Sebelumnya, ini bukan cerita horor dan tidak ada hubungannya sama film Nenek Gayung walaupun ada bumbu-bumbu misteri nya. Saya tidak tahu nama nenek ini, tapi karena setiap sore saya hampir selalu melihatnya berdiri di tikungan exit toll Jatiwaringin ke arah Pondok Gede, saya menyebutnya dengan nama Nenek Tikungan.
Nenek ini perawakannya kurus dan kecil. Gaya berpakaiannya setiap hari selalu sama, daster tipis, blazer kegedean dan jilbab yang model langsung pake kayak mukena gitu, ga tau apa namanya. Nenek ini belum lama ada di tikungan itu, mungkin sekitar 2-3 tahun. Di awal kemunculannya nenek itu berkulit terang dan bersih, wajahnya juga ga jelek-jelek amat sih. Saya yakin waktu mudanya lumayan manis karena udah tua aja masih kliatan bentuk mukanya mungil, hidung mancung dan bibir tipis.
Setiap sore nenek itu berdiri di pinggir jalan memegang gelas bekas air mineral. Nenek itu tidak pernah pasang muka minta dikasihanin kayak kebanyakan pengemis di jalanan yang sengaja pakai baju compang camping, malahan pura-pura cacat dan pasang muka memble mau nangis. Nenek itu mengharapkan sumbangan dari pengendara mobil yang lewat di jalan itu dengan gaya berkelas, berpakaian rapi dan tidak memelas. Nenek itu melakukannya dengan gaya sophisticated.
Selang beberapa bulan nenek tikungan itu kulitnya mulai tampak gelap dan kumal, tapi pakaiannya tetap sama, daster dibalut blazer dan jilbab yang tidak pernah terlihat compang-camping walaupun bukan baju bagus. Belakangan nenek itu sering tampak berdiri dengan wajah yang lebih pucat dari hari-hari yang lain dan terbatuk-batuk.
Tahun lalu di hari Jum'at, saya dan Chacha lagi duduk-duduk di Masjid Nabawi, Madinnah menunggu waktu sholat. Kemudian datang di sebelah kami rombongan perempuan-perempuan mengenakan abaya hitam yang menandakan rombongan dari daerah Arab dan sekitarnya. Di sebelah saya duduk seorang nenek, kecil mungil. Nenek itu ngeliatin saya, trus saya senyumin. Nenek itu nunjuk-nunjuk hidung saya sambil bicara dengan bahasa arab yang saya artikan dengan bahasa kalbu nanya asal saya dari mana.
Saya menjawabnya, "Indonesia."
Nenek itu kemudian bilang," Yaman? Yaman?" masih nunjuk-nunjuk hidung saya.
Di Madinah kalau lagi jalan di toko-toko, saya dan Papa Said memang suka diteriakin Yaman. Mungkin karena mereka lihat tipe wajah saya begini, kemudian liat gaya pakaian saya yang jamaah Indonesia banget. Nah karena tipe muka kayak saya dan Papa Said yang banyak di Indonesia itu adalah dari keturunan orang Yaman maka mereka langsung menebak kayak gitu.
Dengan bahasa Arab sepatah-patah yang saya gabung dari penggalan-penggalan kata yang saya tau saya berusaha menjelaskan kalau, iya memang kakek saya dari yaman, tepatnya dari Hadramut.
Eh tiba-tiba tu nenek langsung memeluk saya terus mengusap-ngusap kepala. Parahnya lagi dia mulai nyerocos ngomong panjang lebar bahasa Arab, saya cuman bisa ngeliatin sambil nyengir. Chacha duduk disebelah saya dengan muka ngantuk-ngantuk cuman ngelirik ga minat ketika saya melihatnya dengan tatapan minta tolong, "sukurin lo kak, lagian cari gara-gara sok ngomong arab. Gw ga ikut-ikut," katanya acuh tak acuh.
Nenek itu masih terus berbicara panjang lebar, asik bercerita. Saya memasang muka 'seolah-olah mengerti' sambil mengangguk-angguk.
Saya diselamatkan oleh Adzan yang berkumandang. Nenek itu langsung menarik lengan saya untuk merapatkan barisan dengan perempuan-perempuan dari kelompoknya. Bahkan ketika ujung bawah kain mukena saya tertiup angin dan ujung jempol saya yang terbungkus kaus kaki tipis tersingkap, nenek itu menginjakan ujung kakinya di atas ujung jempol saya untuk menutupinya dengan kain abayanya. Ketika selesai sholat dan mau bersiap meninggalkan Masjid, saya dan nenek misterius itu mengucapkan perpisahan, nenek itu masih memeluk saya sambil berkata berulang-ulang, "Barakallah, Barakallah."
Selepas kepergian nenek itu dan rombongannya saya dan Chacha cuman bisa liat-liatan.
Klimaks dari cerita ini adalah ketika saya sudah kembali di Jakarta, ketika di jalan pulang dari kantor menuju rumah saya melewati tikungan tempat Nenek Tikungan biasa berdiri kemudian saya tersentak tidak percaya. Ketika saya lihat wajah Nenek Tikungan itu mirip sama Nenek yang saya ketemu di Nabawi waktu hari Jum'at itu. Saat itu saya pengen nangis, antara berasa aneh dan merinding. Sejak Nenek itu mulai berdiri di tikungan itu saya merasa tertarik untuk bersedekah sama si nenek karena profilnya. Saya ga pernah kepikiran bakal ketemu nenek yang mirip Nenek Tikungan di Arab yang mem- Barakallah - in saya di halaman Masjid Nabawi waktu hari Jumat.
Ga tau itu pertanda atau kebetulan, yang jelas buat saya ini adalah peristiwa yang bikin merinding dan misterius, yang entah kenapa buat saya kayak semacam pembenaran dalam diri bahwa Tuhan itu tahu apa yang kita perbuat walaupun orang lain ga ada yang tau dan Dia punya caranya sendiri untuk 'menyentuh' hati kita di saat kita ga akan pernah bisa menduganya.