Konon menurut cerita yang saya baca, setelah menaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta, Syarif Hidayatullah bersama dengan putra nya yang dari Putri kerajaan Demak pergi ke Banten. Disana putranya yang bernama Maulana Hassanudin membangun kesultanan yang akhirnya di luluh lantak oleh VOC hingga yang tersisa sekarang hanya puing-puing nya. Beberapa bulan yang lalu saya sempat pergi kesana.
Sementara Maulana Hasanudin sedang membangun kesultanannya, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati berangkat lagi ke Cirebon dengan misi menyebarkan agama Islam. Waktu itu daerah Cirebon hanya merupakan suatu desa kecil yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian nelayan udang yang bahasa sananya rebon, beberapa sumber percaya itu adalah asal mula nama Cirebon diambil - cai (air) dan rebon (udang).
Syarif Hidayatullah kemudian mulai membangun kesultanannya disana.
Lama kelamaan pelabuhan di Cirebon semakin ramai dan kampung kecil ini semakin berkembang karena kegiatan perdagangannya. Menurut Bapak guide yang mengantar kita keliling Keraton Kasepuhan, Sunan Gunung Jati usianya mencapai 100 tahun lebih. Ketika beliau meninggal dan putra nya yang seharusnya menjadi pewaris tahta nya memutuskan untuk mengundurkan diri dan memilih menjadi penyebar agama Islam, ditunjuklah kawan lama Sunan Gunung Jati yang bersama-sama menaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa, yaitu Fatahillah sebagai pejabat sementara.
"Fatahilah juga adalah menantu Sunan Gunung Jati. Beliau menikah dengan putri Sunan Gunung Jati yang adalah janda nya Dipati Unus dari Kerajaan Demak. Dipati Unus gugur ketika perang dengan Portugis di Malaka. Karena itulah putrinya Sunan Gunung Jati nyaris tidak merestui ketika suami baru nya, Fatahillah akan dikirim perang ke Sunda Kelapa. Trauma," kata Bapak itu menjelaskan kisah romansa yang ga pernah muncul di buku sejarah sekolah dulu.
Mungkin karena kedekatan hubungan Fatahilah dan Sunan Gunung Jati, ketika Fatahilah wafat jenazahnya disemayamkan disebelah Sunan Gunung Jati dan ditunjuklah cucu dari Sunan Gunung Jati sebagai penerus Kesultanan Cirebon. Beberapa generasi selanjutnya Kesultanan Cirebon pecah menjadi dua sehingga Kesultanan yang pertama berdiri dikenal dengan nama Kesultanan Kasepuhan, dan Kesultanan yang lebih baru diberi nama Kesultanan Kanoman. Hingga sekarang di Kesultanan Kasepuhan sudah sampai ke generasi ke-14 yang memerintah, yaitu Sultan Kasepuhan XIV Cirebon Sultan Sepuh PRA Arief Natadiningrat.
|
Tampak Muka Keraton Kesultanan Kasepuhan Cirebon |
"Pecahnya Kesultanan itu ya gara-gara ulah Belanda," kata si Bapak.
"Sultan ke berapa yang pertama kali memberontak terhadap Belanda, Pak?" tanya saya.
"Ada Sultan Kasepuhan V," jawab Bapak itu sembari membenarkan letak blankon nya yang melorot hingga ke dahi, "beliau memimpin pemberontakan terhadap Belanda tapi secara sembunyi-sembunyi. Menyamar jadi rakyat biasa dan mengumpulkan pasukan yang terdiri dari rakyat-rakyat juga di suatu tempat. Hal ini dia lakukan untuk melindungi Kesultanannya agar tidak dihancurkan dan diserbu oleh pasukan Belanda.
"Katanya Sultan itu sangat sakti, satu-satu senjata yang dapat membunuhnya hanya keris nya sendiri. Ketika Belanda mulai mengetahui kalau Sultan itu yang memimpin pemberontakan, mereka mendekati adik laki-laki Sultan. Dengan di iming-imingi kedudukan sebagai Sultan, adik nya itu tega mengkhianati kakaknya sendiri.
"Pada suatu hari adiknya itu mengambil keris sakti kakaknya secara sembunyi-sembunyi dan memberikannya kepada Belanda. Kakaknya pun terbunuh oleh Belanda dengan kerisnya sendiri. Tapi tentu saja cerita pengkhianatan ini langsung ditutup-tutupi ketika si adik menjabat sebagai Sultan menggantikan kakaknya yang dikhianatinya."
Keunikan Keraton di Cirebon terletak pada potongan-potongan keramik yang tersebar di dindingnya. Baik Keraton Kasepuhan maupun Keraton Kanoman yang lebih sederhana, di dinding temboknya yang putih terdapat potongan-potongan keramik yang di tempel. Bentuk gerbangnya tampaknya masih terpengaruh arsitektur jaman Hindu-Buddha karena mirip gerbang Pura-Pura.
