Minggu, 24 Mei 2015

Salah Jalan

Saya pergi ke Merbabu dengan rombongan. Perjalanan kami tempuh 3 hari 2 malam, naik di Wekas turun di Selo melintasi Puncak Kenteng Songo. Ditengah perjalanan rombongan terbagi dua kubu, kubu di depan dan kubu di belakang. Kubu di depan sudah lebih terbiasa naik turun gunung sehingga staminanya lebih kuat daripada kubu belakang yang kecepatannya kalah tertinggal. 

Di hari ketiga, turun dari camp kita di sabana 2, salah seorang dari kubu depan mulai tidak sabar dan pundung. Ditambah lagi karena mereka harus mengejar kereta kembali ke Jakarta dari Jogja sore hari nya,  jadi mereka jalan makin buru-buru, gak sabaran nunggu sebagian kelompok yang tertinggal di belakang.

Sementara saya kadang ada di depan, kadang ada di belakang, pokoknya prinsip saya hanya berjalan saja. Kalau lagi capek saya di belakang, kalau lagi semangat ya jalan di rombongan yang depan. 

Malam kedua hingga pagi hari ketiga hujan deras sehingga tenda yang saya bawa sendiri basah. Karena takut resiko sisa-sisa baju dan sleeping bag saya ikut basah kalau tenda saya masukan tas jadi saya memutuskan menenteng tenda saya diluar backpack. Dalam keadaan kering saja agak susah mengepak tenda saya itu dalam tas 50L, itu pun frame nya gak cukup di masukan ke dalam tas jadi di selipkan di saku luar tasnya. 

Perpecahan mulai meruncing ketika selesai foto bersama dengan background kawah Merapi dari kejauhan. Salah satu anggota rombongan yang pundung menolak untuk berfoto bersama, malah berjalan duluan ke arah turun. Saya sih dengan santai langsung mengikuti ke arah turun setelah selesai foto bersama, sementara beberapa masih foto-foto sendiri. Sementara itu kawan-kawan dekat nya mulai bergerak menyusul untuk menghiburnya.

Sampai di sabana 1, banyak sekali tenda beraneka warna pagi itu. Wajar karena bertepatan dengan hari libur long weekend. Saya melihat sosok kawan-kawan saya naik ke atas bukit dan segera mengikutinya. Itu setelah melalui turunan kejam yang terjal dan licin karena paginya habis hujan, dan saat itu sepatu saya mulai berasa kayak gigit-gigit kaki. Ternyata setelah naik bukit itu terulang lagi turunan terjal yang bahkan lebih licin lagi. 

Setelah itu saya masih harus mengulangi satu set naik bukit dan turunan terjal, posisi saat itu sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan di depan dan yang di belakang belum terlihat. Setelah itu jalanan yang dilalui jadi makin aneh, melintasi sabana yang jalan setapaknya hanya cukup untuk satu orang. Saat itu sempat timbul pertanyaan di benak saya, kalau banyak pendaki yang lewat situ kog bisa ya jalan setapak yang terbentuk sempit banget? gimana kalau banyak pendaki yang berpapasan berlawanan arah?

Makin lama setapak makin gak jelas, banyak sudah tertutup rumput. Beberapa kali saya dan salah satu teman dari rombongan yang tertinggal bingung di persimpangan jalan setapak yang tidak ada keterangan apa-apanya. Saat itu saya merasakan perut saya mulai lapar. Penyesalan terdalam saya saat itu adalah karena pagi harinya saya menolak tawaran sepiring mie goreng dari tenda sebelah. Untungnya kawan saya punya 2 batang coki-coki yang akhirnya saya palak. Sementara itu bayang-bayang mie instan masih memenuhi hati dan pikiran saya.

Tiba di suatu titik dimana jalan yang kita lewati tampak nyaris buntu karena semua path tertutup rumput, saya dan kawan saya mulai bingung celingukan jangan-jangan kita mengambil arah yang salah di salah satu persimpangan. Untungnya gak lama kami dengar ada teman yang manggil-manggil dari balik salah satu rumput yang tinggi. Empat orang kawan lagi duduk menunggu kami berdua karena mereka tahu kami pasti bingung di jalan itu, sementara tiga orang lagi sudah duluan melesat di depan.

