris gak pernah keringetan, tapi tidak selalu karena udaranya dingin. Giliran ada matahari muncul, justru terik nya lebih garang dari di Indonesia yang tropis. Mencubit-cubit kulit hingga perih. Panas tapi kering.

Yacht warna wani dengan background Kota Melbourne

Kita berjalan tak tentu arah, di taman ada serombongan ibu-ibu muda beserta bayi-bayinya lagi kumpul-kumpul, piknik, mungkin semacam arisan. Beberapa anak balita bermain ayunan dan prosotan di playground. Sepasang muda-mudi menenteng sepedanya berjalan melintasi gedung Gereja yang bangunannya bertipe gothic. Selain itu tidak banyak aktifitas yang bisa dilihat, benar-benar hening dan steril seperti di lorong rumah sakit. Cipu melihat sebuah bus dan buru-buru mengajak saya menyebrang jalan raya yang luas tapi sepi berlari mengejar bus itu.  Bus sudah akan berangkat ketika kita masuk ke dalamnya. Saya tidak tanya kemana. Di dalam bus sepi. Cipu mengambil tempat paling belakang karena mau solat dzuhur dulu. 

Bus terus melaju. Beberapa kali berhenti di tempat pemberhentian, tapi tidak ada yang naik. Sampai tiba di pemberhentian bus di depan sekolah, anak-anak sekolah seumuran anak smp menyerbu masuk  memadati bus. Saya dan Cipu nyaris tak bisa bergerak. Suasana jadi ramai, sesak dan berisik. Kita telah terjebak di dalam satu bus penuh berisi alay-alay australia. Di sebelah saya anak cewek abg heboh ngobrol teriak-teriak sama temen-temennya membahas mau ganti pesan voicemail di teleponnya pake lagu carly ray jebsen, call me maybe. 

Cipu mencolek bahu saya dari belakang, mukanya mencurigakan, mengajak saya untuk turun pemberhentian berikutnya. Pas kita turun baru cipu mengaku kalau kita salah naik bus. Saya hanya pasrah terduduk di halte menunggu bus lain lewat, di jalanan yang lebar tapi sepi. panas. kosong. tersesat. bengong di halte. bertopang dagu. mata mulai berat. kepala terantuk.

Dari kejauhan sebuah bus datang.

Saya menegakkan kepala, langsung berdiri.

"Bukan bus ini," kata Cipu.  

Ok. Saya kembali terduduk di halte menunggu bus lain lewat, di jalanan yang lebar tapi sepi. panas. kosong. tersesat. bengong di halte. bertopang dagu. mata mulai berat. kepala terantuk.

terdampar di halte mana tau gara2 guide

"Ini bus nya, mil. siap-siap," seru cipu menyambut kotak besi yang muncul dari kejauhan.

Tujuan berikut guide saya adalah melihat sunset di St. Kilda, salah satu kawasan pantai  terkenal di Melbourne. Kalau udara dingin katanya disini ada Penguin. Iyak, Penguin, burung warna putih hitam yang jalan nya lucu dan hidupnya di es itu. 

Dari Bus kita masih lanjut naik Tram hingga ke St.Kilda. Ada bangunan-bangunan yang bentuknya bagus-bagus, ada pohon-pohon palem di sepanjang jalan, ada menara jam yang tersusun dari batu bata coklat kemerahan, ada Amusement Park seperti Dufan yang gerbangnya berbentuk kepala badut yang lagi menganga lebar - Luna park, ada kembaran Luna Maya yang berpose didepannya *ditimpukrame2*, ada orang-orang yang duduk di pinggir pantai, ada es krim dan ada sunset.

Luna Park dan kembaran Luna Maya

Clock Tower di St. Kilda

es kriiiiimmmmm.....

Sunset <3 td="">

Selasa, 26 November 2013

Hatiku Berlabuh di Labuan Bajo

Di Jakarta tahun-tahun belakangan ini, Tuesday is the new Monday. Jadi ketika hari Minggu berakhir, rasa kebencian terhadap hari senin mulai menyeruak dari dalam kalbu, I hate Monday. Tapi ketika hari senin berakhir masih ada hari selasa yang patut untuk dirutuki juga. Di hari Selasa butuh usaha, kekuatan dan kesabaran dua kali lipat dari hari senin untuk mengarungi perjalanan dari rumah menuju kantor. 

Hari Selasa pagi, sudah nyaris 2 jam saya stuck di jalan, merayap pelan-pelan seperti siput kurang gizi. Di sekeliling mobil saya puluhan motor mengerubungi seperti lalat mengerubungi bangkai. Kendaraan roda dua menyelisip diantara sela-sela mobil seperti potongan daging menyelip di sela gigi. Mereka saling berdesakan di sisi kanan jalan yang merupakan jalan untuk kendaraan dari arah berlawanan. Bagai kawanan tawon yang berlomba-lomba masuk sarangnya, motor-motor itu berebut memadati sepotong jalan, sementara dari arah berlawanan riuh bunyi klakson mobil yang berusaha membubarkan kerumunan pengendara ber-helm itu agar mereka bisa lewat memekakan telinga bersahutan.

