Kamis, 30 November 2017

Force Majeure

Jadwal race saya berikutnya semestinya berlokasi di Lombok. Sejak ikut race pertama di Bali tahun lalu, saya punya rencana  mau ikut race keliling kota-kota di Indonesia. Tahun ini pilihan saya adalah Jakarta Marathon dan Lombok Marathon. Slot untuk kedua event tersebut sudah saya amankan sejak awal-awal tahun 2017. Tapi manusia kan hanya boleh berencana. Seminggu sebelum event Lombok Marathon akhirnya terjadilah erupsi Gunung Agung setelah beberapa lama galau berstatus siaga, naik ke awas, balik lagi ke siaga, hingga sekarang kembali awas. 

Pulau Lombok yang berada tidak jauh dari Pulau Bali ternyata mengalami dampak dari peristiwa tersebut. Malahan waktu awal-awal Gunung Agung mengeluarkan abu, bandara Lombok sempat ditutup karena arah angin menuju kesana berpotensi membawa abu vulkanik. Karena itulah acara Lombok Marathon ini diundur oleh Organizer. Tadinya acara ini akan diselenggarakan tanggal 3 desember 2017, kemudian diundur menjadi 28 Januari 2018. Menurut saya sih merupakan keputusan tepat, kalau ada abu vulkanik ya mana mungkin lari, nafas biasa saja harus pakai masker. 

Sebenarnya saya merasa persiapan saya untuk race ini lebih baik daripada ketika Jakarta Marathon. Pace lari saya pun mulai kembali seperti tahun lalu saat sebelum ikut Maybank Bali Marathon. Minggu lalu saya sudah mulai mengatur strategi dengan memetakan rute race dan memperkirakan waktu dan pace saya per-5km sehingga didapat perkiraan waktu finish yang paling optimal. Target saya di Lombok Marathon mau finish di 2 jam 45 menit. Kalau sudah berhasil finish sesuai target, awal tahun depan saya akan mulai latihan untuk ikut Full Marathon.

Tiket pesawat dan hotel pun sebenarnya baru saya booking 3 hari sebelum peristiwa erupsi Gunung Agung. Untungnya saya booking hotel melalui Agoda pakai fitur Pay Later, jadi kalau dicancel sebelum tanggal 1 desember belum bayar apa-apa. Tiket pesawat Lion Air pun masih bisa dicancel dan refund. Tidak kembali 100 persen sih. Mengurus refundnya juga mudah, cuma harus sabar menunggu saja waktu menelpon call center nya. Mungkin juga karena sekarang-sekarang ini call center lagi pada sibuk karena banyak flight yang di cancel. 

Cara cancelnya seperti ini: pertama, telpon call center, kemudian dikasih nomor telepon khusus whatsapp dimana kita harus mengirimkan foto KTP dan kode booking. Kemudian setelah kita Whatsapp datanya, telpon lagi ke call center, nanti langsung di proses cancel dan kita disuruh ke kantor Lion Air di Jalan Gajahmada untuk mengurus refund paling lambat 3 bulan setelah cancelation. Nah, tadi siang saya ke kantor Lion Air untuk mengurus refund, hanya kasih printout booking dan fotokopi KTP, katanya 30 hari dana akan kembali ke rekening/ limit kartu kredit sesuai dengan cara bayar kita pas beli. 

Sepertinya bulan ini memang bukan bulan yang bagus untuk berpergian jalan-jalan karena bukan hanya bencana erupsi Gunung Agung, tapi cuacanya lagi mengerikan. Hujan dan anginnya ngeri. Kapok saya pergi-pergi saat cuaca lagi ekstrim seperti sekarang, nanti takut gak bisa pulang lagi kayak waktu dulu pas ke Timor Leste




Kamis, 23 November 2017

Watu Dodol Hotel, Banyuwangi

Saya pilih hotel ini karena ketika riset tentang tempat melihat matahari terbit di Banyuwangi, nama daerah Watu Dodol yang sering muncul dan satu kali pernah saya lihat nama Watu Dodol Hotel. Ketika saya cari di web booking hotel ternyata rate-nya cocok dengan budget saya. Tapi waktu itu saya tidak langsung booking. Kira-kira seminggu sebelum berangkat, ketika Pagit dan Susi sudah memutuskan ikut saya baru booking. 