Setelah jalan setapak yang tertutup rumput itu selanjut nya kami mulai memasuki hutan lebat, jalan setapaknya semakin gak jelas - tertutup alang-alang, daun-daunan yang saling bersinggungan, akar pohon, bahkan sering kami harus merunduk melewati pohon-pohon tumbang.  Kawan saya di depan berteriak mengingatkan untuk selalu jalan di kanannya jalan setapak karena di sebelah kirinya yang tertutup alang-alang ternyata banyak lubang-lubang curam. Jalan menurunnya sangat menantang, makin lama makin banyak jalan yang saya lewati dengan berseluncur duduk selain karena jalannya sangat licin dan terjal, kaki saya di dalam sepatu sudah makin lecet dan tidak kuat menjejak menahan beban di turunan. 

Rasanya seperti mengulang pengalaman di Senaru, tapi lebih parah karena jalanannya basah, licin dan lebih sempit. Anehnya lagi sepertinya hanya rombongan kami yang ada di hutan itu, padahal kalau dilihat jumlah tenda di sabana 1 harusnya kami banyak berpapasan dengan pendaki-pendaki yang lalu lalang. 

Saya mulai curiga jangan-jangan kami salah jalan.

Iisshh.. nyasar sih emang my middle name, tapi ya jangan nyasar di hutan di gunung juga keleeuuss...

Tiga jam berjalan akhirnya kami mendengar ada suara orang-orang ngobrol di kejauhan. Tapi agak ragu juga sih jangan-jangan itu cuma halusinasi. 

Untungnya bukan halusinasi. Memang suara orang beneran yang kami dengar. Bukan juga suara orang jadi-jadian. Kami muncul di pertigaan. Jalan yang lumayan besar terbentang di hadapan kami. Tampaknya arah Selo ada di kanan kami. Di pertigaan itu, tepat di hadapan kami ada papan besar bertuliskan "PUNCAK" dengan tanda panah mengarah ke kiri. 

Kami terduduk lega sejenak di pertigaan itu, belepotan lumpur dan peluh. Gak lama muncul rombongan anak-anak muda pendaki dari arah bawah, salah satunya bertanya, "kalau jalan yang itu tembusnya kemana ya?"

"sabana 1,"kata kawan saya.

"Jalannya lebih dekat ga?"

Saya dan kawan saya serentak langsung menjawab,"lewat jalur yang normal aja!"

Sementara itu apa kabar rombongan kubu belakang yang di cap lelet dan terlalu lambat sama rombongan kubu depan (yang saya ikutin sampai terseok-seok). Ternyata mereka lewat jalur normal dan gak salah jalan, jadi waktu tempuh nya sama aja kayak yang jalan buru-buru takut ketinggalan kereta padahal mereka jalannya santai sambil foto-foto, banyak break duduk-duduk dan merokok.

Sampai di basecamp, kawan-kawan yang mengejar kereta sore sudah langsung berangkat ke Jogja. Saya dan tiga orang kawan yang ikut kebawa salah jalan masih stay di basecamp karena gak ikut pulang ke jakarta hari itu. Kami di olok-olok dan di bully abis-abisan sama rombongan yang gak pake salah jalan.

"Lo lewat mana sih tadi? Jalur evakuasi monyet?" mereka tertawa puas, kami tertawa miris.

Masih untung jalan tembusnya bener, coba kalau ternyata emang salah jalan beneran, coba aja kalau tembusnya ternyata balik ke Kenteng Songo... Kalo gitu mah saya butuh di evakuasi beneran. 

Lesson learned. Kalau suatu saat jadi orang yang kebetulan lebih kuat gak boleh sombong, memandang remeh yang lebih lemah, mencelanya dan menganggap sebagai penghambat. Karena kita ga pernah tau di depan kita akan ada kejadian seperti apa. So, Stay Humble :)


Kamis, 07 Mei 2015

Sakit Gigi

Akhirnya datang juga salah satu masalah yang paling saya takutin. Sakit Gigi.

