Adakalanya suatu rencana perjalanan yang dirancang sangat mulia dan spektakuler harus bisa diterima dengan lapang dada sebagai perjalanan yang biasa (pake) aja. Ketika merencanakan trip pencarian innerpeace kali ini tema yang diusung oleh saya dan Chacha adalah "Sunrise di Borobudur, Sunset di Ratu Boko".
Kenyataan tak seindah untaian judul dari tema pencarian innerpeace kita, kurang riset menyebabkan kita melewatkan sunrise di Borobudur dan salah perhitungan musim membuat kita tidak berhasil menyaksikan sunset di Ratu Boko karena terlalu mendung.
Setelah Bali, lokasi pencarian innerpeace yang kita pilih selanjutnya adalah diantara bangunan batu megah berumur ratusan tahun yang diciptakan atas dasar spiritualisme. Untuk itulah kita bertolak ke Jogjakarta, satu hari penuh kita rencanakan untuk mengunjungi candi-candi yang ada di sekitar daerah istimewa tersebut.
Jum'at sore, pulang kantor, saya dan Chacha berdiri di pinggir trotoar dengan kemeja batik dan tas backpack, menunggu taksi. Hujan baru selesai mengguyur Jakarta, yang membut kita terancam bakal sulit dapat taksi. Awan hitam masih menggelayut pekat di langit jam 5 itu, semakin membuat perasaan was-was ketika 15 menit berlalu tapi kita belum juga mendapatkan taksi. Tiba-tiba sebuah taksi warna putih Express melipir dihadapan kita.
"Ke Stasiun Gambir, Pak," Kata Chacha ke supir taksi waktu itu, seorang pria paruh baya berpostur kecil yang kemudian berusaha menjalin sebuah percapakan ke saya dan Chacha yang kemudian gagal dan mengering.
Sebenarnya di lubuk sanubari saya yang paling dalam yang terbiasa jalan-jalan dengan budget ketat merasa kurang puas dengan biaya yang harus saya keluarkan untuk sebuah tiket Argo Lawu sebesar 375 ribu rupiah. Tapi karena sekarang kereta Bisnis sudah tidak bisa naik dari Jatinegara dan harus dari stasiun Senen, terpaksa kita beli kereta eksekutif yang naik dari stasiun Gambir. Kita khawatir ga akan survive di Stasiun Senen di jam pulang kantor akhir minggu.
Sebelum pukul 5 subuh saya dan Chacha sudah tiba di stasiun Tugu Jogjakarta, sempat gosok gigi, bedakan, ngopi baru kita keluar stasiun menyusuri jalan Malioboro dengan tujuan sarapan pecel di depan pasar Beringharjo. Ternyata kita sampai disana masih sepi, para pedagang baru mulai siap-siap merapikan dagangannya jadi kita menunggu sambil duduk memandang jalan Malioboro yang masih sepi pagi itu.
|
Pagi-pagi di Malioboro, belom mandi seharian
|
Jogja dan wisata kuliner nya memang selalu menjadi bencana bagi para insan yang berdiet, termasuk saya. Demi trip ini terpaksa niat diet saya ditangguhkan dulu untuk sementara dan entah kapan mulainya. Hari pertama di kota gudeg ini, masih pakai kostum kantoran dan terakhir mandi adalah pagi hari kemarinnya, saya telah melahap pecel berkembang turi dengan side dish nya yang melipah ruah dihadapan saya. Saya pun kalap mengunyah tempe goreng, telur puyuh dan udang.
Sebut saya ketinggalan jaman, tapi waktu saya ke Jogja kemarin itu pertama kali saya makan hidangan yang bernama Brongkos dan ternyata enak banget. Brongkos yang saya cicipi di Warung Handayani Alkid, info yang saya dapat dari follow akun twitter nya mas arie parikesit. Pertama kali juga saya makan yang namanya oseng-oseng mercon yang bikin belingsatan kalang kabut kepedesan sampai nangis-nangis kayak ditabokin preman pasar. Bibir rasanya kebal dan kuping terasa budeg, sangking pedesnya. Tapi dengan penuh susah payah habis juga.
|
Pecel di depan Pasar Beringharjo |
|
Nasi Brongkos, modelnya begini |
|
Ekspresi makan oseng-oseng mercon, diambil secara candid oleh Chacha -_-" |
Di depan saya seorang pria kekar, tinggi dan besar. Berkulit gelap, mengenakan kaos hitam, pokoknya sekilas ngeri deh penampakannya. Gahar. Eh pas makan oseng-oseng mercon itu, ga lama dia bercucuran air mata dan megap-megap. Tissue berantakan dihadapannya. Tapi dia tetap meneruskan makannya, walaupun setiap suapan nasi dan oseng-oseng diselingi sama isapan rokok kretek. Dashyat.
Keseruan yang lain di trip ini adalah saya akhirnya bertemu sama Anno
dan Morishige, salah dua dari tukang blusuk favorit saya yang tinggal di
jogja. Anno yang punya blog
teamtouring.net,
suka ga jelas naik motor menyasarkan diri ke tempat-tempat keren dan
eksotis yang jarang dijamah manusia dan bikin ngiri setengah mampus.
Morishige bernama asli Fuji, sang jejaka petualang dari
morishige.wordpress.com
yang tulisannya berkesan pemikir serius yang puitis dan filosofis
padahal aslinya humoris. Lucunya walaupun tinggal satu kota dan kuliah
di universitas yang sama mereka baru kali itu juga ketemuan.
Awalnya kita janjian di Km Nol, malem minggu jam 8. Tapi cuaca tidak
kondusif saat itu, hujan mengguyur Jogja sejak sore hari hingga tempat
janjian terpaksa pindah ke Angkringan Wijilan. Saya dan Chacha tiba
lebih dulu di lokasi naik becak dari Malioboro. Untuk memastikan saya
ada di tempat yang benar dan ga nyasar (si anno tau banget nih kelemahan
saya yang satu ini), Anno minta di bbm foto lokasinya hadeeeeh. Tak
lama Anno muncul, di susul oleh Morishige. Kita ngobrol hingga dini hari
dan membuat saya rindu masa muda huhuhuuu...hiks!
|
Foto yang meyakinkan anno klo saya ada di tempat yang benar (1) |
|
Foto yang meyakinkan anno klo saya ada di tempat yang benar (2) |
Yah.. jadi begitulah kisah pencarian innerpeace episode kali ini yang
terpaksa harus menemui kegagalan dalam mengusung tema awal, tapi tetap seru
karena didukung oleh makanan enak dan kawan-kawan yang asik.
|
Morishige, saya dan Anno |
|
Next from ceritanyamila di Jogja, trip seharian keliling candi ;) |