Dua baris mobil di hadapan saya saling beradu, Avanza silver dan Taksi biru. Kedua pengendara turun dari mobil, saling cekcok adu mulut di tengah jalan dengan posisi kendaraan mereka yang malahan keliatan mesra berciuman di tengah jalan. Dari belakang saya pun serbuan klakson dari pengendara lain yang tak sabar mulai bersahutan. Bersatu padu, membentuk koor yang gak ada syahdu-syahdunya. Dari depan, belakang, samping, sepertinya seluruh semesta di kacaukan oleh bunyi klakson yang disulut oleh amarah manusia kota di Selasa pagi. 

Saat-saat seperti ini dimana saya sangat merindukan Labuan Bajo. Hanya butuh kurang dari setengah hari baginya untuk bisa menawan hati saya disana. Saya pergi kesana tanpa pengharapan berlebih terhadap kota kecil ini. Palingan cuma sepotong kampung kecil yang tidak signifikan, pikir saya, tempat wisatawan yang hanya transit untuk pergi ke destinasi lain yang lebih cantik. Pulau Komodo, Pulau Kanawa, Pulau Seraya, Pink Beach.... 

Tapi saya lupa, sepertinya hati saya selalu memilih untuk jatuh cinta kepada kampung kecil yang tidak signifikan. Sama seperti ketika saya jatuh hati dengan kampung kecil yang tidak signifikan di Thailand Utara bernama Krabi. Hati saya ini selalu gampang dirayu dan dibuai oleh kesederhanaan. Entah kenapa. 

Bandara Komodo di Labuan Bajo adalah bandara yang sederhana tanpa ban berjalan. Mengingatkan saya sama bandara di Bengkulu beberapa tahun lalu. Hmm... setelah saya pikir-pikir mungkin disitulah berawal kegandrungan saya terhadap kota-kota kecil yang bagi orang lain tidak berkesan. Kota underdog. Hanya dilewati untuk kemudian dengan cepat dilupakan. 

Dua tahun dari sekarang mungkin Bandara Komodo versi sederhana sudah tidak ada, digantikan oleh Bandara Internasional Komodo baru yang mentereng yang sedang dalam proses pembangunan. Pucuk atap dari bandara baru yang desainnya keliatan futuristik mengintip dari balik pagar seng penutup daerah proyek, menyebarkan debu-debu proyek yang berterbangan ke Bandara lama, menyelimutinya, menambah kesan kusam dan tua tak terurus. 

Sebuah patung komodo yang gagah menyambut para turis yang turun dari pesawat baling-baling. Saya, Pagit dan Mba Efa memasuki bandara, menunggu barang kita dari balik jendela kotak tempat petugas bandara mengoper bagasi para penumpang. Seorang anak muda menghampiri kita, perawakannya kecil, kurus, rambut ikal khas orang flores. 

"Sudah ada yang jemput, mba?" tanya pria itu.

Pagit segera menjawab, "sudah," tanpa menoleh. 

Sebenarnya kita tiba disana tanpa persiapan apa-apa, selain satu alinea di wikitravel tentang Labuan Bajo yang memberi informasi bahwa jarak dari bandara ke pusat kota bisa ditempuh dengan naik ojek Rp.5000. Jangan terjebak dengan tawaran sewa mobil yang harganya bisa mahal banget, kita hanya perlu jalan sedikit keluar bandara ke pangkalan ojek terdekat.

Jawaban pagit yang singkat tanpa menoleh membuat anak muda itu cepat pergi untuk mencari target berikutnya.

Cerita saya harus mundur ke beberapa hari sebelum keberangkatan kita ke Labuan Bajo. Kombinasi antara kesibukan dengan pekerjaan + ingin menambahkan touch of adventure baru dalam kehidupan membuat saya dan Pagit malas untuk survei dan mempersiapkan itinerary secara detail. Tiket DPS-Labuan Bajo baru kita beli beberapa hari sebelum keberangkatan. List penginapan pun kita cari seadanya hanya untuk memberi gambaran singkat mengenai harga, beberapa sempat di hubungi oleh pagit tapi tidak satupun yang kita booking. 

Tur ke Pulau Komodo pun begitu, kita memutuskan akan cari tur untuk ke pulau komodo langsung di Labuan Bajo. Sebelumnya saya sudah menelpon pengelola tur disana yang nomornya saya dapat dari internet, namanya Pak Hans. Dari bahasa Indonesia nya yang beraksen aneh saya mulai curiga bapak ini bukan asli orang Indonesia. Dari Pak Hans saya dapat info kisaran harga paket tur dan alternatif-alternatif rutenya.

Salah satu kawan saya pernah bilang, Knowless Do More. Well, just cross our finger and let's hope so.

