Tampilkan postingan dengan label Indonesia - Manado. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia - Manado. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Desember 2013

Waruga; Peninggalan Megalitikum Austronesia

Belanda datang ke Sulawesi Utara di abad ke-17, bertemu dengan suku asli disana yang masih hidup di jaman yang kurang lebih sama seperti waktu suku itu pertama datang ke Sulawesi; 3 - 4 abad sebelum masehi. Sementara di abad ke-17 Eropa sudah ada di gerbang era Industrialisasi. Ada perbedaan jaman sekitar 20 abad. 

Pada waktu first encounter dengan Belanda itu, suku asli disana adalah orang austronesia yang hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka berburu dan memakan apa saja hewan yang mereka tangkap - Babi hutan, tikus, kelelawar, anjing. Tapi mereka sudah tidak tinggal di goa, keahlian mereka sudah lumayan advance jadi sudah bisa bikin tempat tinggal permanen, sudah pakai pakaian, punya kepercayaan, kegiatan religius, tari-tarian dan seni. 

Suku asli yang berasal dari ras austronesia itu yang kini disebut dengan suku minahasa. Austronesia sendiri saat ini merupakan ras terbanyak yang tinggal di Indonesia. Sedangkan sebagian lagi adalah Melanesian, seperti orang maluku, papua, nusa tenggara.

Ratusan ribu tahun migrasi pre-historic human hidup nya di jalan, ya kalau dari hasil kesimpulan analisa saya yang sering ngawur sih sebenarnya hampir mirip sama kehidupan ibukota sekarang sih. Manusia Pre-historic dan Manusia Urban Modern sama-sama menghabiskan banyak waktu di jalanan demi untuk tetap hidup. Bedanya jaman pre historic mereka menghabiskan waktu di jalan untuk berburu dan mengumpulkan makanan, kalau jaman sekarang kita menghabiskan waktu di jalan menuju kantor, kerja, dapat uang, beli makanan. 

Austronesia datang ke wilayah Indonesia pada arus migrasi kedua, ribuan tahun setelah arus migrasi pertama yang membawa Melanesian ke wilayah Indonesia. Pada saat itu migrasi manusia masih terjadi tapi sebagian kelompok mulai memutuskan untuk berhenti berkelana dan memilih menetap bersama tanaman dan hewan ternak yang dirawatnya untuk dimakan. Sebagian masih hidup dengan cara hunting & gathering atau gabungan dari kedua gaya hidup itu. 

Dari China ada sekelompok orang yang tinggal dekat laut, punya kemampuan mengarungi lautan dengan perahu - bisa disebut nelayan jaman pre-historic, bermigrasi ke Taiwan, membentuk satu ras bernama Austronesia. Dari Taiwan mulai migrasi besar-besaran Austronesia ke Philippine hingga menyebrang lagi  ke Sulawesi, Kalimantan, Jawa. 

Sebelum kedatangan Belanda, Austronesia yang migrasi dari pilipina itu hidup damai di pedalaman Sulawesi, tidak tersentuh budaya luar yang terus berkembang. Tidak seperti Jawa dan Sumatera, daerah ini terisolasi, tidak terjangkau arus perdagangan jalur sutra dan tidak terekspos dengan kebudayaan India yang mulai mempengaruhi kebudayaan di Sumatera dan Jawa sejak sekitar awal masehi. 

Kepercayaan jaman batu untuk mengubur orang meninggal dalam batu yang disebut Waruga masih dilakukan oleh masyarakat hingga abad 17 itu. Waruga berbentuk batu kotak dengan atap diatasnya, mirip bentuk rumah dengan ukiran-ukiran artistik menghiasinya. Ukiran jumlah manusia yang ada di luar kubur batunya katanya menandakan jumlah orang yang dikubur didalamnya. Ukiran kubur batu juga menandakan profesi orang yang dikubur didalamnya.







Sampai ketika muncul wabah kolera dan tipus, Belanda melarang suku minahasa mengubur di dalam batu karena dianggap jenasah dalam batu itu yang menyebarkan wabah. Padahal penyebaran virus penyakit seperti itu yang membahayakan penduduk lokal di jaman itu biasanya karena dibawa oleh bangsa Eropa. Saya jadi inget buku Gun, Germs and Steel - tiga hal yang membuat Eropa jadi bangsa yang maju dan menghancurkan bangsa-bangsa lain pada jaman itu.

