Saya selalu membuat catatan penutup setiap tahun di blog ini, tapi 2014 tidak seperti tahun yang sebelumnya. Di tahun 2014 saya menulis Catatan di Pertengahan 2014, tentang Comfort Zone.
Pertengahan 2014, adalah saat saya menyadari bahwa there is no such thing as comfort zone, yang kita lakukan di hidup ini intinya untuk survive hari demi hari. Setiap pagi adalah 'hari baru' dengan tantangan baru yang harus dihadapi dan setiap malam adalah saat hari berakhir, kemudian kita kembali ke 'hari baru' selanjutnya dengan tantangan baru yang berbeda yang dalam waktu 24 jam akan berakhir. Hidup adalah suatu siklus.
Akhirnya di windu ke-4 kehidupan ini, saya memutuskan akan mulai memandang hidup ini satu siklus hari - satu siklus hari saja. Sebenarnya ada istilah bahasa inggris untuk ini: Taking one day at a time. Kalau menurut saya sih sebenarnya sama seperti kalau kita makan, walaupun ada nasi sepiring di hadapan kita tapi tetap saja yang bisa kita masukan ke dalam mulut kita hanya satu suap demi satu suap, dengan cara itu kita bisa lebih menikmati dan mencerna makanan kita.
Buat saya dengan cara fokus di satu siklus hari saja, membuat kekhawatiran saya terhadap masa depan yang belum pasti terjadi berkurang secara drastis. Mengurangi keparnoan terhadap apa yang belum pasti terjadi ternyata efeknya mengurangi kegalauan yang berkecamuk karena hal ga jelas.
Ketika di awal tahun 2014 saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Timor Leste, kawan-kawan saya pada mikir saya orang aneh, "ngapain lo ke timor leste? nyusul KD?" Mereka nanya, kenapa gak ke derawan? kenapa ga ke raja ampat? kenapa ga body surfing di green canyon? Semua hal yang jadi semacam destinasi wajib turis itu belum ada yang pernah saya kunjungi. Kenapa malah ke Timor Leste yang ga ada apa-apa itu?
Waktu itu saya jawab, "yaaa pengen aja liat bagaimana keadaan negara yang baru berdiri." Kan jarang-jarang ada kejadian begitu. Kalau saya tunggu 10 tahun lagi untuk ke sana ya mungkin udah ga baru-baru amat. Saya mau lihat bagaimana kehidupan orang yang tinggal di negara yang harus membangun segala sesuatu nya dari nol - from scratch - infrastruktur nya, gaya hidupnya, nasionalismenya, identitas budaya nya, bahkan mungkin jati diri nya sebagai warga dunia.
Kunjungan saya beberapa bulan ke daerah Merapi juga membuat saya kembali dihadapkan pada suatu kehidupan yang harus dimulai dari awal. Hidup itu adalah siklus. Kalau mau melihat jauh ke belakang, ada saat dimana asteroid jatuh ke bumi dan memusnahkan dinosaurus dan seluruh organisme yang hidup di jaman jurassic itu, kemudian terbentuklah organisme yang sama sekali baru yang memulai dan lambat laun membangun eksistensinya sebagai mahluk hidup di bumi.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan segusar apa pun kita mengkhawatirkan nya dan berusaha memprediksinya. Ketika saya sadar itu, banyak hal yang buat saya jadi kurang penting lagi, seperti misalnya baju-baju brand luar yang saat opening dan sale selalu dipenuhin orang-orang. Bahkan ketika di awal tahun kamera underwater saya rusak dan tidak tertolong, saya merelakannya. Ketika memutuskan mau beli kamera pocket baru saya mikir, saya butuh barang ini atau saya hanya kepingin punya? Akhirnya hingga tahun 2014 mau berakhir saya belum beli camera pocket baru karena iPhone saya bisa berfungsi ganda sebagai kamera juga.
Walaupun suka was was dengan batere iphone yang lebih cepat habis daripada camera pocket yang tahan berhari-hari, tapi ternyata mengurangi satu set gadget (lengkap dengan alat chargernya) jadi memudahkan saya ketika travelling. Hidup pun mungkin begitu, dengan mengurangi beban berupa barang-barang seperti itu akan membuat hidup lebih mudah dan lebih ringan.
Sama seperti kita memutuskan apa yang mau dibawa ketika travelling supaya ga ribet, kita pun harus memutuskan apa yang mau kita bawa dalam hidup dan mana yang harus ditinggalkan. Hal itu termasuk perasaan-perasaan kita yang bikin berat hidup seperti misalnya perasaan pengen sama kayak temen kita si "anu" yang tiap 3 bulan sekali jalan-jalan ke luar negeri, atau pengen sama kayak temen kita si "cuplis" yang sepantaran tapi udah posisi manager dan mobilnya CRV.
Apakah kita butuh seperti itu atau cuman kepingin aja seperti itu?
Buat saya, dengan bisa menerima diri saya ini seperti sekarang dan mensyukuri nya membuat hidup saya lebih ringan, ga keberatan sama ekspektansi.
Kata Jason Mraz di lagu nya, "Let's hike in the mountains and challenge our will," itu lah yang membawa saya ke Rinjani. Sebenarnya cita-cita mau ke Rinjani sudah ada sejak 3 tahun yang lalu tapi baru terlaksana tahun ini. Sejujurnya saya takut gak siap secara fisik, tapi kalau menunggu sampai siap rasanya saya gak akan siap-siap sampai waktu yang tak terhingga. Jadi saya hanya...
.....pergi.
Begitu saja.
Beberapa hari setelah kepulangan saya, blackberry saya error. Semua foto yang tersimpan di memory card-nya hilang dan banyak foto-foto saya di Rinjani yang belum saya backup. Diantara itu ada foto saya main layangan di Segara Anak, foto favorit saya. Tentu saja saya sedih dan menyesali kejadian itu, tapi ketika hari berakhir saya memutuskan merelakannya. Keesokan pagi saya memulai hari baru tanpa penyesalan dan udah ga larut dalam kesedihan gara-gara foto yang terhapus. Buat saya yang penting adalah experience saya main layangan di segara anak, bukan sekedar foto saya lagi main layangan yang terhapus di memory card BB.
Belakangan ini saya menemukan bahwa experience dalam acara jalan-jalan saya yang seringnya ga terkonsep menjadi hal yang lebih penting dari tujuannya. Kemanapun destinasi nya, akan selalu ada pelajaran baru yang menambah makna dari hari-hari yang saya jalani, membentuk apa yang menjadi diri saya hingga sekarang ini. Hingga akhirnya saya benar-benar tidak peduli kemana destinasi petualangan saya berikutnya karena buat saya sekarang setiap hari adalah hari baru, tantangan baru, petualangan baru dan tentunya pelajaran baru.
Selamat Menyongsong Tahun 2015.