Rabu, 26 Juni 2013

Berburu Koala dan Kangguru

Koala dan Kangguru adalah salah dua dari ratusan spesies fauna yang hanya ada di Benua Australia. Dua hewan ini populer karena keimutan parasnya. Koala yang berbulu, chubby, berwajah lugu dan Kangguru yang manis nya melompat-lompat dengan kantong di depan tubuhnya berisi anak kangguru kecil yang lagi mengintip. Bayanginnya aja udah gemes-gemes gimana gitu.

Sudah pasti lah kalau ke Australia ga melihat dengan mata kepala sendiri dua hewan ikonik itu ya pasti gak afdol. Tapi saya gak mau cuman liat dan foto bareng di kebun binatang. Saya pengen lihat Koala dan Kangguru yang hidup bebas dihabitatnya, bukan di kandangin. Setelah mengumpulkan data-data dari hasil browsing dan dari buku panduan Lonely Planet, saya memutuskan akan memburu Koala dan Kangguru ketika saya pergi ke Great Ocean Road karena menurut berbagai sumber di sepanjang jalan itu kalau beruntung kita bisa melihat sendiri Koala dan Kangguru berkeliaran bebas. Saya harap saya lagi beruntung aja sih.

Saat itu saya belum memutuskan pakai metode apa untuk trip Great Ocean Road nya, mau ngeteng atau ikut tur. Saya baru memutuskan akan ikut tur ketika saya sudah sampai di Melbourne dan membajak leptop cipu untuk booking tur itu. Dalam itinerary nya, dalam 2 hari ke Great Ocean Road dan Grampian itu jelas-jelas ditulis termasuk melihat kehidupan satwa liar khas Australia seperti Kangguru dan Koala. Saya pun langsung memutuskan mem-booking tur itu.

Great Ocean Road itu adalah nama ruas jalan yang membentang di pinggir south-eastern coast Australia - jadi sebelah pemandangannya laut, sebelah lagi pemandangannya gunung. Ketika sedang melintas di Great Ocean Road, minivan yang digunakan untuk tur membelok ke suatu tempat mirip kebun raya gitu, banyak pohon-pohon (yang sepertinya) adalah eucalyptus. Peserta tur di turunin disitu dan dibebasin menjelajah mencari Koala-Koala.

Saat itu saya sudah punya temen, baru kenalan di dalam mobil itu, seorang cewek Irlandia yang kira-kira umurnya sepantaran saya bernama Elaine. Saya dan Elain berdua masuk ke sela-sela pohon eucalyptus sambil cari-cari Koala di atas pohon. Jadi Koala itu gak jalan-jalan, kebanyakan waktu dalam hidupnya digunakan buat tidur dan bengong. Itu untuk menghemat energi supaya bisa survive di lingkungan hidup Australia yang ganas. Konon katanya otaknya Koala itu juga kecil sekali jika dibandingkan dengan ukuran kepalanya, itu juga salah satu keuntungan fisiologis dari koala, karena otaknya kecil gak banyak energi terbuang untuk kerja otaknya. Ya jadi seumur hidupnya dia cuman ngunyah-ngunyah daun eucalyptus, bengong, tidur diatas pohon. 

Nyari nya ternyata ya gampang-gampang susah. Liat pantat nya koala aja dari bawah itu sudah merasa beruntung sekali.

Pantat Koala

Pantat Koala

Pantat Koala

Nah ini lumayan dah ada mukanya
Walaupun gak ada foto berdampingan sama Koala tapi saya puas banget bisa lihat pantat Koala yang bebas di habitatnya. Dan selama trip saya di Australia selama 2 minggu itu saya sama sekali gak masuk ke dalam kebun binatangnya, ada sih di list saya tapi bukan prioritas utama. Selain waktu nya yang sempit sekali, sayang uang buat beli tiket masuknya juga.

Selain Koala, di tempat itu juga banyak burung-burung tapi tidak ada Kangguru. Malam-malam ketika saya sedang tertidur di mobil tiba-tiba Elaine membangunkan saya, sebagian peserta ada yang sudah pada turun.

"Damon melihat Kangguru menyebrang jalan," kata Elaine. Damon adalah Tour Guide yang juga menyetir mobil tur kita.