Fast forward lagi, kembali di Labuan Bajo. Saya dan Pagit keluar dari bandara menggendong bekpek menerjang angin yang  bercampur pasir di bawah terik matahari. Sementara Mba Efa berusaha menarik kopernya di jalan berpasir yang berhamburan batu kerikil. Kita tak tau arah mau kemana. Akhirnya Pagit memutuskan bertanya ke salah satu ibu yang menjaga kios toko suvenir. Entah apa yang ditanya sama pagit, ibu itu mengeluarkan handphonenya dan menelpon. Tak lama muncul anak muda yang sebelumnya menawari mobil sewaan ke pagit. 

O'ow... ketauan deh kalau kita sebenarnya tidak dijemput, melainkan...takut di tipu.

Wawan. Bersumpah-sumpah dia mengaku kalau dirinya asli Flores. Lahir dan besar di Flores dari kedua orang tua asal sana juga. Menurut pengakuannya sedikit darah jawa dari neneknya yang entah nenek keberapa membuat dia menyandang nama yang sangat tidak berbau flores itu. Orang Flores itu namanya keren, kebarat-baratan. Misalnya, James, Jonathan, Michael, Frans. Tidak ada Wawan dalam kamus nama orang Flores. 

Wawan yang berkulit gelap tapi keceriaan selalu terpancar dari dirinya. Cara bicaranya yang sok tau tapi masih lugu dan kekanak-kanakan langsung membuat kita bertiga jatuh hati sama Wawan. Kawan pertama yang menyambut kita dengan penuh keramahan di ujung pulau Flores. Dan jumlah kawan kita di Labuan Bajo pun bertambah signifikan dalam hitungan jam. Satu hari saja kita beredar di satu ruas jalan sepanjang pusat kota Labuan Bajo, seolah-olah kita sudah bertahun-tahun tinggal disana. Di setiap tikungan, di sisi-sisi jalan, di depan toko, semua orang tiba-tiba jadi kenal dengan 3 orang perempuan jakarta yang luntang-lantung seharian mencari tur yang paling murah untuk ke Pulau Komodo keesokan hari nya.

Anehnya, di kota kecil ini lebih banyak kita melihat turis asing daripada turis lokal. Ya wajar saja mungkin kalau tiga orang turis jakarta luntang-lantung cepet banget jadi hits, soalnya kalau turis jakarta gak akan luntang lantung, kebanyakan langsung menuju hotel-hotel atau resort-resort nyaman yang terletak di pinggir pantai. Sementara kita bertiga, bukan hanya luntang-lantung cari tur, tapi sempat luntang-lantung cari penginapan murah dan sempat pindah penginapan juga. 

Awalnya kita mendatangi salah satu penginapan terjangkau yang banyak di rekomendasikan di internet, bahkan Pak Hans dari Komodo Tur yang saya hubungi waktu di Jakarta merekomendasikan penginapan itu. Tapi ternyata ketika kita tiba di muka penginapan, Pagit langsung ragu. Pasalnya penginapannya itu terletak di bukit-bukit, jadi kamarnya  itu menyebar di berbagai ketinggian satu bukit di hubungkan dengan tangga batu yang menukik tajam. Saat itu Occupancy hotel itu nyaris full, kamar-kamar kosong yang tersisa adanya di tingkat terpuncak dari bukit itu. View nya pasti luar biasa indah di atas sana, tapi mikirin musti bolak-balik naik turun kamar itu yang langsung bikin dengkul lemes.

Wawan pun merekomendasikan penginapan yang murah di dekat situ. Sebenarnya semua penginapan murah letaknya dekat situ juga, pusat kota itu intinya hanya seruas jalan yang kiri kanannya terdapat penginapan, toko-toko, kantor paket tur dan diving, juga warung-warung makan. Satu malam di hotel yang direkomendasikan Wawan, kita pun memutuskan pindah ke penginapan lain (yang juga dekat dari situ) yang tarifnya sama tapi lebih bagus sedikit.   

Makan malam kita di warung-warung tenda yang berbaris berdampingan di pinggir laut. Di dekat satu-satunya pasar yang terletak di Labuan Bajo. Menunya mayoritas ikan, ada juga ayam. Ikan-ikan segar dipajang di muka warung, jadi kita tinggal pilih ikan yang kita mau kemudian langsung dimasak. Berbeda dari warung makan ikan di jakarta yang stok ikannya banyak sampai sepeti, disana masing-masing warung hanya sedia ikan beberapa ekor, jenisnya campur-campur random, ukurannya juga. Sepertinya hanya untuk persediaan satu hari karena disana mungkin jarang yang punya freezer untuk menyimpan ikan mentah supaya tahan lama. Mba Efa melotot tak percaya ketika bertanya harga ikan untuk makan malam kita, "murah bangeettt.,"seru mba efa berbisik.

Di warung itu banyak juga orang lokal, malam itu adalah malam minggu. Saya senang sekali curi-curi dengar percakapan orang lokal sana yang berbahasa Indonesia, kata-kata yang mereka gunakan adalah kata-kata baku yang hanya kita baca di buku pelajaran sekolah. Dan nadanya itu loh, merdu banget kalau menurut saya, naik turun berirama. Kalau diperhatikan orang Flores yang makan diluar pasti memilih menu ayam, mungkin karena di rumahnya sehari-hari makan ikan jadi kalau mau suasana beda makan diluar mereka akan memilih ayam daripada ikan.

