Waktu itu di awal tahun 2008 saya mendarat di bandara udara salah satu ibukota propinsi di Indonesia. Panas terik tetap membuat mata saya terpicing walaupun sudah tersembunyi di balik kacamata hitam selebar setengah wajah.
Masuk ke dalam terminal bandara udara yang lebih mirip terminal bus antar kota, saya langsung menangkap gerakan seorang lelaki berseragam melambai-lambai ke arah saya sembari tersenyum lebar diantara kerumunan penumpang yang baru turun pesawat. Porter kurus berkulit sawo matang itu berlari kecil menyusup diantara arus orang-orang yang berjalan berlawanan arah dengannya, menghampiri saya. "Apa kabar, mba?" sapanya.
Ini baru kali ke 2 saya menginjakan kaki di tempat ini, makanya saya heran si porter itu masih ingat bentuk dan rupa saya setelah lebih dari 3 bulan sejak kunjungan pertama saya. Well, mungkin tidak banyak juga perempuan kecil lusuh dengan barang bawaan 15 kardus yang datang ke kota kecil ini, mungkin karena itu si porter masih ingat sama saya.
Ketika pertama kali saya di tugaskan oleh kantor tempat saya bekerja waktu itu - salah satu organisasi non profit, saya mengerenyit. "Hmmm... Bengkulu itu di Kalimantan ya?" Langsung kepala saya digetok sama ibu boss saya waktu itu, *dung dung* gitu bunyinya. "Kemaren Balikpapan di bilang di Sumatera, Batam dibilang di Kalimantan. Tanjung Pinang kebalik terus sama Pangkal Pinang. ckckckck....,"ibu boss hanya mampu menggeleng-geleng kepala.
"Ini bukan salah saya ibu boss, tapi ini adalah salah nya sistem pendidikan di Indonesia. Soalnya disekolahan yang diajarin itu Peta Buta, makanya sampe sekarang saya ini Buta Peta," jawab saya membela diri.
"Bengkulu itu di Sumatera, neng," ibu boss mulai ga sabaran.
"oooooh.. oke," saya manggut-manggut, "Propinsi nya apa ya?"
Beruntung sekali dulu itu saya punya ibu boss yang tahan mental menghadapi anak buahnya yang kelakuannya absurd semua. Yang satu tukang nyasar buta peta, yang satu lagi cowok aneh yang rambutnya di bonding dan pakai softlense warna mata ular albino. Ibu boss yang baik hati juga senantiasa menelpon setiap hari untuk mengingatkan kami semua agar makan teratur, tidak lupa minum vitamin dan selalu menjaga kesehatan mengingat mobilitas kami yang tinggi.
Bandara udara di Bengkulu bernama Bandara Fatmawati Soekarno untuk menghormati Ibu Negara Pertama Republik Indonesia yang berasal dari Bengkulu. Sistem pengambilan bagasi di sini (ketika saya kesana) termasuk unik karena tidak ada ban berjalan. Sebagai pengganti ban berjalan, ada sebuah kotak bolong di tembok semacam jendela yang tingginya sepinggang orang dewasa. Bergantian koper - tas - dus - karung muncul dari 'jendela' itu dan terlontar kedalam terminal. Para penumpang harus cepat mengidentifikasi barang kepunyaannya di 'jendela' itu dan dengan gesit menangkap kepunyaannya ketika dilempar oleh petugas dari sebelah tembok.
Kota ini memang jelas ketinggalan puluhan tahun dari Jakarta, salah satu bukti nyata tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Posisinya yang terpencil, diapit oleh laut dan hutan lebat penuh dengan babi hutan malah membuatnya semakin terkucilkan. Tanpa sokongan kemudahan akses transportasi untuk menjangkaunya, sementara banyak potensi di daerah ini yang menanti untuk digarap. Walaupun kurang populer, siapa sangka kalau kota ini pernah disinggahi figur-figur orang besar dalam sejarah dunia.
Raffles, sang Founder nya kota Singapura sempat ditugaskan menjadi Governor-Jendral disini. Bencoolen, begitu Raffles menyebutnya. Inggris membangun port perdagangan lada nya disini dan membangun benteng megah yang kemudian di beri nama Fort Marlborough. Disinilah Rafless bersama dengan ahli botani Inggris bernama Arnold menemukan tumbuhan parasit raksasa berbentuk bunga yang cantik namun berbau busuk ketika sedang mekar, yang mereka beri nama Rafflesia Arnoldii.
Awalnya saya datang ke Benteng peninggalan Inggris ini seorang diri, di kunjungan saya yang pertama kali berkat arahan dari pengendara mobil rental yang saya sewa. Bersebelahan dengan benteng ini adalah perkampungan orang China yang sudah datang ke bengkulu sejak tahun 1800-an, gerbang naganya menyambut pengunjung di muka kampung itu. Salah satu tempatnya wisata kuliner di Bengkulu adalah di sini. Kontras dengan gerbang naga berwarna cerah, benteng Marlborough yang berwarna abu-abu tampak dingin dan pintu besi nya tampak angkuh. Saya jadi ingat cerita Kuda Kayu Trojan.
Kunjungan berikutnya saya membawa rombongan rekan kantor semacam kepala rombongan tur. Benteng ini selalu kelihatan sepi tanpa pengunjung. Ketika rombongan turun dari mobil di muka gerbang benteng, penjaga benteng merangkap tour guide disitu yang masih muda dan bersemangat serta merta berlari kecil menyambut. "Hei.. mbak-nya datang lagi. Apa kabar, mba?". Ternyata dia pun masih ingat saya.