Meggy Z bilang, "lebih baik sakit gigi daripada sakit hati."

Saya bilang, "b*ll s***t" 

Kalau sakit hati bertahun-tahun saya bisa tahan, tapi kalau sakit gigi, satu malam saja saya sudah gak sHanggHupH. Gak bisa makan. Gak bisa tidur. Terus sakitnya yang berdenyut menggigit sampai terasa ke otak menuntut untuk dirasakan. 

Sebenarnya sudah lama saya sadar kalau ada bolong di gigi geraham kiri bawah paling depan, kadang berasa sakit juga sih kalau ada serpihan makanan yang menyelip ke lubangnya. Tapi begitu serpihannya di keluarkan sakitnya hilang. Seharusnya saya memang sudah lama ke dokter gigi buat menambal lubang itu, tapi ada 3 hal yang paling saya takuti di dunia ini:

1. Dirawat di Rumah Sakit
2. Tempat Praktek Dokter Gigi
3. Disakitin hati nya sama cowo brengsek (lagi)

Teman-teman dekat saya pada bilang, "elo berani bekpek sendirian, masuk hutan, naik gunung, terjun dari atas tebing, nyemplung ke tengah laut, tapi gak berani ke dokter gigi????"

Yagitudeh

Kali ini beda. Berjam-jam sakitnya tidak hilang, malahan semakin lama nyerinya makin dalam. Semaleman saya tahan berharap paginya sakit itu hilang. Tapi paginya malah makin sakit dan akhirnya saya gak tahan dan benar-benar membutuhkan pertolongan.

Untungnya ada Mba Alya, dokter gigi yang manis, penyabar dan penyayang. Waktu saya kuliah di Bandung, Mba Alya teman satu kos saya. Dari dulu saya udah mikir kalau suatu saat saya terpaksa harus berurusan sama dokter gigi, saya cuma mau yang bak toothfairy baik hati seperti Mba Alya. 

Sayangnya Mba Alya mengkhususkan diri buat jadi dokter gigi anak-anak, tapi di klinik gigi The SMILE Centre, Rukan Royal Palace Blok B No.37, Jl. Prof Soepomo, Tebet - tempat prakteknya ada dokter gigi untuk dewasa juga. Saya direkomendasikan ke Dokter Gigi Winny yang ternyata manis, penyabar dan baik hati juga seperti Dokter Alya.

Pas masuk lobby nya perasaan ngeri saya udah banyak berkurang karena lobby nya baguuusss dan nyaman, gak kayak lobby dokter gigi jaman saya kecil yang kaku dan mengintimidasi. Waktu baru daftar saya diberi sikat gigi gratis dan diajarin cara sikat gigi yang benar sama dokternya. Ruang prakteknya juga ga se-seram dokter-dokter gigi jaman saya kecil dulu. Yang paling penting Dokter Winny yang manis dan sabar banget.

Emang sakit banget sih, tapi ya salah saya sendiri yang baru ke dokter setelah sakitnya parah. Padahal seharusnya cek ke dokter gigi itu rutin 6 bulan sekali.  Hiks.




Minggu, 03 Mei 2015

Ikan Sebelah

"Even the misfits survives"

Kata seorang teman saya kemarin waktu saya whatsapp foto ikan yang namanya Ikan Sebelah. 

Sebut saya kurang wawasan / kurang gaul / kurang update, tapi seumur hidup baru kali kemarin itu saya lihat ikan yang matanya satu ada di kanan dan satu lagi di tengah. Letak matanya bukan di kedua sisi tubuhnya. 

Dari dulu salah satu pertanyaan besar dalam hidup saya adalah kenapa ikan matanya disamping jalannya kedepan, tapi kepiting matanya didepan jalannya kesamping. Walaupun pada akhirnya saya ambil kesimpulan (sok) analitis kalau mata ikan yang disamping dan jalannya kepiting yang menyamping itu adalah kunci survival spesies-spesies tersebut. Di tengah pencarian jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya saya sudah tahu kalau bahwa tidak semua ikan matanya disamping, banyak juga yang matanya didepan - misalnya ikan hiu, tapi saya melewatkan bahwa ada kesalahan dalam pertanyaan awal saya. 

