Minggu, 27 September 2015

Sade, Desa Tradisional Suku Sasak

Berkunjung ke Lombok tidak afdol kalau tidak mengunjungi desa suku asli Lombok yaitu Suku Sasak, maka saya, Chacha dan Pagit memasukan Kampung Sade sebagai destinasi wajib yang harus kami kunjungi. 

Begitu memasuki gerbang kampung yang sesak oleh turis siang itu kami langsung disambut oleh seorang bapak yang kemudian menjadi pemandu kami selama berada di sana. Kami diajak menyusuri lorong-lorong di antara rumah-rumah tradisional yang rangkanya terbuat dari kayu, dindingnya dari anyaman bambu dan lantainya terdiri dari campuran tanah dan kotoran kerbau.

"Lantai-lantai rumah ini rutin dilapisi kembali oleh kotoran kerbau," kata bapak pemandu. Lantai rumahnya berwarna abu-abu seperti semenan, tapi bukan. Warna abu-abu itu adalah warna kotoran kerbau yang mengering. Konon semakin sering dilapisi lagi maka lantainya akan semakin mengkilap.

Kami dibawa ke rumah yang pernah dijadikan lokasi syuting FTV. 


ruang tengah

dapur yang terletak di sudut kamar tidur
"Ini rumah pernah dijadikan syuting FTV, mba. Waktu itu anaknya ahmad dhani (Al) ikut menggosok lantai rumah dengan kotoran kerbau betulan. Dia tinggal disini lebih dari sebulan untuk syuting itu."

Ini sudah ketiga kalinya saya dengar warga lokal yang bangga kampungnya jadi lokasi syuting FTV dan kedatangan artis ibukota. Waktu saya ke Dieng, ngobrol-ngobrol sama warga lokal juga mereka menunjuk rumah yang pernah jadi lokasi syuting FTV. Begitu juga waktu saya ke suatu tempat di Jogja yang kayaknya sudah langganan jadi tempat syuting. 

"Jumlah rumah disini sudah tidak berubah dari bertahun-tahun lalu karena keterbatas tempat," kata si bapak.

Kami diajak masuk ke dalam rumah yang jadi tempat syuting FTV itu, rumahnya dua lantai. Lantai satu ruang tamu. Sedangkan lantai dua nya adalah kamar tidur dan dapur. Tidak ada sekat diantara kamar tidur dan dapur. Peralatan masaknya masih tradisional, menggunakan kayu bakar. 

"Terus kalau ada anaknya yang sudah besar, menikah dan punya anak semuanya tinggal di satu rumah?" 

Saya membayangkan bagaimana caranya beberapa generasi bisa hidup dalam satu rumah yang minimalis dan tidak begitu luas itu. Tapi ternyata enggak sih. Kalau anaknya sudah besar dan menikah mereka boleh memilih untuk tinggal di luar kampung Sade.

"Biasanya yang diwariskan rumah disini anak bungsu, yang sekaligus merawat orang tuanya. Kakak-kakaknya yang sudah menikah boleh tinggal di kampung yang terletak tidak jauh dari sini, tapi rumah-rumahnya sudah modern. Ada juga yang tinggalnya jauh atau merantau."
 
Atap rumah-rumah di kampung Sade terbuat dari alang-alang yang ukurannya tertentu dan dikeringkan. 

"Kalau warna atapnya sudah coklat, itu tandanya harus diganti." 

"Siapa yang ganti, pak?"

"Ya warga kampung gotong royong mengerjakannya. Disini semua anak laki-laki harus bisa membuat rumah. Kalau sudah bisa membuat rumah sendiri baru boleh menikah. Kalau anak perempuan, harus bisa menenun baru boleh menikah."

Suku Sasak sebaiknya menikah dengan sesama suku. Untuk meminang gadis Sasak biasanya keluarga pria disyaratkan membayar mahar berupa kerbau. Kalau gadis yang akan dipinang cantik dan pandai menenun, itu pasti jumlah kerbaunya yang harus dibayar calon mempelai pria pasti bakal banyak. 

Sepanjang perjalanan kami menyusuri lorong di sudut-sudut jalan ada perempuan-perempuan berbagai usia sedang asik menenun. Dari mulai nenek-nenek sampai gadis remaja. Ada seorang gadis remaja yang punya ilmu memintal benang yang diturunkan dari keluarganya, neneknya memintal benang, ibunya memintal benang, dan sekarang dia juga memintal benang. 




Kata si Bapak Sasak itu, sebenarnya kayu yang digunakan untuk alat memintal itu waktu jaman Belanda dulu bisa dipakai jadi senjata perempuan Sasak, bentuknya dikamuflase sebagai alat penenun padahal sebenarnya adalah senjata. Keren abis. 