Bengkulu jatuh ke tangan Belanda (VOC) melalui Perjanjian London (The Anglo-Dutch Treaty of 1824) yang menukar Bengkulu dan Belitung dengan Malaka untuk memperjelas batas kolonialisasi Inggris dan Belanda. Bersamaan dengan ditandatangani nya perjanjian itu, Bengkulu pun mulai makin terpuruk. Belanda ga berminat sama port perdagangan lada disini, mereka lebih tertarik ikut campur urusan kerajaan-kerajaan di Jawa. Sehingga Bengkulu pun berubah fungsi dari pusat perdagangan lada menjadi tempat pembuangan tahanan politik Belanda.
Salah satunya adalah seorang pria bernama Soekarno. Di Bengkulu, Soekarno muda yang sering berkeliling kota dengan sepeda onthel nya bertemu dengan seorang gadis Bengkulu yang muda dan cantik bernama Fatmawati. Ayahnya adalah pemuka agama yang dihormati di Bengkulu. Soekarno pun menikahi Fatmawati dan memiliki 5 orang anak.
|
Rumah Pengasingan Soekarno di Bengkulu |
|
Sepeda Onthel yang dipakai Bung Karno keliling kota |
|
Koleksi buku-buku yang dibaca Bung Karno semasa pengasingan |
Beberapa tahun setelah pengasingannya, pria itu lah yang berdiri di hadapan rakyat pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan suara lantang menyatakan bahwa Penjajahan Telah Di Hapus Dari Muka Bumi dan Indonesia telah Merdeka. Pria itu pun menjadi Presiden pertama di Indonesia.
Beberapa dasawarsa dari pengasingan pria itu, salah satu dari lima anak pria itu dengan si gadis asal Bengkulu pun menjadi Presiden wanita pertama di Indonesia.
Sore itu di hadapan saya semangkuk baso mengepul panas. Beberapa saat menjelang matahari terbenam. Seharian itu dan hari sebelumnya saya belum mandi karena tidak ada air, bahkan di hotel saya yang tergolong mewah untuk ukuran kota terpencil. Di malam hari kamar saya diketuk oleh pegawai hotel yang membagikan seember air kolam renang ke setiap kamar di hotel itu. Pada akhirnya saya terpaksa membeli beberapa botol air mineral untuk keperluan emergency, cuci muka dan gosok gigi.
Saya mengunyah bakso yang enak, mungkin karena dari pagi harinya saya pun belum makan. Semoga ini bukan daging Babi Hutan liar.
Kunjungan pertama saya kemari beberapa bulan lalu pun tak kalah fenomenal, saat itu pintu kamar hotel saya juga diketuk oleh pegawai hotel. Ketukan keras dan teriakan panik membangunkan saya yang sedang tertidur. "Bu, gempa..Bu." Saya pun segera keluar mengikuti arahan pegawai hotel itu untuk segera berkumpul di lapangan parkir hotel bersama tamu-tamu lain, khawatir ada gempa susulan yang lebih besar. Bahkan lebih parah - tsunami.
"PAM disini memang parah, mbak. Kadang airnya keruh berlumpur. Ya sering juga mati begini," keluh penjual bakso yang duduk di sebelah saya, curhat. Sementara tidak jauh dari lokasi romantis saya dan abang penjual bakso menghabiskan waktu bersama menikmati senja - di Pantai Panjang, saya melihat proyek pembangunan Waterboom megah berwarna-warni. Semoga kolam renangnya tidak pakai air laut.
Langit biru cerah mulai di warnai semburat warna oranye kekuningan mulai dari batas horison. Bola raksasa keemasan bulat sempurna nyaris menyentuh permukaan laut yang berkilauan memantulkan cahayanya. Ombak berbuih bergulung gagah dan mantap menuju garis pantai, menghempaskan diri di pasir berwarna coklat khaki yang lembut. Kemudian menarik diri kembali ke tengah laut seolah-olah mengajak dan merayu orang-orang untuk mengikutinya, meninggalkan jejak basah di butiran pasir.
Menyendiri tak jauh dari para anak-anak lelaki yang sedang bermain sepak bola di pinggir pantai, sesosok bayangan lelaki tampak serius dibalik kamera video nya. Dia rekan kerja saya yang salah satu job desc pekerjaannya bikin-bikin film gitu. Sebenarnya secara fisik bisa dibilang ganteng setengah mati, tapi karena perilaku nya cacat setengah mati, jadi merupakan peng-eliminasi-an sempurna dimana 1/2 -1/2 = 0 sedemikian sehingga menimbulkan yang namanya "ilfil". Semoga kamera videonya dapat menangkap keindahan sunset di negeri Raflesia yang terkucilkan ini.
Bola emas itu kini telah menghilang, seolah-olah bersembunyi di dasar laut yang menelannya. Rekan kerja saya tampak mengemas peralatan kameranya dan berjalan ke arah saya dan tukang bakso, meninggalkan lubang pasir yang dalam dimana kaki nya menapak. Raut wajahnya sumringah, jelas puas dengan hasil bidikannya seharian itu. "Besok kayaknya harus ke Danau Dendam Tak Sudah, nih," katanya.
Waktu itu cepet banget berlalunya, kenangan tentang Bengkulu kayaknya masih baru minggu lalu padahal sudah 4 tahun. Kira-kira kalau saya kesana lagi porter di bandara itu masih ingat saya ga ya? Penjaga Fort Marlborough yang bersemangat itu masih akan ada disana ga ya?