Rabu, 31 Desember 2014

Catatan Penghujung 2014

Saya selalu membuat catatan penutup setiap tahun di blog ini, tapi 2014 tidak seperti tahun yang sebelumnya. Di tahun 2014 saya menulis Catatan di Pertengahan 2014, tentang Comfort Zone

Pertengahan 2014, adalah saat saya menyadari bahwa there is no such thing as comfort zone, yang kita lakukan di hidup ini intinya untuk survive hari demi hari. Setiap pagi adalah 'hari baru' dengan tantangan baru yang harus dihadapi dan setiap malam adalah saat hari berakhir, kemudian kita kembali ke 'hari baru' selanjutnya dengan tantangan baru yang berbeda yang dalam waktu 24 jam akan berakhir. Hidup adalah suatu siklus. 

Akhirnya di windu ke-4 kehidupan ini, saya memutuskan akan mulai memandang hidup ini satu siklus hari - satu siklus hari saja. Sebenarnya ada istilah bahasa inggris untuk ini: Taking one day at a time. Kalau menurut saya sih sebenarnya sama seperti kalau kita makan, walaupun ada nasi sepiring di hadapan kita tapi tetap saja yang bisa kita masukan ke dalam mulut kita hanya satu suap demi satu suap, dengan cara itu kita bisa lebih menikmati dan mencerna makanan kita. 

Buat saya dengan cara fokus di satu siklus hari saja, membuat kekhawatiran saya terhadap masa depan yang belum pasti terjadi berkurang secara drastis. Mengurangi keparnoan terhadap apa yang belum pasti terjadi ternyata efeknya mengurangi kegalauan yang berkecamuk karena hal ga jelas.  

Ketika di awal tahun 2014 saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Timor Leste, kawan-kawan saya pada mikir saya orang aneh, "ngapain lo ke timor leste? nyusul KD?" Mereka nanya, kenapa gak ke derawan? kenapa ga ke raja ampat? kenapa ga body surfing di green canyon? Semua hal yang jadi semacam destinasi wajib turis itu belum ada yang pernah saya kunjungi. Kenapa malah ke Timor Leste yang ga ada apa-apa itu?

Waktu itu saya jawab, "yaaa pengen aja liat bagaimana keadaan negara yang baru berdiri." Kan jarang-jarang ada kejadian begitu. Kalau saya tunggu 10 tahun lagi untuk ke sana ya mungkin udah ga baru-baru amat. Saya mau lihat bagaimana kehidupan orang yang tinggal di negara yang harus membangun segala sesuatu nya dari nol - from scratch - infrastruktur nya, gaya hidupnya, nasionalismenya, identitas budaya nya, bahkan mungkin jati diri nya sebagai warga dunia. 

Kunjungan saya beberapa bulan ke daerah Merapi juga membuat saya kembali dihadapkan pada suatu kehidupan yang harus dimulai dari awal. Hidup itu adalah siklus. Kalau mau melihat jauh ke belakang, ada saat dimana asteroid jatuh ke bumi dan memusnahkan dinosaurus dan seluruh organisme yang hidup di jaman jurassic itu, kemudian terbentuklah organisme yang sama sekali baru yang memulai dan lambat laun membangun eksistensinya sebagai mahluk hidup di bumi. 

Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan segusar apa pun kita mengkhawatirkan nya dan berusaha memprediksinya. Ketika saya sadar itu, banyak hal yang buat saya jadi kurang penting lagi, seperti misalnya baju-baju brand luar yang saat opening dan sale selalu dipenuhin orang-orang. Bahkan ketika di awal tahun kamera underwater saya rusak dan tidak tertolong, saya merelakannya. Ketika memutuskan mau beli kamera pocket baru saya mikir, saya butuh barang ini atau saya hanya kepingin punya? Akhirnya hingga tahun 2014 mau berakhir saya belum beli camera pocket baru karena iPhone saya bisa berfungsi ganda sebagai kamera juga. 

Walaupun suka was was dengan batere iphone yang lebih cepat habis daripada camera pocket yang tahan berhari-hari, tapi ternyata mengurangi satu set gadget (lengkap dengan alat chargernya) jadi memudahkan saya ketika travelling. Hidup pun mungkin begitu, dengan mengurangi beban berupa barang-barang seperti itu akan membuat hidup lebih mudah dan lebih ringan. 

Sama seperti kita memutuskan apa yang mau dibawa ketika travelling supaya ga ribet, kita pun harus memutuskan apa yang mau kita bawa dalam hidup dan mana yang harus ditinggalkan. Hal itu termasuk perasaan-perasaan kita yang bikin berat hidup seperti misalnya perasaan pengen sama kayak temen kita si "anu" yang tiap 3 bulan sekali jalan-jalan ke luar negeri, atau pengen sama kayak temen kita si "cuplis" yang sepantaran tapi udah posisi manager dan mobilnya CRV. 

Apakah kita butuh seperti itu atau cuman kepingin aja seperti itu?

Buat saya, dengan bisa menerima diri saya ini seperti sekarang dan mensyukuri nya membuat hidup saya lebih ringan, ga keberatan sama ekspektansi.

Kata Jason Mraz di lagu nya, "Let's hike in the mountains and challenge our will," itu lah yang membawa saya ke Rinjani. Sebenarnya cita-cita mau ke Rinjani sudah ada sejak 3 tahun yang lalu tapi baru terlaksana tahun ini. Sejujurnya saya takut gak siap secara fisik, tapi kalau menunggu sampai siap rasanya saya gak akan siap-siap sampai waktu yang tak terhingga. Jadi saya hanya...

.....pergi. 

Begitu saja.

Beberapa hari setelah kepulangan saya, blackberry saya error. Semua foto yang tersimpan di memory card-nya hilang dan banyak foto-foto saya di Rinjani yang belum saya backup. Diantara itu ada foto saya main layangan di Segara Anak, foto favorit saya. Tentu saja saya sedih dan menyesali kejadian itu, tapi ketika hari berakhir saya memutuskan merelakannya. Keesokan pagi saya memulai hari baru tanpa penyesalan dan udah ga larut dalam kesedihan gara-gara foto yang terhapus. Buat saya yang penting adalah experience saya main layangan di segara anak, bukan sekedar foto saya lagi main layangan yang terhapus di memory card BB.  