Sahabat baru mba Efa seorang pria penjual kain kerajinan asli Flores. Bapak itu sering banget berpapasan sama kita di jalan, secara ya jalannya cuman satu itu jadi papasannya sama orang itu-itu saja. Tapi Mba Efa cepat akrab sekali dengan bapak yang satu ini, si bapak menceritakan tentang kampungnya yang ada di gunung dan perjalanan darat selama 2 hari yang harus ditempuhnya berjalan kaki hingga tiba di desanya di tengah hutan. Ketika kita lagi makan Mba Efa yang hatinya sudah terpikat dengan perjuangan hidup bapak itu tiba-tiba kepikiran, "bapak itu lagi dimana ya?". Tak lama yang diomongin muncul, Mba Efa pun histeris seolah-olah merasa sudah punya ikatan batin dengan sahabat barunya itu, "Mari Bapak, kita makan sama-sama." 

"Bapak mau makan apa? ikan atau ayam?" tanya mba efa.

Si Bapak pun menyahut lantang, "Ayam!" disambung dengan nada malu-malu,"nasi nya boleh dilebihkan sedikit?" tanyanya ragu.

Sebelum kita pulang ke Jakarta, si Bapak menghampiri Mba Efa di hotel, khusus untuk memberikan hadiah perpisahan, seuntai taplak tenun flores diiringi pesan agar jangan dilupakan dan apabila ada kesempatan kunjungi desanya di atas gunung di tengah hutan, bertemu dengan putra putri nya yang tinggal di desa.   

Pagi-pagi saya dan Mba Efa menonton kesibukan di pasar kecil di sudut Labuan Bajo. Para nelayan yang baru kembali dari laut membawa hasil tangkapannya untuk di lelang langsung dari kapalnya. Transaksi terjadi langsung di perbatasan darat dan laut, di antara dermaga dan geladak kapal. Berdus-dus Styrofoam ikan segar berpindah tangan. Di pasar kecil di sudut labuan bajo ini hiruk pikuk manusia sibuk beraktifitas dari sebelum matahari terbit, sementara sisi kota yang lain masih sunyi senyap tanpa tanda-tanda kehidupan berarti kecuali beberapa ekor anjing yang sedang tidur-tiduran malas dipinggir jalan sembari sesekali melirik pejalan kaki yang melintas di hadapannya.   

Hal-hal seperti itu yang buat saya selalu punya pesona magis tersendiri untuk membuat saya selalu merindukannya, seperti mantan pacar yang gak akan pernah bisa kita lupain. Disaat-saat himpitan ibukota yang kejam membuat warganya ubanan sebelum tua dan menjadi gila, yang saya inginkan hanya melabuhkan hati saya kembali di Labuan Bajo.

Senja di Labuan Bajo

Lelang ikan subuh-subuh

Senin, 25 November 2013

My Cousin's Wedding dan Jalan-Jalan yang Menyertainya

Beberapa hari setelah Hari Raya Idul Fitri, saya sekeluarga cuss ke Manado untuk menghadiri pernikahan sepupu saya. Berawal dari perkenalan melalui dunia maya via jejaring sosial Facebook, berakhir di pelaminan, begitulah kisah singkat percintaan sepupu saya itu. 

Sayangnya kisah percintaan penjahit yang membuat kebaya seragam saya dan Chacha untuk acara pernikahan itu tidak berakhir selayaknya kisah cinta sepupu saya. Saya dan Chacha menjahit kebaya di ITC Ambasador, nama penjahitnya Lulu. Seperti namanya, Lulu adalah seorang yang manis dan penyabar, dengan telaten dia mengukur dan dengan cekatan menyelesaikan jahitan tepat waktu dan memuaskan. Sayangnya ketika kita kembali lagi ke sana setelah acara di Manado selesai, tokonya Lulu sudah tutup. Isu yang beredar dari toko sebelah kalau Lulu patah hati karena dikhianati lelaki yang merupakan kekasihnya dan mengalami keguguran. Sampai sekarang saya masih ga ngerti gimana si Lulu bisa keguguran kalau dia itu sekong semata yang tak berahim.

Di sela-sela sibuknya acara pernikahan yang berlangsung 2 hari 2 malam, kita masih sempat jalan-jalan ke tempat yang kita belum pernah datangi sebelumnya. Sebenarnya rencananya kalau sempat mau snorkeling di Bunaken setelah pesta selesai, ternyata jadwal silaturahmi usai acara masih padat jadi tidak sempat melipir sampai ke pulau sana. 

Tahun ini saya sudah punya satu lokasi tujuan yang unik dan belum pernah saya datangi, kubur batu tua khas suku asli sana yang di banned oleh Belanda pas jaman kolonial, Waruga namanya. Tidak banyak info tentang peninggalan jaman kuno ini, lokasi nya juga gak jelas dimana. Tinggal cari kesempatannya aja untuk melipir sejenak dari kisruhnya persiapan pesta pernikahan sepupu saya.

