Satu hari setelah Rinjani.
Saya bangun tidur pagi-pagi dengan sekujur badan kaku dan tulang belulang remuk redam kayak habis terinjak-injak sama serombongan badak jawa. Engsel-engsel tubuh seperti mati gak berfungsi sehingga tangan dan kaki tidak bisa ditekuk. Kalau jalan... ya bayangkan saja, tangan lurus, kaki lurus, kayak robot.
Susahnya kalau mau duduk dan berdiri lagi dari duduk, otot-otot di paha seperti tertarik semua. Sakit minta ampun. Belum lagi kulit punggung yang perih karena melepuh terbakar matahari sembalun, untung bawa kaos yang longgar jadi kainnya ga langsung kena kulit. Telapak kaki saya pun melepuh, muncul benjolan-benjolan seperti bisul yang lumayan terasa cenat cenutnya di tiap langkah.
Tersiksa sedemikian sehingga tidak membuat saya kapok. Malahan dalam hati berharap bisa segera kembali lagi ke Rinjani yang indah. Mau kemping di pinggir danau Segara Anakan yang cantik dan bikin saya jatuh hati. Sekarang aja belum ada satu tahun berlalu, sembari nulis ini saya sembari menahan kerinduan yang membuncah.
Saya, chacha dan pagit ada di sebuah hotel di kawasan Senggigi. Satu kamar hotel itu bau counterpain dan koyo. Selain saya yang sakit-sakit badan sehabis dari Rinjani, Pagit juga kakinya pegal akibat naik turun tangga air terjun di Senaru. Rencananya siang itu kami pulang ke Jakarta. Chacha bilang dia kayak lagi jalan-jalan sama nenek-nenek karena bau counterpain dan koyo. Mulutnya emang suka pedes kalo komentar, padahal sudah saya kasih chocolate Snickers yang sempat ikut naik turun Rinjani, belum termakan karena saya ikut operator tur hiking yang makanannya berlimpah ruah.
Setiap hari selama seminggu disana kami minum kopi Lombok, alhasil kami ketagihan. Chacha pun bertekad tidak akan meninggalkan tanah Sasak itu sebelum membeli kopi lombok yang asli, belum dikasih label oleh-oleh, dan bukan dibeli di airport. Dari hasil tanya-tanya sama resepsionis hotel dia dapat info kalau kopi lombok dapat di beli di pasar yang jaraknya lumayan dekat sama hotel. Tinggal sekali naik angkot. Sekilo kopi harganya 50ribu. Ada juga yang sudah dicampur dengan tepung jagung, harganya lebih murah, 1 kilo 25 rb.
Walaupun babak belur dan jadi bahan ketawaan chacha dan resepsionis hotel karena jalan saya kayak robot, saya gak mau ketinggalan cari kopi di pasar.
Angkot di Lombok gak kayak angkot di Jakarta atau di bandung atau di bogor. Angkot nya semacam mobil bak pick-up yang di modifikasi ditambah penutup supaya penumpang tidak panas dan kehujanan. Otomatis tingginya juga lebih tinggi dari angkot mobil minivan.
Berdiri dari duduk saja sudah tersiksa, PR banget harus memanjat masuk angkot. Pertama-tama saya harus berjuang mengangkat kaki saya yang sudah lupa cara menekuk itu untuk menapak di pijakan pintu masuk nya, sementara otot-otot paha saya yang nyeri harus menahan beban badan.
Saya meringis.
Sampai di dalam pintu badan harus membungkuk supaya kepala tidak kena atap, pinggang yang rasanya kaku karena 3 hari menggendong backpack langsung bunyi kretekretek. Dan di punggung saya yang melepuh rasanya ada sekawanan semut yang gigit-gigit gemes.
Adudududududuuuuhh.
Overall, mungkin orang lain yang melihat saya masuk angkot itu kayak liat nenek-nenek tua rematik yang abis lari marathon.
Segala sakit dan perih saya tahan, saya bela-belain, demi kopi lombok.
