Kamis, 28 Februari 2013

Shrine of Remembrance

Selama di Melbourne, saya perhatikan sedang ada dua event yang sedang berlangsung yaitu festival komedi dan persiapan ANZAC day yang diperingati setiap tanggal 25 April. Sayangnya tanggal segitu bertepatan dengan tanggal saya harus pulang ke Indonesia, jadi tidak bisa menonton acara tahunan yang terkenal dengan nama Dawn Service, upacaranya dilakukan subuh-subuh. 

Di sepanjang jalan banyak bertebaran sukarelawan berseragam ANZAC menjual pin yang uang hasil penjualannya akan digunakan untuk membantu para veteran-veteran perang dunia. ANZAC itu kepanjangan dari Australian and New Zealand Army Corps. Dibentuk untuk membantu Inggris pada saat Perang Dunia I berperang melawan Ottoman empire di Gallipoli. Daerah itu sekarang jadi Turki. 

Tidak lama setelah negara-negara bagian di Australia membentuk negara federasi sendiri di tahun 1900, pecahlah Perang Dunia Pertama di tahun 1914. Inggris yang waktu itu bersekutu dengan Rusia mau minta jalan men-supply keperluan perang melalui daerah Ottoman Empire itu. Tapi Ottoman empire condong memihak Jerman, yang merupakan musuh Inggris dan Rusia waktu itu sehingga mereka menolak permintaan Inggris. Maka diseranglah empire itu. Inggris meminta bantuan kepada negara persemakmurannya, Australia dan New Zealand untuk merekrut pasukan yang kemudian diberi nama ANZAC. 

Sayangnya, nasib pasukan ini tidak beruntung di medan laga Gallipoli. Pasukan Ottoman yang dipimpin oleh Mustafa Kemal berhasil melumpuhkan penyerangan terhadap daerah teritorinya. Peristiwa itu terjadi di tahun 1915. Tanggal 25 April dini hari dimana pasukan ANZAC mendarat di Gallipoli kemudian diperingati sebagai ANZAC day. 

Relawan berseragam ANZAC yang menjual pin

Untuk menghormati pengorbanan prajurit ANZAC yang gugur di medan perang dibangun sebuah monumen yang dinamakan Shrine of Remembrance. Selanjutnya monumen tersebut bukan hanya menghormati pejuang ANZAC di perang dunia I, tapi juga perang-perang lain dan seluruh pejuang-pejuang perang dari berbagai negara di dunia.

Shrine of Remembrance dari jauh tampak seperti sebuah bangunan bergaya Yunani. Mirip seperti salah satu istana rasi bintang di film kartun Saint Saiya. Lokasinya yang lumayan jauh dari pintu gerbang membuatnya tampak lebih kecil dari pohon-pohon cemara yang berbaris di kiri dan kanan membentuk suatu garis perspektif yang seolah mengantar pengunjung menuju Shrine. Semakin kita mendekati bangunan itu semakin terlihat ukuran aslinya, menjulang dengan megah.

Susunan balok-balok batu sewarna pasir membentuk satu bangunan kokoh yang tegak berdiri di atas undakan-undakan anak tangga yang seragam. Atap nya berbentuk seperti piramida, tapi tidak mengerucut di puncaknya, semacam piramida yang terpotong. Di akhir anak tangga, paling atas, delapan batang pilar batu berdiri jangkung menyokong atap bangunan yang dihiasi ukiran patung Yunani. Patung dewa bersayap terukir di tengah sementara di sebelah kiri kanannya figur para dewa dan dewi yunani lainnya. 

Sebuah kalimat terukir di salah satu batu yang terdapat di muka Shrine, “This stone was laid November 11th 1927 by His Excellency LIEUT. COL THE RT. HON. ARTHUR HERBERT TENNYSON BARON SOMERS”. Di dalam Shrine, tepat di tengah ruangan di atas atap ada sebuah lubang yang konon setiap tanggal 11 November akan memantulkan cahaya matahari menyorot ke tulisan di tengah ruangan itu, “GREATER LOVE HATH NO MAN”. Karena ada lubang di atas itu makanya dari luar atap piramida terlihat seperti terpotong tanpa kerucut di pucuknya. 