Jarak resort ini tidak jauh dari Stasiun KA Banyuwangi Baru, tapi jauh kalau ke pusat kota. Kami bertiga naik angkot kuning yang sudah menguntit kami sejak keluar dari stasiun dan sempat makan siang depan stasiun. Tapi kalaupun tidak ada angkot itu kami juga bingung mau naik apa (waktu itu belum tahu kalau di Banyuwangi sudah ada Uber dan Grab), karena jalur itu tidak dilalui angkot. Kami membayar 20,000 / orang, yang memang mahal banget sih tapi yah daripada jalan kaki siang bolong bawa-bawa gembolan. Walaupun pada akhirnya yang mengantarkan kami bertiga ke baluran ya angkot itu juga. 

Ketika memasuki kawasan resort, saya senang sekali karena diatas ekspektasi. Tempatnya enak, nyaman, hommy banget. Kami dapat kamar yang menghadap kolam renang dan laut. Kamarnya juga luas dan bersih, bergaya arsitektur resort di Bali yang kamar mandinya ada open space-nya. Bedanya kalau di Bali, untuk mendapatkan resort macam begitu yang posisi dipinggir pantai, harus keluar uang paling tidak dua kali lipat. 

Waktu kami datang resortnya sepi, karena waktu itu hari Jumat. Tapi di halaman resort yang pas bersisian dengan pantai sedang dipasang dekor pernikahan. Rupanya ada yang mau menikah disitu keesokan harinya. Saat kami tiba hanya ada kami bertiga dan sekeluarga bule, jadi puas main-main dan foto-foto di kolam renangnya. 

View from our room
Dari halaman hotel di sebelah kanan terlihat Pelabuhan Ketapang dan kapal-kapal yang sedang menyebrang menuju Pulau Bali. Sosok Pulau Bali tampak pas di depan, bersebrangan dipisahkan laut. Di spot inilah keesokan pagi kami menyaksikan matahari terbit. Di sebelah kiri kami bisa lihat patung Penari Gandrung ikon Banyuwangi. Konon disitu terdapat Watu Dodol. Seperti biasa saya selalu kurang riset kalau jalan-jalan, jadi ketika Pagit bertanya seperti apakah Watu Dodol say atak bisa jawab.

Pertanyaan terjawab ketika kami bertiga makan malam di restoran hotel. Di kotak tissue meja makannya terdapat gambar batu lonjong warna hitam dibawahnya ada tulisan Watu Dodol. Ternyata Watu Dodol adalah Batu yang warnanya hitam dan bentuknya lonjong seperti dodol. Tapi anehnya Watu Dodol letaknya di tengah-tengah jalanan banget. Banyak cerita urban legend dan ada juga yang rada mistis ketika kami google tentang Watu Dodol. 

Yang paling penting buat saya adalah misi melihat matahari terbit pertama kali di Pulau Jawa sudah terlaksana.

View Sunrise dari Watu Dodol Hotel


Lokasi:
Jl. Raya Situbondo No.290
Ketapang, Kalipuro
Kabupaten Banyuwangi



Kamis, 16 November 2017

ITB Ultramarathon Jakarta-Bandung 170km

Beberapa bulan lalu, tidak lama sebelum bulan puasa tahun ini, saya mulai mengikuti awal terlahirnya event yg idenya berawal dari salah satu pelari ultramarathon senior saya di kampus yang sudah malang melintang di dunia perlarian. Ide pelari ultramathon tersebut kemudian disambut oleh dua orang senior saya yang sudah jadi orang-orang hebat. 

Yang saya takjub dari ketiga beliau adalah ditengah kesibukan sebagai para petinggi tingkat (multi)nasional masih sempat2nya create event lari dalam waktu kurang dari satu tahun, efektifnya mungkin hanya 4-5 bulan. Acara lari ini mengambil rute dari jakarta ke kampus ITB di Bandung lewat puncak yang diselenggarakan untuk menggalang dana yang akan disumbangkan ke Fakultas tempat saya kuliah dulu. Acaranya diberi nama Tribute to FTMD (fakultas teknik mesin dan dirgantara).

Hal ini jd semacam re-charge energi dan motivasi buat saya - anak magang yang timbul tenggelam, bahwa gak ada satu ide gila pun yang tidak mungkin terlaksana dengan semangat, kerja keras dan ..... 

koneksi.

