Selasa, 31 Desember 2013

To The Light House

Beberapa hari lalu saya baru baca buku klasik karangan virginia woolf, judulnya To The Lighthouse yang menceritakan tentang sebuah keluarga, seorang perempuan pelukis dan seorang penjaga menara mercu suar (light house). 
Anak lelaki di keluarga itu ingin sekali ke menara mercusuar yang terletak di suatu pulau tidak jauh dari pantai tempat rumahnya berada, tapi ayahnya melarang karena yakin keesokan hari cuaca tidak bagus untuk melaut. Keinginan berkunjung ke mercusuar tertunda karena pecah perang dunia. Beberapa tahun kemudian, setelah anak lelaki itu dewasa, setelah perang dunia berakhir, setelah ibu mereka meninggal dunia tiba-tiba dalam tidurnya, sekeluarga mereka mengunjungi mercusuar itu. 

Saya jadi ingat perjalanan saya menuju menara mercusuar di Belitung yang terletak di Pulau Lengkuas. 

Waktu itu bulan november. Sedari pagi rombongan sudah tiba di dermaga untuk island hoping dan snorkeling, menunggu. Hujan deras disertai angin kencang menyerbu pulau kecil ini tanpa ampun. Awan hitam tebal yang berarak di atas langit nyaris memupuskan harapan kita untuk menjelajah laut.

Saya sudah menghabiskan sepiring indomie rebus ketika hujan mulai reda. Kami langsung diarak oleh pemandu menuju ke perahu kayu yang disewa untuk island hopping. Dua perahu untuk satu rombongan kita. Masing-masing membawa pelampung & peralatan snorkeling, kemudian melompat masuk ke dalam perahu. 

Seharian hujan hampir tidak berhenti, tapi sudah tidak deras seperti pagi hari nya. Di spot snorkeling pertama saya menceburkan diri ke laut tidak pakai tes arus dulu sebelumnya, ternyata saya langsung terbawa arus menjauh dari perahu. Setengah mati saya berusaha berenang melawan arus mendekati perahu lagi, yang ada langsung ngos-ngosan. Waktu ke Belitung itu saya lagi ada di puncak berat badan paling tinggi dalam hidup saya, lagi gendut-gendutnya. 

Karena arusnya terlalu kuat untuk snorkeling dan ga ada ikan yang bisa dilihat maka diputuskan mencari spot snorkeling di lain tempat. Kawan-kawan yang lain langsung kembali melompat ke laut di spot yang baru, sementara saya yang gendut dan pemalas memilih untuk duduk dan menonton sambil ngobrol sama Bapak yang punya perahu. 

Bapak yang punya perahu, usianya mungkin sekitar 50-an tahun. Sebenarnya profesi si bapak adalah nelayan. Tidak jauh dari Belitung ada penangkaran ikan kerapu, kalau lagi panen si bapak akan menangkap kerapu dan menjualnya di pasar ikan di Bangka. Ikan Kerapu harganya tinggi. Kalau tidak ada kerapu, ikan apa saja boleh. 

Setelah film Laskar Pelangi yang mengkomersilkan pulau belitung, si bapak jadi sering menyewakan perahunya untuk membawa turis. 

“anak saya sekarang juga di Jakarta,” kisahnya dengan penuh rasa bangga menceritakan tentang anak perempuannya yang jadi seorang perawat di RS Fatmawati, “kapan kalau sempat datang saja ke sana, ketemu anak saya.”

Sepertinya bagi seorang bapak yang profesinya nelayan di suatu pulau kecil, anaknya bisa kerja di kota Jakarta - kota impian, adalah suatu kesuksesan baginya. Dari jerih payahnya berjuang di lautan, beliau berhasil membiayai sekolah anaknya hingga bisa dapat kesempatan memperbaiki hidup di kota, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari yang ada di desanya, mendapat uang lebih banyak, mengirimkan sebagian ke rumah, sehingga menaikan standard hidup keluarganya juga. 

Kalau dulu waktu saya kecil ada film Kabayan, tentang seorang pemuda desa lugu, baik hati, lucu yang punya pacar namanya Nyi Iteung. Kabayan hidup sederhana, tapi santai dan ceria terus.  

Jaman sudah berubah.

Sekarang yang lagi tren kisah-kisah tentang pemuda desa yang berhasil keluar dari desanya, sukses di ibukota hingga sampai ke luar negeri. Kisah ini laris jadi novel sampai dibikin filmnya ke bioskop. Inspirasional. Bukan hanya menularkan semangat untuk maju tapi juga memperkenalkan yang namanya ambisi. 

Menurut saya ambisi adalah sesuatu yang berbahaya, kalau tidak bisa mengendalikannya, ambisi yang akan mengendalikan kita dan dengan semena-mena menjajah hidup kita. Kehidupan di kota besar yang membuat manusia terpapar terus-terusan sama persaingan yang keras membuat ambisi dalam diri tumbuh subur. Kita harus lebih baik dari orang lain kalau ingin memenangkan persaingan hidup di ibukota - survival of the fittest. 

Kemudian kita terus memelihara ambisi dan memupuknya dengan nafsu sehingga tumbuh besar. Ambisi untuk mendapat gaji yang lebih besar. Ambisi untuk naik jabatan. Ambisi untuk punya rumah. Setelah punya rumah, ambisi meminta rumah yang lebih besar lagi. Setelah punya rumah lebih besar, ambisi tidak juga puas, minta ganti rumah yang lebih besar yang terletak di kota. Begitu juga dengan mobil, ambisi akan pretisius, luxury dan gengsi yang ditarget oleh jenis mobil mewah, bukan soal fungsi lagi. 

Sementara saya yang terlalu pemalas, hingga saat ini ambisi dalam diri saya layu, kering dan kurang gizi. Dalam persaingan survival of the fittest ini saya lebih suka jadi ubur-ubur, jenis hewan yang strukturnya sangat sederhana sampai-sampai di anatomi tubuhnya ga ada otak. Gerakannya juga ya gitu-gitu aja, ngambang-ngambang nyantai. Tapi ubur-ubur ini salah satu spesies tertua yang berhasil hidup di bumi ribuan tahun gak pakai ber-evolusi drastis atau punah. 

Saya malahan lebih senang jadi penonton dan mengamati - apakah warga kota besar yang ambisius itu bahagia ?

Saya melihat bapak nelayan di sebelah saya, apakah putri si bapak ini sekarang bahagia karena berhasil membuat bangga bapaknya dengan bekerja di ibukota dan mengirim sebagian penghasilannya untuk membantu ekonomi keluarganya?

Apakah si Bapak Nelayan ini bahagia?

“Lebih enak jaman Suharto,” lagi-lagi saya mendengar keluhan seperti ini dari orang-orang yang tinggal jauh dari kota besar yang semakin merasa hidupnya tidak diperhatikan di era reformasi, “sekarang harga solar naik terus. Kalau cuma dari ikan, kadang tidak balik modal. Bagus lah sekarang mulai banyak turis.”

“Sejak film itu ya, Pak?” tanya saya.

