Kadang kita takut untuk pergi jauh dari lingkungan hidup kita sehari-hari karena khawatir bahwa dunia di "luar sana" adalah dunia yang kejam. Tapi buat saya ga selalu begitu. Ketika saya traveling saya selalu menemukan banyak orang baik bertebaran dimana-mana, itu semakin membuat saya optimis dalam memandang dunia ini.
Pengalaman saya selama traveling selalu positif, orang-orang yang saya temui di jalan kebanyakan adalah orang yang ramah dan baik. Malahan selama ini saya ga pernah (dan jangan sampe) kena modus scam atau ditipu. Kalau soal modus penipuan atau scam memang kebanyakan saya riset dulu sebelum pergi ke suatu tempat dan sebisa mungkin menjauhi tempat-tempat nya. Kalau memang tempat yang mau saya datangi itu yang banyak modus scam nya, ya saya waspada tingkat tinggi dan berusaha supaya ga narik perhatian - usaha yang ga gitu susah dengan ukuran badan segede saya gini sih.
Sering juga saya dapet "peringatan" mengenai modus scam dari ngobrol-ngobrol sesama turis atau traveler atau backpacker atau whatever yang saya temui di jalan. Agak aneh juga kalau lagi jalan-jalan trus ketemu sesama pelancong walaupun dari beda negara, bahkan seringkali ga tukeran nama, tapi kita bisa ngobrol banyak. Tukeran informasi tempat yang sudah dan akan dikunjungi, tempat makan, sampai modus scam. Beberapa kali saya ngalamin kayak gitu, malahan di Bangkok saya sempat dapat lungsuran buku guide tentang thailand dari cowo bule agak tua yang ngobrol sama saya pas sarapan di hostel di hari pertama saya dan hari terakhirnya dia, trus dia mewariskan buku guide nya yang tebel tapi udah lusuh kumel karena di abuse selama hampir 3 bulan di Thailand. Sampai sekarang masih saya simpen.
Menemukan kebaikan hati orang yang ga kita kenal di tempat yang asing itulah yang buat saya pengalaman paling berharga. Buat saya tingkat tertinggi dari tolong-menolong adalah yang tulus dan tanpa pamrih, satu tingkat lebih tinggi dari itu adalah tolong-menolong sesama orang yang kita ga kenal sebelumnya. Kita berbuat baik karena kita ingin berbuat baik, bukan karena orang itu adalah kawan kita atau bukan karena suatu saat kita mengharapkan kalau kita susah orang itu bakal bales nolongin kita juga karena belum tentu kita bakal ketemu lagi.
Suatu saat ketika saya lagi bingung di pinggir jalan kota Bangkok, lagi mikir gimana caranya nyebrangin jalan dan lagi nunggu orang lokal yang nyebrang supaya saya bisa mencontoh tiba-tiba lewat di depan saya cewe bule yang nanya. "mau nyebrang jalan?".
Saya mengangguk.
Kemudian cewe itu menjelaskan, "kamu jalan dulu ke arah sana terus nyebrang di lampu merah di bawah jembatan, balik lagi ke arah di depan sana. Tadi juga saya bingung cari jalan nyebrangnya." Dan cewe itu langsung berlalu setelah saya mengucapkan terima kasih.
Sebelum saya ke Timor Leste saya ngobrol sama salah satu temen kuliah saya dulu, pas itu saya cerita kalau sebulan lagi saya mau jalan-jalan ke Timor Leste. Kemudian temen kuliah saya itu bilang kalau dia punya temen orang Dili, dulu temen satu kos di Bandung. Namanya Livio Jesus Amaral de Oliveira, panggilannya Kiko. Saya diberi nomor kontak Whatsapp nya dan beberapa hari sebelum saya ke Dili saya menghubungi nya.
Kiko itu baik banget, pas saya sampe ke Dili saya langsung di jemput di bandara dan hotel yang sudah saya booking ga jadi ditempati karena Kiko menawarkan untuk menginap di rumahnya. Dari kantornya dia terus memantau, saya ada dimana atau apakah saya nyasar, "kalau nyasar nanti bilang aja, aku jemput," katanya.
Tuan Rumah di Dili yang namanya kayak pemeran telenovela |
Di Pink Beach Pulau Komodo, ketika saya, Pagit dan Mba Efa sedang menikmati makan siang di atas kapal sebelum kapal kita menempuh perjalanan 4 jam kembali ke Labuan Bajo, kita di samperin sama salah satu orang dari kapal lain yang lagi bawa rombongan turis dari Bali. Perjalanan mereka berhari-hari dari Bali ke Pulau Komodo, bermalam di kapal dan berhenti di beberapa tempat yang dilalui sepanjang perjalanan. Tapi baru setengah perjalanan ada seorang perempuan bule yang sakit demam, ga mungkin nunggu beberapa hari lagi sampai mereka kembali tiba di bali, jadi orang itu minta ijin supaya penumpangnya boleh numpang kapal kita bertiga sampai Labuan Bajo.