Saya pun loncat turun mengikuti arah Damon dan beberapa peserta berjalan, berusaha memicing kan mata berharap lampu senter yang dibawa Damon cukup terang untuk mencari Kangguru di tengah gelapnya malam. Tidak lama kita semua kembali naik ke atas mobil lagi, tidak berhasil melihat Kangguru. Di atas mobil Damon pun menghibur dengan bilang kalau besok kita akan diajak lihat Kangguru yang banyak.

Malam itu kami menginap di suatu kabin kayu di tengah hutan yang berlokasi di Grampian. Acara malam itu adalah bincang-bincang di pinggir api unggun sambil bakar marshmallow dibawah langit yang bintangnya banyak banget. Seumur hidup saya baru kali itu lihat bintang sebanyak itu dan baru pertama kali makan marshmallow yang dibakar di api unggun kayak yang sering saya tonton di film-film gitu. Biasanya kalo saya sih yang dibakar di api gitu singkong, bukan marshmallow.

Waktu lagi ngobrol-ngobrol, tiba-tiba Tara - seorang cewe Inggris tiba-tiba berteriak sambil menunjuk-nunjuk. Kita semua pun menengok ke arah yang ditunjuknya, seekor kangguru melompat-lompat melewati kita disusul beberapa ekor kangguru lagi di belakangnya. Tadi kita cari-cari tu Kangguru, pas kita gak nyari mereka enak aja gitu lewat-lewat gak pake permisi.

Kalau di Indonesia tuh Kangguru lompat-lompat malem-malem pasti bakal balapan sama pocong.

Saya pernah baca, ada alasannya kenapa Kangguru di benua australia itu melompat-lompat instead of berlari. Itu karena dengan melompat, energi seorang Kangguru untuk melintasi daerah di australia yang kebanyakan dataran rendah itu lebih efisien daripada kalau dia berlari. Sekali melompatnya Kangguru itu setara dengan beberapa langkah seekor kuda. 

Sesuai janji Damon, keesokan harinya setelah mendaki gunung batu Grampian kita diajak melihat Kangguru yang banyaaaaakkkk bangeeetttt lagi merumput.

Kangguru






Jumat, 21 Juni 2013

Urusan Kamera (lagi)

Sejak pertama kali beli kamera Cyber-shot Sony ini kayaknya kamera ini gak pernah berhenti bikin sensasi, ada aja masalahnya. Dibilang masalah teknis ya gak tepat juga karena masalahnya bukan pada performa kameranya. Kalau soal performa nya sih saya seneng banget, karena warnanya cerah bikin laut jadi berwarna lebih biru, warna merah lebih terang, kulit saya lebih putih dan entah kenapa bikin saya terlihat lebih langsing juga. Dan yang paling saya suka dari kamera ini adalah karena bisa dipakai motret-motret di air, bahasa inggrisnya Water Proof.

Buat saya yang gaptek ini kamera pocket saya ini udah canggih banget, malahan saya belom sempat ngulik-ngulik semua fiturnya, yang saya pakai seringnya cuman fitur inteligent auto. Harganya juga ga mahal-mahal amat. Kalau disuruh beli SLR atau DSLR atau Mirrorless, rasanya sayang banget belinya. Jujur aja, saya tuh seneng motret-motret, seneng edit-edit foto dan meng-upload nya di instagram, tapi males ribet belajar pake kamera canggih dan males bawa-bawanya. 

Bawa sisir aja males, boro-boro bawa seperangkat alat kamera seperti beberapa temen-temen saya yang hobi fotografi yang kalau kemana-mana bawa kamera segede batok kepala saya, lensa-lensa, plus printilan-printilan apa itu saya gak ngerti. Makanya saya sadar kalau level motret-motret saya itu ya cocoknya cuman hanya sampai level kamera pocket, ga perlu ikut heboh beli kamera canggih yang kemungkinan besar saya ga akan ngerti-ngerti gimana cara pakainya.


Walaupun sudah saya uji coba buat foto-foto dalam air di kolam renang suatu hotel di Bali, tapi untuk di pakai untuk foto underwater di laut beneran baru saja saya coba di Pink Beach Pulau Komodo. Seneng banget rasanya bisa foto-foto ikan warna warni lagi berenang-berenang diantara koral yang bentuknya seperti bunga-bunga-an.