“Sebelum film itu ada sedikit, sekarang semakin banyak (turis),” kata si bapak terkekeh sembari menghisap Dji Sam Soe nya dalam-dalam. 

Mungkin turisme seperti ini ga jelek-jelek amat seperti yang banyak dikecam oleh para pecinta lingkungan. Mungkin ini bisa jadi salah satu cara untuk membuat uang tersebar merata hingga ke pelosok negeri. Asalkan si hantu ambisi gak ikut-ikutan, mungkin bisa tercipta suatu keseimbangan yang harmonis. Masalahnya, kemana si uang pergi, hantu ambisi selalu ikut sih. Dan biasanya dimana ambisi menampakan diri dan tumbuh subur disitulah kekacauan mulai terjadi.

Di kasus Kabayan, hantu ambisi muncul di sosok ibunya Nyi Iteung, si Ambu. Walaupun Nyi Iteung menerima Kabayan apa adanya dengan segala kesederhanaannya, tapi Ambu tidak setuju karena berambisi mau punya menantu kaya, tidak miskin seperti Kabayan.

“Kalo nak ini asli jakarta?” tanya si bapak.

“Saya sih dari bayi sampai besar di jakarta, Pak.”

“Jakarta nya di sebelah mana?”

“Rumah saya sih di perbatasan Jakarta- Bekasi.”

“Dekat sama Fatmawati?”

Saya tertawa sembari mengira-ngira jarak, “ya..... lumayan jauhlah, pak.”

“Kalau aslinya dari mana? Asli Jakarta?”

Pertanyaan yang paling sulit dijawab karena saya sendiri sebenarnya krisis identitas suku, bahkan krisis identitas ras juga.

“Campur-campur, pak,” saya pun menjawab sekenanya.

“Campur-campur bagaimana?” tanya si bapak masih penasaran.

Akhirnya saya mencoba se simpel mungkin, “ ibu saya dari sunda, ayah saya dari sulawesi.” 

Si Bapak langsung berbinar sambil menunjuk ke suatu arah, “disebelah sana itu banyak orang Bugis, disana ada kampung bugis.”

Saya pun tertawa, “Sulawesi utara, pak. Bukan sulawesi selatan.”

“Ooooh..” Si bapak menghisap rokoknya untuk terakhir kali sebelum membuang nya ke laut. 

Di kejauhan menara mercusuar terlihat menjulang di tengah pulau kecil di tengah lautan, kesanalah tujuan kita selanjutnya. Sebagian kawan-kawan saya memutuskan untuk berenang hingga sampai ke Pulau Lengkuas itu, sementara saya yang pemalas lebih memilih untuk menumpang perahu kayu ini sampai ke pinggir pantai sembari menonton pelampung-pelampung oranye mengambang di atas permukaan laut berlomba-lomba menuju pantai. 

“Kalau sempat nanti harus ke Pulau Burung, disitu bagus,” seru si bapak bersemangat dari ujung geladak, sementara saya duduk di atas atap perahu, menyaksikan menara mercusuar yang semakin lama semakin besar dan tinggi di hadapan saya. 

Saya tidak punya ekspektansi apa-apa terhadap perjalanan ini, ke pulau mana pun buat saya ga jadi masalah, saya tetap menikmatinya. Walaupun akhirnya kita tidak sempat pergi ke pulau burung karena sudah kesorean, saya tidak kecewa. Si bapak malahan yang kelihatan kurang puas karena tidak bisa menunjukan pulau burung yang dianggapnya sangat bagus dan memang merupakan salah satu ikon pulau belitung.

Hingga saat ini pun saya masih perempuan yang sama (dengan berat badan yang sudah berkurang beberapa kilogram) yang duduk di kapal itu lebih dari 2 tahun yang lalu, terlalu malas untuk punya ambisi, terlalu malas untuk punya ekspektansi -  Apakah saya bahagia?

Bersama si Bapak Nelayan

Note: postingan ini ditulis dalam keadaan sakit gigi

Selasa, 24 Desember 2013

Waruga; Peninggalan Megalitikum Austronesia

Belanda datang ke Sulawesi Utara di abad ke-17, bertemu dengan suku asli disana yang masih hidup di jaman yang kurang lebih sama seperti waktu suku itu pertama datang ke Sulawesi; 3 - 4 abad sebelum masehi. Sementara di abad ke-17 Eropa sudah ada di gerbang era Industrialisasi. Ada perbedaan jaman sekitar 20 abad. 

Pada waktu first encounter dengan Belanda itu, suku asli disana adalah orang austronesia yang hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka berburu dan memakan apa saja hewan yang mereka tangkap - Babi hutan, tikus, kelelawar, anjing. Tapi mereka sudah tidak tinggal di goa, keahlian mereka sudah lumayan advance jadi sudah bisa bikin tempat tinggal permanen, sudah pakai pakaian, punya kepercayaan, kegiatan religius, tari-tarian dan seni. 

Suku asli yang berasal dari ras austronesia itu yang kini disebut dengan suku minahasa. Austronesia sendiri saat ini merupakan ras terbanyak yang tinggal di Indonesia. Sedangkan sebagian lagi adalah Melanesian, seperti orang maluku, papua, nusa tenggara.

Ratusan ribu tahun migrasi pre-historic human hidup nya di jalan, ya kalau dari hasil kesimpulan analisa saya yang sering ngawur sih sebenarnya hampir mirip sama kehidupan ibukota sekarang sih. Manusia Pre-historic dan Manusia Urban Modern sama-sama menghabiskan banyak waktu di jalanan demi untuk tetap hidup. Bedanya jaman pre historic mereka menghabiskan waktu di jalan untuk berburu dan mengumpulkan makanan, kalau jaman sekarang kita menghabiskan waktu di jalan menuju kantor, kerja, dapat uang, beli makanan. 

Austronesia datang ke wilayah Indonesia pada arus migrasi kedua, ribuan tahun setelah arus migrasi pertama yang membawa Melanesian ke wilayah Indonesia. Pada saat itu migrasi manusia masih terjadi tapi sebagian kelompok mulai memutuskan untuk berhenti berkelana dan memilih menetap bersama tanaman dan hewan ternak yang dirawatnya untuk dimakan. Sebagian masih hidup dengan cara hunting & gathering atau gabungan dari kedua gaya hidup itu. 

Dari China ada sekelompok orang yang tinggal dekat laut, punya kemampuan mengarungi lautan dengan perahu - bisa disebut nelayan jaman pre-historic, bermigrasi ke Taiwan, membentuk satu ras bernama Austronesia. Dari Taiwan mulai migrasi besar-besaran Austronesia ke Philippine hingga menyebrang lagi  ke Sulawesi, Kalimantan, Jawa. 

Sebelum kedatangan Belanda, Austronesia yang migrasi dari pilipina itu hidup damai di pedalaman Sulawesi, tidak tersentuh budaya luar yang terus berkembang. Tidak seperti Jawa dan Sumatera, daerah ini terisolasi, tidak terjangkau arus perdagangan jalur sutra dan tidak terekspos dengan kebudayaan India yang mulai mempengaruhi kebudayaan di Sumatera dan Jawa sejak sekitar awal masehi. 