...makanya gaul itu juga penting. 

Jarak Jakarta - Bandung yang ditempuh sekitar 170km. Boleh ditempuh sendirian, boleh juga keroyokan. Bisa ber-2, ber-4, ber-8, dan ber-16. Demi untuk menjaring banyak anggota saya ikut kategori ber-16, jadi masing-masing pelari dapat jatah sekitar 10an km.



Mengumpulkan 16 orang dalam 1 team lari ternyata gampang-gampang susah. Memerlukan skill personal approach, negosiasi dan persuasi. Terutama ketika berusaha mendapatkan pelari perempuan kedua dan satu2nya yang bergelar Doktor @kireinashit dalam tim, sempat terjadi perebutan dan negosiasi alot dengan tim sebelah yang anggotanya perempuan semua. 

Walaupun rencana latihan bersama seminggu sekali hanya tinggal wacana, namun kapten tim yang penyabar, Hamzah, tetap berhasil mempertahankan kesatuan dan kekompakan. Detik-detik terakhir sempat terjadi krisis karena salah satu anggota berhalangan, namun kapten dengan tenang berhasil menanggulangi masalah ini dan membawa anggota baru, Igan - ikhwan ganteng sebagai pengganti. 

Tantangan sebenarnya dari ultramarathon ini bukan hanya di lari, tapi strategi mengatur logistik 16 pelari yang akan melewati jalur padat di akhir minggu. Untungnya ada Shadiq, pelari sekaligus ahli strategi yang sistematis. Ada juga pelari sekaligus penasihat tim yang kadang ide2nya brilian tapi lebih seringnya sampah, Chris yang juga pencetus nama tim ini, yaitu 137runner, 137 karena NIM kami semua berawalan 137. 

Unggulan tim ini adalah Hendra, pelari kencang berprestasi atlit PON kebanggaan kami yang sudah naik-turun podium. Yang tidak kalah fenomenal juga ada Ari yang rajin ikut race, Dicky (mantan) atlit kampus, Bagus, Helmi, dan Ganjar yang berwajah lugu tapi larinya jauh. Lalu ada para pemula yang kemampuannya meningkat pesat Fino, Budi -pelari sekaligus sponsor tim, dan Dodi - tangan kanan kapten. Satu lagi adalah pelari yang paling misterius, karena banyak dari anggota tim yang belum pernah melihat sosoknya (mungkin hanya bayangannya sangking cepetnya), Alnahyan. 

Tanggal 13 Oktober malam acara race dimulai. Perjalanan ini diawali oleh Igan di lokasi start wisma BNI dengan penuh perasaan cemas dan gugup karena baru pertama kali ikut dalam ajang race. Dikarenakan terbatasnya anggota dan tim support dari KAM maka Igan harus berjuang sendiri di garis start. Tapi kecemasan tak mempengaruhi performanya di ajang perdana ini, Igan berhasil mencapai WS (Water Station)1 di daerah pasar minggu, melewati tatapan sinis dan kesal para pengendara kendaraan yang terkena imbas macet akibat event ini. Pergantian pelari dilakukan di setiap WS.

Di WS1 Igan disambut oleh pelari misterius Alnahyan. Sambil mengunyah nata de coco, Al berhasil mencapai WS2 yang jaraknya lebih dari 10km dari WS1 pada pukul 00.34 wib, hanya dengan waktu 1.15 saja. Kedua pelari awal ini mengangkat estimasi waktu finish secara drastis sehingga rombongan pelari puncak memutuskan untuk berangkat lebih awal. Meminjam istilah Hendra bahwa Djakarta adalah Koentji! 

Sementara itu tanpa ada kesepakatan sebelumnya selalu ada pantauan dari grup wa 137runner, bergantian memberi support dan memantau perkembangan race. Dari Al, estafet dilanjutkan oleh Fino hingga tiba di ws3 pada pukul 02.08. Waktu tempuh Fino jg merupakan pencapaian yang luar biasa untuk pelari yang baru perdana ikut race, langsung menempuh jarak 10km dan larinya di jam2 orang lain bobo. Budi, yang merupakan newbie di dunia perlarian sudah siap menyongsong Fino di WS4. 

