Sejarah dimulai ketika manusia mengenal tulisan. Manusia mengenal tulisan setelah mereka mengenal teknik bercocok tanam dan sudah tidak hidup berpindah-pindah untuk mengumpulkan dan berburu makanan (hunters and gatherers). Sebelum masa sejarah (pre historic) manusia yang hidup berpindah-pindah belum mengenal tulisan, ilmu dan pengetahuan diceritakan langsung dan diajarkan turun temurun. Cara bertahan hidup di alam, apa saja yang boleh dimakan, bagaimana cara berburu semua diajarkan secara lisan dan langsung diterapkan dalam kehidupannya.
Manusia sudah hidup dengan cara mengumpulkan makanan dan berburu sejak ada di bumi, beberapa ratus ribu tahun kemudian teknologi yang dipakai untuk hidup semakin rumit. Awalnya alat bantu untuk senjata, mengolah makanan, dan sebagainya menggunakan batu-batuan. Lama-lama mereka punya ide meruncingkan batu. Kemudian mereka hidup berpindah-pindah dalam kelompok untuk terus mencari makanan. Semakin lama teknologi yang mereka temukan makin canggih, mungkin karena di tempat-tempat baru yang didatangi mereka terbentur dengan tantangan alam baru dan harus terus menemukan cara untuk menanggulangi tantangan alam dan bertahan hidup.
Hingga sampai pada era manusia mulai bercocok tanam. Mungkin awalnya gaya hidup bercocok tanam masih bercampur dengan berburu dan mengumpulkan makanan dari tumbuhan liar di hutan. Kemudian di beberapa daerah yang pada akhirnya menjadi pusat dari awal mula peradaban manusia seperti di mesopotamia, gaya hidup bercocok tanam lebih maju dan manusia mulai memenuhi sebagian besar kebutuhan makanannya dari hasil pertanian. Tapi laju kemajuan teknologi di bumi tidak sama. Ketika jaman peradaban mesopotamia terbentuk, sebagian besar manusia di bumi ini masih hidup sebagai kelompok nomaden hunters and gatherers.
Ketika daerah Eropa sudah memasuki era modernisasi di tahun 1700-an, Suku Aborigin di Australia masih hidup sebagai hunters and gatherers. Di saat itu juga pasti di pedalaman-pedalaman hutan di Indonesia masih banyak dihuni oleh suku asli yang hidup nomaden. Di pulau Jawa mungkin keberadaan suku nomaden terdesak oleh masuknya arus migrasi dari manusia yang hidup bercocok tanam padi, yang populasinya merupakan cikal bakal terbentuknya kerajaan di Jawa. Tapi di pulau-pulau lain seperti Sulawesi dan Kalimantan, mayoritas pasti masih dihuni suku nomaden. Waktu saya kecil aja di Irian Jaya (Sebutan papua jaman orde baru) masih banyak suku asli yang hidup di hutan dengan cara berburu. Di kalimantan pun masih ada suku Dayak yang tinggal di hutan yang masih belum jadi kebun sawit.
Saya mau cerita video singkat yang baru saya tonton tentang Waorani, dari suku asli yang tinggal di hutan Amazon . Kalau mau nonton sepertinya harus Log In dulu dan daftar, jadi saya cerita aja sekilas.
Waorani lahir sebagai suku nomaden di pedalaman Amazon. Waktu kecil Waorani masih hidup berpindah-pindah. Setiap 3 bulan pindah tempat, dia ikut jalan diikat pakai tali ke orangtuanya atau didukung di pundak orang tuanya. Mereka hidup dari makan hasil hutan dan berburu, makanan utamanya Yuca atau kalau kita bilang disini Singkong. Mereka hidup berkecukupan, alam memenuhi segala kebutuhan mereka.
Hingga suatu hari ketika Waorani sudah dewasa di tahun 90-an, datang orang-orang dari perusahaan minyak. Mereka membuat perjanjian dengan beberapa suku asli yang tinggal di hutan itu agar mereka bisa menambang minyak bumi disitu. Seharusnya perjanjiannya hanya 20 tahun, tapi sudah lebih dari 20 tahun perusahaan minyak itu masih beroperasi di sana. Waorani menyebutnya "the devil's tongue of spanish".
Kisah yang mirip pernah saya dengar dari Rio yang pernah tinggal bersama suku dayak di Kalimantan. Hidup mereka berubah drastis karena perusahaan kelapa sawit membeli tanah mereka untuk dibangun perkebunan. Mereka yang sebelumnya tidak terbiasa dengan konsep uang mempergunakannya secara konsumtif, beli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan dan tidak bisa jadi modal untuk hidup mereka selanjutnya kalau uang hasil penjualan tanah sudah habis.
