Selasa, 30 Juli 2013

Lebih baik dapat Kurma daripada dapat Karma

Banyak yang bilang kalau di Tanah Suci itu musti hati-hati sama perilaku dan ucapan, gak boleh sembarangan karena niscaya cepet dapet balesan disana. Jangankan yang dilakukan disana, banyak juga kan kita denger cerita orang-orang pulang dari melaksanakan ibadah Haji yang intinya apa yang di tanam di kehidupan sehari-hari itu yang bakal dituai disana.

Percaya gak percaya tapi saya sudah buktikan sendiri.

Ceritanya musti dari awal banget, supaya ga bingung.

Saya, Chacha dan Papa Said berada dalam rombongan umroh yang berjumlah sekitar 20-an orang. Hampir setengah dari anggota rombongan itu masih saudara Papa Said. Jadi mulai di hari pertama kita kumpul bareng-bareng sekeluarga itu. Tapi ada satu peserta yang ikut umroh sendiri, bapak-bapak dari daerah Jawa yang bahasa Indonesia nya kurang lancar.

Dari pertama muncul bapak itu mengenakan handuk kecil warna pink dilingkarkan di lehernya. Mulai berangkat dari Jakarta hingga tiba di Madinah. Ketika pembagian kamar hotel, bapak itu dapat satu kamar dengan salah satu famili Papa Said, sejak itu kemana-mana bapak itu ikut sama kita-kita. Hari kedua, bapak itu masih konsisten dengan handuk pink nya di leher. Kemudian salah satu om saya berinisiatif memberinya selendang kotak-kotak yang suka dipake orang arab itu, katanya untuk menggantikan handuk pink nya yang belel itu. "Mulai besok jangan pakai-pakai handuk lagi, dosa," kata om saya itu. Kita semua yang denger pun ketawa.

Dari Madinah kita menuju ke Mekkah. Di Mekkah sekeluarga Papa Said dapat semacam paviliun yang berisi 4 kamar. Plus bapak dari Jawa itu - yang kini sudah diganti namanya jadi Abdullah dan dikasih marga Al-Katiri sama om saya, ikut di dalam paviliun itu. Letak paviliun itu di lantai paling atas hotel yang kita tempati dan sepertinya punya manajemen terpisah dengan hotelnya walaupun berada di satu gedung. Kita tiba di Mekkah hampir tengah malam, saat itu di dalam kamar kita tidak ada handuk. Karena sudah malam, hotelnya menjanjikan akan mengantar handuk keesokan harinya.

Esok harinya ditunggu, handuk tidak datang-datang. Celakanya karena menganggap tinggal di hotel jadi kita gak bawa handuk dari rumah. Pihak penyelenggara travel pun ikut repot memintakan kita handuk ke hotel, tapi hari itu tetap tidak ada handuk yang datang. Begitu pula keesokan harinya. Saya terpaksa mengeringkan badan dengan kaos. hiks. 
 
Hingga di malam hari, di hari kedua itu Chacha menyadari jangan-jangan kita gak dapet handuk gara-gara di madinah kita ngetawain bapak itu pake handuk pink kemana-mana.

Tiba-tiba ada suara pintu di ketuk. Handuk pun datang.
 
Sehari sebelum pulang, ketika kita lagi di Gua Hira, Papa Said ngobrol-ngobrol sama bapak itu yang menggunakan bahasa Indonesia sepotong-potong dicampur bahasa Jawa. Ternyata di kampungnya, bapak itu termasuk salah satu orang yang berpengaruh, semacam tetua kampung gitu. Bapak itu juga ternyata seorang juragan yang punya lahan kebun luas banget. Saat itu juga kita denger dia telepon ke anaknya di kampung untuk menyiapkan acara penyambutan kepulangannya pake acara potong sapi segala. 

Walopun sekarang kalo diinget-inget, saya dan Chacha malah jadi ketawa ngakak gara-gara pengalaman itu, ya tetep aja gak enak dapet karma kayak gitu. Meningan juga dapet kurma. 

Kebon Kurma

Kurma belom mateng di pohon

Toko kurma boleh cobanin all you can eat

Jajan Kurma

Kamis, 18 Juli 2013

Perjalanan menuju Gua Hira

Amazing banget akhirnya saya bisa sampai dan melihat dengan mata kepala sendiri yang namanya Gua Hira. Disinilah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW. Kisah yang penting banget bagi sejarah Islam ini sudah saya dengar berkali-kali sejak kecil, akhirnya bisa melihat sendiri dengan langsung lokasi kejadiannya.