Ke newbie-annya membuat saya paling khawatir dengan Budi, sampai secara personal berkali-kali menyampaikan kalau ini acara fun, tidak perlu dipaksakan, dan tidak harus menyelesaikan 10km jatahnya. Tapi ternyata Budi berhasil menaklukan tantangan dengan support dari anggota di wa grup. Pukul 04.15 Budi berhasil mencapai WS5 di cibinong. Menjelang finish saya ketemu budi di kampus dengan gaya jalan yg sudah tertatih-tatih, tapi ketika yori mendekati finish budi tetap semangat ikut mengiring dari gerbang ganesha hingga gerbang finish dengan bertelanjang kaki. 

Dicky lanjut berlari dari ws4 menuju ws5, sementara itu pelari ke7, chris sudah berangkat lebih awal dan menunggu saya (mila) yang akan melanjutkan dicky dari bogor hingga daerah ciawi. Saat itu sekitar jam 4 subuh, padahal estimasi awal chris mulai lari pukul 11 siang. Jam 5 subuh rombongan pelari puncak hamzah, hendra, shadiq, bagus sudah berangkat juga. 

Pkl. 5.15 Dicky tiba di WS5. Kemudian giliran saya untuk melanjutkan arm band estafet hingga WS6. Jalan padjajaran bogor yang selama ini dilalui dengan angkot dan mobil rasanya datar-datar saja ternyata merupakan tanjakan tanpa bonus. Lewat dari 10km saya mulai merasa hilang arah karena tidak melihat ada pelari lain dan atau penunjuk arah, akhirnya tanya tukang parkir dimana arah wisma kemenag, tempat finish saya. Untung katanya masih lurus saja, berarti saya ada di jalur yang benar. Setelah melewati perempatan masuk ke jalan tol, pasar ciawi, gerobak bubur ayam, lontong sayur, gorengan saya tiba juga di ws6 pukul 7 passss... menempuh jarak 11.36 km dan elevasi 200 meter. 

Perjalanan saya dilanjutkan oleh chris yang harus melalui jalan dengan elevasi yang lebih dasyat lagi di daerah cisarua menuju Cimory. Dari jatah waktu COT 3 jam yang diberikan panitia, Chris mampu menyelesaikan dalam 1 jam 20an menit saja. Hendra, atlet kebanggaan 137runner lebih parah lagi. Berhasil membuat tukang ojek puncak minder karena berlari 10km elevasi 400an dengan waktu 1 jam doang. Itu baru pemanasan doang buat dia kayaknya soalnya masih kepingin lari lagi di slotnya helmi yang tiba2 sakit menjelang race. GWS ya helmi, semoga next event bisa ikutan. 

Kapten kita, Hamzah, melanjutkan perjuangan Hendra dari WS8 menuju WS9 dengan waktu yang tidak kalah gokil, kira-kira sejam doang juga ! Fiuh. Pkl. 10.20 hamzah sudah tiba di WS9, membawa 137runner memasuki segmen menurun dari kawasan puncak. Berlari di turunan yang panjang sebenarnya sama sulitnya dari berlari di tanjakan. Malahan lebih rawan cedera karena di turunan harus melawan gaya gravitasi. Shadiq yang ditugaskan berlari menyusuri elevasi yang semakin menyusut sepanjang sekitar 12km. Banyak anggota 137runner yang khawatir ketika shadiq berlari, bukan khawatir takut cedera, tapi khawatir ketika lari tiba2 dibelakangnya jadi banyak yang mengejar - para gadis kembang desa. 

Pkl 13.40 arm band beralih dari shadiq ke bagus di WS11. Dengan ceria dan sumringah, dibawah terik matahari yang panas, bagus berhasil tiba di WS12 pkl. 13.40 dan menyerahkan arm band kepada kapten hamzah lagi yang akan berlari mewakili helmi. 

Sementara para pelari berjuang menyelesaikan segmen masing-masing, kedua orang team manager- Aldy dan Putu, juga bekerja keras dengan penuh dedikasi mensupport mobilisasi pelari dari dan ke tiap WS. Konon Aldy sampai harus berkorban kartu ATM yang tertelan di mesin atm. Saya yakin capeknya manager team juga sama dengan para pelari, bahkan mungkin lebih, karena harus menyetir selama belasan jam melewati jalur naik turun dan macet. 