Belakangan ini saya menemukan bahwa experience dalam acara jalan-jalan saya yang seringnya ga terkonsep menjadi hal yang lebih penting dari tujuannya. Kemanapun destinasi nya, akan selalu ada pelajaran baru yang menambah makna dari hari-hari yang saya jalani, membentuk apa yang menjadi diri saya hingga sekarang ini. Hingga akhirnya saya benar-benar tidak peduli kemana destinasi petualangan saya berikutnya karena buat saya sekarang setiap hari adalah hari baru, tantangan baru, petualangan baru dan tentunya pelajaran baru.

Selamat Menyongsong Tahun 2015.

 

Rabu, 24 Desember 2014

Merapi

Ketika komputer atau smartphone kita sering nge-hang, mungkin seringkali kita mengambil jalan pintas untuk menekan tombol reset. Dengan menekan tombol reset kita 'memaksa' perangkat elektronik kita untuk memulai segala sesuatu dari awal, beberapa file yang belum kita save mungkin akan hilang. Untuk kasus smartphone mungkin saja reset yang kita lakukan untuk memulihkan fungsi nya memerlukan pengorbanan menghapus semua data-data. 

Itulah yang ada di pikiran saya yang random ini ketika mengunjungi Merapi dan melihat sisa-sisa bekas letusannya di tahun 2005. Saat itu rumah-rumah, kebun-kebun dan segala sesuatu yang ada di daerah itu habis dilahap aliran lava panas. Hewan-hewan ternak yang terperangkap tinggal tersisa tulang belulangnya. Motor-motor yang ditinggalkan pemiliknya seperti tanaman yang layu kepanasan - coklat, kering dan menyusut.

Beberapa bulan lalu, tujuh tahun dari peristiwa yang catastrophic itu, saya, Dayu Ary dan Lexis mengunjungi daerah bekas letusan Gunung Merapi di Jogjakarta. Konon katanya Gunung Merapi, Keraton dan Pantai Parangkusumo (Pantai Laut Selatan) berada dalam satu garis lurus. Di Merapi vegetasi-vegetasi baru sudah tumbuh subur dan rapat di tanah vulkanik, memulai suatu ekosistem baru. Saat itulah saya kepikiran soal reset. Walaupun dalam kasus ini reset nya drastis banget, harus hancur-hancuran hingga semuanya habis jadi nol - kosong. Dan seperti kata penjaga pom bensin pertamina kalau kita mau isi bensin, "dimulai dari nol ya."

Pasir-pasir dan batu bekas letusan gunung merapi sekarang di tambang oleh warga

Motor yang jadi korban

Tumbuh-tumbuhan sudah mulai tumbuh subur lagi
Bagi penduduk disana ketika bencana terjadi mungkin itulah mimpi terburuk mereka. Bahkan sangking menyeramkannya mungkin banyak yang tidak berani hanya untuk sekedar memimpikannya. Rumah, barang-barang, ternak, kebun yang dikumpulkan dalam waktu bertahun-tahun habis dalam waktu beberapa jam saja. Pernah gak kita meluangkan waktu beberapa menit saja untuk ngebayangin kira-kira apa yang akan terjadi dan gimana perasaan kita kalau besok pagi kita bangun dari tidur dan semua yang kita (anggap) punya kita hilang?

Betapa sering nya kita dengar istilah kalau apa yang kita miliki di dunia ini hanya pinjaman dari Tuhan, tapi lebih sering kita lupa dan menjalin suatu keterikatan dengan benda-benda itu. Seperti ketika setahun lalu saya kehilangan Blackberry yang sudah saya gunakan selama bertahun-tahun, saya mengikatkan diri saya dengan blackberry itu melalui kenangan yang telah kami lewati bersama, karena itu kehilangannya membuat saya sedih. 

Kecenderungan manusia untuk mengikatkan diri dengan benda dan/atau manusia lain lah yang mungkin membuat hidup ini selalu ga tenang karena selalu merasa takut kehilangan. Hal itulah yang membuat perusahaan-perusahaan asuransi makmur, menjadikan ketakutan dan kekhawatiran kita sebagai bisnis menguntungkan. Semakin banyak yang kita punya, maka rasa takut kehilangan itu akan semakin besar, dan semakin makmurlah perusahaan asuransi.

Yah, seperti yang saya bilang waktu itu 
"maybe that's what true freedom is, kita gak takut kehilangan apa pun lagi kalau kita ga punya apa-apa"
Tapi sepertinya kebebasan memang harus selalu diikuti oleh keberanian. Pertanyaannya, ada berapa banyak orang yang berani untuk ga punya apa-apa.

Lava dan copet mungkin hanya salah satu/dua cara untuk mengingatkan manusia bahwa setiap saat kita harus siap kehilangan. Kata orang-orang jaman dulu, dunia ini seperti roda yang berputar, dengan kata lain kehidupan ini adalah suatu siklus. begitu pula dengan kehilangan yang diawali dari kedapetan, akan berubah menjadi kedapetan lagi. Jadi kita harus selalu siap menyambut siklus: kedapetan - kehilangan - kedapetan. Dan yang challenging dari kehidupan ini adalah, kita ga akan pernah tau kado kejutan manis apa yang akan kita dapat setelah kehilangan. 

Seperti waktu saya ke Merapi, setidaknya ada dua peluang usaha baru setelah bencana itu: tambang pasir untuk bangunan dan wisata tur mengelilingi kawasan bekas letusan Merapi. Melewati gerbang selamat datang di kawasan Merapi ada beberapa operator tur di sisi-sisi jalan yang menawarkan tur keliling Merapi dengan mobil Jeep. Saya, Dayu Ary dan Lexis, ikut tur semacam itu menggunakan jeep. Ada 3 rute yang ditawarkan berdasarkan jarak, kami memilih yang paling dekat saja, melewatkan rute yang mencakup makam Mbah Maridjan.  

"dapet jeep ini darimana?" saya iseng bertanya sama guide yang merangkap supir jeep kami.

"cari di b*rniaga.com, mba," jawabnya santai.

Tur berakhir di mata air di kaki gunung merapi luput dari aliran lahar panas.


Senin, 22 Desember 2014

Seminggu di Lombok

Akhir Oktober 2014, dua tahun berlalu sejak awal rangkaian perjalanan mencari innerpeace. Selama satu minggu penuh, tepat tujuh hari - saya, Chacha dan Pagit meninggalkan hiruk pikuk ibukota yang makin memenatkan. Kami berangkat untuk menambah satu episode dalam rangkaian perjalanan mencari innerpeace - destinasi : Pulau Lombok.