Masalah baru (lagi) muncul ketika saya pulang dari Arab bulan lalu, saya mendapati tutup baterai kamera saya itu retak. Karena saya takut retakan itu akan menjadi sumber kebocoran kalau nanti saya pakai foto underwater lagi maka saya langsung berangkat ke service center terdekat di STC Senayan. Katanya tutup kamera nya bisa diganti tapi waktu itu customer service nya belum bisa memprediksi biaya nya, jadi saya disuruh menunggu sms yang menginformasikan estimasi biaya sparepart nya itu.

Tutup baterai nya yang retak

Seminggu kemudian saya dapat SMS yang berisi estimasi biaya perbaikan kamera saya. Saya sempat menganga 10 detik, kucek-kucek mata, terus menganga lagi 10 detik. Masih tidak percaya dengan apa yang dilihat oleh mata saya, kemudian saya jeduk-jedukan kepala saya ke tembok terdekat, tapi nominal angka di sms saya itu tidak berubah. Ternyata biaya buat ganti penutup batere yang retak itu harganya setengah dari harga beli baru kamera saya.

Tapi dengan berat hati dan bersiap menanggung resiko kurang gizi karena harus berhemat di uang makan, saya putuskan untuk menyetujui perbaikan tersebut. Hari ini, beberapa jam sebelum kenaikan BBM resmi mulai pukul 00.00 nanti, saya menjemput kamera kesayangan saya itu di STC Senayan. Ternyata untuk mengganti penutup baterai yang ukurannya nya cuman sepanjang kelingking tangan saya itu yang diganti setengah casing nya. Jelas aja biayanya setengah dari harga kamera barunya. hiks! saya hanya bisa mengelus-elus kartu ATM saya.

Kamera saya yang sudah diperbaiki dan sparepart bekasnya

Jumat, 14 Juni 2013

Lorong Bawah Tanah Lawang Sewu

Di suatu sore di kota Semarang, akibat salah beli tiket saya terdampar di Tugu Muda, di hadapan bangunan tua yang sempat lama terbengkalai dan tidak diindahkan orang-orang, Lawang Sewu. Kini bangunan tua peninggalan Belanda itu menjadi populer, karena pernah dijadikan salah satu lokasi uji nyali.

Saya menyebrang jalan yang lengang sore itu dan memasuki halaman Lawang Sewu. Masuk ke dalam Lawang sewu harus bayar tiket, harus menggunakan pemandu dan bayar pemandu lagi terpisah sama biaya masuknya. Saat itu saya sendirian, pakai baju kantoran dan membawa backpack. Pemandu saya seorang mas-mas mungil berlogat Jawa yang mukanya tampak kebingungan melihat tampilan pengunjung dihadapannya.

Seperti layaknya pemandu pada umumnya, sembari menjelaskan sejarah gedung bekas kantor VOC yang (katanya) memiliki pintu dan jendela sebanyak delapan-ratus-sekian-sekian, mas pemandu itu kerap kali memaksakan memotret saya di spot wajib turis. Saya yang biasanya narsis saat itu memang lagi kurang semangat foto-foto diri sendiri, salah satu alasannya karena salah kostum.

Saya diajak ke ruangan yang katanya dulunya merupakan ballroom sampai ke pojok-pojokan bangunan dimana terletak toilet tua yang kusam. Diajaknya saya naik ke loteng bangunan yang katanya pernah jadi tempat penyiksaan sandera perang ketika bangunan tua ini diambil alih tentara Jepang dan dijadikan markas mereka. Jendela kecil di loteng itu memandang lurus ke arah Tugu Muda.

Bangunan Lawang Sewu

Pintu-pintu nya

Salah satu spot wajib turis

Wastafelnya dikirim langsung dari eropa

Ballroom

Loteng yang pernah jadi tempat tawanan perang

Tapi yang membangkitkan adrenalin saya ketika mas pemandu mengajak saya ke tempat masuk gorong-gorong air yang terletak di bawah bangunan. Fungsi gorong-gorong air ini sebenarnya untuk jalan air sekaligus mendinginkan bangunan, tapi ketika Lawang Sewu di duduki Jepang, gorong-gorong ini dirubah fungsinya secara kreatif oleh tentara Jepang menjadi tempat tawanan perang dan tempat penyiksaan.