Adzan Dzuhur berkumandang ketika kami sedang dibawa melihat sumur tua yang merupakan sumber air satu-satunya di Kampung Sade. Suku Sasak adalah penganut agama Islam. Di kampung itu terdapat salah satu masjid tertua di Lombok tapi bukan yang paling tua. Masjid paling tua di Lombok yang usianya sekitar 4 abad justru terletak di desa Bayan di kaki Gunung Rinjani. Sayangnya kami tidak sempat berkunjung kesana. 

Pagit meminta izin untuk sholat di situ.

"Sekalian saja sama saya sholat disana," si bapak pun memandu kami ke mesjid, memberi tahu dimana mengambil wudhu dan memberi pinjaman mukena ke kami. 

Dengan banyaknya turis berkeliaran di Kampung Sade, hampir tiap rumah disitu menjual souvenir khas lombok berupa kain tenun, gantungan kunci, gelang, kalung dan macam-macam. Rupanya istri si bapak pemandu jualan kain tenun. Kami pun kalap karena kainnya bagus-bagus dan harganya lebih murah dibandingkan yang dijual diluaran. Seperti biasa, yang belanja paling banyak sudah pasti si Chacha. Saya aja yang biasanya males belanja beli kain tenun, kain sarung tenun dan sajadah tenun - semuanya motif khas NTB. 

Acara belanja ditutup dengan foto bareng kami bertiga dengan Bapak Pemandu, istrinya yang jualan kain, dua orang anaknya yang lagi main-main disitu dan (tentunya) barang belanjaan. 


29 komentar:

  1. waktu itu FTVnya judulnya apa hehehe penasaran

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku gak sempet tanya judulnya mba hehee

      Hapus
  2. Udah pernah main ke mari tapi ga sampe masuk rumah penduduk. Beruntung lu Mil.

    Btw kalo FTV, tiap hari ada shooting FTV di kota wisata Cibubur Mil. Lu mau maen ke Cibubur?

    BalasHapus
    Balasan
    1. buperta kan udah ya kmrn. selanjutnya komplek rumah lo, lari 10k yak wkwkwkwk

      Hapus
  3. udah beberapa kali ke lombok, tapi belom sempet mampir kesini euy~

    BalasHapus
    Balasan
    1. mampir lah sebelum makin banyak syuting FTV disini hahahaa

      Hapus
  4. Mana foto barengnya, kak?? Eng... itu lantainya apa gak bau?

    BalasHapus
  5. Ngga harus tinggal di Sade berarti, ya. Bisa memilih kalau udah menikah.
    Semoga aku bisa sampai situ, suatu saat nanti.

    BalasHapus
  6. dan memang g ada yg dirubah ya rumahnya kyk model sekararng

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, kalau mau bikin rumah yang modern boleh tapi diluar kawasan itu.

      Hapus
  7. seru tuh jalan - jalan ke lombok, ajakin saya donk kak. hehehhehe

    BalasHapus
  8. kepengen banget kesana tapi setelah kalkulasi transportasi dari Pontianak langsung keder :( mudah2an ada rejeki lebih

    BalasHapus
  9. aku belum pernah ke Lombok :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. kamu udah keliling dunia tapi belum pernah ke lombok? :(

      Hapus
  10. Mahar pinangan adalah seekor kerbau? Alamaaaak.....

    Pertanyaan pentingnya adalah adakah kemungkinan lamaran itu ditolak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. bisa aja sih, kalau keluarga yg dilamar gak suka atau tawar2an maharnya ga sepakat

      Hapus
  11. Hebat tradisinya masih dipertahanin. Berarti mesti dibikin memenya tuh buat lelaki Kampung Sade. "Bangun rumah aja aku sanggup, apalagi bangun rumah tangga sama kamu" :D
    Tapi bersihin lantai pake kotoran kerbau? Nggak bau ya, Mil?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaa iya bener. bangun rumah aja bisa apalagi rumah tangga yak.
      lantainya ga bau sama sekali, awalnya aku pikir cor-an semen gitu, tnyt itu tai kebo :D

      Hapus
  12. Aku pernah blususkan ke sade, cari kain tenun asli sana tapi akhir nya ngak beli juga #Kemahalan #DuitTipis

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau dibandingin kain nya udah dijual di toko suvenir diluar2an, apalg di udah sampe jkt sih disini lbh murah

      Hapus
  13. aaaah...kebayang pasti kesenengan main ke sini dan beli kain tenuuuun..I just love them :)..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaaa.. kayaknya pengen beli smua motif, tapi ga cukup uangnya hihihiii

      Hapus
  14. ternyata yang menenun disana bukan hanya para orang tua, remaja-remaja disana pun menenun karena memang di haruskan seperti itu..

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...