Bentuk gua nya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, lebih mirip batu-batu-an besar yang saling bertumpukan membentuk celah kecil di bawahnya. Letaknya juga tersembunyi di balik bukit, Jabal Nur. Kita harus mendaki bukit tersebut sampai puncak, kemudian turun lagi, masuk ke dalam celah sempit, baru tiba di Gua Hira. 

Sebenarnya berkunjung ke Gua Hira tidak ada dalam itinerary dari travel penyelenggara umroh kita. Namun salah satu anggota rombongan yang juga masih kerabat Papa Said bilang rugi banget kalau sudah sampai di Makkah gak lihat Gua Hira. Papa Said yang kaki gatel (bener kan turunan) langsung meng-iya-kan ajakan itu. Beliau sudah sering bolak-balik Arab dan sudah beberapa kali mengantar orang ke tempat itu, sebelumnya sudah diperingatkan kalau jalan menuju kesana berat banget tapi capeknya langsung hilang begitu sampai di Gua nya. 

Di suatu sore yang agak senggang di Makkah, saya, Chacha, Papa Said dan 5 lagi anggota rombongan umroh yang semua masih kerabat Papa Said berangkat naik taksi menuju Jabal Nur. Mendekati kaki bukit jalanan sudah mulai menanjak tajam tapi masih bisa di lewati taksi itu. Hingga di tempat yang tanjakannya super curam taksi yang mobilnya semacam Innova berisi penumpang 9 orang (termasuk sopir) sudah tidak mampu mendaki jalanan beraspal itu. Kami pun turun, sebelumnya janjian sama supir taksi untuk menjemput kita di tempat itu setelah Magrib. 

Tanjakan curam bukan kepalang itu gak nanggung-nanggung derajat kemiringannya. Memang sih palingan cuman 100 meter-an gitu tapi rasanya bener-bener pengen nerusin nanjaknya dengan merayap di aspal. Sampai di kaki bukit Jabal Nur, kita disambut rangkaian tangga berkelok-kelok hingga ke puncak. Tinggi nyaaaah, ampun. Saya hanya berharap semoga latihan fisik - jogging 5 km tiap minggu, yang telah saya lakukan beberapa bulan belakangan akan membantu saya disini.

Papa Said menyerah di sepertiga jalan mendaki tangga dan mempersilahkan yang muda-muda jalan duluan. Sementara di sepanjang jalan saya temui banyak orang yang kepayahan tapi tetap berusaha mengatur nafasnya dan menjejakkan kaki di anak-anak tangga batu yang kejam itu walaupun dengan betis yang keram dan kaku. Untungnya waktu itu sudah sore hari dan tidak terlalu panas, jadi saya masih bisa bertahan sambil sesekali memberi semangat kepada anggota rombongan lain. Dan untungnya lagi saya kesini pas udah dibikin tangga-tangga, sebelumnya tidak ada tangganya, jadi kalau mau naik harus memilih jalan sendiri di atas batu-batuan tajam, curam dan kering.

Kalau buat saya, mendaki banyak tangga model begini itu sebenarnya mirip sama kayak lari, yang penting gimana menjaga kecepatan konstan dan napas nya juga diusahakan konstan. Kadang karena terlalu konsentrasi mengatur kecepatan saya sadar kalau jarak saya sudah terlalu jauh sama rombongan yang masih terengah-engah nun jauh di bawah sana. Saat-saat itu dimana saya memutuskan duduk beristirahat, menunggu yang lain sambil menikmati pemandangan spektakuler dari atas bukit.

Pemandangan dari atas bukit

Sempat lihat sunset

Sunset nya cerah banget
Monyet menikmati sunset sambil minum softdrink

Sempet ada kejadian lucu di puncak bukit. Sunsetnya bagus banget, jadi saya dan Chacha yang sampai duluan foto-foto dulu sambil nunggu rombongan lain yang masih dibawah. Terus kita minta tolong difotoin sama Om-om India yang datang sama istrinya. Om India lagi bawa minuman softdrink gitu. Pas mau fotoin kita minumannya di taro diatas batu. Terus ada monyet dateng dengan muka polos gak berdosa, mengambil botol minuman yang terletak di atas batu itu, duduk dengan santai, kemudian membuka tutup botol dan menenggak isinya. Sementara Om India masih sibuk sama kamera buat motret kita ga nyadar minumannya udah diserobot monyet, kita pun hanya bisa speechless sambil nunjuk-nunjuk ke arah belakang si Om.

Sebenernya ketika kita sudah hampir sampai di puncak bukit, ada beberapa orang yang memperingatkan supaya menjaga barang bawaan kita soalnya ada monyet-monyet di atas. Saya langsung ngantongin kamera saya. Tapi karena pas kita sampai di puncak itu gak ngeliat ada monyet jadi bebas deh foto-foto. Setelah insiden monyet yang nyerobot minuman om-om India itu, baru deh banyak keluar monyet-monyet lain entah dari mana. Malahan salah satu dari kawanan monyet itu ada yang nyamber plastik isi makanan ringan yang dibawa sama istri Om India. Apes bener pasutri itu.