Kita bertiga pun langsung memperbolehkan perempuan itu - ditemani sama pacar cowo nya, pindah ke kapal kita bersama barang bawaan mereka yang segambreng sampai di Labuan Bajo. Malahan kita sempat bawa mereka ke hotel tempat kita nginap karena mereka sama sekali ga ada persiapan mau terdampat di kampung kecil kayak Labuan Bajo. Beruntung mereka ketemu kita bertiga yang booking satu kapal, kalau mereka ketemunya sama kapal tur yang ada pemandunya pasti mereka bakal disuruh bayar mahal buat numpang ke Labuan Bajo.
Buat Pagit, balasan datangnya ga lama.
Lunch di atas kapal |
Keesokannya saya, Pagit dan Mba Efa pergi ke air terjun. Kita jalan kaki lebih dari 5 km dari kampung terdekat menuju ke air terjun, menembus hutan belukar yang masih alami. Perjalanan pergi sih lumayan karena jalanan menurun, dalam hati saya udah mulai mikir ini jalan pulangnya pasti berat banget. 5 kilometer jalan menanjak di lumpur-lumpur. Mantap.
Sebelum masuk ke dalam hutan kita ketemu sama gerombolan bapak-bapak yang sedang mengatur napas nya. Mereka naik mobil 4WD ban gede yang bisa tembus jalanan Off-Road, ada 2 mobil. Melihat kita bertiga, cewe-cewe, dengan 2 orang pemandu orang lokal, bapak-bapak itu memberi semangat ke kita dengan berkata bahwa bagaimanapun perjalanan yang kita tempuh itu worth it karena air terjun nya memang indah luar biasa.
Air terjunnya memang indah luar biasa.
Perjalanan pulangnya juga luar biasa. Awalnya kita harus keluar dari hutan itu dengan posisi nyaris merayap karena jalan nya terjal. Keluar dari hutan kita masih harus jalan menanjak di tanah berlumpur, sampai ke kampung cuncawulang. Beberapa ratus meter berjalan, pagit sudah kepayahan jalan paling belakang sambil setengah sadar meracau, "Coca Cola Dingin... Coca Cola Dingin...".
Pemandu kita, seorang anak muda kurus tinggi penyabar dari kampung cuncawulang berusaha menghibur pagit, "iya sabar, nanti kalau udah sampai di warung ya, kakak."
Tapi pagit terus saja merapal , "Coca Cola Dingin.. Coca Cola Dingin..." seolah-olah itua dalah mantra yang menguatkan langkah nya yang tertatih.
Tiba-tiba di kejauhan saya melihat dua mobil off-road milik gerombolan bapak-bapak terparkir di pinggir jalan lumpur. Saya segera menghampiri dan sok akrab ngajak ngobrol salah satu bapak yang kurus kecil.
"Kenapa, pak mobilnya?" tanya saya.
"Yang satu pecah ban," katanya sambil menunjuk salah satu mobil yang sedang di dongkrak, salah satu ban nya lagi dalam proses dilepasin,"ban nya mau dibawa ke kota, mau dibenerin dulu."
"Oooo..." jawab saya.
"Kalian dari mana?" tanya bapak itu.
"Kita dari Jakarta, Pak. Jalan-jalan kesini," jawab saya, "Bapak rombongan darimana?"
"Kita dari Bandung." kata bapak itu.
"Naik mobil dari Bandung sampai ke sini,pak?" tanya saya takjub.
"Iya. kita dari Geologi..." bapak itu mejelaskan.
Tiba-tiba entah darimana Pagit menyeruak masuk ke pembicaraan kita.
"Bapak dari Geologi? Bandung? kenal ibu A (pagit nyebut salah satu nama yang saya luap)?"
"Kenal lah." kata bapak itu.
"Saya ini keponakannya, pak," kata pagit dengan intonasi seperti di sinetron-sinetron disaat seorang anak yang sudah bertahun-tahun hilang menemukan kembali jejak ibu kandungnya : saya ini anaknya, pak.
Tapi rupanya ban pecah itu, bapak-bapak dari Bandung yang sedang meneliti struktur batuan di air terjun itu, bapak-bapak dari Bandung yang kerja bareng tantenya Pagit itu, adalah semacam oase di padang pasir bagi pagit, bantuan yang dikirimkan Tuhan buat Pagit. Tidak lama Pagit sudah ada di salah satu mobil yang akan membawa ban pecah untuk diperbaiki ke kota, Pagit di antar sampai ke warung di kampung cuncawulang.
Cerita lebih lengkapnya dari sudut pandang Pagit langsung di cekidot disini:
Saya optimis bahwa diantara segelintir orang jahat, maniak, psikopat, pembunuh berantai, koruptor di dunia ini, masih lebih banyak orang yang baik.