Sinar matahari pagi menyapa kami bertiga yang berada dalam taksi melaju menuju bandara Soetta. Perjalanan Innerpeace ini dibuka dengan sarapan paket nasi ayam A&W, beberapa potong gorengan bakwan dan Beard Papa's Cream Puff. Keberangkatan sempat tertunda beberapa puluh menit walaupun itu adalah penerbangan pertama dan cuaca cerah. Sebagai orang Indonesia yang punya sifat dasar pemaaf dan penuh pengertian, kami bertiga hanya bergumam pasrah "yaaaah.. maklum deh, namanya juga L***"

Rencana ke Pulau Lombok ini didasari oleh niat saya untuk mewujudkan cita-cita mendaki Rinjani. Chacha memutuskan ikut ke Lombok, tapi waktu saya ke Rinjani dia ke Gili Nanggu. Kami mengajak Pagit turut serta, gayung pun bersambut. 

Kami membagi perjalanan satu minggu ini menjadi dua segmen, segmen pertama di sepakati lokasi yang dipilih adalah Lombok Selatan, segmen kedua adalah saat kita berpisah - saya ke Rinjani, Chacha dan Pagit ke Gili Nanggu. Waktu cari-cari penginapan di daerah Lombok Selatan, kami menemukan satu tempat bernama Bumbangku yang langsung menimbulkan semacam panggilan jiwa buat saya. Pertama, saya suka banget sama namanya, ga tau kenapa. "Bumbangku". Kesannya eksotis gitu. Kedua, penginapan ini adalah resort yang terletak di pinggir pantai tapi harganya terjangkau.

Melihat foto-foto nya di internet saya langsung membayangkan duduk di pinggir pantai, dibawah payung bambu beratap alang-alang kering khas Lombok saat matahari terbenam, langit berwarna kuning keemasan, sambil bermain ukulele menyanyikan lagu Cayman Island - Kings of Convenience. Ide ukulele itu langsung ditentang secara keras oleh Chacha. Padahal saya sudah mengusulkan dia buat ikut main pukul-pukul galon kosong gaya-gaya perkusi untuk mengiringi ukulele, tapi tetap saja Chacha ga setuju.




 Jadi garis besar perjalanan innerpeace kami kali ini adalah sebagai berikut, 3 hari di Bumbangku, 1 hari menyusuri pantai-pantai indah di sepanjang Lombok Selatan - Pantai Kuta, Selong Belanak dan Mawun, 3 hari di Rinjani untuk saya, 3 hari di Gili Nanggu untuk Chacha dan Pagit, terakhir menginap semalam di Senggigi sebelum kembali ke Jakarta. 

Di hari menyusuri pantai-pantai Lombok Selatan kami sewa mobil dari rekomendasi Cipu. Drivernya yang asik dan gaul bernama Mas Koko ternyata masih inget banget sama Cipu, entahlah ada apa diantara Cipu dan Mas Koko sampai berkesan banget. 

Saya mendapat kejutan ketika baru turun dari Rinjani. Saat itu jam 12 siang, saya mengabari Chacha kalau sudah turun dari Rinjani dan akan diantar ke Senggigi. Tapi chacha kemudian menelpon, mengabarkan kalau dia, Pagit dan Mas Koko sedang dijalan menuju Senaru. Rencananya mereka mau ke air terjun Sindang Gile dan Tiu Kelep sembari menunggu saya turun gunung. 

Di halaman kantor Rudy Trekker (operator tur saya ke Rinjani) mereka bertiga berhamburan keluar mobil demi buru-buru melihat kondisi saya udah sehancur apa. Raut kecewa di wajah-wajah mereka ketika melihat kondisi saya ga hancur-hancur amat. Dan dengan penuh ketegaan saya masih juga di seret untuk ikut ke air terjun. Blisters di telapak kaki saya menggigit-gigit perih di tangga menuju dan pulang dari air terjun. Walaupun begitu saya tidak menyesal karena air terjun nya indah banget, terutama yang Tiu Kelep walaupun jalan kesana nya lebih jauh dan harus nyebrang-nyebrang aliran sungai. 

Jalan menuju air terjun Tiu Kelep
Keesokan paginya saya bangun di kamar hotel di Senggigi dengan kaki yang tidak bisa ditekuk dan meruapkan bau Counterpain dari sekujur tubuh.




Jumat, 12 Desember 2014

Menanam Tomat

Hidup saya telah di domestikasi oleh tanaman Tomat.

Berawal dari keisengan ketika ke ACE Hardware, saya membeli sekotak starter kit untuk menanam tomat tanpa tendensi apa-apa. Murni cuma iseng aja, kalau tumbuh syukur, gak tumbuh juga ga apa-apa. 

26 April 2014 , walaupun belum saya sadari saat itu tapi momen tersebut adalah titik balik perubahan dalam hidup saya yang sebelumnya lebih banyak di luar rumah jadi malahan betah banget di rumah berkutat sama taneman-taneman. 

Momen tersebut mungkin mirip sama titik balik kehidupan Homo Sapiens era Jaman Batu yang nomaden ke era mereka mengenal Farming & Agriculture, mengenal caranya bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangannya dan mereka jadi harus menetap karena harus mengurus tanamannya. 

Saya pernah baca buku yang menyatakan bahwa spesies kita, Homo Sapien, mungkin mikirnya kita yang mendomestikasi gandum, padi, ayam dan sapi. Padahal kenyataannya bisa jadi sebaliknya. Manusia yang tadinya kehidupannya berpindah-pindah (nomaden) jadi harus menetap di satu tempat - menjadi domestik - untuk mengurus gandum, padi, ayam dan sapi. Sementara spesies gandum, padi, ayam dan sapi ikut menyebar ke seluruh belahan dunia dibantu oleh manusia yang menyebar mencari lahan baru untuk ditempati. Contoh nya padi yang awalnya di domestikasi di daerah Cina, bisa menyebar ke beberapa bagian dunia, termasuk di Indonesia.  

Nenek moyang tanaman tomat yang saya tanam ini asalnya jauh banget dari Amerika Tengah, tapi sekarang hampir di seluruh belahan dunia pasti ada aja yang menanam tomat.

