Banyak yang bilang kalau di Tanah Suci itu musti hati-hati sama perilaku dan ucapan, gak boleh sembarangan karena niscaya cepet dapet balesan disana. Jangankan yang dilakukan disana, banyak juga kan kita denger cerita orang-orang pulang dari melaksanakan ibadah Haji yang intinya apa yang di tanam di kehidupan sehari-hari itu yang bakal dituai disana.
Percaya gak percaya tapi saya sudah buktikan sendiri.
Ceritanya musti dari awal banget, supaya ga bingung.
Saya, Chacha dan Papa Said berada dalam rombongan umroh yang berjumlah sekitar 20-an orang. Hampir setengah dari anggota rombongan itu masih saudara Papa Said. Jadi mulai di hari pertama kita kumpul bareng-bareng sekeluarga itu. Tapi ada satu peserta yang ikut umroh sendiri, bapak-bapak dari daerah Jawa yang bahasa Indonesia nya kurang lancar.
Dari pertama muncul bapak itu mengenakan handuk kecil warna pink dilingkarkan di lehernya. Mulai berangkat dari Jakarta hingga tiba di Madinah. Ketika pembagian kamar hotel, bapak itu dapat satu kamar dengan salah satu famili Papa Said, sejak itu kemana-mana bapak itu ikut sama kita-kita. Hari kedua, bapak itu masih konsisten dengan handuk pink nya di leher. Kemudian salah satu om saya berinisiatif memberinya selendang kotak-kotak yang suka dipake orang arab itu, katanya untuk menggantikan handuk pink nya yang belel itu. "Mulai besok jangan pakai-pakai handuk lagi, dosa," kata om saya itu. Kita semua yang denger pun ketawa.
Dari Madinah kita menuju ke Mekkah. Di Mekkah sekeluarga Papa Said dapat semacam paviliun yang berisi 4 kamar. Plus bapak dari Jawa itu - yang kini sudah diganti namanya jadi Abdullah dan dikasih marga Al-Katiri sama om saya, ikut di dalam paviliun itu. Letak paviliun itu di lantai paling atas hotel yang kita tempati dan sepertinya punya manajemen terpisah dengan hotelnya walaupun berada di satu gedung. Kita tiba di Mekkah hampir tengah malam, saat itu di dalam kamar kita tidak ada handuk. Karena sudah malam, hotelnya menjanjikan akan mengantar handuk keesokan harinya.
Esok harinya ditunggu, handuk tidak datang-datang. Celakanya karena menganggap tinggal di hotel jadi kita gak bawa handuk dari rumah. Pihak penyelenggara travel pun ikut repot memintakan kita handuk ke hotel, tapi hari itu tetap tidak ada handuk yang datang. Begitu pula keesokan harinya. Saya terpaksa mengeringkan badan dengan kaos. hiks.
Percaya gak percaya tapi saya sudah buktikan sendiri.
Ceritanya musti dari awal banget, supaya ga bingung.
Saya, Chacha dan Papa Said berada dalam rombongan umroh yang berjumlah sekitar 20-an orang. Hampir setengah dari anggota rombongan itu masih saudara Papa Said. Jadi mulai di hari pertama kita kumpul bareng-bareng sekeluarga itu. Tapi ada satu peserta yang ikut umroh sendiri, bapak-bapak dari daerah Jawa yang bahasa Indonesia nya kurang lancar.
Dari pertama muncul bapak itu mengenakan handuk kecil warna pink dilingkarkan di lehernya. Mulai berangkat dari Jakarta hingga tiba di Madinah. Ketika pembagian kamar hotel, bapak itu dapat satu kamar dengan salah satu famili Papa Said, sejak itu kemana-mana bapak itu ikut sama kita-kita. Hari kedua, bapak itu masih konsisten dengan handuk pink nya di leher. Kemudian salah satu om saya berinisiatif memberinya selendang kotak-kotak yang suka dipake orang arab itu, katanya untuk menggantikan handuk pink nya yang belel itu. "Mulai besok jangan pakai-pakai handuk lagi, dosa," kata om saya itu. Kita semua yang denger pun ketawa.
Dari Madinah kita menuju ke Mekkah. Di Mekkah sekeluarga Papa Said dapat semacam paviliun yang berisi 4 kamar. Plus bapak dari Jawa itu - yang kini sudah diganti namanya jadi Abdullah dan dikasih marga Al-Katiri sama om saya, ikut di dalam paviliun itu. Letak paviliun itu di lantai paling atas hotel yang kita tempati dan sepertinya punya manajemen terpisah dengan hotelnya walaupun berada di satu gedung. Kita tiba di Mekkah hampir tengah malam, saat itu di dalam kamar kita tidak ada handuk. Karena sudah malam, hotelnya menjanjikan akan mengantar handuk keesokan harinya.
Esok harinya ditunggu, handuk tidak datang-datang. Celakanya karena menganggap tinggal di hotel jadi kita gak bawa handuk dari rumah. Pihak penyelenggara travel pun ikut repot memintakan kita handuk ke hotel, tapi hari itu tetap tidak ada handuk yang datang. Begitu pula keesokan harinya. Saya terpaksa mengeringkan badan dengan kaos. hiks.
Hingga di malam hari, di hari kedua itu Chacha menyadari jangan-jangan kita gak dapet handuk gara-gara di madinah kita ngetawain bapak itu pake handuk pink kemana-mana.
Tiba-tiba ada suara pintu di ketuk. Handuk pun datang.
Tiba-tiba ada suara pintu di ketuk. Handuk pun datang.
Sehari sebelum pulang, ketika kita lagi di Gua Hira, Papa Said ngobrol-ngobrol sama bapak itu yang menggunakan bahasa Indonesia sepotong-potong dicampur bahasa Jawa. Ternyata di kampungnya, bapak itu termasuk salah satu orang yang berpengaruh, semacam tetua kampung gitu. Bapak itu juga ternyata seorang juragan yang punya lahan kebun luas banget. Saat itu juga kita denger dia telepon ke anaknya di kampung untuk menyiapkan acara penyambutan kepulangannya pake acara potong sapi segala.
Walopun sekarang kalo diinget-inget, saya dan Chacha malah jadi ketawa ngakak gara-gara pengalaman itu, ya tetep aja gak enak dapet karma kayak gitu. Meningan juga dapet kurma.
Kebon Kurma |
Kurma belom mateng di pohon |
Toko kurma boleh cobanin all you can eat |
Jajan Kurma |