Yang sudah terlanjur dikubur di dalam Waruga juga tulang belulangnya di pindahkan dan dikubur di dalam tanah, jadi Waruga yang saya kunjungi di daerah Airmadidi waktu itu kosong. Belanda juga datang dengan misionaris yang merubah kepercayaan menjadi Kristen, sehingga orang mati kemudian dikubur dalam peti di bawah tanah mengikuti kepercayaan Kristiani.

Kompleks kuburan Megalitikum ini lumayan terawat, tapi sepi seperti….. ya, kuburan. Letaknya menyempil di antara perumahan penduduk yang padat. Sebenarnya tidak jauh dari pusat kota Manado, hanya sekitar setengah jam tapi tidak ada penunjuk dari jalan besar menuju lokasi ini. Bahkan di lokasi nya sendiri sangat minim penjelasan tentang Waruga itu sendiri.

Berbeda dengan kubur batu nya suku Toraja yang juga ada di pedalaman Sulawesi yang hingga sekarang masih ramai dikunjungi karena suku nya sendiri masih menjalani tradisi nenek moyangnya. Jadi tidak hanya kubur batu nya, tapi budaya dan way of life suatu kelompok orang yang berbeda yang membuat orang tertarik - eksotis, katanya. Sementara peninggalan megalitikum Waruga ini hanya merupakan puing dari suku yang kehidupannya sudah move on, yang lagi menunggu untuk diakui eksistensinya oleh Unesco sebagai warisan budaya dunia.  



Tidak hanya dalam hal agama dan mengubur orang meninggal, kedatangan Belanda saat itu membuat kehidupan suku asli berubah, kebudayaan dan gaya hidup mereka serta merta menyesuaikan diri dengan gaya hidup manusia modern Eropa, meloncat 20 abad. Bahkan di pesta pernikahan Minahasa pengantin menggunakan gaun dress putih seperti budaya eropa dan pria nya menggunakan tuxedo, sekarang hal itu dianggap kebudayaan masyarakat sana. Belanda juga mempengaruhi dari segi bahasa dan makanan seperti cookies dan tart. 

    

Senin, 25 November 2013

My Cousin's Wedding dan Jalan-Jalan yang Menyertainya

Beberapa hari setelah Hari Raya Idul Fitri, saya sekeluarga cuss ke Manado untuk menghadiri pernikahan sepupu saya. Berawal dari perkenalan melalui dunia maya via jejaring sosial Facebook, berakhir di pelaminan, begitulah kisah singkat percintaan sepupu saya itu. 

Sayangnya kisah percintaan penjahit yang membuat kebaya seragam saya dan Chacha untuk acara pernikahan itu tidak berakhir selayaknya kisah cinta sepupu saya. Saya dan Chacha menjahit kebaya di ITC Ambasador, nama penjahitnya Lulu. Seperti namanya, Lulu adalah seorang yang manis dan penyabar, dengan telaten dia mengukur dan dengan cekatan menyelesaikan jahitan tepat waktu dan memuaskan. Sayangnya ketika kita kembali lagi ke sana setelah acara di Manado selesai, tokonya Lulu sudah tutup. Isu yang beredar dari toko sebelah kalau Lulu patah hati karena dikhianati lelaki yang merupakan kekasihnya dan mengalami keguguran. Sampai sekarang saya masih ga ngerti gimana si Lulu bisa keguguran kalau dia itu sekong semata yang tak berahim.

Di sela-sela sibuknya acara pernikahan yang berlangsung 2 hari 2 malam, kita masih sempat jalan-jalan ke tempat yang kita belum pernah datangi sebelumnya. Sebenarnya rencananya kalau sempat mau snorkeling di Bunaken setelah pesta selesai, ternyata jadwal silaturahmi usai acara masih padat jadi tidak sempat melipir sampai ke pulau sana. 

Tahun ini saya sudah punya satu lokasi tujuan yang unik dan belum pernah saya datangi, kubur batu tua khas suku asli sana yang di banned oleh Belanda pas jaman kolonial, Waruga namanya. Tidak banyak info tentang peninggalan jaman kuno ini, lokasi nya juga gak jelas dimana. Tinggal cari kesempatannya aja untuk melipir sejenak dari kisruhnya persiapan pesta pernikahan sepupu saya.