Kepercayaan jaman batu untuk mengubur orang meninggal dalam batu yang disebut Waruga masih dilakukan oleh masyarakat hingga abad 17 itu. Waruga berbentuk batu kotak dengan atap diatasnya, mirip bentuk rumah dengan ukiran-ukiran artistik menghiasinya. Ukiran jumlah manusia yang ada di luar kubur batunya katanya menandakan jumlah orang yang dikubur didalamnya. Ukiran kubur batu juga menandakan profesi orang yang dikubur didalamnya.







Sampai ketika muncul wabah kolera dan tipus, Belanda melarang suku minahasa mengubur di dalam batu karena dianggap jenasah dalam batu itu yang menyebarkan wabah. Padahal penyebaran virus penyakit seperti itu yang membahayakan penduduk lokal di jaman itu biasanya karena dibawa oleh bangsa Eropa. Saya jadi inget buku Gun, Germs and Steel - tiga hal yang membuat Eropa jadi bangsa yang maju dan menghancurkan bangsa-bangsa lain pada jaman itu.

Yang sudah terlanjur dikubur di dalam Waruga juga tulang belulangnya di pindahkan dan dikubur di dalam tanah, jadi Waruga yang saya kunjungi di daerah Airmadidi waktu itu kosong. Belanda juga datang dengan misionaris yang merubah kepercayaan menjadi Kristen, sehingga orang mati kemudian dikubur dalam peti di bawah tanah mengikuti kepercayaan Kristiani.

Kompleks kuburan Megalitikum ini lumayan terawat, tapi sepi seperti….. ya, kuburan. Letaknya menyempil di antara perumahan penduduk yang padat. Sebenarnya tidak jauh dari pusat kota Manado, hanya sekitar setengah jam tapi tidak ada penunjuk dari jalan besar menuju lokasi ini. Bahkan di lokasi nya sendiri sangat minim penjelasan tentang Waruga itu sendiri.

Berbeda dengan kubur batu nya suku Toraja yang juga ada di pedalaman Sulawesi yang hingga sekarang masih ramai dikunjungi karena suku nya sendiri masih menjalani tradisi nenek moyangnya. Jadi tidak hanya kubur batu nya, tapi budaya dan way of life suatu kelompok orang yang berbeda yang membuat orang tertarik - eksotis, katanya. Sementara peninggalan megalitikum Waruga ini hanya merupakan puing dari suku yang kehidupannya sudah move on, yang lagi menunggu untuk diakui eksistensinya oleh Unesco sebagai warisan budaya dunia.  



Tidak hanya dalam hal agama dan mengubur orang meninggal, kedatangan Belanda saat itu membuat kehidupan suku asli berubah, kebudayaan dan gaya hidup mereka serta merta menyesuaikan diri dengan gaya hidup manusia modern Eropa, meloncat 20 abad. Bahkan di pesta pernikahan Minahasa pengantin menggunakan gaun dress putih seperti budaya eropa dan pria nya menggunakan tuxedo, sekarang hal itu dianggap kebudayaan masyarakat sana. Belanda juga mempengaruhi dari segi bahasa dan makanan seperti cookies dan tart. 

    

Kamis, 19 Desember 2013

Photo Blog: Last Day in Melbourne

Hari terakhir saya di kota ini, saya diajak jalan-jalan sama Diena. Ngopi di Degraves Street, beli souvenir di Victoria Market dan jalan-jalan di taman melihat orang-orang olahraga mendayung. Kali ini saya gak akan banyak cerita deh, enjoy aja the pictures seperti saya enjoy the city.

Autumn in Melbourne

abis belanja suvenir di Victoria Market, dapet tas gratis dari mba tokonya

Ga cuman jualan suvenir, di Victoria market jualan buah juga

Flinders, ga tau kenapa saya suka banget sama bangunan stasiun ini

Bangunan modern di seberang Flinders station

Ga tau ini gedung apa tapi diena & cipu dua2nya maksa saya foto di sini

with diena 

Gedung yang majang kesenian kontemporer - masuknya gratis

Polisi yang suka kasih surat tilang  buat mobil yang parkir sembarangan

Yang unik lorong di seberangnya ada tulisan The Height of the Civilized World

Dari seberang Yara river, itu yang kuning atap flinders, ada atap st. paul cathedral juga

Tim Rowing, olahraga mendayung di sungai

Taman di pinggir sungai, kayaknya nanti di Banjir Kanal Timur bakal gini deh *mimpi

Federation Square

Ini berasa kayak di film-film yang di new york gitu ya *apasih

Dan ini perpustakaan tempat janjian dan nongkrong-nongkrong

Catatan kaki:
Oia, saya sekalian mau mengucapkan selamat untuk Kak Masni, salah satu yang udah baik hati mau menampung turis kere ini di Melbourne. Kak Masni baru saja lulus dari Melbourne Uni dan baru aja di wisuda. Selamat yaaaa Kak Masni.

Selamat Ulang Tahun juga buat Cipu yang mentraktir saya makan di resto vietnam (lagi) kemarin. Happy Birthday! 

Rabu, 18 Desember 2013

Berburu ( Tur ) Komodo

Sebelumnya saya sudah cerita kalau misi saya, Pagit dan Mba Efa melihat Komodo dan Pink Beach sudah terlaksana dengan sukses, yang belum saya ceritakan adalah suka duka mencari tur yang murah yang sesuai dengan kantong kita-kita.

Saya juga sudah ceritakan sekilas tentang riset singkat saya sebelum berangkat menelpon Pak Hans dari salah satu agen tur yang menyediakan fasilitas ke Pulau Komodo. Melalui telepon Pak Hans sempat menjelas secara singkat mengenai jenis-jenis tur yang ditawarkan, ada tur 1 hari ke Pulau Komodo dan Pink Beach, dan ada tur 2 hari ke Pulau Komodo, Pink Beach, menginap di kapal atau di pulau seraya, ke Pulau yang banyak kelelawarnya dan terakhir ke pulau rinca. Tapi waktu itu saya hanya tanya-tanya aja dan bilang ke Pak Hans itu kalau nanti kita akan langsung berkunjung ke kantor tur nya ketika kita tiba di Labuan Bajo. Rencana kita (saya, mba efa dan pagit) mau langsung membandingkan dan kalau bisa memodifikasi sendiri perjalanan kita ke pulau komodo itu.

Saya sempat cerita juga sebelumnya, bahwa dihari  kita mendarat di Labuan Bajo takdir mempertemukan kita dengan Wawan yang mengantarkan kita dari bandara ke Labuan Bajo dengan tarif 50 ribu rupiah setelah melalui proses tawar menawar yang sadis oleh Pagit. 