Hari pertama di Manado, saya mengenakan legging kebanggaan saya yang selalu dicerca oleh Chacha, legging bermotif tengkorak warna-warni neon. Kita mencoba naik pesawat maskapai Batik Air dari Jakarta, baru pertama kali itu kita menjajal maskapai baru yang maish satu manajemen sama Lion Air itu. Ceritanya untuk berkompetisi head to head dengan Maskapai Garuda. Jarak tiap bangku lebih lega, ada tivi dan dapat makanan. Lucunya kita tidak dipinjamkan earphone secara cuma-cuma, harus beli dengan harga 20 ribu. Untungnya colokan earphonenya sama seperti colokan pada umumnya, jadi saya bisa pakai earphone sendiri. Malahan karena saya bawa dua earphone di tas, sempat kepikiran mau nyewain satu set earphone saya ke penumpang lain. 

Turun di bandara kita disambut oleh slogan Si Tou Timou Tumou Tou, yang merupakan semboyan hidup suku Minahasa. Secara random Papa Said mencari mobil sewaan, akhirnya dapat dengan si Om yang lincah dan gaul, de pe nama Om Berti. Kita langsung meluncur ke kampung arab, rumah keluarga besar Papa Said. Di muka rumah sudah tampak panggung untuk pengantin dan tenda sepanjang jalan untuk persiapan pesta keesokan harinya. 

Sore harinya keluarga besar Papa Said bersama-sama berangkat makan pisang goreng di pinggir pantai malalayang dan dilanjutkan melihat sunset di suatu tempat yang sebenarnya jualan somay tapi view nya keren banget. 

Salah satu sudut Kampung Arab Manado

Biar baku gepe asal naik otto
Pantai Siomay Kalasey






Pantai Siomay Kalasey adalah suatu tempat yang too good to be true sebagai tempat untuk jajan siomay. Di pelataran belakang rumah makannya ada secuil pantai yang warnanya indah sekali dikala matahari terbenam. Duduk di batu-batu besar yang berbatasan dengan laut, kita bisa melihat jelas perubahan warna horizon dari biru menjadi violet yang romantis hingga jingga yang menawan. Matahari seperti bola emas yang bulat sempurna, terbenam di balik kawanan sapi yang masih asik merumput. Sepiring Siomay dengan pemandangan paling indah. 

Naas. Tak jauh dari lokasi jajan somay itu mobil sepupu saya pecah ban. Karetnya terkoyak oleh paku tajam hingga gembos sampai ke peleknya dalam waktu sekejab. Anehnya di tempat kita terdampar, tiba-tiba muncul tukang tambal ban sampai-sampai saya langsung curiga kita sebenarnya terkena paku ranjau yang disebar oleh tukang tambal ban itu sendiri. Apalagi ketika membayar jasa tambal bannya harganya 4 kali lipat harga normal.

Ban gembos

beriringan menuju tukang tambal ban

Hari kedua mulai disibukan dengan persiapan acara malam badaka, kalau di adat jawa itu semacam malam widodareni gitu. Dari pagi saya ikut sibuk gotong royong memasukan kue-kue ke dus-dus untuk penganan tamu-tamu. Acara malam itu sukses diikuti dengan acara joget-jogetan semalem suntuk. Yang paling heboh justru ibu-ibunya, gak ngerti juga. Keesokan hari nya pagi-pagi diadakan acara Akad Nikah di rumah, malamnya baru acara resepsi di gedung di Hotel Novotel. Karena sepupu saya (yang perempuan) menikah dengan seorang pelaut, jadi di acara resepsinya ada upacara baris-baris pake pedang terus pengantinnya lewat dibawah pedang itu. Entah apa namanya. 

Saya dan Chacha di resepsi dengan kebaya hasil rancangan Lulu
Keesokan harinya disaat orang-orang masih lelah akibat pesta semaleman, saya bersama Chacha dan adik saya satu lagi Anissa, berhasil melipir jalan-jalan keliling kota. Tujuan pertama kita adalah ke Waruga. Beruntung Om Berti yang gaul tahu persis letak kuburan batu itu, tempatnya masuk ke dalam perkampungan menelusuri jalan-jalan sempit diantara deretan rumah penduduk yang padat. Tidak ada petunjuk arah panah yang jelas yang menandakan ada objek bersejarah di lokasi itu. Sunyi senyap. Padahal menurut saya sih tempatnya bagus dan artistik. 

Dari kubur batu waruga, kita menuju Patung Yesus raksasa yang ada di dekat perumahan mewah di Manado. Patung yang konon katanya mirip Patung Yesus di Rio De Jainero ini sebenarnya sudah lumayan lama ada di Manado, tapi karena lokasi nya lumayan jauh dari tempat peredaran kita kalau lagi di manado jadi baru pertama kali saya lihat langsung Patung yang pose nya sedang memberkati kota itu.

