Jam 4 tepat tanpa berani mandi, cuman percikin sedikit air ke muka dan gosok gigi seadanya, saya, chacha dan tince sudah siap di depan homestay. 3 ojek sudah menanti untuk mengantarkan kita bertiga keliling Dieng seharian. Tujuan pertama adalah mengejar matahari terbit dari atas puncak bukit Sikunir.
Hujan di malam sebelumnya membuat cuaca makin dingin, rencana saya untuk sok-sokan mengenakan celana pendek untuk treking terpaksa di batalkan.
Perjalanan naik motor dari homestay menuju parkiran Bukit Sikunir aja sudah cukup membuat muka saya beku kena angin dingin campur lembab-lembab embun pagi. Jalanannya pun cukup menantang maut, gelap gulita dengan jarak pandang paling jauh 2 meter saja karena kabut tebal, ditambah jalanan yang menanjak berlubang-lubang dan licin. Sementara di sebelah kanan jalan, tampak jurang menganga lebar walaupun gak keliatan dalemnya sebagaimana karena gelap.
Sampai di parkiran Bukit Sikunir ternyata sudah ramai pengunjung, mobil-mobil dan motor-motor tampak sudah memenuhi area tersebut. Rombongan-rombongan turis pun sudah mulai ramai berduyun-duyun berjalan beriringan mengikuti arah jalan setapak. Mungkin karena kita datang disaat akhir minggu dimana hari selasanya tanggal merah, jadi long wiken bagi yang ambil cuti hari senin.
Perjalanan mulai berat sekitar 200 meter dari area parkir karena mulai menanjak di batu-batuan licin karena basah selepas hujan. Luas jalannya pun hanya bisa dilewati satu orang, jadi harus antri dan agak susah kalau mau melewati antrian itu. Sekitar setengah jalan menuju puncak, antrian rombongan terhenti karena ada salah satu pria yang gak kuat menanjak dan tergeletak tak berdaya di bebatuan yang dingin. Kita sempat melewati pria yang nyaris pingsan itu, tapi jalan antrian masih tersendat karena medan yang semakin curam.
Guide kita pun berinisiatif mengarahkan saya dan chacha ke jalan lain yang ternyata jaraknya lebih jauh dan lebih tinggi dari tujuan para pengunjung yang mengantri itu. Kita tiba di Pos 3. Medan nya juga lebih sulit karena jarang dilalui, jalan setapaknya nyaris tertutup semak belukar sehingga kalau tidak ada mas-mas penunjuk jalan sudah bisa dipastikan kita pasti akan tersesat. Jalan nya pun tidak semuanya di tutup batu-batu dengan rapi seperti jalan menuju Pos 1, jadi kita harus hati-hati banget ketika melewati jalan tanah yang licin dan lengket menempel di sol sepatu.
Sekitar 20 menit kita berjalan, sampai di pos yang dituju sepi banget. Hanya ada serombongan kecil fotografer yang sudah siap dengan posisi tripod sudah terpasang. Saya pun menggelar plastik dan duduk berdua chacha, mengeluarkan bekal roti dan susu, sembari sarapan menunggu kemunculan matahari dari balik awan.
Ya, kita hanya berdua karena Tince rupanya terbawa arus rombongan ke Pos 1, yang menurut tince ramai orang banget sampe si tince kegerahan. Sementara saya dan Chacha nyaris beku di pos 3, sampai kita numpang menghangatkan diri di api unggun anak-anak yang lagi kemping tidak jauh dari posisi kita menyaksikan sunrise.
Saya dan Chacha ketemu lagi sama tince di area parkir, kita memutuskan untuk menghangatkan diri sambil ngopi-ngopi dan ngemil gorengan di warung. Tince yang sudah lepas jaket kegerahan, dan saya yang masih kedinginan dengan celana dan sepatu penuh lumpur. Jadi di jalan turun dari bukit saya sempat terperosok gara-gara tanah yang saya injak amblas. Rupanya karena jarang dilewatin dan habis hujan malamnya tanahnya itu jadi gak padat, jadi pas saya injak langsung jeblos gitu. Bukan hanya sekali, tapi tiga kali saya tersuruk di tempat yang sama. Sudah pasti jadi bahan ketawaan si Chacha selama 3 minggu.
Jalan pulang habis liat sunrise menuju parkiran di sebelah telaga cebong |
Ngopi di warung |
akibat nyusruk di kubangan |