Di hotel Gardenia yang berbukit-bukit itu di meja resepsionis saya kenalan sama seorang guide yang lagi bawa tamu orang asing, dia menawarkan trip ke Pulau Komodo untuk 2 hari. Jadi prinsipnya ikut tur ke pulau disini adalah semakin banyak peserta maka biaya per-orangnya jatuhnya lebih murah, jumlah yang wajar kalau menurut saya sih melihat besar rata-rata kapal disana maksimal 7 orang udah sumpek sih. Si guide itu sudah ada 2 peserta yang mau ikut tur untuk keesokan harinya, jadi kalau tambah kita 3 orang, total 5 orang - jadi untuk trip 2 hari (menginap di kapal) biaya per-orang nya hanya 500 ribu-an. 

500 ribu untuk 2 hari jauh lebih murah dari pada biaya yang ditawarkan oleh Pak Hans, yaitu 800 ribu-an per orang untuk trip yang satu hari. Saya dan guide itu pun tukeran nomor henpon dan saya berjanji akan mengabari nya lagi sebelum matahari terbenam.

Ternyata kakak sepupu nya Wawan punya usaha tur juga. Kakak sepupu nya Wawan saat itu tidak ada di Labuan Bajo karena lagi ada pameran di Jakarta. Tapi kita akhirnya berkesempatan ketemu kakak nya Wawan - si pengusaha tur Labuan Bajo yang sukses itu, di bandara waktu kita mau pulang. Karena pesawat kita delay kita ngopi-ngopi di kantin bandara di temani wawan dan kakak sepupu nya itu. Pas lagi ngopi-ngopi tiba-tiba ada satu laki-laki flores datang memanggil Mba Efa, ternyata dia pria yang kita ketemu di pink beach yang nyuruh saya buka kacamata hitam untuk melihat warna pink pasirnya dan langsung aja ikut nimbrung ngobrol sama kita.  

Kita pun dibawa ke kantor agen tur kakak nya itu dan dikenalkan dengan kawan nya bernama James yang kerja disitu. James juga menawarkan kita trip 2 hari bergabung dengan 2 orang lain yang sudah mendaftar. Tapi kita hanya punya waktu sebentar di Labuan Bajo, jadi kita hanya mau trip ke pulau 1 hari sedangkan 1 hari lagi kita mau trip di darat, lihat gua dan air terjun yang kita lihat di brosur di hotel - keren banget. 

Akhirnya kita minta James mencarikan kita kapal yang bisa di charter sehari, ketika ditanyakan ternyata harganya 1,5 juta satu kapal per-hari (tujuan terserah kita) tapi kita dapat makan siang di atas kapal, dapat kopi/teh pagi-pagi dan air mineral sepuasnya. Untuk trip satu hari itu, karena kita hanya bertiga, jatuhnya jadi sama kayak trip 2 hari berlima, yaitu 500 ribu per pax.

"Kita pikir-pikir dulu deh James," kita mau berunding dulu ambil trip 2 hari atau trip 1 hari mengingat harga per orangnya yang sama dan mempertimbangkan kunjungan ke air terjun, "nanti sore kita kabarin lagi".

Kita masih punya satu alternatif, mengunjungi Pak Hans.

Kita tiba di depan agen tur Pak Hans, dekorasi kantor nya mencolok banget, dari kayu-kayu dan beratap daun kelapa kering. Sepertinya kantor turnya merangkap cafe dan tempat nongkrong turis-turis bule. Pak Hans sendiri ternyata orang asli Belanda yang sudah tinggal di Labuan Bajo selama 20 tahun dan sudah fasih berbahasa Indonesia walau kadang masih mikir-mikir untuk mencari padanan kata yang sesuai.

Pak Hans langsung membuka peta flores di meja di hadapan kita bertiga dan menjelaskan rute trip nya dengan menunjuknya langsung diatas peta. Dari penjelasan Pak Hans itu saya baru mengerti tata letak kepulauan komodo, apa saja yang bisa kita liat dan kita lakukan disana. Sebelum pergi kan saya minim riset, jadi tiba di Labuan Bajo bener-bener masih gelap tentang apa yang mau dilakuin disana. Pokoknya tujuan saya cuman mau liat komodo aja, ternyata banyak banget hal yang menarik selain komodo yang  bisa dijelajahin mulai dari laut sekitar Labuan Bajo sampai ke kepulauan komodo itu. 

Setelah kita mengutarakan keinginan kita untuk hanya sehari trip aja dia merekomendasikan untuk ke Pulau Komodo, lanjut ke Pink Beach, kemudian mampir di suatu teluk dekat situ dimana kita bisa snorkeling bersama Manta (semacam ikan pari tapi gak galak). Kalau kita mau rute itu ada satu orang bule yang lagi nunggu mau join. Biaya sewa kapal ternyata sudah standard di kalangan agen-agen tur itu, mungkin aja bisa dapat lebih murah kalau kita cari langsung ke dermaga, tapi kita sudah tidak punya waktu untuk itu. Yang mahal adalah biaya snorkeling bersama manta itu, karena harus bayar entrance fee ke pengelola konservasi itu 100 dollar per-orang. 

Kita bertiga membelalak.

Melihat tampang kita bertiga yang stress, Pak Hans mulai ngitung-ngitung lagi kemudian dia menawarkan solusi. "oke, buat kalian bertiga saya beri keringanan untuk biaya masuk manta itu, nanti bisa saya atur." Tapi biayanya paling sedikit sekitar 700 ribu per orang dan itu gak termasuk makan siang di kapal.

Beberapa alternatif ini membuat kita bertiga galau. Tiap alternatif punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Semua menarik dan semuanya sebenarnya mepet sama budget kita yang miris ini. Akhirnya setelah melalui diskusi panjang, kita bertiga mufakat kalau kita akan sewa kapal + makan siang melalui James. Saya pun menelpon guide yang saya temui di Hotel Gardenia untuk memberi tahu kita tidak ikut trip dua hari itu. Kemudian menelpon Pak Hans untuk memberi tahu kita tidak jadi ambil trip sehari yang include berenang sama manta ray itu. Setelah menutup telepon Pak Hans sebenarnya hati saya merintih sedih, saya mau berenang sama Manta Ray hiks hiks....

Sementara Pagit menelpon James yang segera mengurus keberangkatan kita untuk keesokan subuhnya termasuk mencarikan kita seperangkat google dan kaki katak untuk snorkeling. Transaksi pembayaran dilakukan saat kita makan malam di warung kaki lima pinggir laut. 

"Besok subuh jam 4 saya jemput di hotel ya, kak." seru James sebelum pergi meninggalkan kita malam itu.


Musyawarah di depan warung yang kayak seven eleven-nya labuan bajo

James di depan kantor tur nya

Minggu, 15 Desember 2013

Macaque Girl

Ini sudah kesekian kali saya terinspirasi dari total stranger yang saya temui di jalan, people who live with their passion. Kali ini namanya Niki, cewek  mungil dari Chicago yang umurnya palingan sepantaran saya. Di pesawat Manado - Jakarta dia duduk di sebelah saya. Celana jeans, sepatu sneakers, kemeja kotak-kotak dan rambut panjang pirang yang di dreadlock (gimbal) seperti bob marley. Awalnya saya pikir dia just another tourist yang bergaya hippies gitu, jadi saya gak gitu pay attention.

Hingga datang pramugari menawarkan makanan dan minuman. Cewe bule rasta itu duduk di window seat sedangkan saya di tengah, di alley seat adik saya Chacha. 