Sekarang tidak perlu menunggu 11 November untuk bisa melihat sinar matahari memantul tepat menyinari tulisan itu karena di atas atap itu sudah dilengkapi dengan semacam cermin yang mengatur agar setiap hari kita bisa melihat cahaya matahari otomatis menyinari kalimat itu. 

Naik ke atas Shrine of Remembrance, di lantai dua ada balkon dimana kita bisa melihat rumput hijau yang melapisi halaman monumen itu seperti karpet hijau yang mulus dan pemandangan gedung-gedung kota di kejauhan.






Kita pulang melewati obor api abadi, seperti harapan para pendiri monumen Shrine of Remembrance ini agar ingatan dan penghormatan terhadap mereka yang berjuang dalam perang mengorbankan diri mempertaruhkan nyawa demi membela negaranya tak pernah padam.
 

Jumat, 22 Februari 2013

Lalitasvistara, relief di Candi Borobudur

Rupadhatu adalah tingkatan kedua dari tiga tingkatan spiritualitas yang disimbolkan melalui bentuk Candi Borobudur, merupakan dunia yang sudah terlepas dari nafsu tetapi masih terikat dengan bentuk dan rupa. Dunia yang masih terikat dengan nafsu adalah tingkatan terendah, posisinya paling bawah di Candi Borobudur, dinamakan Kamadhatu. Posisi paling atas, tingkatan tertinggi dalam pencapaian spiritualisme adalah Arupadhatu, dimana dunia sudah tak terikat oleh nafsu, bentuk dan rupa.
 
Di Rupadhatu terdapat jalur Pradaksina, ritual untuk berjalan mengelilingi Candi searah jarum jam sebanyak 3 keliling. Di sisi-sisi lorong jalur Pradaksina terdapat panel-panel ukiran yang dipahat di dinding candi berupa kisah-kisah dalam kepercayaan Budha. 

Salah satunya adalah Lalitasvistara, kisah perjalanan hidup seorang pangeran bernama Siddartha Gauthama dalam menemukan pencerahan (enlightenment) hingga mencapai level spiritual yang sempurna dan menjadi Buddha. 

Sebelum kehidupan terakhirnya sebagai Pangeran, Siddartha telah melalui 500 kali reinkarnasi, dalam wujud manusia maupun dalam wujud hewan. Sebelum Pangeran Siddartha lahir, seorang Brahma sudah meramalkan bahwa pangeran ini kelak akan mencapai pencerahan sempurna dan menjadi Buddha. Ramalan itu merupakan hasil interpretasi mimpi ibunya tentang seekor gajah yang masuk ke dalam rahimnya.
 
Tak lama setelah pangeran lahir, ibunya meninggal dunia dan sejak itu ayahnya protektif sekali. Setelah dewasa Pangeran Siddartha di suruh menikah oleh ayahnya kemudian dibuatkan istana yang mewah dengan harta bergelimpangan. Semua itu dalam usaha ayahnya untuk membatalkan ramalan sang Brahma, mencegah agar putranya tidak pergi dari istana, menjadi seorang pertapa dalam jalannya menjadi Buddha.
 

 
Pada suatu hari sang pangeran bertemu dengan laki-laki tua. Hari yang lain pangeran bertemu dengan seorang yang sakit parah. Hari yang lain lagi pangeran bertemu dengan seorang yang meninggal dunia dan dikelilingi oleh keluarganya yang bersedih. Somehow, pemahaman muncul dalam dirinya bahwa siklus kehidupan selalu diakhiri dengan penderitaan, kematian dan kesedihan. 
 