Memasuki halaman Keraton Kasepuhan, pengunjung akan disambut oleh patung dua harimau putih. Harimau Putih adalah semacam legenda di daerah Jawa Barat yang berkaitan dengan Prabu Siliwangi, Raja paling ngetop dari Kerajaan Pajajaran. Menurut mitos yang beredar, Prabu Siliwangi pergi bertapa ke hutan dan berubah menjadi harimau putih, sementara anak buahnya yang ikut dia ke hutan berubah menjadi harimau belang. Menurut cerita Bapak itu, salah satu pendiri kampung Cirebon masih keturunan Prabu Siliwangi, maka itu dulunya Cirebon itu berada dibawah Kerajaan Pajajaran.
Walaupun sudah mendapat pengaruh agama Islam yang kuat, tapi sosok Prabu Siliwangi tampaknya masih lekat di kebudayan masyarakat. Di dalam museum Keraton Kasepuhan pun dipajang lukisan Prabu Siliwangi yang gede banget, konon pelukisnya bermimpi didatangi oleh Prabu Siliwangi kemudian dia melukis orang yang persis seperti yang datang dalam mimpinya itu.
Di sebelah kanan dan kiri keraton utama terdapat dua bangunan, yang satu adalah semacam kantor administrasi untuk mendaftar kalau kita mau ketemu Sultan. Yang satu lagi namanya Sri Manganti, ruang tunggu buat tamu yang mau ketemu Sultan menunggu dipanggil. Ketika mau pulang ke Jakarta di Stasiun Cirebon saya mendapati ruang tunggu eksekutif nya pun dikasih nama Sri Manganti.
Jinem Pangranti, nama ruangan semacam beranda Keraton utama menuju ke Ruang Singgasana Sultan. Keramik-keramik tersebar di dindingnya yang putih, lampu kristal eropa menggantung tepat di tengah 4 batang kayu jati yang masih terlihat kokoh walaupun sudah beberapa abad usianya. Pilar-pilar ini bentuknya mirip pilar-pilar di bangunan Keraton Jawa. Jendela-jendelanya kental pengaruh Eropa nya. Kaca patri berwarna hijau dan kuning tersemat menghiasi pintu utama yang berwarna hijau senada dengan pilar nya.
Pintu di Jinem Pangranti hanya dibuka kalau Sultan menerima tamu penting, bagi para turis masuknya melalui pintu samping. Keraton ini tidak seluas Keraton di Jogja dan Solo, lebih mirip seperti rumah sih. Anggota keluarga kerajaan masih ada yang tinggal di bagian belakang bangunan Keraton ini. Kita masuk melepas alas kaki langsung menuju ruang singgasana.
Singgasana Sultan terletak di atas panggung. Kursi singgasananya unik, dihadapannya ada meja yang kaki nya berbentuk dua naga yang saling melingkar. Di belakang kursi singgasana ada tempat tidur yang di hiasi kelambu kain yang terdiri dari 9 warna, konon itu merupakan simbol dari Wali Songo - Sembilan orang Sunan yang menyebar agama Islam di Jawa. Tempat tidur itu untuk Sultan beristirahat si sela kesibukannya memerintah di atas singgasana.
|
Jinem Pangranti |
|
Singgasana Sultan |
|
Tembok akulturasi budaya |
Di sisi singgasana ada sebidang dinding dimana akulturasi budaya menjadi satu disitu, patching the wall. Di tembok terukir relief bunga merah yang bernama Kembang Kanigaran. Bentuk ini dapat kita temui di atasnya buah manggis, merupakan simbol kejujuran karena kalau kembang ini jumlahnya 5 sudah pasti isi buah manggis di dalamnya juga 5, ga mungkin bohong deh. Di antara Kembang Kanigaran ada dua ekor burung beo berwarna putih sebagai simbol kecerdasan. Di bawah relief itu di tempel 3 buah piring keramik China.
Membingkai relief tersebut ada potongan-potongan keramik berwarna biru dan coklat yang berasal dari Eropa. Keramik yang warna coklat sebenarnya merupakan cerita tentang nabi-nabi di agama Nasrani, tapi karena yang menyusun nya ga ngerti jadinya random, malahan di atasnya malah dipotong bentuk kubah masjid.
Keraton Kanoman kelihatan jauh lebih sederhana, kecuali tembok bagian depannya yang sama dengan Keraton Kasepuhan - di taburi keramik-keramik walaupun beberapa kelihatannya sudah dicungkil meninggalkan lubang kosong di tembok putih. Keraton Kanoman terletak di belakang pasar. Ketika kita tiba disana tidak ada turis lain, hanya anak laki-laki yang ramai bermain bola di halamannya yang luas.
|
Keraton Kanoman |