Pramugari nanya ke dia, "do you want chicken or fish?"

"Do you have vegetarian food?"cewek itu balik nanya.

"Excuse me?" pramugari itu balik nanya seolah-olah gak denger.

Jadi saya bantuin ngomong ke pramugari itu, "vegetarian, mba."

"oo.. sorry we don't have that," jawab pramugari.

Cewe itu pun menolak diberi makanan dan ketika ditanya mau minum apa, yang dia tanya juga susah banget, "do you have ginger ale?"

Lagi-lagi pramugari bingung.

"Ginger Ale," saya bantuin lagi. 

"wah ga ada juga," kata pramugarinya, kali ini ke saya, mungkin dia mulai mikir saya temenan sama cewe aneh yang permintaannya aneh-aneh ini. 

"they don't have it," kata saya menerjemahkan ke cewe itu sementara si pramugrari pasti makin yakin kalo saya temenan sama bule antik ini.

"owh it's ok, i'm fine" kata cewe itu, Pramugari pun berlalu.  Kemudian dia menjelaskan kalo dia pengen ginger ale soalnya lehernya gatel gejala flu batuk gitu. Saya menawarkan teh panas. Dia jawab dia udah minum teh panas selama beberapa hari tapi gak menolong leher nya yang gatal.

Akhirnya obrolan berlanjut, "I'm Niki by the way," katanya.

"Mila. Nice to meet you," kata saya.

Niki ternyata bukan turis. Dia antropologist yang melakukan penelitian tentang kehidupan Macaque yang ada di Hutan Tangkoko selama 6 Bulan. Selama itu dia tinggal di pondok yang terletak di dalam hutan tangkoko. Seharian mengikuti dan ngintipin kegiatan sehari-hari monyet-monyet hitam besar itu. 

"I love Macaque," katanya waktu saya tanya kenapa dia pilih riset tentang itu dan di bela-belain terbang  sendirian puluhan jam ke hutan gak jelas di propinsi gak jelas dari negara yang (mungkin) gak jelas juga kalau dari sudut pandang orang amerika, bener-bener in the middle of nowhere nya in the middle of nowhere. 

"Saya pernah ke Tangkoko, liat tarsius," kata saya.

Niki membelalakan mata gak percaya karena saya orang pertama yang dia temuin di luar hutan itu yang pernah ke tangkoko, "really? ya…. tarsius itu memang cute."

Sementara saya menghabiskan makanan saya, Niki bercerita panjang lebar tentang kehidupannya di tengah hutan itu. "I love it," katanya. Dia tinggal di pondok yang terletak di pinggir pantai berpasir hitam yang kalau malam banyak kunang-kunang. Berlari-lari ngikutin kawanan Macaque. Ngumpet seharian di belakang semak-semak memantau kegiatan Alpha Male nya, alias kepala suku kawanan monyet-monyet itu. 

Pramugari datang lagi mengambil sampah bekas makanan sambil menawarkan tambahan minuman lagi. Saya minta kopi, Niki tetap menggeleng. "You sure?" kata pramugarinya sambil tersenyum manis. Niki mengangguk. Kemudian dia mengeluarkan biskuit dari dalam tas nya.

"Gak susah kan cari makanan buat vegetarian di indonesia?" tanya saya.

Di Indonesia banyak jenis masakan yang dari sayur-sayuran, Niki cerita di pondok nya di hutan itu ada bibi-bibi tukang masak yang masakin dia makanan tiap hari. "I love Tempe," katanya.

"Seriously?," tanya says,"me too. I love it so much, i can't live without tempe"

Niki tertawa. 

Penumpang di depan dan samping mulai lirik-lirik pengen tau kehebohan apa yang lagi di obrolin dua cewek cempreng yang lagi ngakak-ngakak.

Saya jadi tertarik sama dreadlocknya, saya tanya gimana caranya dia bikin rambutnya begitu, apa harus ke salon atau bisa bikin sendiri. Ternyata rambut dreadlock nya itu terbentuk secara alami dan memakan waktu 7 tahun sampai rambutnya bisa kayak bob marley gitu. Musuhnya adalah sisir dan conditioner. Di awal pembuatan dan sekali waktu untuk perawatan, dreadlock nya harus kena air laut supaya gimbal nya tetap merekat sempurna. Sisanya ya biasanya aja, keramas pake shampo. 

Saya cerita tentang legenda anak-anak berambut gimbal di Dieng. Tentang anak yang terlahir dengan rambut gimbal dan harus dilakukan upacara khusus untuk memotong rambutnya itu. Niki tampak sangat tertarik. "Too bad saya sudah punya tiket langsung pulang ke amerika, kalo enggak saya pasti bakal ke sana, sounds interesting," sambil cekikikan terus dia mulai ngebayangin apa yang bakal di lakukan sama orang-orang sana kalau dia datang dengan rambut bob marley nya, apa dia bakal dibikinin upacara juga. 

Alasan dia memelihara dread lock nya, menurut kepercayaan orang Jamaica - termasuk Bob Marley, tuhannya mereka akan mengangkat mereka ke surga dari rambutnya. Semakin tebal dan kuat rambutnya, pegangannya akan makin kuat. Makanya mereka bikin rambutnya jadi gimbal gitu.

What a lucky girl. Niki tau benar apa yang dia suka dalam hidup nya, dan melakukannya. Just do it. Dia suka banget sama Macaque, maka dia terbang sendiri ke negara tropis yang banyak nyamuk tanpa mikirin apakah bahasanya bakalan nyambung atau enggak, tinggal sendirian di pondok di tengah hutan kadang ditemenin sama ranger-ranger pengelola hutan lindung itu, tapi dia bahagia - itu yang dia inginkan dalam hidupnya. Pergi ke jamaica terus suka banget sama konsep tuhan yang mengangkat manusia ke surga dari rambutnya, dan 7 tahun konsisten memelihara dreadlock. 

Dia seumuran sama saya dan dia boleh memilih jalan hidupnya sendiri, sementara saya masih terjebak di somebody else's masterplan - sekolah, kuliah, kerja, cari duit, mati.  What I really wanted in life? sampai saat ini masih menjadi satu pertanyaan besar dalam hidup dan sampai sekarang saya masih aja terus hidup mengikuti apa yang menurut pandangan orang pada umumnya merupakan jalan hidup yang benar. enak kali ya hidup kayak the macaque girl itu, boleh memilih hal-hal yang di sukai dan menjalani hidup yang bahagia dengan pilihan itu.  

Mungkin itulah saat saya menemukan innerpeace saya, ketika pertanyaan besar "what i really wanted in life?" terjawab. Tapi waktu terus berjalan dan saya terus hidup mencari-cari jawaban yang seperti memecahkan soal matematika dengan turunan rumus integral dan diferensial yang rumit, coret-coretnya udah berapa lembar tapi jawabannya masih belum ketemu. 

Pencarian paling sulit itu adalah kalau kita tidak tahu apa yang kita cari.