Hari pertama di Manado, saya mengenakan legging kebanggaan saya yang selalu dicerca oleh Chacha, legging bermotif tengkorak warna-warni neon. Kita mencoba naik pesawat maskapai Batik Air dari Jakarta, baru pertama kali itu kita menjajal maskapai baru yang maish satu manajemen sama Lion Air itu. Ceritanya untuk berkompetisi head to head dengan Maskapai Garuda. Jarak tiap bangku lebih lega, ada tivi dan dapat makanan. Lucunya kita tidak dipinjamkan earphone secara cuma-cuma, harus beli dengan harga 20 ribu. Untungnya colokan earphonenya sama seperti colokan pada umumnya, jadi saya bisa pakai earphone sendiri. Malahan karena saya bawa dua earphone di tas, sempat kepikiran mau nyewain satu set earphone saya ke penumpang lain. 

Turun di bandara kita disambut oleh slogan Si Tou Timou Tumou Tou, yang merupakan semboyan hidup suku Minahasa. Secara random Papa Said mencari mobil sewaan, akhirnya dapat dengan si Om yang lincah dan gaul, de pe nama Om Berti. Kita langsung meluncur ke kampung arab, rumah keluarga besar Papa Said. Di muka rumah sudah tampak panggung untuk pengantin dan tenda sepanjang jalan untuk persiapan pesta keesokan harinya. 

Sore harinya keluarga besar Papa Said bersama-sama berangkat makan pisang goreng di pinggir pantai malalayang dan dilanjutkan melihat sunset di suatu tempat yang sebenarnya jualan somay tapi view nya keren banget. 

Salah satu sudut Kampung Arab Manado

Biar baku gepe asal naik otto
Pantai Siomay Kalasey






Pantai Siomay Kalasey adalah suatu tempat yang too good to be true sebagai tempat untuk jajan siomay. Di pelataran belakang rumah makannya ada secuil pantai yang warnanya indah sekali dikala matahari terbenam. Duduk di batu-batu besar yang berbatasan dengan laut, kita bisa melihat jelas perubahan warna horizon dari biru menjadi violet yang romantis hingga jingga yang menawan. Matahari seperti bola emas yang bulat sempurna, terbenam di balik kawanan sapi yang masih asik merumput. Sepiring Siomay dengan pemandangan paling indah. 

Naas. Tak jauh dari lokasi jajan somay itu mobil sepupu saya pecah ban. Karetnya terkoyak oleh paku tajam hingga gembos sampai ke peleknya dalam waktu sekejab. Anehnya di tempat kita terdampar, tiba-tiba muncul tukang tambal ban sampai-sampai saya langsung curiga kita sebenarnya terkena paku ranjau yang disebar oleh tukang tambal ban itu sendiri. Apalagi ketika membayar jasa tambal bannya harganya 4 kali lipat harga normal.

Ban gembos

beriringan menuju tukang tambal ban

Hari kedua mulai disibukan dengan persiapan acara malam badaka, kalau di adat jawa itu semacam malam widodareni gitu. Dari pagi saya ikut sibuk gotong royong memasukan kue-kue ke dus-dus untuk penganan tamu-tamu. Acara malam itu sukses diikuti dengan acara joget-jogetan semalem suntuk. Yang paling heboh justru ibu-ibunya, gak ngerti juga. Keesokan hari nya pagi-pagi diadakan acara Akad Nikah di rumah, malamnya baru acara resepsi di gedung di Hotel Novotel. Karena sepupu saya (yang perempuan) menikah dengan seorang pelaut, jadi di acara resepsinya ada upacara baris-baris pake pedang terus pengantinnya lewat dibawah pedang itu. Entah apa namanya. 

Saya dan Chacha di resepsi dengan kebaya hasil rancangan Lulu
Keesokan harinya disaat orang-orang masih lelah akibat pesta semaleman, saya bersama Chacha dan adik saya satu lagi Anissa, berhasil melipir jalan-jalan keliling kota. Tujuan pertama kita adalah ke Waruga. Beruntung Om Berti yang gaul tahu persis letak kuburan batu itu, tempatnya masuk ke dalam perkampungan menelusuri jalan-jalan sempit diantara deretan rumah penduduk yang padat. Tidak ada petunjuk arah panah yang jelas yang menandakan ada objek bersejarah di lokasi itu. Sunyi senyap. Padahal menurut saya sih tempatnya bagus dan artistik. 