Mengikuti instruksi di kertas nya saya menabur benih di atas media yang telah di basahi air dalam pot keramik, kesemuanya itu sudah satu set ada dalam starter kit. Dalam hitungan hari biji yang ditanam itu berkecambah, saya girang bukan kepalang. Maklum pengalaman baru. 

Kalau lagi dirumah, setiap jam bisa dua hingga tiga kali saya mengunjungi tanaman saya itu. Tentunya belum banyak perubahan. seminggu lebih baru muncul daun sejati dari kecambah tanaman tomat itu.

Minggu demi minggu berlalu, saya punya semacam log book yang mencatat perkembangan tanaman-tanaman saya setiap minggunya. Walaupun di bungkus starter kit tertera informasi kalau tomat yang saya tanam itu adalah tomat cherry jenis pendek, yang bisa di tanam di pot kecil, tapi entah kenapa tomat saya tetap menuntut wadah yang lebih besar. Saya sampai memindahkannya sebanyak 4 kali hingga mencapai ukuran pot besar. Pohon tomatnya pun tidak kecil imut-imut seperti gambar di bungkusnya, pohon tomat saya tumbuh tinggi dengan daun yang lebar-lebar sampai saya harus membuatkan kandang dari bambu untuk menyokong batang-batangnya. 

Setelah berminggu-minggu dalam wadah kecil pohon tomat saya seperti tidak mengalami perkembangan berarti. Salah satu pohon tomat saya sempat disusupi mahluk aneh jelek yang kata mama saya bernama anjing tanah - semacam kumbang berbadan keras dengan muka mengerikan dan bercapit, mereka memakan akar tanaman tomat saya hingga ludes sehingga daun-daunnya layu. 

Awalnya saya pikir pohon itu kepanasan, jadi saya pindah ke tempat teduh, ternyata makin layu. Ketika saya bongkar tiba-tiba mata saya menangkap pergerakan mahluk asing di dalam tanahnya, sama mama saya langsung di siram karbol potnya terus anjing tanah yang muncul di bejekin satu-satu pake sekop tangan. 

Pohon-pohon tomat lain yang selamat dari serangan anjing tanah kemudian saya pindahkan ke pot besar dan saya letakan di tempat yang lebih terkena matahari. Semenjak itu pertumbuhan pohonnya jadi cepat sekali, dan beberapa minggu kemudian saya melihat bunga kuning menyembul diantara daun-daunnya.


Waktu itu temperatur Jakarta Bekasi lagi panas-panasnya, kalau siang bisa mencapai 37 - 39 der celcius. Bunga-bunga kuning di pohon tomat saya mengering tanpa sempat berbuah. Yang saya bisa lakukan hanya memindahkannya kembali ke area di kebun saya yang terkena sinar matahari pagi tapi terlindung dari sinar matahari siang dan sore, kebetulan ada spot seperti itu di bawah pohon rambutan. Disitulah saya menancapkan kandang tomat dari bambu dan meletakkan pot-pot pohon tomat saya di dalamnya.

Keajaiban terjadi ketika saya pulang dari trip ke Lombok, ketika mengunjungi kandang tomat saya melihat ada satu pohon yang muncul buah sebesar kepalanya jarum pentul. Memang saat itu cuaca sudah mulai kondusif, hujan sudah mulai turun, malam hari sudah mulai sejuk dan siang tak sepanas sebelumnya. Pohon-pohon tomat saya tampak sangat segar, hijau dan bahagia. 

Tidak lama pohon tomat saya mengalami kebahagiaan, muncul pengganggu-pengganggu lagi. Lalat-lalat buah yang tiba-tiba jadi banyak di awal musim hujan  yang lembab. Lalat-lalat itu bertelur di daun-daun tomat saya. Telurnya kemudian menetas menjadi larva-larva yang memakan daun tomat dan menjadikannya kecoklatan dan layu. 

Can you see the tomatoes?

Baru kali ini dalam hidup, saya benar-benar menyaksikan bahwa satu kehidupan akan mengundang kehidupan-kehidupan lain. 

Mengikuti kemunculan lalat-lalat menyebalkan itu datanglah seekor laba-laba yang membuat jaring di atas kandang tomat saya seolah-olah menjaga dan melindunginya dari lalat. Yang nekad menerobos akan terekat di jaringnya. Semakin hari buah tomat saya yang tadinya hanya sebesar pentulnya jarum menjadi sebesar tomat cherry asli, laba-laba di kandang tomat saya pun tumbuh jadi besar sehingga saya bisa melihat jelas tubuhnya yang berwarna putih metalik garis-garis hitam.

Suatu hari minggu yang cerah ketika saya (seperti biasa) sedang mengamati pohon tomat, saya menyaksikan laba-laba itu keluar dari persembunyiannya dibawah salah satu daun tomat. Saat itu ada dua ekor lalat yang baru saja terjebak di jaringnya, masih bergerak-gerak berusaha melepaskan diri. Laba-laba itu dengan santai mendekati salah satu hasil tangkapannya, kemudian mengeluarkan semacam benang-benang halus dari badannya yang cepat sekali menyelimuti lalat yang sedang bergerak-gerak itu jadi kayak mumi. Rasanya seperti menonton acara perilaku hewan di NatGeo tapi secara live. Amazing banget.

Sayangnya satu ekor laba-laba tidak cukup melindungi pohon-pohon tomat saya dari sepasukan lalat yang menyebalkan dan menjijikan. Daun-daunnya masih saja diserang oleh larva-larva terkutuk itu.

Setelah menunggu hampir sebulan, buah tomat paling besar akhirnya bisa dipetik dan bisa dicicipi. Walaupun bentuknya kurang sempurna tapi rasanya itu adalah tomat paling enak yang pernah saya cicipi seumur hidup saya. Organik dan penuh kenangan.

Sweet, organic cherry tomato

Minggu, 07 Desember 2014

Malioboro

Entah berapa kali saya mondar-mandir di seruas jalan yang merupakan lokasi wisata terkenal di Kota Jogja. Jalan kaki, naik becak, naik delman, dengan rombongan, bersama Chacha, berdua 'kamu' bergandengan tangan menyebrang jalan yang padat ditengah rintik hujan dan tak terhitung berapa banyak saya ayunkan langkah sendirian menyusuri jalan yang senantiasa ramai itu. Nyaris setiap kalinya punya kenangan tersendiri.