Hamzah tiba lagi di WS13 pukul 15.17. Katanya sempat ada insiden kaki keram tapi untungnya tiba juga dengan selamat dan menyerahkan tugas selanjutnya ke Dodi. Sebelum race saya sempat wa putu, yang merupakan kawan seangkatan dodi. Saya curiga sama kelakuan dodi yang gak pernah ikut latian bareng, ga pernah share hasil lari di grup wa, tapi kalau ngumpul selalu ada dengan sikap kalem dan cengengesan. Waduh, jangan2 dia bisa beres 10k dibawah 1 jam, kata saya ke putu. Putu bilang, yaa mungkin juga, karena waktu kuliah dulu dodi biasa lari 10k. Dan di event race perdananya ini, dodi berhasil menaklukan jarak yang ditugaskan kepadanya dengan smooth dan banyak foto-foto. 

Pkl. 18.40, Ari mulai berlari dari WS13 ke 14. Sudah semakin mendekati garis finish. Ari yang sudah sering ikut race dan berdedikasi sama latihan larinya juga menuntaskan segmennya dalam waktu 1 jam. Jam 20.54 arm band sudah beralih ke Ganjar, pelari ke 15. Yang artinya tinggal 1 pelari lagi menuju kampus ganesha. Ganjar sempat bermasalah lututnya, tapi tim support dengan cekatan mengantarkan balsem ke Ganjar. Dengan semangat material yang kuat, tangguh, bersemangat, ganjar berhasil mengalahkan masalah lutut dan berlari menyusuri padalarang hingga tiba di WS15, dimana Yori telah menanti. 

Yori, satu2nya doktor di tim lari 137runner, adalah pelari dengan jatah lari paling banyak. Hampir 15km. Menyusuri cimahi, belok ke pasteur, naik ke jembatan layang pasupati kemudian mengarah ke tamansari menuju ganesha. Memasuki jembatan layang Pasupati, rombongan pelari puncak sebanyak 5 orang mulai mengiringi yori. Di tamansari rombongan iringan bertambah dari team manager dan adik-adik MTM yang menyerukan yell-yell sepanjang jalan ganesha hingga memasuki gerbang finish. Pukul 23.10.

NB: sebagian tulisan ini (dan lebih banyak foto-foto) telah dipublish di IG @milasaid

Senin, 06 November 2017

Jakarta Marathon Pertama Saya

Kegiatan lari-lari kecil saya di tahun 2017 ini tidak mengalami kemajuan, baik dalam hal jarak maupun pace. Malahan cenderung mengalami penurunan. Karena di 6 bulan pertama tahun 2017 agenda latihan lari rutin berantakan, jadi pace saya menurun drastis. Sebenarnya dari bulan Maret saya sudah daftar dua race yang jatuh di penghujung tahun, Jakarta Marathon akhir Oktober dan Lombok Marathon awal Desember, keduanya kategori Half Marathon. Ya tapi seperti yang saya bilang, karena 6 bulan jadwal saya berantakan jadi saya baru mulai latihan lagi untuk HM 4 bulan menjelang Jakarta Marathon. Rasanya seperti mulai dari nol, pace menurun drastis yang menyebabkan motivasi juga agak menurun. 

Tahun lalu waktu latihan untuk bali marathon, pace 5k saya sudah masuk 7, walaupun dibandingkan kawan-kawan saya yang lain masih tergolong lelet. Tahun lalu target saya menyelesaikan 15k dalam waktu maksimal 2 jam. Tahun ini pace 5k saya diatas 8, semakin lelet ketika mulai mencapai 10k dan lewat dari itu saya sudah tidak kuat lari nonstop, pasti diselingin jalan cepat. Kalau ditimbang berat saya gak berubah banyak dari tahun lalu, tapi badan rasanya lebih berat. Tapi saya masih optimis bisa finish HM dalam waktu 3 jam. 

Seminggu sebelum race, yang harusnya sudah taper week saya masih mencoba mau lari 15k dalam waktu 2 jam di CFD. Sayangnya usaha tersebut gagal total, karena belum 13k sudah lewat 2 jam saya lari, panasnya sudah terik banget dan sejak lewat 8k saya sudah selingi dengan jalan cepat. Akhirnya saya menyerah di kilometer ke-13. Tahun ini saya memang kurang disiplin dalam mengikuti training plan, banyak bolong-bolongnya dan pengurangan jarak. Kalau tahun lalu saya masih latihan core, HIIT dan yoga, tahun ini nyaris tidak ada. Terasa sekali bedanya ternyata. 