Sayangnya mau masuk lorong ini harus bayar lagi biaya masuk tambahan, bayar sewa sepatu boot dan pemandunya. Terlanjur sudah sampai disitu ya terpaksa saya merogoh kantong demi menyusuri lorong-lorong gelap bawah tanah Lawang Sewu yang terkenal angker itu.

Pemandu yang mengantar saya di bawah tanah ganti menjadi mbak-mbak mungil yang manis, seketika membuyarkan kesan angker saya terhadap lorong gelapnya. Masalahnya kalo si mbak-mbak yang kecil mungil kayak gitu aja ga takut berkeliaran di dalem situ ya berarti gak mungkin nyeremin lah. Lorongnya memang gelap banget walaupun di dinding-dindingnya ada lampu-lampu bohlam dengan jarak yang jarang-jarang. Air setinggi mata kaki menggenangi seluruh permukaan lorong bawah tanah itu. Jadi jalannya kayak setengah berenang.

Dengan santai mba pemandunya menjelaskan mengenai tawanan perang yang ditahan di kolam-kolam beton setinggi kira-kira setengah meter dengan ukuran 2 x 2 meter-an. Diatas kolam-kolam beton itu dipasang jeruji besi, jadi tawanan perang yang di taro didalemnya harus tiarap jongkok sedemikian rupa supaya ga lebih dari tinggi kolam itu. Kolam - kolam itu tergenang air terus, kalau lagi hujan aliran air dari sungai dan dari saluran pembuangan air masuk ke dalam lorong bawah tanah itu, air di dalam kolam-kolam itu bisa penuh. 

Tawanan-tawanan itu langsung disiksa di dalam situ, kalau meninggal mayatnya tinggal dibuang ke suatu lubang di dinding lorong itu yang merupakan tempat air mengalir jatuh ke sungai yang berlokasi di belakang Lawang Sewu. Mba-mba itu menjelaskan semua itu dengan intonasi datar dan muka yang gak ada ekspresi.

"Waktu acara uji nyali itu, pesertanya duduk disini," mba pemandu itu menunjukan suatu tempat, berbentuk pipa besar yang memanjang searah lorong. "terus muncul bayang-bayang dari arah situ," dia menggerak-gerakkan senternya ke arah yang dimaksud. 

Pas lagi cerita horor itu sekilas dari ekor mata saya kog saya menangkap raut wajah si mbak nya itu kayak lagi senyum gaya suzana yang penuh misteri gitu. Tiba-tiba saya jadi merasa kayak ada angin dingin lewat di tengkuk, merinding. Jangan-jangan itu mba cemilannya melati.

Salah satu dari sedikit lobang cahaya yang bisa masuk ke lorong ini

Di dalam lorong

Mba Pemandu

Selasa, 11 Juni 2013

Jalan Sore di Kompleks Prambanan

Saya dan Chacha tiba di loket Prambanan menjelang sore, tapi matahari masih semangat memancarkan panas dari lidah apinya. Kita pun masih semangat melanjutkan perjalanan Candi hopping yang dimulai dari Borobudur, Mendut, Sambisari dimana terjadi tragedi nyaris kehilangan kamera yang menyebabkan gagal narsis di Candi Kalasan, hingga akhirnya tiba di Prambanan.

Kita memutuskan beli  tiket terusan untuk masuk ke kompleks Prambanan dan Ratu Boko. Lokasi Prambanan dan Ratu Boko sebenarnya letaknya agak jauh, jadi  harus menggunakan kendaraan lagi kesananya. Pihak pengelola Prambanan menyediakan transportasi gratis dari Prambanan ke Ratu Boko dan sebaliknya, tapi karena kita naik mobil sendiri jadi ga coba fasilitas itu.

Sama seperti di Borobudur, di pintu masuk pengunjung dibagikan kain untuk dikenakan selama dalam komplek candi. Panas terik disana benar-benar menyengat, untung saya sudah sedia payung sebelom gosong. Dalam satu kompleks yang bernama Taman Wisata Candi Prambanan itu sebenarnya ada beberapa Candi, Candi Rara Jonggrang yang kita tau sebagai Candi Prambanan nya, ada juga Candi Lumbung, Candi Bubrah dan Candi Sewu. 

Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang, sebagai main attraction dari kompleks ini terdiri dari 3 Candi gede banget, 3 candi lebih kecil yang berhadapan dengan candi yang besar dan 2 candi kecil di kiri kanan yang dinamakan Candi Apit. Candi paling besar, posisi nya di tengah, adalah Candi Siwa. Tapi waktu saya kesana Candi ini masih dalam tahap renovasi setelah gempa beberapa waktu lalu, jadi di sekeliling Candi ini masih di kasih pagar dan kalau masuk harus pakai helm konstruksi. 

Berdiri gagah di kanan dan kiri Candi Siwa adalah Candi Brahma dan Candi Wisnu. Tiga candi yang posisinya berhadapan dengan candi besar yaitu Candi Angsa, Candi Garuda dan Candi Nandi masing-masing adalah kendaraan dewa yang dihadapannya. Wisnu naik Garuda, Siwa naik Nandi dan Brahma naik Angsa. 

Candi-candi itu dibangun sebagai penanda kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya di tanah jawa setelah sekian lama berada dibawah kekuasaan Dinasti Syailendra yang di beking oleh Sriwijaya, kerajaan Melayu yang kuat dan berkuasa banget pas jaman itu. Sayangnya Raja Samaratungga - raja dari Dinasti Syailendra, melakukan kesalahan dengan menikahkan putrinya dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya. Mungkin maksud Samaratungga untuk bonding dengan rival nya itu dengan cara pernikahan, tapi Rakai Pikatan yang ambisius melihat ini sebagai kesempatan untuk merebut kembali kekuasaan dinastinya sebagai pendiri kerajaan Mataram Kuno tersebut. 

Selepas wafatnya Samaratungga tahta dilanjutkan oleh anak laki-lakinya bernama Balaputra. Tapi kemudian Balaputra di kudeta oleh Rakai Pikatan sehingga melarikan diri mencari perlindungan ke Kerajaan Sriwijaya, tempat dimana ibunya berasal. Wangsa Sanjaya pun kembali berkuasa di bawah pimpinan Rakai Pikatan yang kemudian membangun Candi Prambanan di abad ke 9 tersebut.

Prambanan

Bas relief yang ada ukiran burung kakaktua nya

Makara
Keluar dari Candi Prambanan, saya dan Chacha mengikuti petunjuk arah untuk melihat Candi-Candi lain, tujuan utama kita adalah Candi Sewu yang menurut legenda di bangun dalam waktu semalam. Di persimpangan kita memutuskan jalan ke kanan, walaupun sejenak ragu mau ke kiri karena melihat ada kereta.

Chacha pun bertanya, " Kak, itu kereta apa ya?"

Saya hanya menggelengkan kepala seraya tetap berjalan menjauhi kereta wisata warna-warni itu.

Saya dan Chacha berjalan dan terus berjalan sore hari itu, dibawah bayang-bayang rimbun pohon-pohon. Menjejakan kaki-kaki kecil kita di atas jalan aspal yang membelah taman luas di selimuti rumput hijau. Sudah jauh sekali kita berjalan tapi tidak kelihatan ada orang lain selain kita berdua. Candi Lumbung dan Candi Bubrah sudah kita lewati, tetap belum ada penampakan satu orang pun. Kita mulai khawatir tersesat.

Matahari mulai menyerah dan sinarnya pun kian meredup. Semilir angin sore mulai terasa. Candi Sewu masih belum tampak. Tiba-tiba di kejauhan kita melihat lagi kereta wisata itu, penuh sama penumpang. Ternyata pengunjung-pengunjung yang barengan sama kita di Candi Prambanan pada naik kereta itu semua, yang jalan kaki cuman saya dan Chacha doang. Kita pun pasrah menyaksikan kereta itu melintas di depan kita sambil elus-elus dengkul.

Tidak lama, sampai juga kita di Candi Sewu. Ternyata sebagian candi nya berantakan, banyak batu-batu tergeletak tak beraturan di tanah akibat gempa yang beberapa waktu lalu yang sempat bikin sebagian candi ini porak poranda. Yang saya pikirkan hanya, "ihiks, kita musti balik lagi jalan kaki lagi lewat jalan yang sama...."

Candi Sewu

 

Jumat, 07 Juni 2013

Pengalaman Jadi Tahanan Penjara di Melbourne

Waktu saya ke Old Melbourne Gaol, sebenarnya bukan pertama kalinya saya wisata ke museum model penjara gitu. Sebelumnya di Vietnam - di War Remnant Museum, ada tiruan penjara jaman perang Vietnam komplit sama alat-alat penyiksaannya. Tapi seumur-umur saya hidup baru kali ini ngerasain wisata menjadi tahanan polisi. Lumayan seru dan unik.

