Setelah konsep budget airlines yang memacu jiwa petualangan orang-orang untuk jalan-jalan ke berbagai tempat, muncul juga konsep budget hotel. Konsep budget hotel ini mirip dengan budget airlines, harganya relatif terjangkau tapi fasilitas yang ada hanya yang fungsional saja. Jadi rata-rata hotel begini ukuran kamarnya efisien banget dan isinya juga minimalis, cuman ada tempat tidur, ac, kamar mandi, tv, meja dan kursi seadanya. Kelebihannya, biasanya terletak di lokasi yang strategis (dekat dengan pusat kota / wisata).
Saya ini memang selalu termasuk ketinggalan jaman, pertama kali masuk ke dalam budget hotel model gini waktu ke Bali sama chacha. Kita mengunjungi Tante Pungky dan Siba yang menginap di Hotel Pop di Kuta. Penampilan gedungnya semarak banget dengan warna-warna vibran yang mencolok. Lebih mirip TK daripada hotel sih, tapi lucu. Staff front desk nya muda-muda dan pakaiannya casual, t-shirt, celana pendek, sneakers. Bandingin sama hotel-hotel biasa yang tampilan front desknya rapi mengkilat.
Masuk ke dalam kamarnya Tante Pungky, memang kecil sih tapi desainnya menarik. Semuanya serba nempel di tembok, mejanya nempel di tembok, kursinya nempel di tembok, tivinya nempel di tembok. Tidak ada lemari, cuman rak kecil dan gantungan baju yang (pastinya) nempel di tembok. Tidak ada kulkas, minibar dan pemanas air. Kamar mandinya keren, model kapal selam dari stainless steel gitu, walaupun buat sebagian orang yang ukuran tubuhnya agak panjang-panjang susah juga bergerak di dalem situ kayaknya karena sempit.
Kalau standar kebersihan dan pelayanan sih, karena masih dibawah manajemen hotel yang punya standar pelayanan bagus jadi ya bagus juga. Setelah kunjungan singkat ke hotelnya Tante Pungky, mempertimbangkan lokasi strategis, kebersihan bagus dan harga yang terjangkau, ditambah pengen nyobain kamar mandi model kapal selam, saya dan Chacha memutuskan untuk booking hotel Pop di perjalanan pencarian innerpeace kedua kita ke Jogja. Sayang banget, ternyata di Jogja kamar mandi nya yang standar, model kotak biasa bukan model submarine.
Jarak dari pintu masuk ke ujung kamar |
segala furniture yang nempel di tembok |
Kamar mandi kotak, bukan kapal selam |
Saya dan chacha sih ga ada masalah sama ukuran ruangan secara kita kan semacam hobbit-hobbit yang ukurannya juga minimalis. Barang-barang saya kalo pergi kemana-mana juga selalu minimalis. Barang-barangnya Chacha aja yang tumpah ruah, roll rambut berantakan dimana-mana, belanjaannya yang segambreng berjejer di kursi yang nempel di tembok itu sampai-sampai berubah fungsi jadi meja juga.
Yang bikin sengsara karena saya dan Chacha adalah pecandu kopi berat. Kalau pagi-pagi bangun tidur ga langsung ketemu kopi bisa-bisa kita udah cakar-cakaran dan gigit-gigitan. Jadi sebelum terjadi pertumpahan darah di antara kita berdua harus ada segelas kopi hitam pas bangun tidur. Di dalem kamar itu tidak ada pemanas air, sementara kita berdua bangun subuh-subuh demi mengejar matahari terbit di Borobudur jadi sudah pasti breakfast complimentnya belum tersedia. Ada sih mesin minuman di lobby, jadi kita turun dulu ke lobby subuh-subuh demi segelas kopi.
Masalah lain muncul ketika si Chacha beli oleh-oleh Gudeg. Karena penerbangan kita pulang ke Jakarta pagi-pagi, jadi beli gudeg nya di malam sebelum pulang itu. Karena ga ada kulkas di dalam kamar jadi kita hanya bisa berdoa semoga gudegnya ga akan basi dalam jangka waktu semalam. Soal yang lain sih ga masalah. Tempat tidurnya nyaman, sprei nya bersih, kamar mandi bersih, handuk setiap hari diganti, air panas lancar, ada channel cable TV. Secara fungsional sih fasilitas nya terpenuhi.
Waktu ke Semarang, saya minta rekomendasi hotel ke Arie Goiq. Dia rekomendasi beberapa hotel tapi pilihannya saya dengan pertimbangan lokasi dan harga akhirnya ke hotel Whizz Semarang. Pas sampe sana ternyata hotel ini juga konsep budget hotel seperti Pop hotel. Desain interior nya dominan warna hijau terang seperti daun muda di pagi hari habis kena embun gitu, seger. Desain kamarnya juga mirip sama Pop hotel, segalanya serba nempel di tembok.
Disini saya baru sadar satu macam "luxury" lagi yang tidak ada di hotel konsep begini. Sandal hotel. Karena kebiasaan di sediakan sandal hotel di hotel, kalau bisnis trip saya ga pernah bawa sandal supaya bawaan saya ringkas. Sialnya sepatu cantik yang saya pakai waktu ke semarang membuat kaki saya lecet karena dipakai jalan jauh, jadi di pagi hari waktu mau sarapan saya telanjang kaki aja berkeliaran di hotel itu. Oia, sambil berdoa semoga pas antri sarapan tidak ada bapak-bapak pakai sepatu kantor yang menginjak kaki saya yang imut.
Di Pop hotel jogja saya ga sempet cobain sarapannya, karena dua hari tinggal di hotel selalu pergi sebelum jam 6 pagi, sedangkan sarapan baru mulai tersedia jam 6. Denger cerita tante Pungky di Pop hotel Bali sarapannya makanan tradisional gitu, ada nasi jenggo, nasi jagung, dan semacamnya. Di Whizz ini sarapannya ada menu tradisional - nasi ayam dan pecel, ada juga roti dan selai ala kadarnya. Bagus juga sih saya bilang, sarapan yang ditawarkan sama hotelnya memang menu murah meriah tapi sekalian mengenalkan menu khas daerah itu.
Kamar mandi |
Kamar desain minimalis |
yang ini kursinya ga nempel tembok, cuma mejanya aja |
wastafelnya diluar supaya ngirit,cerminnya jadi cuman satu |
Selain dua hotel yang sudah saya cobain masih banyak hotel-hotel konsep budget hotel gitu. Ada Tune hotel yang satu manajemen sama Air Asia. Ada Amaris yang satu manajemen sama Hotel Santika. Grup hotel internasional besar Accor juga punya, dulu sempat namanya hotel formule 1, katanya sekarang berubah nama jadi Ibis Budget. Ya masih banyak deh budget-budget hotel lain dan malah makin banyak aja, dan yang saya ga ngerti kenapa rata-rata pilihan warna interior nya yang ceria-ceria gitu ya? Apa karena target segmen nya anak muda kali ya? Tapi konsep desain kamarnya yang serba nempel tembok itu lucu juga sih buat diterapkan di kamar saya yang ukurannya juga mini.