Dari kubur batu waruga, kita menuju Patung Yesus raksasa yang ada di dekat perumahan mewah di Manado. Patung yang konon katanya mirip Patung Yesus di Rio De Jainero ini sebenarnya sudah lumayan lama ada di Manado, tapi karena lokasi nya lumayan jauh dari tempat peredaran kita kalau lagi di manado jadi baru pertama kali saya lihat langsung Patung yang pose nya sedang memberkati kota itu.

Waruga

Patung Yesus Memberkati

narsis sendiri spt biasa






 
 

Minggu, 11 September 2011

Lebaran Keliling Kampung

Menepati janji saya di postingan terdahulu mengenai Mudik Lebaran, kali ini saya akan cerita mengenai tradisi Hari Kedua Idul Fitri di daerah Kampung Arab nya Menado.

Pagi-pagi sekali di hari kedua Lebaran, semua laki-laki yang ada di daerah Kampung Arab - yang tua dan yang muda, berkumpul untuk bersama-sama mendatangi setiap rumah yang ada di Kampung Arab. Mau itu rumah yang besar dan mewah maupun rumah gubuk yang kecil di dalem gang, semuanya harus kebagian di datengin.

Kepala rombongan nya adalah Pak Imam Mesjid Kampung Arab situ.  Pak Imam akan memimpin doa di setiap rumah, kemudian para tamu akan menyalami tuan rumah nya dan mencicipi hidangan yang disediakan. Setiap tahunnya Pak Gubernur Manado yang non-muslim pun ikut serta bersama rombongan ikut menyambangi rumah-rumah disitu. Nah keliatan kan toleransi beragama nya kuat banget disini.

Sementara bapak-bapak nya keliling (tawaf) ke rumah-rumah tetangganya, ibu-ibu nya di rumah masing-masing sibuk mempersiapkan rumah dan hidangan untuk tamu-tamunya. Konon setiap tahun nya ada beberapa rumah yang hidangannya selalu sama dan menjadi khas nya. Misalnya, ada orang yang tinggal di Kampung Arab tapi sebenarnya dia dari Gorontalo, nah pas acara ini di rumahnya di sediakan Binte Miluhuta (semacam sop jagung khas Gorontalo). 

Rumah yang setiap tahunnya kebagian di kunjungi awal-awal menyediakan sarapan pagi berupa Tinutuan. Kalau tuan rumahnya kebetulan orang kaya, hidangan nya juga mewah. Seperti misalnya salah satu warga di situ yang anggota DPRD, tahun ini beliau menyediakan hidangan berupa nasi bulu (nasi ketan yang di bakar dalam bambu) dan Gulai Kambing.

Giliran rumah yang dikunjungi sore-sore biasanya mereka menyediakan buah-buahan dan minuman segar. Ada yang menyiapkan rujak dan gohu (semacam asinan irisan pepaya muda yang pedas dan kriuk-kriuk). Menurut Om saya, di daerah Kampung Arab itu ada lebih dari seratus rumah. Kebayang ga tuh kalo di setiap rumah icip-icip makanan berarti dalam sehari makan 100 kali lebih. Ya tapi sebanding sih sama kalori yang dibakar buat jalan kaki seharian dan salaman-salaman.

Saudara-saudara dekat saya - adik-adik Papa Said, yang bermukim di Kampung Arab total nya ada 3 rumah. Kalau sodara jauh sih banyak. Bahkan sodara yang baru saat itu ketemu juga ternyata banyak >_<

Dupa Aromatherapy
Papa Said dari pagi udah heboh pengen ikutan tawaf sama Bapak-Bapak. Saya & adik, juga pengen dong ngerasain hebohnya acara tersebut dengan pura-pura jadi tuan rumah. Kita pun memilih rumah Om & Tante yang kebagian di kunjungi agak pagi, lokasi nya pun strategis karena berada tepat di depan Mesjid Kampung Arab.

Rumah nya pun unik banget. Rumah panggung kayu gitu, usianya sudah lebih dari seabad. Jangan-jangan tu rumah di bangunnya barengan sama Museum Fatahilah hihihiii.... Tapi kayu-kayu jaman dulu itu awet banget loh. Terbukti kondisi rumah tersebut hingga saat ini masih kokoh berdiri dan ga ada kayu nya yang digerogotin rayap. Mungkin sangking kerasnya tu kayu rayap yang berusaha gigit giginya langsung pada ompong,  jadi rayap-rayap yang lain langsung pada kabur.