Kesalahan saya adalah generalisasi. 

Karena mayoritas ikan-ikanan yang saya lihat setiap hari, yang kebanyakan sudah jadi lauk di piring, kedua matanya disamping maka saya men-generalisasi kalau 'semua' ikan kedua matanya disamping. Dalam kasus ikan hiu, oke, memang matanya mengarah ke depan dan posisinya gak disamping kayak ikan-ikan kecil lain tapi tetap saja ada mata kiri dan mata kanan yang simetris. 

Ketika kemarin saya lihat ikan yang posisi matanya tidak simetris, logika saya bener-bener gak menerima, seolah-olah itu bukan hal yang wajar. Anehnya hal ini bikin saya jadi bergidik ngeri kayak lihat mutan. Mungkin kayak gitu juga perasaan Charles Darwin waktu tau ada spesies ikan ini. 

Iya.

Ternyata jenis ikan kayak gini emang udah umum bahkan udah ada sejak jaman Darwin. Nama-nama nya juga gak asing dan mungkin saya juga pernah makan, diantaranya Halibut dan Flounders. Mereka masuk kedalam jenis flat fishes (ikan rata), kedua matanya ada di sisi kanan badannya, berenangnya dengan mata menghadap keatas dan badannya kearah samping. 

Pas tau gitu seketika saya marah besar sama Disney. Saya merasa tertipu dan dijerumuskan sama film Little Mermaid karena ternyata si Flounder temennya Ariel bukan Ikan Flounder! Ikan Flounder modelnya ga bulet setrip-setrip kuning dengan mata bulet didepan kayak gitu! 

Disney telah membuat saya men-generalisasi ikan Flounder jadi kayak si Flounder nya Ariel. Itu jadi sama aja kayak men-generalisasi kalau perempuan yang cakep itu yang kayak Barbie. Saya jadi merasa bersalah sama seluruh spesies flounder di dunia ini.

Awalnya waktu temen saya bilang kata 'misfits' saya ngerasa iiiihhh beneerr bangeett. 

Tapi setelah semaleman meng google tentang ikan halibut based on curiosity saya jadi berpikir ulang tentang kata misfits.

Bukannya di dunia ini emang ada macem-macem bentuk mahluk hidup ya? tapi kenapa kalau ada yang beda dengan yang kita lihat sehari-hari jadi kita sebut misfits ya? Kenapa kita ga bisa aja menerima kalau mahluk itu emang beda dari yang pernah kita lihat. 

Mungkin karena kita sebagai manusia terbiasa dicekokin sama generalisasi dan jadi beda itu dosa. 

Bahkan jalan hidup manusia post-modern kayak kita-kita ini juga path nya udah di generalisasi. Kalau ada yang merasa 'trapped in somebody else's masterplan' dan sengaja memilih untuk beda dari itu kemudian di cap misfits sama orang-orang di sekitarnya. 

Lucunya lagi kalau diamatin belakangan ini mulai muncul fenomena yang berusaha mendobrak generalisasi yang dibuat oleh generasi sebelum-sebelum kita. Mulai banyak juga sih paham yang menganggap kalau jadi rebellious dan beda itu sesuatu yang keren. Kita harus jadi diri kita sendiri. 

Tapi yakin kalau beda nya itu adalah kita yang jadi diri sendiri? Bukannya menyamakan diri sama yang beda? Kalau banyak beda yang sama jadinya sama aja bukan sih? 

Ikan halibut atau ikan sebelah gak terlahir dengan kedua mata di satu sisi tubuhnya. Waktu lahir larvanya punya mata simetris di kanan dan kiri sisi tubuhnya. Pas usia 6 bulan baru matanya yang kiri geser ke arah kanan sampai akhirnya matanya ngumpul di satu sisi dan sisi kiri tubuhnya kosong. Ikan ini banyak menghabiskan waktunya tiduran menyamping di sisi kiri dan berenang dengan sisi kiri di bawah.  

Walaupun dalam hati saya masih menggebu-gebu dengan pertanyaan: kenapaaaaa matanya harus geseeeerrr??? kenapaaaaa????? 