Kali ini saya pergi bersama kawan SMA saya bernama Dayu Ary, yang baru menikah dengan warga negara amerika, Lexis. Buat Lexis mungkin ini pertama kalinya mengalami liburan ala turis lokal di Malioboro. Buat saya ini pertama kalinya jalan di Malioboro bersama orang yang baru pertama kali mengalami liburan ala turis lokal Indonesia.

Malam itu malam Sabtu, udara cerah cenderung gerah. Saya, Dayu Ary dan Lexis naik becak dari depan hotel kami dengan tujuan Malioboro. Saya satu becak berdua dengan Dayu, sementara suaminya Lexis di satu becak sendiri, kegirangan karena jarang (atau mungkin baru pertama) naik becak. 

Kami di turunkan tak jauh di depan Benteng Vredeburg. Lokasi yang sama ketika setahun sebelumnya saya dan Chacha duduk termangu di pagi hari yang lengang, baru tiba di Jogja dengan Kereta Api, jalan kaki dari Stasiun Tugu menyanding backpack, sementara sepanjang perjalanan kaki kami beraneka mas/bapak/abang menawarkan becak dan penginapan. Kami menunggu para penjual pecel di depan Pasar Beringharjo bersiap-siap, sarapan kami waktu itu.

Tapi malam itu saya, Dayu dan Lexis tidak mampir ke Pasar Beringharjo. Dayu sempat jajan kacamata hitam di pinggir jalan depan Benteng Vrederburg karena punyanya jatuh, hanyut dan menghilang di Goa Pindul siang harinya. Lexis dan Dayu sempat berfoto dengan sekelompok anak muda yang berdandan seperti kunti, zombie, mumi, pocong, sadako dan nenek gayung. 

Lexis sedang belajar bahasa Indonesia menggunakan media DVD film hantu Indonesia dan lagu-lagu Dangdut. Jadi ketika dia melihat ada Pocong, langsung deh minta foto bareng. 

Di depan Pasar Beringharjo kami bertiga menyebrang ke Toko Mirota. Tujuan kami sebenarnya mau nonton pertunjukan yang ada di lantai atas Mirota, tapi ternyata sudah full. Akhirnya saya mengajak mereka ke angkringan kopi joss yang pernah saya datangi bersama Tince, Rio, Anno dan Chacha beberapa bulan sebelumnya. 

Saya duduk menunggu di tikar yang tersedia di depan angkringan itu sementara Lexis memvideokan pembuatan kopi Joss, ketika arang membara di cemplungkan ke dalam kopi hitam - yang beberapa hari setelahnya langsung di unggah ke facebook. 

Kami makan malam di warung lesehan, Lexis mencoba makan gudeg sambil menganalisa dan bertanya kepada Dayu satu-satu komponen dari Gudeg di piringnya itu. Tragedi terjadi ketika saya sedang menawar delman untuk kembali ke hotel, tiba-tiba dengan wajah panik Dayu menghampiri saya,"Laki gw ilang.."

Saya dan Pak Kusir saat itu sudah mencapai kesepakatan harga, saya pun sudah nyaris duduk disamping pak Kusir yang sedang bekerja. Beberapa saat saya menunggu Dayu yang bergegas mengejar bayang-bayang Lexis ke tengah kerumunan, tapi kemudian Dayu kembali hanya sendiri. Akhirnya saya memutuskan membatalkan kesepakatan saya dengan Pak Kusir dan mengikuti Dayu menyusuri jalan Malioboro.

Ada beberapa poin yang menjadi inti masalah hilangnya Lexis di Malioboro:
1. Lexis tidak bawa henpon
2. Tidak tahu jalan kembali ke hotel 
3. Tidak tahu nama hotel nya

Jadi satu-satunya cara kita menemukannya adalah dengan cara mencari jarum dalam jerami. 

"Laki gw pendek lagi, jadi susah nih," keluh Dayu. Suaminya memang tingginya standard tinggi laki-laki Asia, buat saya ga bisa dibilang pendek, tapi buat ukuran orang amerika bisa dibilang agak imut-imut. Tapi tentu saja, akan jauh lebih mudah mencari laki-laki pirang bertinggi 190 cm di tengah kerumunan manusia dengan tinggi rata-rata 160-170 cm.

Peluh sudah mulai membasahi ubun-ubun saya karena berjalan tergesa. Lexis belum juga ditemukan. Saya sempat masuk ke circle K, ngantri ATM sementara Dayu tetap memantau arus pengunjung di luarnya. 

Tidak jauh dari penampilan penari di tepi jalan malioboro yang ramai di kerumuni penonton muncul sosok Lexis dengan wajah tak berdosa, tersenyum seperti kawan lama yang baru ketemu di jalan.


Sabtu, 22 November 2014

Tasitolu

"Idea, rua, tolu, hat, lima," ujar Kiko sembari membuka jemari nya satu persatu dari kepalan tangan sebagai tanda menghitung angka satu hingga lima.

Saya memperhatikan sembari mengulang dalam hati angka-angka dalam bahasa Tetum itu - satu, dua, tiga, empat, lima.

"Karena itu namanya Tasitolu," sambungnya menjelaskan hamparan semacam 3 danau yang tampak dari atas bukit dimana saya dan Kiko sedang berdiri, "artinya Tiga Lautan."


Tasitolu

Disebut Tiga Lautan karena tiga danau yang berdampingan itu terletak di daratan tapi airnya asin seperti air laut - genangan laut yang terjebak di darat. 

Dari atas bukit tempat kami berdiri sebenarnya tidak jauh di sebelah Tasitolu terdapat segaris pantai yang kalau di peta terletak di sepanjang utara pulau Timor. Pantainya berpasir putih dan air biru bening kehijauan, beberapa orang menyebutnya warna turquoise. Mungkin kalau jalan di pinggir pantai itu teruuuss aja ke arah barat, bisa sampai di Indonesia lagi.

Hari itu adalah hari terakhir saya di Dili dan kebetulan hari Sabtu, jadi Kiko libur kerja dan mengajak saya ke tempat yang agak jauh dari kota Dili. Ternyata selain Patung Jesus di atas bukit yang terkenal di sana, ada juga Patung Paus Yohanes Paulus II. Letaknya juga di atas bukit, tidak jauh dari perbatasan District Dili di bagian baratnya. 

Selain patung Paus Yohanes Paulus II, di atas bukit ini juga terdapat chapel mungil yang indah. Disisi lain dari bukit itu, beberapa muda-mudi, diantaranya berpasang-pasangan sedang duduk santai sembari memandang deburan ombak yang pecah ketika menabrak batu karang.