Menurut perkiraan Tante saya, rumahnya akan kebagian di kunjungi sekitar jam 10-an. Which means, jam segitu orang-orang pasti lagi sakau-sakaunya sama kopi. Secara jam-jam segitu kan jamnya coffee break. Jadi Tante saya menyediakan Kopi Jahe dan cemilannya berupa biji-biji-an. Bukan biji-biji-an as in makanan burung, tapi itu istilah orang sana buat snack semacam kacang-kacangan dan keripik-keripik.

Kopi Jahe dan Biji-bijian
Sebelum pukul 10 ternyata Om saya sudah datang dan mengabarkan kalau rombongan sudah dekat dan posisi nya sudah ada di rumah sebelah. Tante & Om, adik, sepupu dan Papa Said bersiap-siap menyambut tamu. Sementara gerombolan orang-orang yang keliatan mirip iring-iringan demo mulai berkerumun di muka rumah.

Kerumunan rombongan tawaf

Tuan rumah menunggu tamu
Kejadian nya sangat cepat, dalam hitungan menit saja rumah yang tadi nya rapi jali mendadak jungkir balik persis kayak di serbu angin tornado.

Menit ke-1:

Pak Imam memimpin rombongan memasuki rumah
Menit ke-2 dan ke-3
Pak Imam memasuki rumah dan mengambil posisi duduk
Menit ke-4  dan ke-5

Pembacaan Do'a

5 Menit selanjutnya........

Salaman

Salaman
Salaman... dan salaman.... sampe pusing. Ketika badai Bapak-Bapak itu mereda, kita baru sadar kondisi rumah yang sudah kacau balau. Gelas-gelas kopi jahe sudah pada kosong jungkir balik dimana-mana, biji-bijian berjatuhan di lantai, tutup toples yang satu entah kemana, dan abu dari dupa bertebaran di atas karpet karena ketendang.

Pokoknya saat itu termasuk dalam 10 menit terheboh dalam hidup saya. Seru abis hahahaaa......

Selasa, 06 September 2011

Mudik Lebaran

Huwaaaaah.... baru  kali ini ngerasain yang namanya mudik lebaran. Badan capek kayak mau rontok tapi hepi. Acara lebaran tahun ini bener-bener full,  meriah dan heboh. Tahun-tahun yang lalu saya and The Said yang lainnya biasanya selalu lebaran di Jakarta. Hari pertama Sholat Ied trus ke rumah Eyang. Hari kedua biasanya terima tamu di rumah, malem nya ke rumah tante. Hari ketiga biasanya ke rumah tante yang di Bogor. Ya kurang lebih begitu lah rutinitas setiap tahunnya. Nah, kali ini kita semua berangkat ke Sulawesi Utara buat lebaranan disana.

Banyak yang protes, kenapa saya mudik ke Manado? secara diliat dari depan, belakang, samping kiri dan kanan ga ada potongan orang sana yang kebanyakan mirip-mirip orang Filipina. Ya sebenarnya memang baru 4 generasi keluarga Papa Said menetap di daerah utaranya pulau Sulawesi itu. Bokap nya kakek saya dulu itu ceritanya dateng dari Arab buat dagang. Kakek saya aja masih kelahiran Hadramut, kemudian nikah sama orang Tondano yang asal-usulnya masih keturunan orang Jawa.
Foto Kakek Badar waktu msh muda
Bokap sendiri, Papa Said, waktu muda nya merantau ke Bandung buat kuliah. Ketemu sama Nyokap yang keturunan Sunda tapi udah lahir dan gede di Jakarta. Nah selanjutnya jadilah saya, yang anehnya malah sering dikira orang India *bener-bener ga nyambung* -_-"

Aslinya Bokap kelahiran Bolangitan (lihat di peta kalo ga pernah denger nama daerahnya), kemudian waktu bokap masih kecil sekeluarga pindah ke daerah Kotamobagu (lihat di peta kalo ga pernah denger namanya). Kakek dan Nenek saya hingga akhir hayat nya menetap di Kotamobagu, makanya kalau ke Sulawesi mesti singgah di kota ini untuk ziarah ke makam Kakek & Nenek. Jaraknya sekitar 3,5 - 4 jam dari Manado.