Sambil terus bercerita tentang kehidupan Macaque, Niki mengangkat satu kaki nya yang mengenakan sepatu converse warna biru muda. Saat itu dia juga mengenakan kemeja kotak-kotak biru muda, jins biru dan tas backpack nya biru. 

"Let me guess your favourite colour," kata saya.

"What?" tanyanya.

"Blue."

Terus dia akhirnya nyadar apa yang saya maksud, sambil ketawa menjelaskan kalau dia bener-bener gak sengaja matching banget hari itu. Padahal warna favoritnya bukan biru, tapi oranye. 

"You wanna know what's more funny?" katanya setengah bisik-bisik mencurigakan.

"What?" saya balik nanya.

Kemudian dia buka backpack birunya dan mengeluarkan tempat kameranya - warna biru.

Kita berdua langsung ngakak lagi sampe penumpang depan dan samping nengok makin penasaran sama kehebohan dua cewek aneh yang berisik banget.

Rabu, 11 Desember 2013

Taman Sari Jogjakarta

Kayaknya semua orang udah pernah kesini ya? Saya berkali-kali ke Jogja baru satu kali ke Taman Sari. Ketika perjalanan pencarian innerpeace yang marathon ke candi-candi, saya dan chacha sempat makan siang nasi brongkos di deket daerah situ, jadi kita pikir sekalian aja mampir. 

Taman Sari adalah tempat pemandian putri-putri, permaisuri dan selir-selir keraton. Disekitarnya terdapat perumahan para abdi dalem yang bekerja untuk keraton dan masjid yang terletak di bawah tanah. Di depan pintu masuk Taman Sari terpancang papan bertuliskan UNESCO World Heritage. Setelah membeli tiket kita masuk ke dalam nya, suasana ramai sekali sampai susah banget mau foto tanpa ada kepala orang lain seliweran di frame foto kita. Dua pasang sejoli tampak sedang melakukan sesi foto pre-wedding dengan make-up yang nyaris meleleh kena panas dan serombongan kru fotografer.

Seorang bapak tua menghampiri saya, menawarkan diri menjadi guide. Saya coba menolak dengan halus dengan cara meleparkan senyuman seadanya sembari melipir pelan-pelan. Tapi tampaknya kemana pun saya pergi si bapak selalu aja bisa menemukan saya dan tiba-tiba sudah ada dibelakang sambil menjelaskan tentang sejarah tempat pemandian itu. Akhirnya saya kasihan juga dengan kegigihan bapak itu, saya pun mulai menimpali penjelasan-penjelasannya. 

Bapak itu kemudian menawarkan untuk mengajak keliling kampung sekitar situ sambil mampir di mesjid bawah tanah, saya dan chacha mengiyakan. Sebelum kita keluar dari kompleks tempat pemandian, kita mampir di tempat jual cinderamata berupa lukisan-lukisan dan wayang-wayang. Ada satu lukisan batik yang saya suka banget, memang kebetulan saya lagi cari lukisan untuk dipajang di dinding kamar. Ketika saya tanya harga nya mahal banget, si bapak itu kemudian berbisik nanti dia akan antar saya langsung ke rumah yang membuat kerajinan itu, harganya bisa lebih murah.

Setelah dari mesjid bawah tanah, bapak itu mengajak kita keliling kampung di sekeliling tempat pemandian. Katanya yang tinggal disitu abdi dalem yang bekerja di keraton, tapi kerjanya shift-shift-an tidak setiap hari. kalau tidak bekerja mereka melakukan kegiatan lain seperti membuat kerajinan wayang dan lukisan batik. Beberapa rumah bahkan membuka kursus membuat lukisan batik. Kita diajak masuk keluar rumah di kampung itu, semuanya ramah-ramah. 

Akhirnya saya jadi punya ide ga akan beli lukisan batik untuk di pajang di dinding kamar, tapi suatu saat saya akan ambil kursus disitu membuat lukisan batik sendiri untuk dipajang di kamar saya.






Selasa, 10 Desember 2013

Kamu Datang

Diawali dengan sebaris sms yang menanyakan dimana beli tiket Metallica yang bakal konser keesokan lusanya. Saya balas nanya kenapa tanya begitu. Dibalasnya kalau dia lagi ada di Jakarta. Orang yang satu ini saya kenal udah lama banget, paling enggak ada sekitar 7 tahun lamanya, mungkin lebih, tapi ya orangnya emang datang dan menghilang suka-suka dia aja. 

Waktu itu bulan agustus. Tepat di minggu ulang tahun saya. Buat saya the best birthday present ever. Dia selalu inget sama ulang tahun saya tiap tahun tapi selalu salah nambahin satu tahun di umur saya. Setiap tahun dibenerin, setiap tahun salah lagi naik satu tahun. Laki-laki ini dulu pernah jadi standard laki-laki idaman saya; tinggi, lumayan ganteng (mudah-mudahan orang nya gak akan pernah baca ini dan menemukan kalau saya pernah mengakui dia ganteng), cool, kadang lucu tapi lebih seringnya serius, kadang saya ngerasa dia lebih pinter dari saya. 

Banyak hal yang saya gak tau tapi dia tau, kayak misalnya fun facts kalau kucing belang tiga udah pasti cewe, kalau badak liat api di hutan pasti bakal berusaha memadamkan apinya, siapa yang bakal maju jadi kandidat presiden indonesia di 2014, apakah anis baswedan akan mencalonkan diri (dan saya diam-diam langsung meng-google siapa itu anis baswedan)…. well, apa pun itu anehnya saya selalu dengerin dengan pandangan mata penuh kekaguman, ngerti - ga ngerti.

Tapi masih kurang pinter sih menurut saya, soalnya sampai sekarang dia belom bisa jawab pertanyaan paling penting dalam hidup saya: Kenapa ikan matanya di samping jalannya kedepan, tapi kepiting matanya di depan jalannya kesamping? 

Belum ada satu orang pun yang bisa jawab itu sih.

Saya lupa tahun lalu atau tahun sebelumnya, dia telpon saya dari suatu bukit di satu tempat bernama Labuan Bajo. Katanya, "mil, kamu harus kesini, kamu pasti suka disini." Yak dia bener-bener tau saya. Saya ikutin sarannya pergi kesana dan saya suka banget.

Kerjaannya banyak travelingnya. Akhir-akhir ini katanya banyak dikirim ke daerah-daerah pelosok di kawasan Indonesia Timur. "Kamu pasti suka kalo kesini, mil," dia sering bilang gitu kalau ceritain bagusnya daerah di bagian timur dan pantainya yang cantik-cantik, walaupun katanya perjalanannya kesana parah banget, melelahkan karena aksesnya gak bagus. Dan lagi-lagi saya selalu terpana penuh kekaguman dengan cerita-ceritanya. 