Patung Paus Yohanes Paulus II

Chapel

Lautnya bening banget

Jumat, 14 November 2014

Run Mila Run


Lokasi : Gumuk Pasir Parangkusumo, Jogjakarta 
Waktu : Sesaat setelah matahari terbenam


Kamis, 06 November 2014

Rinjani, Keindahan yang Penuh Perjuangan

Malam itu malam pertama saya di Rinjani. Saya tidak bisa tidur. Angin bertiup kencang sekali di Plawangan Sembalun dan saya yang hanya sendirian dalam tenda khawatir kalau tenda itu diterbangkan angin dengan saya di dalamnya yang kemudian akan berakhir di dalam kawah gunung berapi. Beberapa kali saya hampir terlelap, namun terbangun kembali karena tubuh saya serasa mau di jungkirbalikan oleh angin. 

***

Perjalanan yang cukup melelahkan di hari pertama saya di Rinjani dimulai pagi hari di Sembalun, sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil dari Senaru. Driver mobil yang membawa saya, Alix, Liz dan Al, awalnya tidak mengira kalau saya asli orang lokal. Ketika saya berbicara bahasa Indonesia pak supir langsung bersenda gurau sembari memberi tips-tips untuk survive di Rinjani.

"Pokoknya apa pun yang terjadi jangan lihat ke atas, mba. Lihat saja ke bawah dan terus berjalan. Jangan pikir apa-apa, pokoknya terus saja melangkah," katanya.

Tips-tips itu kemudian saya alih bahasakan ke kawan-kawan baru saya satu tur itu. Ketika pak supir menyinggung tentang Bukit Penyesalan, saya pun mengalih bahasakan ke 3 orang turis asing itu - The Hills of Regret. 

Awalnya medan yang ditempuh tidak terlalu berat, hanya saja panas di daerah dataran savana yang menyengat itu menguras tenaga, seolah-seolah energi dalam tubuh menguap bersama hawa panas. 

Satu hari jalan sampai ke atas  gunung yang di belakang itu 

Mulai ke atas savananya mulai berkabut 

Porter Rinjani yang tangguh

Setelah makan siang medan perjalanan semakin menantang. Kombinasi jalan menanjak yang sudah mulai curam, melompati dan memanjat batu-batu besar dan terik matahari yang menyengat membuat saya ketinggalan dari 3 orang kawan bule saya. Di pos 3 ternyata saya sudah ditunggu oleh Mas Anto, guide saya. Di situ saya istirahat sejenak, karena menurut Mas Anto jalan selanjut yang ditempuh hingga sampai ke Plawangan lumayan berat.

Ternyata saya dibohongi. Jalan selanjutnya yang di tempuh hingga ke Plawangan itu berat aja ga pake lumayan. Saya rasanya sudah nyaris menghempaskan diri ke tanah dan meneruskan perjalanan dengan merayap.

Sudah 2 jam lebih berjalan tapi saya belum sampai juga. Mas Anto sudah saya minta tunggu di Plawangan saja. Udara mulai terasa dingin dan angin mulai terasa kencang, kadang hembusan angin turut menerbangkan pasir-pasir dari tanah, hingga sekujur tubuh saya dilekati oleh debu-debu pasir. Saya bisa mendengar suara angin di sekitar saya dan siulan burung-burung yang seolah-olah mengejek saya yang kehabisan napas.

"Mas, ini kita di Bukit Penyesalan ya?" tanya saya ke Mas Anto sebelum dia jalan duluan.

"hahahaa iya betul," dia malah tertawa-tawa.

"Akhirnyaaaaa.... saya menyesal juga," saya pun mengerahkan sisa napas yang saya punya hanya untuk sekedar terkekeh.

Mulai tidak kuat menahan dingin saya minggir sejenak, duduk diatas batang kayu sambil mengeluarkan sweater saya dan mengenakannya. Seorang  bapak berusia sekitar 45-an menghampiri dan duduk disamping saya. Beliau tampak mengatur napas juga. Saya sempat bertemu rombongan bapak ini, bersama kawan-kawannya berseragam sama semua, bapak-bapak semua, mereka adalah komunitas pecinta alam PT. Krakatau Steel. 

"Yang penting disiplin, dik," kata bapak itu,"coba melangkah dengan jumlah konstan, kalau  bisa 15 langkah bagus, kalau tidak bisa 10 saja cukup. Jadi, 15 langkah berhenti 5 detik, kemudian melangkah lagi 15 langkah, berhenti 5 detik. Terus begitu, niscaya akan sampai di atas."

Saya pun mencoba tips dari bapak itu. 15 langkah, berhenti 5 detik, kemudian lanjut lagi 15 langkah. Saat itu saya belajar bahwa mendaki itu tidak sekedar kekuatan fisik tapi juga keteguhan dan konsistensi. Akhirnya saya sampai juga di Plawangan Sembalun, sekitar jam 5 sore, matahari masih belum terbenam.

Saya sempat berbincang dengan Bapak dari pencinta alam KS itu di pinggir Plawangan sebelum berjalan lagi ke arah dimana tenda saya didirikan. Sampai di tenda, Alix, Liz dan Ali sudah santai-santai sambil makan pisang goreng dan minum teh. Setelah membersihkan debu-debu pasir yang menempel di tubuh dan ganti baju di dalam tenda, saya bergabung dengan mereka. Tidak lama matahari terbenam dengan indahnya di seberang danau Segara Anak yang tampak di bawah.

Matahari Terbenam dari Plawangan Sembalun


***

Dari luar tenda saya merasa ada yang memanggil-manggil nama saya, Mas Anto. Saya pun segera membuka resleting tenda, angin dingin menyeruak masuk membuat saya menggigil. Mas Anto menjelaskan bahwa karena angin terlalu kencang maka dia tidak berani ambil resiko untuk membawa kami ke puncak Rinjani. 

Saya lihat jam di ponsel saat itu menunjukan pukul 2 dini hari. Saya sudah tidak bisa memejamkan mata lagi, selain angin kencang yang seolah-olah masih berusaha menerbangkan tenda, saya kebelet buang air kecil. Operator tur saya, Rudy Trekker, sebenarnya menyediakan tenda toilet tapi saya takut keluar tenda sendirian di malam gelap dan berangin seperti itu, takut kebawa angin ga ada orang yang lihat.