Gimana ceritanya bisa ada wisata roleplay  ditangkap polisi trus dimasukin ke sel penjara? Nah, saya juga baru tau ada beginian ketika membeli tiket masuk Old Melbourne Gaol. Ketika saya beli tiket seharga AUD 25 (hampir setara 250 ribu rupiah), bapak-bapak di kasirnya menjelaskan kalau tiket itu berlaku untuk 2 entry, Old Melbourne Gaol dan City Watch House Tour. Dia menyarankan saya ikut City Watch House Tour dulu karena itu ada jadwal-jadwalnya dan jadwal berikutnya tinggal kurang dari 10 menit lagi. Saya pun menuju tempat masuknya yang ditunjukin sama bapak-bapak itu.

Ketika saya sampai di depan gerbang masuk, didepan saya sudah ada antrian beberapa pengunjung, saya sendiri yang tampak asia. Ada sekeluarga suami istri dan anak laki-lakinya yang palingan baru berumur 6 tahunan. Ada seorang nenek bersama cucu perempuannya yang baru sekolah SD gitu. Ada dua orang laki-laki, keliatannya turis juga tapi dari Eropa gitu. Gak lama pintu gerbang dibuka, ada suara dari dalam yang memerintahkan kita segera masuk.

Di dalam kita disambut Pak Polisi dengan seragam lengkap. Kita dijelasin kalau kita lagi "under arrest" dan disuruh baris dan di kasih semacam formulir yang disitu udah ada namanya dan "kejahatan yang dilakukan". Masing-masing pengunjung disuruh memperkenalkan diri pakai nama di formulir itu dan membacakan "kejahatan" kita. Lucu-lucu sih, ada yang tertangkap lagi bawa mobil sambil mabuk, ada yang ketauan mencuri alat barbeque tetangganya, sedangkan "kejahatan" saya adalah membawa tanpa ijin (mencuri) mobil ibu saya. 

Terus kita dijelasin peraturan-peraturan di penjara terus di bawa ke sel masing-masing. Sel penjaranya mungkin dibikin mirip kayak asli kali yak, pengap dan ada bau-bau pesing gitu. Sempat dimatiin lampu, ceritanya udah jam tidur gitu. Trus kita disuruh keluar, dibawa ke semacam ruang serba guna, tempat para tahanan melakukan kegiatan sehari-hari. Olahraga, bermain, nonton TV, dst dst. Terus ceritanya selesai deh masa tahanan kita. Baru kita boleh bebas foto-foto. 

Ada multi media nya, ceritanya itu tahanan dalem sel lagi cerita2

Sel tahanan aku, jambannya deket banget ama tempat tidur

ini tempat buat  tahanan yang rada-rada sinting

Ini ruang serbagunanya, dan itu yang brewokan baju biru lagi ngobrol sama nenek & cucu perempuannya adalah Pak Sipir yang galak

Yang jelas disini gak ada model penjara mewah kayak penjara ibu-ibu tahanan korupsi di Indonesia - yang pake AC kayak hotel bintang 5 dan ada mesin facial pribadi.


Selasa, 04 Juni 2013

Meracau tentang Borobudur

Dari kecil saya sudah seneng banget yang namanya baca buku, tapi sejak saya mulai traveling saya jadi seneng banget baca buku sejarah. Hampir tiap bulan saya memburu buku-buku sejarah di situs online Amazon.com dan Bookdepository.com. Soalnya buku sejarah yang di tulis sejarawan asing itu seru bacanya, sangat naratif jadi kayak baca novel. Jangan bayangin model buku sejarah kayak buku teks pegangan kita jaman sekolah dulu. Saya terpaksa harus menelan kembali statement yang pernah saya buat waktu sekolah dulu kalau sejarah itu membosankan

Salah satu buku favorit saya tentang sejarah Indonesia jaman kerajaan-kerajaan dulu adalah buku nya Paul Michel Munoz yang judulnya Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Baca buku ini saya jadi paham tentang kejayaan Kerajaan Sriwijaya selama 6 abad di wilayah nusantara hingga ke semenanjung malaya. Saya juga jadi paham tentang pergantian kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Jawa jaman dulu. Itulah yang membawa saya merancang perjalanan Candi Hoping di daerah Jogja dan sekitarnya