Waruga

Patung Yesus Memberkati

narsis sendiri spt biasa






 
 

Minggu, 17 November 2013

Footy, Australian Sport

Menjelang sore di dalam mobil tur Great Ocean Road dan Grampian, mendekati kota Melbourne, saya sudah sibuk ber-text message (SMS) sama kawan saya Diena. Ingat kan waktu ketemu beberapa hari sebelumnya Diena janji mau ajak saya nonton Footy? Nah kebetulan jadwal tim favoritnya Diena tanding pas banget waktunya dengan selesainya tur 2 hari satu malam saya. Jadi sampai di Melbourne rencananya saya langsung janjian sama Diena di depan Etihad Stadium.

Etihad Stadium dimana? - isi pesan singkat saya melalui handphone.

Dari Southern Cross, ikutin aja gerombolan orang-orang yang pakai atribut suporter. - balas Diena.

Hmmm ok, ternyata caranya menjelaskan suatu tempat belum berubah. Bedanya dulu patokannya nomor angkot. Misalnya ditanya rumah nya dimana, jawabnya "pokoknya ikutin aja arah angkot nomor MXX, nanti ada pertigaan yang ada minimarket belok kiri, rumah gw pagar warna coklat." Seringnya petunjuk itu berhasil, tapi kadang salah juga sih kalo angkot yang diikutin tiba-tiba memutuskan untuk merubah rutenya. 

Belajar dari masa lalu, dari penjelasan singkat Diena itu, dalam Hati saya optimis bakal bisa menemukan Etihad Stadium walaupun sebenarnya belum kebayang sama saya atribut suporter yang dimaksud itu seperti apa.

Mobil tur menurunkan kita di dekat Flinder Station, salah satu stasiun kereta yang utama di Melbourne. Saya dan Elaine berpisah di stasiun, karena saya mau ambil kereta jurusan Southern Cross dan Elaine sudah ada janji sama kawannya juga mau nonton pertunjukan stand-up-comedy. 

Hari sudah gelap ketika saya tiba di Southern Cross Station.

Dien, gw udah sampe di southern cross. - saya mengabari Diena

Stasiun terbesar di Melbourne itu rame banget, karena bertepatan dengan waktu pulang kantor. Mata saya menyapu sekeliling berusaha mencari 'yang terlihat seperti' gerombolan suporter olah raga. 

Handphone saya berbunyi lagi, satu pesan singkat masuk - Ok Mil, gw sebentar lagi sampe. Mau beli pie dulu. Lo mau pie apa?

Aha! pandangan saya menangkap gerombolan anak muda dengan jaket seragam tim olahraga, sama topi dan syal yang senada. 

Yang enak aja, Dien. - Setelah membalas pesan Diena saya pun bergegas mengikuti arah gerombolan pemuda itu.

Para supporter itu naik escalator, menuju semacam jembatan yang ternyata lurus-lurus langsung menghubungkan stasiun dan Stadium nya. Saya mengikutinya terus. Sepanjang jalan menuju stadium itu tampak banyak banget suporter-suporter dan beberapa maskot-maskot berkeliaran. Stand-stand promosi minuman dan produk macam-macam juga tampak berdiri di pinggiran jalan, komplit dengan mba-mba SPG yang nyebar-nyebarin brosur. Antusiasme menjelang pertandingan terasa banget di atmosfir sepanjang jembatan itu. Saya menunggu Diena di depan gerbang. Udara dingin membuat perut saya minta dihangatkan, akhirnya saya jajan donat dan kopi hangat di kios donat terdekat.

Tidak lama Diena muncul. 

Kita menuju loket untuk beli tiket. Kalau Diena sudah punya semacam member jadi tidak perlu beli tiket lagi. Dan beruntung banget pas saya hitung kembaliannya ternyata mas-mas jaga loketnya ngasih tarif pelajar buat tiket saya. Lumayan diskon nya, jadi saya diem-diem aja hihihihi…

Footy ini adalah olahraga yang paling heboh di Australia. 

Kata Cipu, sapaan basa-basi orang aussie kalau baru pertama ketemu orang biasanya pertanyaan tentang cuaca (orang-orang di melbourne kalau menurut saya agak obsesive sama weather forecast, nanti bakal saya bikinin postingan khusus deh) atau pertanyaan tentang tim footy favorit. Dari anak-anak sampai orang tua, biasanya mereka fanatik sama tim footy nya. Kawan saya, Diena, adalah  pendukung fanatik Tim St.Kilda. Saya pun dipinjami kaos tim yang sudah ada tanda-tangan pemain-pemainnya untuk dipakai nonton. 