Jam 5 lewat baru saya berani mengintip ke luar tenda, langit mulai terang. Saya pun buru-buru lari ke tenda toilet dan menuntaskan hasrat yang terpendam sejak beberapa jam sebelumnya. Setelah itu saya menunggu matahari terbit di depan tenda saya. Ketiga kawan baru saya baru keluar tenda mereka setelah matahari sudah bulat sempurna melayang diatas hamparan awan. 

Matahari terbit dari Plawangan Sembalun

Puncak Rinjani
Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan rombongan lain, ternyata hari itu tidak ada satu pun yang naik ke puncak. Ada satu rombongan yang mencoba, tapi baru jalan beberapa ratus meter sudah kembali lagi karena tak kuat menerobos angin. 

Setelah sarapan kami meneruskan perjalanan turun ke Danau Segara Anak. Perjalanan turun memang menantang karena harus melewati bebatuan dan jalan terjal berpasir. Tapi setelah melewati bagian terberat nya yang curam kami seperti masuk ke alam mimpi, sabana luas yang kehijauan dibatasi deretan pohon pinus dikejauhan. Begitu saya melihat ke belakang tampak tebing yang baru saja kami turuni, ternyata tinggiiii hahaha.

Jalan dari Plawangan Sembalun ke Segara Anak

Saya ikut ke pemandian air panas yang ada tidak jauh dari Segara Anak, sebenarnya saya pun sudah pakai baju renang, tapi begitu lihat tempat pemandiannya ramai dan tidak ada tempat tersembunyi saya pun urung melepaskan baju dan berendam. Akhirnya saya pamit ke guide saya mau ke Segara Anak saja.

Saya pun duduk di pinggir danau Segara Anak yang cantik sekali sambil merendam kaki di airnya yang sejuk.

Segara Anak
"Target kita hari ini sampai di Pos 3," kata Mas Anto setelah kami menyelesaikan makan siang dan bersiap mau pergi lagi.

Saya curi-curi start jalan duluan sementar ke-3 orang bule itu masih mau berenang di danau segara anak. Saya tau pasti kalau di jalanan yang tanjakannya curam saya pasti ketinggalan langkah sama bule-bule yang tinggi-tinggi dan porsi makannya dua kali porsi makan saya. 

Eh benar saja. Sudah pake curi-curi start tetap saja mereka bertiga bisa nyusul saya ketika sedang manjat-manjat batu menuju Plawangan Senaru. Alhasil saya ketinggalan lagi. Saya tiba di Plawangan Senaru jam setengah 5, bule-bule itu sudah tidak ada disana. Sementara itu guide kami Mas Anto menemani saya yang ketinggalan di belakang. Kami meneruskan perjalanan dari Plawangan Senaru menuju Pos 3, dimulai jam 5 sore dan sampai di Pos 3 jam 7 malam lewat. Alix, Liz dan Al baru selesai makan malam, berselimut sleeping bag mereka di Shelter Pos 3 sambil mengoles kan salep muscle pain reliever di kaki mereka. 

Malam itu saya tidur dengan nyenyak tanpa merasa takut diterbangin angin seperti malam sebelumnya.

Paginya kami mulai perjalanan dari Pos 3 menuju Desa Senaru. Saat itu karena saya tidak menggunakan sepatu hiking, kaki saya mulai terasa lecet dan melepuh, mungkin akibat menahan beban di jalanan menurun yang curam dan berpasir hari sebelumnya. Belum lagi bagian paha saya nyeri akibat manjat-manjat batu. Jadi di senaru tetap saja saya ditinggal sama bule-bule itu. Seorang porter ditugasi menemani saya yang tertinggal di belakang. Tapi kali ini selisih saya dan ketiga bule itu sudah tidak jauh, hanya beda beberapa menit saja, karena mereka juga sudah pada mengeluh "all my body hurts". 

Saya berhasil tiba di gerbang senaru jam 12. Makan siang terakhir kami di Rinjani adalah Spagetti, tapi saya tidak mampu menghabiskan nya, karena masih kekenyangan sama burger dan kentang yang merupakan menu sarapan kami. Ya, makanan yang di masakin porter nya Rudy Trekker memang canggih-canggih semua, kayak di restoran. 

Babak belur tapi sampai juga di finish line

Setelah makan kami masih jalan sekitar 20 menit menuju mobil SUV yang menjemput kami dan mengantarkan kami kembali ke kantor Rudy Trekker. Alix, yang kelihatan sangat kepayahan melihat ada motor di parkir di tempat kami makan siang dan dia pun menanyakan ke Mas Anto apa bisa minta diantar sama motor itu karena sudah tidak kuat jalan lagi.

Mas Anto nyengir-nyengir sambil menjelaskan kalau itu motor pribadi bukan ojek. Dengan penuh keputus-asaan Alix pun berkata, "I'll Pay."

Tapi tetap saja pada akhirnya Alix pun harus menyeret kaki nya yang kaku menyusuri jalan menurun landai selama 20 menit. *puk puk Alix*


Sabtu, 01 November 2014

Rinjani, Saya Datang!

Beberapa tahun yang lalu saya pernah datang ke salah satu pameran wisata di Indonesia, ada dua brosur yang saya ambil dan sampai di rumah di tempel di cermin meja rias - Pulau Komodo dan Trekking Rinjani. Setiap hari kalau saya berkaca di meja rias pasti tampak dua brosur itu, menanti saat-saat direalisasikan.

Dua tahun berlalu sejak pertama kali saya menempelkan dua brosur itu. Tahun lalu saya telah berhasil mengunjungi Pulau Komodo dan foto bareng sama komodo-komodo disana. Lepaslah satu brosur yang tertempel di cermin itu. 

Tahun ini akhirnya saya punya keberanian untuk pergi ke Rinjani. Kalau bukan karena baca postingan blog Rini dan mupeng denger cerita dari orangnya tentang betapa indahnya disana mungkin hingga sekarang keberanian saya untuk menjejakan kaki di gunung berapi yang terletak di pulau Lombok itu belum akan terkumpul.  

Saya kesana-kemari mencari partner untuk diajak ke Rinjani tapi tidak ada yang mau, akhirnya saya putuskan bergabung dengan salah satu operator tur Trekking Rinjani. Setelah melalui proses pencarian dan seleksi akhirnya pilihan saya jatuh ke Rudy Trekking. E-mail yang saya kirim pun segera dibalas, saya akan berangkat bersama sepasang turis asing dengan paket 3 hari 2 malam. "Tapi mba yakin bisa ikutin jalannya orang bule? mereka jalannya cepat loh," kata Mas Antok dari Rudy Trekker. Mendengar itu sebenernya saya makin berasa gamang dan galau. 