....dan kali ini saya kurang puas sama teori-teorian survival, tapi mulai sekarang saya akan melatih logika saya untuk selalu bisa menerima kalau ada yang beda dan itu adalah hal normal. Pasti susah banget buat gak banding-bandingin sesuatu dengan sesuatu yang lebih sering saya lihat, paling enggak saya mau coba berhenti men-generalisasi banyak hal dan melihat masing-masing hal itu secara terpisah.


Jumat, 01 Mei 2015

Hopping Pantai di Lombok Selatan

Dulu saya pikir yang namanya pantai itu sama semua, batas antara darat dan laut, ada pasirnya, ada ombaknya, ada sunrise atau sunset nya. Saya salah besar. 

Ternyata masing-masing pantai punya ciri khas nya sendiri.

Dari warna pasirnya saja ternyata beda-beda, ada yang coklat muda, putih, abu-abu, hitam, bahkan ada yang pink! Teksturnya juga beda, ada yang halus banget, ada yang agak kasar, ada yang berupa serpihan, di Lombok malahan ada pasir yang bentuknya bulet-bulet kayak merica belum digerus. 

Ada pantai yang pasirnya gak mayoritas, melainkan batu-batuan, itu pun macem-macem jenisnya - ada batu karang, batu kapur atau batu - batuan raksasa yang mulus-mulus semacam di Belitung. Begitupula dari jenis ombak. Ada pantai yang ga ada ombaknya tapi ada juga yang ombaknya tinggi banget sampai 2 meter, bahkan lebih. 

Dalam satu hari melipir pantai-pantai di Lombok Selatan, singgah di 3 pantai terkenal di sana -Tanjung Aan, Pantai Mawun dan Selong Belanak - ketiganya benar-benar beda banget. 

Tanjung Aan pasirnya berwarna beige, lautnya biru jernih, pas saya disana langitnya biru cerah, ombaknya cenderung tenang, bikin jadi pengen langsung nyebur ke laut. Tapi disini rada nyebelin karena terlalu banyak orang jualan yang maksa-maksa gitu. Disana banyak yang nawarin "payung..payung..". Trus dengan polosnya saya dan pagit ngebahas kenapa kita ditawarin payung. Kesimpulan sok tau kita adalah karena panas terik jadi banyak yang nyewain payung buat orang-orang yang takut kulitnya menghitam. Ternyata belakangan kita baru tau kalau maksudnya itu nawarin kita nyebrang ke Pantai Batu Payung. Ya begitulah kalau jalan-jalan kurang riset hehee..

Tanjung Aan
Pantai Mawun pasirnya bentuknya beda, kayak serpihan-serpihan gitu. Lokasi nya masuk agak jauh dari jalan raya. Ada kejadian lucu waktu mau di pos masuk ke pantai ini. Ternyata penjaga pos pantai ini temen lama mas koko - driver kami, jadi uang yang buat bayar retribusi dibalikin dan kami melenggang gratis masuk ke dalam kawasan pantainya.

Pantainya memang ukurannya tidak terlalu luas, tapi rapi. Ombaknya besar, mungkin juga karena pas sampai disana siang-siang waktunya air laut pasang. 

Pantai Mawun

Terakhir kami tiba di Selong Belanak. Di pantai ini banyak yang kursus surfing, bikin saya jadi tergoda buat belajar surfing. Di pantai ini jadi kami cuman duduk di pinggiran sambil nontonin yang pada belajar surfing. Memperhatikan saat pemula-pemula culun berusaha naik ke atas papan dan mempertahankan keseimbang tapi terjatuh lagi dan lagi. Setelah terhempas berkali-kali dan pada akhirnya bisa bertahan di atas papan 15 detik aja saya yang nonton jadi ikut girang terbawa suasana, padahal kenal juga kagak.

Pantai Selong Belanak
Walaupun ketiga pantai itu beda-beda dan punya karakter masing-masing tapi kesemuanya punya satu kesamaan. Yaitu : Gak Bisa Dilupakan Dengan Mudah, kayak mantan terindah yang bikin susah move on.

Selalu Ingat Kamu


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...