Terakhir - di hari yang lain, pangeran bertemu dengan seorang biksu, melihat pancaran kedamaian dan ketenangan dibandingkan dengan 3 pria yang ditemuinya sebelumnya. Keesokan harinya Pangeran Siddartha minta ijin kepada ayahnya untuk pergi dari istana, menanggalkan baju mewahnya, memangkas rambutnya, menggunakan jubah berwarna oranye (seperti yang hingga kini masih digunakan oleh biksu-biksu Buddha) dan menjadi seorang pertapa dengan nama Sakyamuni. 

Dalam perjalanan menuju pencerahan nya itu Sakyamuni sempat nyaris mati kelaparan dalam pertapaannya dan macam-macam rintangan lain. Sakyamuni harus melawan kekuatan dewa Mara yang berusaha menghentikan usahanya mencapai pencerahan sempurna. Bahkan saat Sakyamuni sedang bertapa di bawah pohon Bodhi dan nyaris memahami jalan menuju kesempurnaan dari sisi spiritualisme, dewa Mara mengirimkan demons nya - gagal. Kemudian dikirimlah putrinya yang cantik untuk menggoda Sakyamuni - gagal. Bahkan ketika dewa Mara sendiri turun tangan untuk melawan Sakyamuni dalam pertapaan - gagal juga. Hingga akhirnya Sakyamuni resmi menjadi Buddha pertama yang mendapatkan pencerahan sempurna.


Senin, 11 Februari 2013

Semua Hanya Demi Akang Jamie

Di kalangan kawan-kawan saya yang mayoritas sudah berstatus ibu rumah tangga, pria ini salah satu idola. Bukan cuma jago masak tapi juga ganteng. Jamie Oliver terkenal karena acara masak-masaknya di TV. Sebenarnya sih dia orang Inggris tapi spesialisasi nya di masakan Italia. Saya aja yang ga gitu suka acara masak-masak gitu kalo pas nemu di TV lagi acara nya Jamie jadi males ganti. Seneng aja gitu liat cowo cakep mengolah tepung jadi pasta, seksi banget deh pokoknya.

Sekitar 4 tahunan lalu, tahun 2008-an  gitu, Jamie memulai bisnis restorannya yang diberi nama Jamie's Italian. Sekarang cabang restorannya sudah banyak banget, di UK ada, di dubai ada, nah di Australia juga ada. Denger-denger sih tahun ini Jamie's Italian mau buka di Singapore, tepatnya di Vivo city mall, tapi ga tau juga udah ada atau belum. Yang jelas tahun lalu waktu saya ke Sydney itu kesempatan saya untuk ikut eksis dikalangan teman-teman ibu rumah tangga saya. 
Pokoknya bagaimanapun caranya saya harus cobain makan di Jamie's Italian. 

Hal tersebut saya utarakan di hari pertama saya di Sydney ketika bertemu Mba Andri, saya mengajak Mba Andri dan Cipu makan malam di Jamie's Italian. Mba Andri langsung meng-google restoran itu untuk mencari lokasi nya, ternyata ada website nya : www.jamieoliver.com/italian/australia/sydney. Alamatnya di 107 Pitt Street. Di website nya itu kita juga bisa ngintip-ngintip menu nya dan harga nya juga. 

Saya agak lega sih ternyata harga nya ga mahal-mahal amat, kalau dibandingin makan di restoran elit di jakarta ya hampir mirip-mirip sih harganya. Walaupun mungkin di Australia sana restoran akang Jamie ini masuk kategori menengah. Pasta-pastanya harganya berkisar Rp. 120 ribu -200 ribu. Steak nya Rp. 300 ribu-an. Dan yang harus dicatat adalah porsi makan di sana itu jauh lebih besar dari porsi makan di jakarta, jadi ya kalau menurut saya masih reasonable.