Seringnya sih kalau ke Sulawesi kita lebih lama di Manado, karena sodara-sodara bokap udah pada menetap di Manado. Kebetulan Kakek juga punya rumah di daerah Kampung  Arab, jadi kalo main ke sana pool kita di rumah Kakek itu. Lebaran kemarin juga kita Sholat Ied di Kampung Arab. Habis Sholat Ied rame-rame keliling kampung. Seru banget. Lebaran hari kedua malahan lebih seru lagi, nanti saya akan posting khusus mengenai tradisi lebaran hari kedua di daerah Kampung Arab itu. 
Cousins

Selanjutnya, keluarga besar Bokap yang ada di Manado sebanyak 22 orang terdiri dari para Om, para Tante, dan sepupu-sepupu konvoi ke Kotamobagu untuk mengunjungi keluarga yang tinggal disana. Sekalian ziarah ke makam Kakek & Nenek.

with aunties at Kotamobagu

Ziarah Makam Kakek, Nenek & Buyut
Yang bikin berat perjalanan selama mudik kemarin, karena di setiap rumah yang dikunjungi wajib makan, jadi satu hari itu bisa-bisa 10 kali makan.... celana sempit huhuhuuuu... 

Sampai sekarang saya masih belum punya nyali buat Silaturahmi ke timbangan...

Selasa, 02 Agustus 2011

Kain Bentenan

Waktu saya pulang ke Manado bulan lalu dan mampir di toko khusus jual oleh-oleh, saya menemukan sesuatu yang menarik. Selama ini ternyata saya baru tahu kalau ada kain asli Minahasa, suku yang banyak terdapat di Sulawesi Utara. 

Kain asli Minahasa ini namanya Kain Bentenan. Semacam kain tenun gitu. Sekilas teksturnya agak mirip dengan kain tenun NTT. Warna nya (seperti kesukaannya orang-orang sana) ceria-ceria dan meriah. Kuning ngejreng, Merah ngejreng, pokoknya yang ngejreng ngejreng deh.

Sayangnya karena lagi bokek (perasaan bokek mulu -_-") saya belum sempat beli, mungkin next time kalo saya kembali ke Manado saya akan beli nih, buat koleksi. Secara kan saya sebenarnya tuh koleksi kain-kain dari tempat-tempat yang pernah saya kunjungi. Kain tenun Makasar, Songket Palembang, Batik Besurek Bengkulu, Batik & Songket Riau, dan ada beberapa jenis kain lagi sih yang saya beli secara impulsive. 

Saya malah punya kain tenun dari serat nanas (atau pisang ya? lupa deh, udah lama belinya.... pokoknya buah gitu) yang kalo di kasih api tidak terbakar, tembus gitu api nya. Sueeeeer tekewer-kewer!

Unik banget yah di Indonesia setiap daerah punya kain atau corak batik yang khas. Kapan ya Kain Tenun khas Indonesia masuk daftar UNESCO heritage list juga kayak batik? Seru tuh kayaknya....

Notes: postingan kali ini dibuat di hari kedua puasa di jam 3 sore, jadi maap ya klo ga banyak yang di ceritain, otak lagi hang nih soalnya. Apalagi  sekarang sedang menghadapi kenyataan kalo lebaran tahun ini ga dapet THR. Makin nge-hang ni otak. *halah..jd curhat* 

Jumat, 24 Juni 2011

Berburu Tarsius di Tangkoko

Masuk hutan demi Tarsius
Berburu disini maksudnya bukan untuk menyakiti, menculik, *apalagi* membunuh. Saya memburu Tarsius hanya karena ingin melihat hewan langka yang katanya hanya ada di Sulawesi. Sembari pulang kampung ke Manado, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Tangkoko - hutan lindung, yang letaknya tidak jauh dari kota Bitung. 

Satu jam perjalanan dari Manado ke Bitung di tambah sekitar 25 kilometer lagi melalui medan yang lumayan "menantang", sampai deh di Tangkoko. Jalan menuju ke lokasi memang sempit, terjal dan tidak mulus, tapi masih bisa dilewati mobil tipe Avanza/Xenia. Kalau misalkan ga ada acara nyasar-nyasar, kira-kira 1,5 jam lah dari Bitung. Tapi kalau jalan sama saya, kayaknya wajib banget deh ada acara nyasar-nyasar nya. Ibaratnya kalau ga nyasar itu kayak makan sayur tanpa garam. 