Maap kumel, abis turun gunung langsung nonton pertandingan footy

Kaos tim pinjeman dan Diena tersayang

Pemainnya yang cekcih-cekcih *ngacai liat paha mulus*

Suporter lain datang

Dalamnya Etihad Stadium


Luarnya Etihad Stadium di foto dari dalam kereta keesokan harinya

Kalau dari penjelasan Diena, olah raga ini menurut saya semacam gabungan sepak bola, rugby (american footbal), basket dan gulat. Gawangnya modelnya cuman tiang-tiang berjajar 4, yang 2 di tengah lebih tinggi. Score sempurna kalau bisa mencetak gawang dengan cara menendang bola hingga lewat di antara 2 tiang tinggi itu. Tapi bolanya cuman wajib di tendang kalau mau cetak score, menggiring bolanya gak harus pake kaki, boleh aja dibawa pake tangan, syaratnya tetep harus ada kalanya di pantulin ke tanah, mirip basket.

Yang seru adalah rebut-rebutan bola nya. Kelihatannya sih rusuh banget, pakai acara tarik, dorong, sikut, tendang, tindih, (mungkin) jambak dan (sedikit) cakar.  

Setelah menonton satu pertandingan Footy ini saya masih gak ngerti cara mainnya sih, secara saya kurang suka nonton olahraga permainan seperti ini. Hasil akhir pertandingannya, tim favorit Diena harus mengakui kekalahan tipis dari tim lawannya (kalau tidak salah tim yang berasal dari Perth). Tapi satu hal yang saya mengerti dan saya suka dari olahraga Footy ini, pemainnyaaaaaahhhh guanteng-guanteng dan seksi-seksi. Pantesan aja si Diena doyan *lap iler pake kaos tim pinjeman*


Selasa, 05 November 2013

Numpang lewat di Kudus

Beberapa kawan saya suka bilang kalau kerjaan saya yang lumayan banyak jalan-jalannya itu enak banget. Ga membosankan karena terjebak di kubikal 1 x 1 meter yang lebih sempit dari kuburan.

Eits. Tunggu dulu. Kerjaan yang banyak jalan-jalannya itu belom tentu enak. Kadang saya aja iri sama kawan-kawan saya yang kerjanya seharian cuman duduk di ruangan ber-AC, gak kepanasan, gak keringetan, gak item gosong kayak saya gini. 

Contohnya proyek di Jepara yang bikin tulang-tulang tua saya remuk redam. Itu salah satu bukti  nyata bahwa kerjaan yang banyak jalan-jalannya itu pada dasarnya merupakan penyiksaan mental dan batin.

Bisnis trip yang dilakukan sebulan dua kali ke tempat yang sama itu super membosankan. Apalagi perjalanan saya dari Semarang ke Jepara dihabiskan lama di mobil dan di gudang doang. Makanya untuk menghindari kejenuhan berlebih, kesempatan sekecil apa pun saya usahakan untuk bisa melipir-melipir sekedar wisata kuliner atau mampir di lokasi wisata yang dilewatin. Tentunya setelah urusan kerjaan selesai. 

Tidak banyak yang bisa di mampirin di perjalanan dari Semarang ke Jepara. Paling hanya dua kota terdekat, Demak dan Kudus, yang bisa di kunjungi sembari numpang lewat.  Sebenarnya yang beneran di lewatin hanya Demak sih, kalau Kudus bisa dilewatin dengan cara memutar sedikit. Saya aja baru dua kali sempat lewat di Kudus.

Pertama kali saya ke Kudus karena urusan kerjaan saya selesainya terlalu sore, jadi kalau harus balik ke semarang takutnya sudah tidak dapat tiket kereta. Tiket bus dari Jepara langsung ke Jakarta pun sudah habis. Akhirnya supir mobil rental menyarankan untuk naik Bus malam Pahala Kencana dari Kudus. Karena pas tiba di kudus sudah jam makan malam dan perut saya sudah rock and roll jadi saya minta pak supir cari tempat makan yang uweenak di Kudus. 

Rencananya sih pengen makan soto kudus di kudus, kali aja rasanya beda.

Tapi pak supir bilang makan soto kudus di kudus itu terlalu mainstrem, jadi dia membawa saya ke Rumah Makan Sari Rasa yang katanya terkenal Garang Asemnya. Garang Asem adalah makanan khas daerah jawa tengah, ayam yang dibumbui di bungkus daun mirip pepes, tapi kuahnya seger pedes gitu. Waktu itu entah karena laper banget atau memang enak, saya merasakan masakan itu bener-bener nikmat banget. Ayamnya empuk, bumbunya gurih, pedes, dan ada tomat sayur kecil-kecil yang seger.

Kedua kali saya ke Kudus ketika ke Jepara sama adik saya, Chacha. Waktu itu kita cuman antar invoice jadi urusan nya cepat selesai. Entah kenapa saya ketagihan sama Garang Asem di RM Sari Rasa itu, jadi saya mengusulkan untuk makan siang di Kudus. Sekarang aja saya nulis ini kebayang-bayang tuh rasanya Garang Asem dan jadi kepingin. Entah apa yang dicampur ke makanannya itu sampe bikin ketagihan.