Sejak nenek moyang Suku Dayak hidup di hutan itu berabad-abad lalu, mereka hidup dari apa yang ada di hutan. Mereka punya kepercayaan, kewajiban dan tata cara yang diajarkan turun temurun bagaimana menjaga hutan agar bisa terus hidup dan makan dari apa yang ada di hutan. Mereka tidak perlu uang untuk beli makanan. Tapi karena hutan tempat mereka cari makan berubah jadi ladang sawit dan sudah ditukar sama uang, jadi otomatis hidup mereka berubah drastis.
Sama persis seperti Waorani di hutan amazon. Sebelum perusahaan minyak datang mereka hanya makan apa yang ada di hutan; singkong, pisang, hewan buruan. Pakaian, alat berburu dan aksesoris lainnya diambil dari bahan yang tersedia di hutan, diajarkan turun temurun oleh orang tua mereka. Dan mereka merasa cukup. Setelah mengenal uang dan bisa beli bahan makanan, yang dimakan jadi lebih bervariasi; nasi, coca cola, biskuit, kue. Masalahnya adalah Waorani tidak punya skill untuk menghasilkan uang, sementara makin lama kehidupannya makin tergantung dengan uang karena hutan tempatnya tinggal sudah tidak sama seperti pada masa ayah dan kakeknya.
Waorani khawatir dengan kondisi hutan yang semakin rusak karena pekerjaan ekplorasi, mereka sudah tidak bisa lagi hidup dari hasil hutan seperti dulu. Ya mirip-mirip kejadiannya antara di amazon, suku dayak di kalimantan, suku di papua. Itu juga yang terjadi sama banyak spesies hewan di dunia ini yang semakin lama semakin susah untuk bertahan hidup karena hutan tempat tinggal mereka makin lama makin sempit didesak oleh perkebunan, peternakan, jalan raya, perumahan, pabrik. Sekarang Waorani dan anggota suku yang tinggal di hutan itu tidak lagi bisa hidup berpindah-pindah. Anak-anaknya sudah tidak merasakan hidup nomaden, mereka menetap di rumah yang sudah di semen permanen dan sudah sekolah.
Waorani di Amazon, suku Dayak di Kalimantan dan suku di Papua merupakan sisa-sisa dari generasi hunters and gatherers di dunia ini. Anak-anak mudanya mungkin sudah tidak hidup sama seperti cara hidup kakeknya karena perkembangan dunia yang pesat tahun belakangan ini, mereka sudah tidak lagi berburu dan mengumpulkan makanan karena kebutuhannya dibeli di pasar. Mereka mungkin sudah tidak lagi mempelajari pengetahuan turun temurun dari orang tuanya tentang jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa jadi makanan atau jadi obat di hutan, tidak lagi mempelajari cara membuat pakaian dan membuat senjata dari bahan alami karena sudah sekolah dan belajar matematika, fisika dan kimia.
Perubahan memang tidak terelakan, tapi lucu. Jaman dulu dunia ini tanpa batas, kemudian manusia membuat batasan-batasan untuk melindungi tempat tinggalnya contohnya batas negara, tapi lama-lama gaya hidup nya jadi sama semua dan mulai banyak yang menginginkan dunia tanpa batas (lagi). Yang hidup di peradaban inferior pasti kepingin mengikuti manusia yang hidup di peradaban superior. Kalaupun gak kepingin pilihannya hanya harus mengikuti atau terdesak. Seperti suku di Amazon dan Dayak terdesak sama globalisasi, suku Indian dan Aborigin terdesak sama kolonisasi bangsa eropa jaman dulu.
Waktu ke Rinjani, kawan-kawan bule saya yang bareng mendaki sama saya sepakat kalau saya mengingatkan mereka sama Pocahontas waktu lihat saya lari-lari gak pake sepatu dipinggir danau. Katanya karena kulit saya yang tanned (bukan item yah), kepangan rambut dan tampak seneng banget lari-larian telanjang kaki.
Pocahontas di disney memang keren, dia juga dari suku indian asli yang tinggal di hutan. Tapi kenyataannya ga seindah di film animasi. Pocahontas itu tokoh nyata dan memang benar dia ketemu John Smith yang berlayar pakai kapal dari Inggris. Si John Smith ini sendiri yang menulis surat ke Ratu Inggris tentang Pocahontas, seorang gadis anak kepala suku indian yang menyelamatkan nyawanya ketika mau dieksekusi sebagai penyusup asing. Mungkin itu yang menginspirasi cerita Disney.