Bulan lalu malahan di telpon dia cerita iseng-iseng main ke perbatasan timor leste waktu ada tugas di kupang. Kuping saya panas dengermya, saya kan pengen banget ke timor leste, eh dia duluan yang nyombongin diri duluan ke sana. Ya sih, walaupun kagum kadang-kadang saya sebel banget kalo sombong belagu nya udah keluar, hhhrgrhrgrh…

Waktu dia sms itu keesokan harinya saya ada jadwal ke Jepara, tapi saya janji ketika saya pulang hari sabtu saya akan ajak dia jalan-jalan keliling jakarta. Baru mendarat subuh dari Bus Pahala Kencana, saya langsung mandi dan berangkat penuh semangat jemput dia. Tampaknya kita harus re-define tentang konsep jalan-jalan di Jakarta, karena pada akhirnya kita selalu berakhir keliling mall atau ngobrol berjam-jam di coffee shop mengenang petualangan-petualangan kecil kita berdua di sana - sini jaman dulu, atau cobain kuliner yang lagi nge-tren atau rumah makan yang legendaris, janjian ketemuan sama Cipu trus nganterin dia nonton sumo di senayan….. 

Yah...Begitu-begitu aja sih. Kehidupan ibukota emang gak menarik banget ya. 

Di tengah perjalanan melewati taman proklamasi tiba-tiba dia punya ide mau masuk kesana, "aku belum pernah masuk ke tugu proklamasi itu mil, isinya apa sih?"

"Aku juga belum pernah," cukup memalukan karena saya pernah menghabiskan setengah dari hidup saya di daerah deket-deket sana. Dulu saya pernah tinggal daerah menteng dan sekolah dari TK-SD-SMP di daerah Cikini.

Kita pun masuk, foto-foto di depan patung Bung Karno dan Bung Hatta dan Teks Proklamasi yang besar banget. Saya juga gak mau kalah, ikut foto-foto juga lah. 

Kemudian saya ingat, saya juga belum pernah naik ke atas monas. Sorenya saya ajak mampir di monas, tapi dia nya males kecapekan. Kamu emang udah tua, hrhrhgrhrgh…

Satu minggu dia di Jakarta, tapi karena dia kesini juga sambil urusan kerjaan jadi kita cuman ketemu 3 hari. Habis itu saya tau pasti dia bakal menghilang, muncul lagi tiba-tiba entah kapan, saya gak nunggu (lagi). 

Di malam sehari setelah ulang tahun saya, kita ke jl. sabang, saya mau taktir di rumah makan makassar yang enak banget yang di tunjukin Cipu. Tapi bolak-balik di tempat saya pernah kesana sama Cipu, rumah makannya udah gak ada. Saya telpon Cipu katanya tempatnya udah pindah, kita cari-cari gak ketemu juga. Akhirnya karena udah kelaperan makan di RM Padang paling mahal sejagat raya yang ada di situ. 

Pas selesai makan dia mau ngeluarin dompet saya buru-buru mencegah, "kali ini aku yang traktir, kan ulang taun," sambil nyengir kuda.

"mil, maaf ya aku ga kasih kamu kado," katanya.

Saya cuman jawab, "gak perlu lah, kan kamu disini."

Hadirin boleh muak *sodorin kantong muntah*


Sabtu, 07 Desember 2013

Kereta Api, Jalan-jalan dan Business Trip

Setahun belakangan ini saya lagi seneng banget traveling antar kota menggunakan moda transportasi ini. Dulu sih sering banget, sebulan bisa 2 - 3 kali bolak-balik Jakarta - Bandung naik kereta api waktu jaman masih kuliah. Lebih dari 10 tahun yang lalu. Hm.. lama juga ya.

Jaman itu memburu tiket kereta api jkt-bdg dan sebaliknya saat akhir pekan susah banget, padahal jadwal nya ada hampir tiap jam. Kadang harus antri ber-jam-jam, dan itu pun hanya bisa dapat tiket berdiri yang ujung-ujung nya ngegelosor di lantai gerbong beralas kertas koran bekas. 

Dari Jakarta saya biasanya naik dari Stasiun Jatinegara karena dekat dengan rumah, jaman itu handphone ada tapi belum canggih - belum ada twitter dan soc med lain, jadi hiburan sambil nunggu kereta datang dengan memperhatikan kelakuan orang-orang dan nguping-nguping obrolan orang. Asal mulanya saya punya kebiasaan kepo sama orang lain kayaknya mulai dari itu deh. Tapi paling males kalau duduk sebelahan sama ibu-ibu atau bapak-bapak yang doyan ngobrol, selama berjam-jam harus tersiksa dengerin obrolannya. Makanya kalau disebelah saya bapak-bapak atau ibu-ibu, saya langsung ambil posisi tidur atau pura-pura serius baca buku tebel. 

Semenjak dibangun jalan toll Cipularang dari Jakarta ke Bandung, saya sudah tidak pernah naik kereta ke Bandung. Ditambah lagi tren pesawat-pesawat low cost macam-macam maskapai makin membuat saya males naik kereta. Misalnya aja ke Jogja, kalau naik pesawat hanya makan waktu satu jam, kalau naik kereta bisa semaleman atau seharian. Kadang harganya juga tidak jauh beda antara, pesawat dan kereta eksekutif. 

Pertama kali saya naik kereta paling jauh waktu lagi kerja praktek jaman kuliah di daerah Boyolali. Waktu itu saya bertiga dengan teman kuliah, berangkat dari bandung naik kereta ke stasiun Solo Balapan. Sambung naik angkot ke Kartosuro. Lanjut lagi naik angkutan ke desa tempat kita kerja praktek di Boyolali. Di akhir pekan, saat proyek libur, kita bertiga naik kereta Prameks- prambanan ekspres - dari Solo ke Jogja. Waktu itu naik prameks harganya sekitar Rp. 5.000-an gitu.

Era saya lulus kuliah itu kayaknya era kereta api mulai terpuruk. Jurusan Jakarta-Bandung langganan saya dikabarkan bangkrut karena penumpang beralih ke travel via cipularang sehingga keretanya sepi dan tak mampu balik modal menutupi biaya operasionalnya. Bentuk keretanya juga tidak terurus, kusam, bau, dengan ratusan ekor kecoak hilir mudik, bahkan di kereta argo yang mahalnya bingits. Saya sudah jarang banget naik kereta di jaman-jaman itu, setahun belum tentu ada sekali.

Kemudian entah sejak kapan, perkereta-apian Indonesia mulai membenahi diri, yang jelas sekarang ini saya melihat jelas banget perbaikan dan perkembangannya. Gerbong-gerbong kereta bersih, bahkan toiletnya nyaris tidak bau pesing dan bersih sekali. Di kereta eksekutif ada colokan untuk charger gadget. Baru-baru ini kereta api bisnis bahkan dipasangi AC, walopun AC nya kayak model AC di rumah-rumah. 

Yang jaman dulu pramugara kereta model mas-mas yang baju dan mukanya selalu kusut atau ibu-ibu yang judes. Sekarang rapih-rapih semua, bahkan lebih banyak dihiasi wajah mba-mba yang cantik dan manis dengan senyuman menawan seperti layaknya di pesawat udara. Masinis pun layaknya pilot, memberi sambutan di awal dan di akhir perjalanan. 