Kalau sebelumnya saya pernah datang di candi-candi ini hanya untuk melihat susunan batu yang dipahat cantik, kali ini saya datang dengan modal sedikit ilmu pengetahuan tentang asal-usul candi yang saya baca di buku ini. Dan buat saya, setelah tau sedikit sejarah latar  belakang nya kekerenan candi - candi itu levelnya meningkat drastis jadi 736 %. Begitu pula waktu melihat figur Candi Borobudur yang megah di pagi hari diantara hembusan kabut tipis yang menghiasi Stupa nya, saya merasa level apresiasi saya terhadap Candi itu meningkat 689 %. Sama hal nya sewaktu saya mencoba merunutkan kisah Lalitasvistara yang terukir di relief panel-panel dinding Candi, level kekaguman saya meningkat 820%. 

Bukan hanya kisah kehidupan Sang Buddha yang terukir di Bas Relief Panel di Borobudur, ada juga kisah tentang seorang pemuda pedagang yang hidup di abad ke-8, bagaimana dia naik kapal dan pergi untuk mempelajari ajaran Buddha. Di panel relief yang ada gambar kapalnya itu kita jadi tahu jenis kapal yang digunakan waktu jaman itu, pakaian-pakaian yang digunakan, dan kegiatan perdagangannya, karena semua terukir secara detail.

Borobudur

Dinding Borobudur

Bas Relief yang menggambarkan situasi perdagangan dan maritim di nusantara masa itu

Model kapal Nusantara abad ke-8
Kalau ditilik dari bentuk kapal yang terpahat di situ, bisa dilihat kalau dari segi maritim Kerajaan-kerajaan jaman itu yang berada di kawasan nusantara gak kalah canggih sama bangsa-bangsa lain. Kira-kira mungkin dengan kapal model gini sekumpulan orang dari wilayah nusantara pernah pergi hingga ke pulau Madagaskar dekat Benua Afrika, jauh sebelum Columbus berlayar melewati Cape of Good Hope dan menemukan Benua Amerika. Keturunan orang-orang dari wilayah nusantara yang berlayar beberapa abad lalu itu hingga saat ini masih hidup di Madagaskar.

Borobudur ini dibangun di puncak kejayaan Agama Buddha di Nusantara, yang mengikuti kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Candi Buddha yang besar ini dibangun di wilayah Kerajaan Mataram Kuno, yang diduga kuat adalah pengikut (vassal) Kerajaan Sriwijaya, dibawah kekuasaan Dinasti Syailendra. Pendiri Kerajaan Mataram Kuno ini sebenarnya adalah Sanjaya, yang konon masih merupakan keturunan dari Ratu Shima dari kerajaan Kalingga yang - kalau dilihat dari Candi Dieng yang didirikannya, adalah beragama Hindu. 

Kemudian Syailendra datang, di back-up oleh Sriwijaya, menggulingkan kekuasaan Wangsa Sanjaya dan merubah kerajaan Mataram Kuno ini menjadi kerajaan Buddha. Tapi pas jaman itu gak serta merta rakyat nya pindah agama masal semua, sebagian masih taat menganut agama Hindu. Jadi dibangunnya Candi Borobudur itu, selain untuk jadi pusat Agama Buddha dari seluruh belahan dunia juga diharapkan bisa menarik lebih banyak penganut Hindu di daerah sekitar situ untuk pindah ke Buddha. Sementara itu Wangsa Sanjaya yang telah di kalahkan oleh Dinasti Syailendra menanti saat-saat pembalasan untuk merebut kembali wilayahnya. 

Kemudian tibalah saat yang dinanti-nanti, peluang untuk mendapatkan kembali Mataram Kuno. Wangsa Sanjaya kembali berjaya. Itu terjadi tak lama setelah Candi Borobudur selesai dibangun, tapi ceritanya akan saya lanjut di postingan berikutnya. Sekitar abad ke-9, kekuasaan Syailendra di Mataram Kuno berakhir dan Wangsa Sanjaya kembali dengan pengaruh Hindu-nya dan membangun Candi Prambanan.

