Selasa, 14 Oktober 2014

Jabal Magnet

Jabal adalah bahasa Arab untuk kata 'Bukit', jadi Jabal Magnet itu adalah bukit magnet, lokasinya berada tidak jauh dari pusat kota Madina. Di bukit yang mengandung magnet itu, ada sepotong jalan yang bila dilalui oleh kendaraan bisa melaju sendiri tanpa nyalain mesin karena di tarik oleh gaya magnet yang terkandung dalam bukit itu. Prinsipnya mungkin mirip kereta cepat Shinkansen Jepang. 

Memasuki jalan bermedan magnet dipasang papan penanda. Supir mobil sewaan kami kemudian mematikan mesinnya. Dalam bahasa Arab - yang selanjutnya di terjemahkan oleh Om saya, supir menjelaskan bahwa dia sudah harus menginjak rem nya di area tersebut kalau tidak mau mobilnya jalan sendiri.

Setelah mesin mati, rem perlahan dilepas, kami di dalam mobil merasakan mobil itu benar-benar melaju kencang. Menurut sang supir pun kakinya masih harus menginjak rem untuk mengendalikan kecepatan, itu pun kami melaju dengan kecepatan hampir 100 km/jam.

Setelah beberapa km melaju tanpa bantuan mesin kami tiba di end of the road (kalo pinjem istilah dari Boyz II Men). Konon kata supir kalau kita terusin jalan lurus-lurus aja bisa sampai di Irak. Masih pinjem istilah Boyz II Men, setelah end of the road ada water runs dry. Di ujung jalan itu hanya gurun belaka. Tampak beberapa turis wisata magnet, sebuah mobil penjual es krim dan petugas kebersihan yang sedang menyapu gurun. 

Foto dari dalem mobil pas lagi jalan tanpa mesin

Bersih-bersih gurun

Mobil Jual Es Krim

Turis-turis wisata magnet

Makan Es Krim di tengah gurun - Priceless

Jumat, 03 Oktober 2014

Om John di Gua Batu Cermin, Flores

Tidak jauh dari Labuan Bajo di ujung barat pulau Flores ada satu gua yang merupakan salah satu destinasi wisata di daerah itu, namanya Gua Batu Cermin. Konon setelah saya, mba efa dan Pagit diajak menyusuri lorong-lorong dan sudut gua itu, kami baru mengerti kenapa gua tersebut dinamakan Batu Cermin. 

Di pintu masuk kawasan wisata sebelum memasuki gua, kami berkenalan dengan seorang pria Flores usia 40-an bernama John. 

Setelah memperkenalkan diri, Om asli Flores itu membagikan 3 buah helm kuning dan senter kepada kami. Kesan awal melihat sosoknya kayaknya orangnya serius. Ternyata jauh menyimpang dari kesan pertama yang menipu itu. Masih di jalan setapak menuju gua aja kami sudah dibuat tertawa terus karena guyonannya yang acak dan absurd. 

Setelah tahu saya, mba efa dan pagit datang dari Jakarta Om John langsung menceritakan masa mudanya saat mengadu nasib di Jakarta. Bermodalkan wajah galak  seram serius, Om John berhasil mendapat pekerjaan menjadi preman  keamanan di Tanah Abang, kemudian sempat jadi tukang parkir, sempat juga luntang lantung jadi pengangguran sampai tidak punya uang sepeser pun untuk beli makanan. 

"Waktu itu saya dan kawan dua orang, kami sudah kelaparan sekali. Kemudian ingat kalau di kampung juga kami bisa hidup hanya makan daun ketela, akhirnya kami petik saja daun-daunan."

"Daun singkong?" tanya saya.

"Bukan. Kami tidak menemukan daun ketela, akhirnya sembarang daun saya kami petik. Mana kami petik dengan perasaan berdosa karena dari pekarangan rumah orang.

"Sebelum saya pergi ke Jakarta, Bapak saya berpesan: Apa pun yang kau lakukan disana, jangan kau mencuri. Nah itu karena terpaksa kami mencuri daun, karena kelaparan."

"Terus?" 

"Setelah kami makan daun itu, malamnya kami semua sakit perut."

Saya, Mba Efa dan Pagit langsung tertawa padahal kalau dipikir-pikir, itu kan cerita sedih ya.

Jalan Setapak  menuju Gua Batu Cermin

"Hidup di kota itu sebenarnya enak. Kalau disini kemana-mana harus jalan jauh, naik turun bukit. Maka itu orang sini makannya banyak. Yang penting nasi nya banyak."

Kemudian Om John bercerita tentang kawannya yang merantau ke Jawa kemudian menikah dengan perempuan Jawa. Beberapa tahun menikah kawan nya itu pulang kampung ke Flores membawa anak dan istrinya. Selang beberapa waktu porsi makan istri kawannya mulai tambah banyak. Awalnya makannya 1/4 piring kemudian tambah jadi 1/3 piring, sampai akhirnya makan nasinya sudah menggunung penuh sepiring. 

Suatu saat istri kawannya itu pulang ke Jawa, melihat dia makan ibu istrinya itu berseru,"Bisa mati nanti kau makan sebanyak itu!"

Saya, Mba Efa dan Pagit kembali terbahak-bahak. Saat itu kami sudah berada dalam lorong gua sehingga suara tawa kami menggema ke seluruh penjuru gua.