Saya pernah baca cerita asli tentang Pocahontas, di dunia nyata Pocahontas akhirnya menikah dengan pria Inggris, bukan John Smith. Dia jadi perempuan Indian pertama yang hidupnya di-westernisasi. Pocahontas diajari bahasa Inggris, pakai baju kayak perempuan inggris di era itu, gaya hidup dan tata caranya berubah jadi kayak orang eropa. Buat saya itu tragis dan menyedihkan, tapi mungkin pas jaman itu dari suku primitif yang hidup di hutan jadi anggota peradaban eropa yang canggih itu keren.
Waktu jaman kolonial di Indonesia dulu, Belanda juga membawa gaya hidup Eropa ke raja-raja Jawa. Pangeran dan Putri disekolahkan ke Belanda atau disekolahkan di sekolah elit yang didirikan dan diajar oleh orang Belanda, mempelajari bahasa dan gaya hidup eropa. Coba aja perhatikan kalau lagi berkunjung ke keraton atau museum kerajaan-kerajaan di Jawa. Di tahun 1800-an Sultan pun mulai memasukan unsur Jas ke pakaiannya, seperti gaya pakaian orang Eropa. Sekarang kita pakai baju, rok, kemeja, T-shirt, Jeans itu hasil nyata dari era kolonial, kita semua bergaya pakaian seperti orang barat.
Berakhirnya satu jaman beralih ke jaman lain memang tidak terelakan dan kalau kita baca buku sejarah memang selalu terjadi. Sekarang ini adalah saatnya jaman hunters dan gatherers benar-benar berakhir. Generasi yang lahir sekarang-sekarang ini mungkin hanya akan tahu suku primitif yang tinggal nomaden di tengah hutan hanya dari wikipedia atau dari jalan-jalan ke goa pre-historic dan lihat gambar-gambar hasil karya orang purba di dinding goa karena budaya hidup hunters and gatherers sudah punah. Tapi mudah-mudahan kita semua tidak akan lupa kalau ada saat dimana manusia hanya mampu bertahan hidup di alam, belum punya teknologi untuk berusaha mengendalikan dan menjadi mahluk congkak yang berusaha menguasai dunia ini.
pusing bacanya...panjang,,dan nga ada gambarnya.. yakali memangnya komik wkwkkw
BalasHapusRacauannya keren Mbak Mila, ini seperti artikel lingkungan tapi disajikan secara fiksi ilmiah, hehe. Seruu... ! :-)
BalasHapusAku suka tulisan ini, kehidupan Pochahontas klo liat di film itu keren bgt, ternyata diadaptasi dari dunia nyata tooh.. baru ngerti hahahaha... Kalau mbak dianggap kyk Pochahontas sama sibule2 itu berarti sexi bgt, keren!. Btw.. dunia emang mengalami perubahan yg gak kita duga ya, gak terasa, tp nyata... Yang penting kita harus terus belajar agar gak mudah tergerus perubahan :)
BalasHapusgw langsung flashback kekehidupan jaman batu yg cuma tau dari bacaan jaman sekolah, begitu baca bagian pochahontas, gw langsung kebayang film night @ museum? #lho...
BalasHapusmanusia memang beradaptasi dan selalu mengalami perubahan. Tapi kemudian jadi menyedihkan kalau budaya asli akhirnya hilang
BalasHapusAku jdi penasaran ama si Waorani ini. Besok kalau ol notebook aku tonton videonya. . .
BalasHapusEh aku blom nonton Pocahontas loh. Emang gitu ya ceritanya?
BalasHapusMila keren banget meracaunya begitu saintifik ;)
Kesannya suku2 ini dipaksa "modern" karena campurtangan luar ya. Perubahan/perkembangan budaya dan adat istiadat sllu dimulai dari infiltrasi dri luar, setelahnya baru akulturasi, ujung2nya klo bukan muncul budaya baru, berarti budaya asli yg bakal tergerus habis. Plus minus ada pastinya, tp nda rela jga, smpe tergerus habis. Ntar nda ada lgi yg unik2. Padahal sudh warnanya indonesia untuk jadi unik.
BalasHapusSalam kenal mbak mila.
gak cuma terjadi di indonesia tapi di seluruh dunia, budaya lokal bnyk yang hilang sekarang meng-konvergen karena globalisasi dan arus informasi yang masif banget
Hapus