Sampai di Tangkoko nge-pas banget waktunya, sekitar jam 5. Jadi ceritanya, hewan yang mau di buru itu adalah hewan nocturnal. Siang hari mereka bobo di sarang nya. Sore-sore saat matahari sudah mau terbenam baru mereka mulai keluar dari sarang untuk cari makanan. Jadiiiiii... kesempatan paling baik kalau mau lihat mereka ya pas waktu keluar sarang itu, soalnya kalau sudah kemaleman Tarsius nya keburu berkeliaran dan lebih susah lagi dicari. Apalagi tubuhnya kecil banget dan lincah lompat-lompat di atas pohon.

Sebenarnya hutan di Tangkoko ini, selain habitat nya Tarsius juga merupakan habitatnya Macaque (monyet hitam besar yang rambutnya spike gaul), babi hutan, babi rusa dan 180 spesies burung. Burung yang paling ngetop disini adalah burung Maleo dan burung Rangkong. Sayangnya jam 5 sore, burung-burung dan monyet hitam itu dah pada tidur. hiks!

Setelah melewati jembatan kayu yang mengerikan dan jalan tanah menembus hutan belukar, mobil yang mengantar saya sampai juga dipintu gerbang hutan. Bayar entrance fee Rp. 72,000 per turis domestik, itu sudah include guide yang mengantar dan jagain kita. Satu guide untuk 2 orang. jadi kalau ber-enam ya guide nya 3.

 
Karena mengejar waktu, guide yang nganterin jalan ngepot-ngepot... ya terpaksa deh ngikutin. Jalannya menanjak dan sudah mulai gelap, kalau ga hati-hati bisa kesandung akar pohon atau ular....hiiiiii..... Akhirnya sampai juga di depan pohon beringin yang kata guide-nya adalah salah satu sarang Tarsius yang ada di Tangkoko. Untung Tarsius nya belum keluar. Jadi kita nunggu di depan pohon nya sambil istirahat ngatur napas.

Tarsius baru keluar dari sarang nya
Tarsius Spectrum adalah hewan mamalia terkecil, ukurannya hanya sebesar telapak tangan orang dewasa. Anatomi tubuhnya hampir mirip sama monyet, matanya unyuuuuuuu..... bulat dan besar hampir mirip seperti burung hantu, tapi kalau dari jauh hampir mirip sama koala. Yang jenis Spectrum begini cuman ada di Sulawesi. Tarsius jenis lain, yang biasa kita kenal dengan nama Kukang, terdapat di Sumatera dan Kalimantan.

Si unyu ini tinggal di dalam rongga pohon beringin. Makanannya serangga. Badannya kecil tapi ekornya panjang banget, bisa 2 kali panjang badannya. Dan muka nya ngegemesin bangeeeetttt..... Kepalanya bisa muter 180 derajat tapi ga bikin ngeri, malah makin ngegemesin. Mereka adalah spesies langka yang terkenal sangat setia sama pasangannya. Jadi sepasang Tarsius jantan & betina akan bersama terus hingga akhir hidup mereka. Co cwiiiiiit kaaaan.......Seekor Tarsius betina hanya bisa melahirkan satu anak dalam waktu setahun. 

Si unyu yang setia

                            Matanya......... unyuuuuuuuuu..
Somehow, saya merasa beruntung Papa Said kampung nya di Sulawesi jadi saya bisa ikutan pulang kampung hehee.... 

Pulau yang bentuknya mirip huruf K itu ternyata terletak di garis Wallace yang memisahkan jenis satwa Asia dan jenis satwa Australia. Ada di perbatasan malah membuat jenis hewan di sini unik-unik. Gajah dan Harimau yang merupakan hewan jenis Asia tidak ada di sini. Koala dan kangguru yang jenis Australia juga tidak ada disini. Malahan adanya hewan aneh yang tidak terdapat di mana-mana. Pulau ini juga katanya termasuk terisolasi, jadi jangan heran kalau misalkan si Tarsius Spectrum hanya ada di pulau ini, soalnya dia ga bisa migrasi ke pulau lain. Sama halnya dengan Anoa yang juga hanya ada di Sulawesi.

Kalau ga punya jiwa petualang seperti saya dan pengen lihat Tarsius Spectrum, di Bitung ada kebun binatang yang punya hewan ini.