"Kalau dapat tamu seperti kalian itu enak, mudah dibuat tertawa," ujar Om John, "kalau dapat tamu dari Papua itu tantangan untuk saya, susah sekali dibuat tertawa. Mahal sekali mereka mau kasih unjuk gigi. Tapi saya tau kuncinya membuat mereka unjuk gigi..."

"Bagaimana?" tanya mba Efa.

"Ajak lomba lari saja. Selesai lari, ketika mereka terengah-engah baru kelihatan giginya," sembari menirukan gerakan orang terengah-engah habis lari sambil monyongin giginya.

Gua Batu Cermin ditemukan di tahun 1950-an oleh seorang Pastur Belanda yang juga seorang arkeolog bernama Verhoven. Jalan setapak untuk masuk ke  dalam gua nya sudah dibuat dari conblock dan untuk naik ke jalan masuk ke gua yang ada di atas bukit sudah dibuat tangga dari semen jadi pengunjung tidak perlu memanjat. 

Gua ini termasuk gua peninggalan jaman purbakala. Gua purbakala saya yang kedua setelah Tam Pee Hua To di Krabi, Thailand.

Flores adalah salah satu pulau yang menjadi tujuan para pastur misionaris yang memperkenalkan dan mengajarkan tentang agama kepada suku-suku asli Flores jaman dulu yang masih primitif dan mayoritas masih hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Saat ini agama sudah merasuk ke pedalaman-pedalaman Flores, jadi mayoritas masyarakatnya menganut Katolik. 

Pastur yang jadi misionaris bukan hanya memperkenalkan agama kepada suku primitif, tapi juga merubah gaya hidup mereka dengan cara membawa peradaban yang lambat laun merubah gaya hidup aslinya. Menurut Om John, Pastur di Flores yang mengkoordinasi pembuatan jalan raya di daerah tempat tinggal nya waktu dia kecil. Para kaum pria bergotong royong membangun jalan raya di gunung dan membelah bukit dengan dana sumbangan dari Gereja Katolik. 

"Yang bangun jalan di sini bukan Soeharto. Yang bangun jalan disini adalah bapak saya dan kakek saya," kata Om John.

Yang membuat Verhoven tertarik dengan gua tersebut karena di dalam gua itu, selain stalaktit dan stalakmit, terdapat juga tanda-tanda fosil dan batu-batu karang dari laut. Jadi bisa dibayangkan kalau daerah itu dulunya ada dibawah permukaan laut, termasuk Labuan Bajo juga beberapa puluh ribu tahun lalu masih berada di bawah permukaan laut.

Mba Efa, Pagit dan Saya - Anak Goa

Ukuran gua nya besaaarrr bingit

Flores sendiri sudah ada sejak jaman purbakala, tapi karena permukaan dataran dan laut di bumi masih berubah-rubah - yang dulunya daratan bisa jadi laut, yang dulunya laut bisa jadi darat maka ukuran pulau Flores jaman dulu mungkin lebih kecil dari sekarang. Bisa jadi karena perubahan permukaan laut, atau bisa jadi karena pergerakan lempengan bumi menyebabkan posisi daratannya jadi naik, saya belum cari-cari info lebih mendalam tentang itu. 

Tahun 2003 di Flores ditemukan rangka spesies Homo baru yang kemudian diberi nama Homo Floroensis. Setelah direkonstruksi di perkirakan spesies Homo yang telah punah tersebut berukuran lebih mungil daripada Homo Sapien maka spesies ini dijuluki The Hobbit. Kalau yang tau Lord of The Ring pasti tau deh. Manusia-manusia mini ini sebenarnya ada di legenda lokal yang diceritakan secara turun temurun oleh kakek nya kakek orang asli Flores, kalau tidak ditemukan fosil tulang itu mungkin beberapa generasi lagi legenda manusia mini di flores hanya akan jadi mitos. 

Fosil tulang belulang Homo Floroensis atau Hobbit itu ditemukan di daerah Ruteng, beberapa jam lagi naik kendaraan kalau dari wilayah Gua Batu Cermin. Ya kemungkinan di saat Gua Batu Cermin masih di bawah laut, di Ruteng sudah daratan. Di Gua Batu Cermin kita juga bisa melihat fosil ikan purba yang sudah menempel di bebatuan. 

Selain itu kita bisa melihat fosil-fosil batu karang dan kulit kerang yang sudah membatu. Ada batu berbentuk penis yang konon kalau diusap-usap oleh pria dewasa bisa menambah kejantanan. Ada juga yang disebut Om John sebagai Batu Bernyanyi, batunya menempel di dinding gua bentuk nya bulat-bulat dengan ukuran berbeda, tapi rupanya dalamnya kosong sehingga kalau di ketok-ketok menimbulkan suara yang nadanya berbeda. Makin kecil ukuran bulatannya nada yang dihasilkan makin tinggi. Dan tentu saja di dalam gua kita akan menemukan Stalakit dan Stalakmit, sepasang batu romantis yang harus menunggu ratusan tahun untuk bisa bersatu.

Terus kenapa namanya Gua Batu Cermin? 

Hmm.. kalau itu sepertinya kalian harus datang kesana dan lihat sendiri supaya paham darimana asal nama Gua Batu Cermin. Nanti kalau ketemu Om John, saya titip salam. 

batu bernyanyi

Foto Bareng
NB: Foto-foto di postingan ini ada yang saya pinjem dari foto Mba Efa, soalnya foto di kamera saya gak ada saya nya. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...