Pagi itu angkot dari senggigi menuju pasar yang kami tumpangi sudah berisi 1 orang nenek-nenek, 1 orang ibu-ibu paruh baya dan seorang anak gadis. Orang lokal. Tampaknya turis yang naik angkot saat itu hanya kami bertiga. Nenek yang diangkot itu dari awal saya masuk sudah ngeliatin, mungkin dalam hatinya mikir kalau ada lomba balap karung sama saya sudah pasti nenek juaranya.
Di tengah jalan angkot diberhentikan oleh seorang bapak ber helm, beliau menitipkan anak laki-lakinya yang masih kecil banget, pakai seragam sekolah SD, mungkin baru kelas 1. Si bapak menitipkan anaknya ke supir angkot dan ibu-ibu penumpang angkot untuk menurunkan anaknya di sekolahan yang berjarak beberapa meter dari situ karena di depan ada razia motor. Sepertinya si bapak tidak bawa surat-surat lengkap.
Anak kecil itu pun melompat ke pangkuan ibu-ibu penumpang. Kemudian di sekolahan SD Negeri tak jauh dari situ supir angkot menepi. Diluar pagar ada seorang perempuan, tampaknya seorang guru, sudah menanti angkot itu. Rupanya di bapak tadi juga menghubungi guru anak ini untuk menjemput nya di depan sekolah.
Mendekati pasar, pak supir sudah memberi aba-aba untuk bersiap-siap. Kami pun turun dari angkot memasuki pasar. Kami bertanya di deretan toko yang menjual sembako - macam beras, gula, minyak - dimana toko yang jual kopi lombok. Ibu itu bilang sebenarnya dia jual tapi sudah habis, kami dirujuk ke tiga toko sebelahnya.
"Kebetulan masih ada, tapi hanya tinggal 2 kilo," kata ibu gempal yang mengenakan kain bawahan batik dan kaos oblong.
"Ini kopi yang tidak dicampur kan, bu?" tanya chacha
"Asli ini dek, coba saja," kata ibu sambil mencontohkan memasukan serbuk-serbuk kopi ke dalam mulut dan memakannya, "enak, baru digiling tadi pagi."
2 kg kopi untuk bertiga masih kami rasa kurang. Maka kami masih terus blusukan ke dalam pasar sambil mencari kali aja ada toko lain yang jual kopi. Di dalam sempat ada ibu-ibu yang tanya, "mau cari apa?"
"Cari kopi lombok, bu."
"Ayo saya antar, ke belakang situ." katanya menunjuk ke arah deretan toko tempat kami beli kopi ini tadi.
"Tadi juga kami beli di sana, bu. Tapi katanya habis, tinggal ini," saya menjawab sambil menunjuk ke plastik yang dibawa.
"oo begitu. kalau begitu saya tahu tempat lain, di belakang tapi masuk kedalam,"kata ibu itu lagi sambil bisik-bisik.
Jadi ngeri karena pake bisik-bisik, kami langsung ambil ancang-ancang melipir sambil bilang,"eh tapi kayaknya ini cukup sih bu."
bhay!
hiiiihh.... tiba-tiba merinding.
Menuju pintu keluar kami tertarik dengan pedagang-pedagang makanan yang berjajar. Kelemahan kami bertiga memang sama makanan sih. Kalau ada tukang jualan makanan, atau bahkan hanya baunya saja sudah bisa bikin kami bertiga hilang fokus. Macam-macam makanan sarapan dan kue-kue warna warni di jual. Kami pun terpaku, membelalak, pengen ini, pengen itu. Tapi kami paling tertarik dengan penjual yang sedang kipas-kipas sate, ketika ditanya dibilangnya itu sate rembiga.
"Apa itu sate rembiga?"
"Sapi," kata penjualnya.
Kami pun langsung beli, walaupun di hotel sudah sempat sarapan nasi goreng.
Saya dan Pagit kan harus banyak makan supaya cepat pulih dari pegal-pegal.