Sudah sampai di paling atas, kita harus turun lagi untuk ke Gua Hira nya. Dari atas sih sudah terlihat Gua nya. Tapi jalan masuk nya donk, ngeri. Kalau tidak ada tandanya pasti banyak orang bakal kelewat pintu masuknya. Itu cuman berupa celah sempit diantara tumpukan batu-batu yang kalau lewat musti dengan posisi ajaib jalan miring sambil nunduk-nunduk. Baru kemudian ada semacam ruang terbuka, mirip teras gitu di hadapan Gua Hira. 

Gua nya sendiri ukurannya kecil sekali. Saya lihat ada orang Sholat itu pas banget seukuran badannya. Dan katanya itu menghadap langsung ke Ka'Bah. Tapi saya tidak sempat masuk karena antrian nya panjang. Setelah foto-foto, saya dan Chacha balik duluan, nyusulin Papa Said yang ternyata lagi leyeh-leyeh di warung. Gak lama kita sampai di warung itu, Magrib dan kita sholat di situ. Warung nya keren banget, ke tidak matching-an perabotan di dalemnya justru semakin membuat ke eksotisan Timur Tengah nya berasa banget.

Gua Hira

Jalan masuknya

Di dalam warung

Pemandangan dari dalam warung

Arabian Night

Minggu, 14 Juli 2013

Minum Susu Unta

Dalam bus yang membawa rombongan umroh saya dari Jeddah menuju Madinah, melalui jendela yang saya lihat kanan kiri hanya pasir, batu-batu dan bukit-bukit batuan. Tidak ada pohon-pohon rindang, tidak ada pegunungan yang tampak hijau dari kejauhan, tidak ada aliran sungai yang sesekali membelah jalan raya di bawah jembatan. Hanya batu dan pasir. Dan serpihan debu-debu pasir yang terangkat oleh angin, berterbangan di atas permukaan aspal yang mulus. Ada sih jumputan-jumputan semak yang tersebar jarang-jarang di atas permukaan pasir, tapi itu tidak membantu mengurangi kesan tandus dan kering.

Di bawah langit yang biru cerah tanpa awan segalanya tampak stagnan, kosong dan luas. Di tengah-tengah hamparan pasir itu tampak sekumpulan hewan bergerak-gerak. Unta. Asli. Komplit sama punuk-punuknya. 

Ternyata nasib baik, saya tidak hanya bisa melihat Unta-unta itu dari dalam jendela bus saja. Di suatu hari ketika lagi di Madinah, rombongan diajak jalan-jalan ke peternakan Unta. Konon katanya Unta itu adalah hewan yang paling penurut dan jinak. Bahkan saat Hari Raya Kurban, unta yang jadi kurban akan dengan pasrah menyerahkan dirinya untuk disembelih tanpa ada acara berontak-berontak. 

Tapi hal itu gak terjadi ketika saya mau berusaha berfoto sama anak unta yang lagi sama ibunya. Si anak unta itu kabur-kabur waktu saya ajak foto bareng. Saya kejar, eh dia malah ngumpetin muka di balik ibunya. Kayaknya unta abg kelakuannya sama kayak manusia abg yang ogah di foto, soalnya adek saya yang abg suka susah gitu kalo mau diajak potoan. 

Kandang Unta

Unta Cantik yang Putih

Ngejar anak unta

Tetep gak mau di foto

masih banyak lagi untanya

Ruang tamu nya suku Bedouin
Suku yang beternak unta ini namanya suku Bedouin, sebenarnya jaman dulunya mereka hidup nomaden, sekarang sepertinya sudah berkurang ke-nomadisannya. Tapi mereka tetap tinggal di dalam tenda yang gak permanen gitu. Walaupun begitu mereka kelihatannya sudah mengembangkan konsep living room pake sofa dan tea table, tapi tetep di outdoor. 

Kita bisa mencoba susu unta fresh yang baru di peras, di masukan ke dalam botol bekas air mineral kecil, seharga 5 real. Rasanya lebih "rich" dari susu sapi, lebih kental dan lebih gurih. Enak. Coba waktu kecil saya sering dikasih susu unta begini, pasti gedenya tinggi kayak unta yak.