Ini adalah Jakarta Marathon yang ke-5 tapi yang pertama  buat saya. Buat saya ini event lari ke-5 yang saya ikuti (sebelumnya Bali Marathon 2016, Helo kitty run 2016, Synergy run 2017, Ultramarathon ITB 2017). Untuk Half Marathon ini yang ke-2 kali. Kalau dibandingkan kawan-kawan seperlarian saya yang lain sih memang saya tergolong jarang ikut event lari.

Tanggal 29 Oktober, saya bangun jam 2 subuh. Malam sebelumnya sudah beli Milo Kotak untuk sarapan. Tapi ketika Taxi pesanan jemput jam 3 baru ingat kalau Milo-nya ketinggalan di kulkas. Akhirnya saya beli susu coklat kemasan kotak di warung. Saya janjian sama kawan saya Hamzah dan Hendra di Sarinah. Jam 4 kami mulai jalan ke race central di kawasan Monas. Jalan masuknya ternyata jauh aja. Pas akhirnya kami lewat pintu masuk, Full marathon sudah dipanggil untuk siap-siap start, Hamzah yang ikut FM segera bergegas ke garis start sementara Hendra ikut HM tapi mau drop bag dulu. 

Saya telpon kawan saya satu lagi chris yang sudah di race central dari jam setengah 4, dia ikut HM juga. Saya dan Chris agak bingung sama pengumuman start HM, kami berdiri di barisan orang-orang yang ternyata antri untuk start 10k. Akhirnya kami mencoba cari jalan maju, eh ternyata yang HM sudah pada start sekitar 10menitan. Baru lari 2km-an saya pingin pipis. Sebenarnya ada niat mau ke toilet dulu sebelum start tapi ketika lihat antriannya saya jadi males dan berpikir kalau sudah lari nanti juga udah gak bakal berasa pingin pipis. Ternyata saya salah.

Rute larinya dari monas lewat Hayam Wuruk ke arah Kota Tua. Ketika saya tiba di depan stasiun Kota hujan turun, gerimis tapi lumayan basah. Saat itu mungkin sudah lewat 7km. Saya belum pernah lari waktu hujan, apalagi saat itu saya pakai kacamata jadi gak enak banget karena gak ada wipernya. Saya mulai jalan cepat, nah dari itu energi saya kayak langsung turun, padahal belum 10km. 

Hujan gerimis mungkin gak sampai 10 menitan, ketika saya depan lindeteves hujan berhenti, tapi saya sudah terlanjur jalan dan mau mulai lari berat. Apalagi karena kena hujan jadi semakin pingin pipis. Akhirnya saya numpang pipis di KFC yang sudah buka, cari-cari pom bensin gak lewat-lewat. Habis hujan gerimis, langsung panas, cuaca jadi gak enak. Pengap. Apalagi karena keleletan ketika sampai di jalan yang gak steril, jalanan sudah macet, tambah panas kendaraan dan asap knalpot. 

Makin parah ketika tiba di ruas CFD thamrin, itu jam lagi padat-padatnya. Karena sudah susah untuk lari tanpa harus zig-zag, nge-rem dan senggol-senggolan sama orang, akhirnya saya jalan saja. Lagipula target saya finish 2 jam 45 menit sudah lewat dan itu baru km ke 19, jadi masih ada 3km lagi. Disitu saya ketemu sama ibu dari Bogor yang menjadi kawan jalan saya sambil ngobrol sepanjang 2 km di kawasan Thamrin, kami menerobos bundaran HI bersama. Ibu-ibu itu kakinya kram, tapi karena ngobrol jadi mungkin lumayan berkurang. Saya meninggalkan ibu itu di tenda Salonpas, sekitar 1 km dari garis finish. Saat itu saya mulai lari lagi.

Akhirnya setelah berhenti lagi dua kali di perempatan Sarinah karena lampu merah dan di lampu merah sebelum monas untuk kasih jalan ke bus Transjakarta, saya berhasil finis Half Marathon pertama saya tahun 2017 ini. Hasilnya memang jauh dari target, tapi gak apa-apa deh yang penting foto-foto saya yang dipublish bagus-bagus. 


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...