Langsung di malam itu kita bertiga menuju Pitt Street untuk memburu makanannya Jamie Oliver yang selama ini hanya bisa bikin saya ngences di depan televisi. Saya yang bener-bener buta lokasi mempercayakan sepenuhnya kepada Mba Andri dan Cipu untuk menemukan restoran Italia itu bermodalkan selembar peta. Entah sudah berapa blok jalan yang kita susuri belum juga menemukan restoran itu. Hingga akhirnya kita menemukan posisi Pitt Street dan mengurutkan nomornya. Tiba juga kita didepan sebuah bangunan yang di kaca depannya tertulis Jamie's Italian, Jamie Oliver Restaurant, bertinta emas. 

Akhirnya kita berhasil menemukan restoran akang Jamie, tapi sayang sekali pas itu ternyata restorannya tutup. Dua orang wanita aussie yang lagi nongkrong di depan resto itu juga ternyata bermaksud mau makan disitu tapi ternyata hari itu pas lagi tutup. Akhirnya kita pergi dengan perut hampa dan makan malam di restoran korea dekat apartement Mba Andri.

Mba Andri, Cipu dan Peta
Malam kedua, kita bermaksud kembali ke tempat itu. Makin penasaran. Di malam itu adalah hari terakhir Cipu di Sydney, dia harus kembali ke Melbourne naik bis malam jam 8. Kita kembali di 107 Pitt Street, di depan resto kaca itu, di depan tulisan berwarna emas itu. Kali ini suasana ramai sekali, tak seperti kemarin harinya yang sepi. Sangking ramainya ketika kita mau daftar, waiting listnya panjaaaaang sekali dan kita yang waktu itu datang jam 6 lewat baru kebagian jam 9 malam. Akhirnya kita harus membatalkan makan disana lagi karena cipu bisa ketinggalan bis kalau kita nunggu waiting list disana.

Malam kedua ini misi mencicipi Jamie's Italian pun gagal. Akhirnya kita makan di restoran Jepang yang letaknya ga jauh dari situ.

Malam ketiga, waktu itu temperatur sepertinya sekitar 10 der celcius, saya hanya mengenakan dress dan cardigan. Berdua dengan Mba Andri, saya baru saja menonton pertunjukan Mba Andri menari di NSW University. Kita berjalan menyusuri jalan yang sama seperti dua malam sebelumnya, menuju 107 Pitt Street. Kali ini saya berjalan sambil menggigil, saya harus mempertahankan laju kecepatan supaya badan saya tetap hangat. Tangan saya yang terlipat di dada dalam usaha memeluk diri sendiri supaya tetap hangat sepertinya sia-sia belaka. Angin yang berhembus tetap menembus kulit dan timbunan lemak hingga langsung terasa ke tulang. 

Tapi semua itu tidak akan menghentikan tekad saya untuk makan di Jamie's Italian. Apa. Pun. Yang. Terjadi.

Kita sampai di sana sudah agak malam, dan baru kebagian makan jam 11-an. Tempatnya bagus sih, temanya warehouse nya winery gitu. Jadi temboknya tuh semenan gitu, trus meja kursinya kayu-kayu, hiasannya barel-barel (tong) anggur gitu ceritanya. Tema nya ini seperti adalah winery yang mewah, karena walaupun maksudnya mau gudang tapi tetap aja ada kesan anggunnya, misalnya ada chandelier yang cantik gitu. pokoknya kesannya classy banget deh. Bahkan staff-staff nya pun ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Mereka keliatannya setipe gitu, yang cewek kayak Barbie - yang cowok (sudah pasti) kayak Ken. Karena terbawa suasana, saya jadi ninggalin tips AUD 12. Pas disana kayaknya sih ga banyak yah, tapi besok paginya ketika saya sadar dan mengkonversikan uang tips itu tiba-tiba saya nyesek.

restonya remang-remang jadi fotonya gelap hehee


Tissue nya lupa dibawa, buat kenang-kenangan *ndeso

Starter yang kita pesan, Italian Nachos... enyaaak bumbunya
Main Course saya, Mussel Linguine. Nikmaaaat

Foto Mussel Linguine yang diambil dari Web nya

PS: yang namanya Cipu sampai saat ini belum juga ngerasain yang namanya makan di Jamie's Italian.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...