Bagi yang punya jiwa petualang tapi ga pengen nyasar-nyasar kayak saya, bisa ikut Tur Tangkoko di travel-travel lokal. Soalnya jalan menuju lokasi nya agak ribet dan minim penunjuk jalan, jadi daripada kelamaan nyari-nyari jalan meningan ikut tur aja. Kecuali kalau perginya memang sama orang lokal yang tau. Sayangnya sodara-sodara saya yang orang lokal sana belum pernah kesana, jadi saya tetep aja nyasar-nyasar.

Di lobby hotel swiss-belhotel Maleosan, ada travel yang menyediakan Tur di Manado, Minahasa dan sekitarnya. Biasanya mereka juga menyediakan paket diving & snorkeling. Kalau cari di Google juga sekarang sudah banyak kog travel lokal di manado, beda banget kayak waktu saya ke Manado 2 tahun yang lalu. Sekarang banyak banget turis asing berkeliaran.

Tidak jauh dari lokasi Tarsius itu juga ada pantai nya. Konon menurut guide nya, kalau malam di pantai nya itu banyak kunang-kunang yang cantik. Sayangnya saya tidak sempat mampir ke pantainya karena takut kemaleman kembali ke Manado. Tapi kalau punya waktu banyak sih ga perlu takut kemaleman,  karena tidak jauh dari pintu masuk ke hutan Tangkoko banyak terdapat Homestay untuk penginapan. Bahkan ada Resort bagus juga.


Senin, 19 Januari 2009

Gorontalo-Manado Mampir-Mampir

Jalan darat dari Gorontalo ke Manado merupakan medan yang sangat menantang dan memabukan buat orang-orang yang ga biasa menempuh perjalanan naik mobil yang lama, di jalanan yang berkelok-kelok tajam, naik dan turun, muter-muter sampe pusing. Tapi kalau enjoy, dibalik medan yang mengerikan itu banyak hal-hal yang menarik untuk diamati.

Gorontalo termasuk propinsi yang baru di Indonesia, dan sekarang lagi mulai membangun. Jadi jangan ngarep kota di sini hingar bingar kayak di manado.
Buat yang suka diving, di sini ada site yang keren banget dan wajib di kunjungi. Jangan lupa oleh-olehnya, pia gorontalo dan kain karawang.



Limboto adalah nama kabupaten di propinsi Gorontalo. Di daerah ini terdapat danau Limboto yang sayangnya telah mengalami pendangkalan sehingga sebagian telah berubah menjadi daratan dan di gunakan sebagai sawah. Di sini terdapat menara keagungan Limboto yang bentuknya mirip menara eiffel di Paris. Kita juga bisa naik tangga hingga ke puncak menara.




Dari atas puncak gunung di Kwandang, kita bisa bersantai-santai sambil menikmati pemandangan lembah, laut dan langit. Wuiiih.. damai banget dah. Yah emang manjatnya agak sedikit ngeluarin tenaga siy. Eits, jangan lupa beli jagung putih yang gurih buat camilan di jalan.




Yang satu ini bener-bener AJAIB. Pohon-pohon yang tumbuh di batu. Keanehan ini bisa di saksikan, bahkan bisa di panjat di situs Otalojin, di kecamatan Atinggola. Menurut kepercayaan masyarakat lokal, batu ajaib ini merupakan pintu masuk ke kota jin.








Jalan darat dari Gorontalo ke Manado memang sebagian besar nya menyusuri laut. Sembari beristirahat, meluruskan kaki yang bengkok karena kelamaan duduk, main-main pasir dulu di pantai sambil menghirup udara laut yang segar di Boroko. Lebih komplit kalau sambil makan kelapa muda kenari yang manis, yang baru dipetik langsung dari pohonnya.



Aku dan rombongan agak melenceng dari jalur gorontalo-manado, berbelok ke Kotamobagu untuk bermalam dan berjalan-jalan keliling kota naik bentor.

Kemudian mengambil jalan memutar lewat Tomohon. Dari Tomohon kita bisa lihat kota manado dari atas.




Tujuan terakhir dari perjalanan ini adalah singgah di Danau Tondano, salah satu danau terluas di Indonesia. Katanya danau ini di tengahnya ada sumber air panas, jadi semakin ke tengah airnya makin panas. Di pinggir danau banyak rumah makan terapung yang menyajikan menu khusus ikan air tawar yang hidup di danau.. Mmmm.. uenak.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...