Garang Asem yang masih terbungkus rapi

Isinya potongan2 ayam dan tomat sayur

Rumah Makan nya selalu rame
Kudus yang terkenal dengan Soto, Jenang dan Kretek nya merupakan salah satu kota yang berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa waktu abad ke-16. Dari jarak memang kota itu dekat sekali dengan Demak yang merupakan titik awal dari penyebaran Islam di Jawa. Namanya sendiri terinsipirasi dari suatu kota di Palestina bernama Al-Quds. Ya seperti kita tau ya kalo Kudus itu kan punya makna Suci, jadi kota kudus itu bisa dibilang punya makna kayak holly city gitu. 

Salah satu Mesjid tertua di Jawa dibangun di Kota Kudus ini oleh Sunan Kudus. Makamnya Sunan Kudus sekarang masih berada di kompleks Masjid yang dibangunnya. Masjid itu diberi nama Al-Aqsa, tapi uniknya arsitektur nya mengikuti arsitektur gaya jawa klasik jaman hindu buddha. Menara Masjid Kudus yang kini menjadi simbol kota itu strukturnya mirip seperti candi. Gerbang masuk Masjidnya kalau dilihat sekilas mirip gerbang Pura Hindu.

Masjid Kudus dibangun di era yang sama seperti Masjid Demak dan Masjid Banten, di tahun 1500-an. Jamannya penyebaran Islam di lakukan oleh 9 orang wali yang bergelar Sunan. Pada saat itu merupakan masa transisi, runtuhnya Kerajaan yang menganut Hindu Buddha dan munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam yang semakin kuat menguasai perdagangan di nusantara. Di Jawa sendiri, munculnya Kerajaan Islam Demak yang kuat karena Kerajaan Majapahit mulai kocar-kacir. 

Di masa transisi itu, sebagian besar rakyat di nusantara masih menganut kepercayaan dari Kerajaan besar yang berkuasa sebelumnya. Jaman dulu itu sistem pemerintahan di kerajaan Jawa kalau menurut saya sepertinya dengan cara menyamakan persepsi kepercayaan antara raja dan rakyatnya. Makanya kebanyakan orang jaman dulu percaya (atau dibuat percaya) kalau Raja nya itu adalah utusan/keturunan Dewa atau Tuhannya. Kalau misalkan kepercayaannya tidak sama, ya rakyatnya gak akan mau patuh sama utusan Dewa yang mereka tidak kenal. Maka itu proyek yang berhubungan sama keagamaan di kerajaan Hindu Buddha Jawa itu sifatnya kebanyakan mega proyek, semacam Borobodur, Prambanan, dan Candi-candi lain. Untuk menarik rakyatnya agar memiliki kepercayaan yang sama dengan rajanya. 

Ketika Islam masuk, ya sebenarnya sistem Kerajaannya masih gak jauh-jauh beda sama prinsip Kerajaan Hindu Buddha, menyamakan persepsi kepercayaan. Dan sama seperti masuknya Hindu dan Buddha di kalangan masyarakat nusantara, perubahannya tidak dilakukan secara drastis. Ajaran-ajaran agama baru di penetrasikan ke kehidupan masyarakat secara perlahan dan bertahap, tidak serta merta merubah kebiasaan dan budaya mereka melainkan menyusup masuk di sela-sela adat yang biasa mereka lakukan turun temurun. 

Bahkan Islam pun menyusup melalui ranah mistis yang sudah menjadi akar budaya kehidupan Jawa dari jaman nenek moyang. Sunan-Sunan penyebar ajaran Islam dipercaya oleh masyarakat memiliki kekuatan supranatural, seperti bisa membangun masjid dalam waktu semalam, bisa pindah tempat yang jauh dalam waktu semalam, bisa berantem-berantem pakai tenaga dalam dan semacamnya.

Ya bisa-bisanya para Sunan aja gimana untuk meraih kepercayaan rakyatnya. Ada yang caranya dengan menyusupkan ajaran agama di kesenian, seperti wayang, tari-tarian, musik dan semacamnya. Upacara-upacara untuk memperingati hari raya Islam pun dibuat kental dengan nuansa budaya adat yang sebenarnya hingga sekarang kliatannya masih campur-campur sama budaya Hindu. Kayak misalnya upacara untuk memperingati Maulid di Jogja, iring-iringannya mirip dengan iring-iringan upacara Hindu dengan membawa semacam sajen-sajen. Bahkan ketupat yang identik dengan Hari Raya Idul Fitri itu dibuat dari daun kelapa yang banyak digunakan untuk upacara keagamaan Hindu juga. 

Sepertinya Sunan Kudus menerapkan cara ini ketika membangun Masjidnya. Supaya rakyat merasa familiar dan lebih mudah menerima ajaran baru yang akan diberikan oleh Sunan. Bukan hanya bentuk Menara dan gerbangnya saja yang mengikuti gaya arsitektur jaman Klasik, tapi beberapa simbol-simbol kepercayaan dari jaman klasik itu ada yang di terapkan dalam masjid itu, seperti arca yang terdapat di atas pancuran wudhu.

Masjid Menara Kudus, karena sore jadi backlight fotonya
Lorong jalan masuk ke kompleks Mesjid

Ada keramik-keramik di tempel, mirip bangunan keraton yang di cirebon

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...