Di atas angkot yang ngetem di depan pasar kami mencicipi sate rembiga yang ternyata enak. Pedes Manis Gurih. Nyesel belinya kurang banyak. Tapi mau balik lagi saya mikir turun naik angkotnya yang nyiksa banget. Ah.. sudahlah. Kapan-kapan aja kalo balik lagi.
Sempat ada insiden pohon tumbang di tengah jalan sehingga angkot yang kami naiki kena macet sekitar setengah jam, menunggu pohon yang tumbang itu dievakuasi warga.
waaah nyesel juga kemaren ke lombok gak baca postingan ini dulu
BalasHapuscoba kalo tau, aku pasti beli kopi lombok juga tuh
aaah elsa ga bilang2 ke lombok, klo bilang aku mau nitip kopi bwahahahaa
Hapustumben Mila ngga ada fotonya ?
BalasHapusbiar misterius :p
HapusKopi Lombok itu sama dengan kopi sulawesi kah?
BalasHapusJadi penasaran gimana rasanya .... *padahal pengetahuan mengenai kopinya dangkal *
jd penasaran knpa tuh ibu bisik2 ;p. Aku ga ngerti rasa kopi sih mba..tiap nyobain, berasa sama aja di lidah hahahaha... Itu ga kebayang ya skit2nya bdnmu abis naik rinjani :D.. jaduh lbh parah drpd trekking k air terjun kali ya..itu aja udh nyiksa bgttt
BalasHapusbisik2 nya mencurigakan pokoknya
HapusKenapa ga bikin sendiri, Mil
BalasHapusBeli kopi sama lombok terus dicampur dijamin pedas...
#sambit panci..
*sambit panci
HapusFotonya manaaaah? *penonton menuntut*
BalasHapusSampai saat ini sih baru icip2 doang kopi Lomboknya. Belum pernah beli di sono langsung. Padahal udah 3 kali ke Lombok. Hiks :'(
sengaja gak pasang foto, lagi pengen misterius hihihii
Hapusaku menyimak dan membaca ajah deh :)
BalasHapussilahkan, mba
Hapusjadi pingin liat penampakan kopi lombok dan sate rembiganya
BalasHapusharus googling kali ya
penasaran ama satenya, hehehe :)
penampakannya kayak sate biasa, rasanya yang enak, manis pedes.
HapusSerba salah saya nih mbak, mau ketawa tapi kasihan ngelihat keadaan nya. Hhe,,,
BalasHapusihiks malah diketawain :(
HapusKayaknya aku baru pertama deh mampir ke sini, dan langsung jatuh cinta sama gaya nulisnya. Udah hampir sejam ini belom tutup tab xD Dari cerita kopi lombok, visa ostrali, bule amrik kenal di jalan, phuket dan budget yang berantakan, sampe cerita menanam tomat :))))
BalasHapushihihi.. makasi udah berkunjung ke blog aku. salam kenal :D
Hapushihihi.. makasi udah berkunjung ke blog aku. salam kenal :D
Hapusijin share gan
BalasHapussate rembiga itu sate apa mbak? gak ada foto angkotnya mbak, selfie gitu hehehe
BalasHapussate sapi. sengaja ga taro foto mba, spy misterius, lagipula muka aku udah kusut bgt gara2 pegel2 hahahahaaa
HapusTerkadang saat pagi hari gravitasi di atas kasur lebih besar dibanding gravitasi bumi
BalasHapusitu cm berlaku kalau hari kerja, kalo hari libur enggak hehee
Hapussalam kenal kak mila
BalasHapusaku belum pernah pergi ke rinjani, jadi tidak tahu betul capek dan pegal-pegal nya sepulang dari sana itu seperti apa
Wahhh seru banget kayaknya pengalaman di lombok ini
jadi ingin ke lombok juga :)
kenapa ga di poto
BalasHapuskayaknya remek ya badannya kalo liburan ke rinjani hehe
BalasHapusKebayang gimana jalannya, soale lagi merasakkan jua..wkwkw :D
BalasHapusiya w paling suka baca ceritanya.. apalagi ada fotonya.. berasa kayak ikut pergi2 hahhaha...
BalasHapusMain Angka Dapat Duit yuukkk