Rabu, 10 Juli 2013

Mendadak Umroh

Kadang sampai sekarang kalau lihat-lihat foto saya di depan Ka'bah, saya masih berasa itu mimpi. Soalnya perjalanan umroh saya ini bukan perjalanan yang direncanakan setahun sebelumnya atau bahkan hitungan bulan. Hanya hitungan waktu 2 minggu Papa Said memutuskan untuk mendaftar perjalanan Umroh, ikut dengan travel tempat salah satu om saya bekerja.

Waktu itu paspor saya dan Chacha yang expire bulan Oktober 2013 sudah tidak bisa digunakan untuk perjalanan luar negeri lagi karena sudah lewat batas waktu 6 bulan sebelum waktu kadaluarsa paspor. Dibantu sama travel penyelenggara umrohnya, kita berdua dibantu memperpanjang paspor express, sehari jadi. Kemudian langsung digunakan mengurus visa umroh.

Visa belum di dapat, tapi kita sudah di suruh suntik Meningitis - vaksinasi untuk menambah daya tahan terhadap virus yang menyerang otak. Harusnya kita sudah harus di vaksinasi 2 minggu menjelang keberangkatan, tapi waktu itu karena mendadak ya kita disuntik kurang dari 2 minggu menjelang keberangkatan.

Soal keberangkatan pun masih galau, karena kita belum punya tiket. Sementara itu saya juga sedang siap-siap untuk trip ke Pulau Komodo yang tiket JKT-DPS pulang-pergi-nya sudah ditangan sejak beberapa bulan sebelumnya. Kalau dari jadwal travel nya, saya berangkat ke Arab hanya beda waktu 2 hari dari kepulangan saya dari Pulau Komodo. Jadi bener-bener saya tidak ada persiapan apa-apa berangkat umrohnya. Buku panduan umrohnya aja baru say abaca sepulang saya dari Pulau Komodo, jadi masih pakai sistem kebut semalem a la anak SMP yang mau ulangan umum.

Ketika saya sedang di Pulau Komodo, Visa Umroh dari kedutaan Saudi Arabia sudah menempel manis di paspor, tapi kita bertiga - Saya, Chacha, dan Papa Said masih belum punya tiket. Katanya karena saat kita mau pergi itu waktu yang ramai buat orang-orang pergi umroh jadi susah dapat tiketnya. Sehari sebelum berangkat, malam-malam ketika dijalan pulang kerumah dari kantor, saya dan Chacha baru dikabari bahwa tiket sudah didapat dan kita berangkat umroh keesokan harinya.

Malam itu pun kita packing.

Pagi hari nya saya dan Chacha masih ke kantor, membereskan beberapa urusan di kantor. Oh iya, kalau belum pernah saya mention sebelumnya, saya dan Chacha - adik saya, bekerja di satu kantor. Waktu itu kebetulan ada Pagitta juga lagi "magang" di kantor kita. Jadi saya sangat bersyukur, disaat harus meninggalkan kantor dalam jangka waktu lama ada Neng Pagit yang bersedia menggantikan saya. Hatur nuhun ya, Neng Pagit.

Kita berangkat ke Bandara Soekarno Hatta pakai batik seragam (dan saya tetap dengan tas bekpek), dari kantor. Menjelang malam hari baru kita bertolak dari Jakarta menuju Dubai untuk transit, menggunakan pesawat Emirates. Pagi hari kita tiba di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Langsung naik bus menuju Madinah.

Bandara King Abdul Aziz

Masjid Nabawi, Madinah

Orang-orang bilang kalau ke Tanah Suci itu adalah orang yang dapat "panggilan", tapi saya ga pernah menyangka kalau panggilan buat saya model instant begini. Mungkin ini sentilan, karena saya udah kemana-mana dan masih punya mimpi ke Eropa tapi belum pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Makanya jadi langsung deh saya diseret buat melapor ke markas besar Nya dulu, sebelum lanjut kemana-mana lagi.

Tapi selama disana itu berkesan banget, bisa melihat sendiri yang selama ini cuman saya baca di buku-buku, yang dijelasin dari kecil pas pelajaran agama, yang saya lihat di tivi setiap tayangan langsung Sholat Ied. Saya bahkan sempat pergi ke Goa Hira, tempat Nabi Muhammad SAW pertama kali menerima wahyu, itu saya bener-bener takjub sampai merinding. Begitu pula ketika dari atas Masjidil Haram saya melihat arus manusia berputar mengelilingi Ka'bah, itu juga tiba-tiba saya merasa takjub banget sampai-sampai gak berasa udah mengeluarkan air mata terharu. Pesona dan kemegahannya membuat saya terpukau. Baru kali itu saya spechless dan hanya kepikiran satu kata buat mendeskripsikan semua itu. Subhanallah.

Masjidil Haram. Lagi ada renovasi perluasan Masjid jadi ada crane2 dibelakangnya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...