Beli tiket kereta juga lebih mudah sekarang sejak bisa beli online di internet, bahkan bisa beli di mini market-mini market. Jadi ga semua orang tublek-blek di stasiun cuman buat antri tiket. Ngomong-ngomong stasiunnya, saya mengamati stasiun kereta sekarang jauh tampak lebih bersih. Di Gambir yang sekarang hanya khusus untuk kereta eksekutif dibangun Starbucks. Waktu itu saya turun di Stasiun Jatinegara setelah sekian lama ga kesana, saya kagum dengan perombakan besar-besaran di sana, jauuuuuh lebih rapi. 

Awalnya saya mulai naik kereta dan menyadari perubahannya waktu diajak jalan-jalan sama Tante Debz ke Cirebon.  Waktu itu kita naik Cirebon Express, pergi pagi pulang sore Jakarta-Cirebon. Kita naik dari Stasiun Gambir dan tiba di stasiun Cirebon yang dibangun oleh Belanda di jaman kolonial. 

Kemudian akhir tahun 2012 saya dan chacha short trip ke Jogja dalam perjalanan mencari innerpeace naik Kereta Api dari Gambir dan tiba di Stasiun Tugu Jogja yang dibangun oleh Belanda di jaman kolonial.


Mayoritas stasiun besar di Jawa, yang hingga kini masih digunakan, dibangun oleh Belanda di jaman kolonial. Awalnya untuk mempermudah transportasi hasil alam (lada, pala, teh, kopi, etc etc) yang mau di dagangkan Belanda, akhirnya malah berbalik jadi salah satu fasilitas yang memudahkan persatuan Indonesia.

Kemunculan sistem transportasi kereta di Jawa termasuk yang awal-awal dari seluruh belahan dunia. Awal 1800-an di Inggris mulai dibangun public railway system. 1830-an railway system mulai dibangun di Amerika. Setelah itu railway dibangun di India, western europe, rusia, pulau Jawa. Stasiun kereta pertama di Indonesia yang berlokasi di Semarang diresmikan tahun 1860-an. Sama public railway di China aja masih duluan di pulau jawa beberapa tahun. Ironisnya sekarang setelah merdeka malahan sistem transportasi Indonesia ketinggalan jauh dari negara-negara lain.

Banyak sejarawan berpendapat, titik paling penting dalam sejarah adalah momen ditemukannya kereta api dan telegram. Kedua penemuan itulah yang membawa alur sejarah hingga ke era globalisasi seperti yang kita hidup sekarang  ini. Salah satu novel Leo Tolstoy - novelis dan filsuf, berjudul Anna Karenina yang terkenal mengambil background waktu awal-awalnya dibangunnya sistem railway di Rusia dan berakhir tragis dengan Anna bunuh diri lompat ke depan kereta.

Pekerjaan saya di Jepara tahun ini membuat saya jadi sering naik kereta lagi, jurusan Semarang-Jakarta. Karena business trip itu biasa saya lakukan hanya dalam satu hari, setelah saya coba macam-macam cara, yang paling hemat dan nyaman adalah pergi naik pesawat paling pagi dan pulang naik kereta malam. Karena naik kereta kan semaleman jadi saya bisa istirahat tidur selama perjalanan. Kalau pulangnya naik pesawat lagi  badan saya rontok semua dan tiba di rumah waktu nya nyaris sama kayak naik kereta.

Bandara Sukarno-Hatta itu sudah kelewat sesak dan kepenuhan. Di malam hari tumpukan penumpang antri berular-ular menunggu taksi yang seringkali kosong. Antrian paling panjang ada di taksi blue bird dan ekspress, sementara taksi lain yang cuman dinaikin orang yang terpaksa daripada ga pulang-pulang atau buru-buru, antriannya satu-dua penumpang saja. 

Waktu itu pernah saya naik pesawat paling malam dari Semarang, pesawat jam 8 tapi delay sampai jam 10 malam. Sampai di jakarta jam 11, antrian taksi masih mengular hebat, akhirnya saya putuskan naik taksi yang kurang ngetop. Apa pun lah, saya hanya ingin tiba di rumah cepat-cepat. Celakanya, jalanan ibukota jahanam masih aja padat merayap walaupun sudah tengah malam, macet parah mulai dari slipi hingga cawang, dan sopirnya ga berhenti-henti cerita. Cerita soal dia pernah bawa wanita malam yang di germo-in sama banci. Cerita soal dia bikin band sama kawan nya sesama sopir taksi satu pool dan video nya ada di youtube. saya yang sudah jetlag, pusing, mual, ditambah harus dengerin celotehan sopir taksi rasanya pengen nangis ajah.

3 minggu lalu karena di Semarang hujan saya memutuskan naik pesawat pulang. Karena kalau hujan di Stasiun Tawang itu nyaris selalu banjir, jadi ribet. Mana sekarang ada peraturan baru di Tawang kalau belum 1 jam sebelum jam keberangkatan penumpang belum boleh menunggu di peron, untuk menghindari kepadatan penumpang yang menunggu di peron. Ruang tunggu nya juga kecil, bareng sama penumpang yang antri mau beli tiket, dan macam-macam, jadi penuh sesak. 

Saya naik pesawat jam 8 malam, untungnya tepat waktu. Tapi ternyata hujan bukan hanya di Semarang tapi juga di Jakarta. Pas itu sorenya habis hujan deras, banjir dimana-mana, macet di seluruh penjuru Jakarta. Kendaraan susah menembus bandara sehingga taksi-taksi kosong, tumpukan penumpang yang menunggu bus Damri bandara juga menumpuk. Sampai-sampai ketika saya mau bayar di loket Damri, ibu-ibu yang jaga sudah tampak menyerah dengan keadaan sembari mencetin komedo di cermin kecil di mejanya berkata, "beli langsung di bus, beli langsung di bus."

Untung nya tidak lama saya menunggu ada bus damri yang kelas mewah apa lah, tarifnya lebih mahal, tapi sepi, kebetulan jurusan bekasi. Saya tanya ke supirnya apa bisa turun di Jatibening, supir mengiyakan. Tiba di terminal bayangan Jatibening sudah dini hari, saya langsung naik ojek menuju rumah. Luar biasa banget, hari itu saya berangkat dari rumah jam 3 dini hari - jalan 1000 kilometer - sampai lagi di rumah jam 3 dini hari. 

Dua hari lalu saya juga baru dari Jepara, urusannya cepat selesai jadi saya bisa naik pesawat jam 4 sore dari Semarang. Semarang - Jakarta, 1 jam. Bandara jakarta ke rumah saya di Jatibening, 3 jam lebih. Saya baru tiba di rumah jam 8.30 malam. Plus bonus badan remuk redam. Saya jadi menyesal kenapa kemarin gak pulang naik kereta aja dan menghabiskan sore wisata kuliner di Semarang. Buat saya lebih nyaman tidur di kereta daripada stress dan sakit badan di bandara dan jalanan Jakarta.

Naik kereta juga sepertinya lebih ramah lingkungan karena saya pernah baca dimana gitu dari segi carbon foot print, emisi carbon kalo naik kereta lebih rendah dari pesawat. hmmm... ingetin saya buat nanya ini kapan-kapan ke Cipu.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...