Memang banyak yang bilang kalau Borobudur itu adalah sebuah kitab berbentuk bangunan, begitu banyak pesan-pesan dan ajaran Buddha yang terangkum di detail-detail candi tersebut. Kalau mau dikulik-kulik dan dibahas satu-satu, wuih bisa gak akan selesai-selesai nih postingan saya. Apalagi ternyata bukan cuman kemegahan Candi pada saat matahari terbit, kemolekan ukiran relief nya, dan perayaan Waisak tiap tahun lengkap dengan pelepasan lampion-lampion di sana aja yang bisa dibahas. Peristiwa yang terjadi dibalik pembuatan candi Borobudur juga ternyata menarik banget- ada intrik-intrik, konspirasi, perebutan kekuasaan dan pertumpahan darah. Seru gak tuh.



  

Sabtu, 01 Juni 2013

Yang kecil, Yang berpetualang

"Gw pikir lo orangnya gede ternyata kecil begini."

Itulah kalimat komplain dari orang-orang yang sering berinteraksi lewat dunia maya tapi baru pertama kali ketemu saya secara langsung. Saya juga gak ngerti apa mungkin kalau di foto saya kelihatan tinggi besar gitu kali ya? padahal kenyataannya sebenarnya tuh tinggi saya kurang 2 senti dari 1,5 meter. 

Begitu juga kalau ketemu klien urusan kerjaan yang sudah sering berkorespondensi lewat phone dan e-mail sebelumnya tapi baru pertama kali berhadapan langsung dengan saya. Kekecewaan terpancar di wajah mereka bahwa perempuan yang mereka temui tampak seperti anak kuliahan dengan kemeja, celana panjang, flatshoes dan (kadang) berponi. Sering juga saya mengganti flatshoes saya dengan high-heels supaya tampak lebih tinggi dan berwibawa, tapi itu seringkali terasa terlalu menyakitkan, khusus nya di bagian betis. 

Mungkin karena ukuran badan saya yang 'compact', kalau baru kenalan sama orang trus mereka coba-coba nebak umur saya, tidak ada satu pun yang tebakan nya menembus angka 28. Kisarannya antara 25 dan 27. Saya gak tau musti bangga atau sedih dengan hal ini, yang jelas adik saya - Chacha, suka senewen karena selalu disangka kakak saya atau sering disangka kembar padahal umur kita terpaut 3 tahun.

Mata air awet muda di Dieng, Tuk Bimo Lukar - tapi bukan karena ini saya awet muda

Nongkrong di angkringan Jogja sama Rio & Anno yang masih SD waktu saya udah kuliah
Ada seorang bapak-bapak di kantor saya dulu yang pernah bilang gini, "kamu itu, mil, kecil-kecil tapi udah jalan-jalan kemana-mana, saya yang segede gini aja belom pernah kemana-mana, paspor aja gak punya." Saya sih gak liat korelasi antara ukuran badan dan semangat jalan-jalan. Malahan enak lagi punya badan irit gini, kalo packing gak repot soalnya baju nya kecil-kecil jadi bawaannya gak berat *halah*.

Dan petualangan saya bulan Mei berlanjut. Setelah menghabiskan waktu 4 hari di Labuan Bajo demi cita-cita saya ketemu Mbah Komodo di Pulau Komodo, beberapa hari setelahnya saya langsung terbang ke Arab bersama Chacha dan Papa Said untuk menunaikan ibadah Umroh dan juga ibadah jalan-jalan di Madinah dan Mekkah.

Waktu mau berangkat

Pulau Komodo

Sementara itu jadwal business trip saya bolak-balik Jakarta-Semarang-Jepara akan masih padat dalam beberapa bulan kedepan. Belum lagi ada dua acara Undangan Pernikahan sepupu saya yang berdomisili di Manado. Jadi dalam tahun ini masih akan banyak petualangan baru yang menanti saya. Sementara itu, diantara himpitan padatnya pekerjaan saya akan mencoba untuk terus konsisten mencicil postingan perjalanan saya di Australia yang masih banyak banget belum saya tulis, masih  banyak keseruan dan tempat-tempat indah disana yang belum sempat saya share disini.

Jadi kesimpulan dari postingan ini adalah, tidak ada syarat tinggi badan minimum untuk memulai suatu petualangan dan melihat dunia.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...