Pagit juga malah bikin nyali makin ciut. Katanya dia pernah baca blog cowo yang katanya sampe mau nangis di Bukit Penyesalan karena medannya yang sangat berat. Saat itu saya benar-benar tidak terbayang bakalan seperti apa dan sengaja tidak terlalu banyak riset tentang kondisi disana. Biarlah semua menjadi kejutan manis untuk saya.

Satu hal yang saya khawatirkan adalah soal kedinginan. Karena konon menurut Mas Antok cuaca di atas bisa sampai 3 - 4 der C. Berbekal pinjaman jaket dari Cipu dan membeli sepasang thermal underwear baru, saya berharap bekal tersebut akan cukup untuk menghalau dingin. O iya, karena saya tidak punya backpack kecil jadi saya pinjam carrier 20 L punya Cipu juga. Tadinya saya mau beli sepatu khusus trekking, tapi selain karena susah cari ukuran kaki saya yang imut-imut ini, harganya juga mahal, jadi saya putuskan akan pakai sepatu lari saja.

Jujur, sebenarnya dalam hati saya takut banget. Takut ga mampu secara fisik. Apalagi pergi sendiri, ga ada yang dikenal, ga ada yang saling support dan menguatkan mental. Tapi tekad saya sudah bulat. Saya tetap akan menginjakan kaki di Rinjani. Bismillah.

Tanggal 25 Oktober, jam 4 sore saya dijemput oleh perwakilan dari Rudy Trekker di Happy Cafe - Senggigi. Namanya Mas Wawan. Ternyata selain saya ada satu orang cewe bule yang dijemput juga di Hotel Sendok, namanya Alix. 

Disambut pake papan nama.. co cwiit :')
Alix yang bapaknya orang Prancis dan ibunya Inggris ternyata menghabiskan masa remaja hingga lulus SMA di Afrika, jadi udah biasa banget trekking-trekking ke gunung walaupun katanya belum pernah ke Volcano yang besar. Kemudian dua partner naik gunung saya adalah sepasang suami istri yang pekerjaannya guru olahraga di Inggris. Tantangan tambahan untuk saya adalah karena Alix harus mengejar kapal ke Bali jam 3 di hari ke 3 maka kami semua harus sudah kembali ke Senaru sebelum pukul 1 siang. 

Saya harus menyelesaikan rute Sembalun - Plawangan Sembalun - Summit - Segara Anak - Plawangan Senaru - Senaru dalam waktu 2.5 hari / 2 malam saja! 

Menurut Pak Rudy, pemilik perusahaan trekking nya, kalau orang lokal anak kota-an (kayak saya begini...ehm) standarnya 4 hari 3 malam. Kalau orang yang fit dan kebanyakan orang bule standarnya bisa 3 hari 2 malam. Mendengar itu saya sudah merelakan tak apalah kalau tidak sampai puncak, tapi guide kami Mas Anto yang punya nama artis Antonio bilang, "Yang penting coba dulu, nanti ditemani porter, kalau tidak kuat boleh turun duluan di tengah jalan"

Baiklah.

Harga paket saya termasuk menginap semalam di penginapan yang terletak di Senaru. Penginapan yang dimiliki oleh pria Jerman yang sudah menetap lama di Lombok itu bagus banget, dengan tembok kombinasi bata merah dan anyaman bambu serta tempat tidur berkelambu. Malamnya saya mandi air hangat dan makan malam crackers + kornet di dalam kelambu, kemudian tidur cepat di iringi alunan bunyi jangkrik dan tokek yang bersahut-sahutan.

Selasa, 14 Oktober 2014

Jabal Magnet

Jabal adalah bahasa Arab untuk kata 'Bukit', jadi Jabal Magnet itu adalah bukit magnet, lokasinya berada tidak jauh dari pusat kota Madina. Di bukit yang mengandung magnet itu, ada sepotong jalan yang bila dilalui oleh kendaraan bisa melaju sendiri tanpa nyalain mesin karena di tarik oleh gaya magnet yang terkandung dalam bukit itu. Prinsipnya mungkin mirip kereta cepat Shinkansen Jepang. 

Memasuki jalan bermedan magnet dipasang papan penanda. Supir mobil sewaan kami kemudian mematikan mesinnya. Dalam bahasa Arab - yang selanjutnya di terjemahkan oleh Om saya, supir menjelaskan bahwa dia sudah harus menginjak rem nya di area tersebut kalau tidak mau mobilnya jalan sendiri.

Setelah mesin mati, rem perlahan dilepas, kami di dalam mobil merasakan mobil itu benar-benar melaju kencang. Menurut sang supir pun kakinya masih harus menginjak rem untuk mengendalikan kecepatan, itu pun kami melaju dengan kecepatan hampir 100 km/jam.

Setelah beberapa km melaju tanpa bantuan mesin kami tiba di end of the road (kalo pinjem istilah dari Boyz II Men). Konon kata supir kalau kita terusin jalan lurus-lurus aja bisa sampai di Irak. Masih pinjem istilah Boyz II Men, setelah end of the road ada water runs dry. Di ujung jalan itu hanya gurun belaka. Tampak beberapa turis wisata magnet, sebuah mobil penjual es krim dan petugas kebersihan yang sedang menyapu gurun. 

Foto dari dalem mobil pas lagi jalan tanpa mesin

Bersih-bersih gurun

Mobil Jual Es Krim

Turis-turis wisata magnet

Makan Es Krim di tengah gurun - Priceless

Jumat, 03 Oktober 2014

Om John di Gua Batu Cermin, Flores

Tidak jauh dari Labuan Bajo di ujung barat pulau Flores ada satu gua yang merupakan salah satu destinasi wisata di daerah itu, namanya Gua Batu Cermin. Konon setelah saya, mba efa dan Pagit diajak menyusuri lorong-lorong dan sudut gua itu, kami baru mengerti kenapa gua tersebut dinamakan Batu Cermin. 

Di pintu masuk kawasan wisata sebelum memasuki gua, kami berkenalan dengan seorang pria Flores usia 40-an bernama John. 

Setelah memperkenalkan diri, Om asli Flores itu membagikan 3 buah helm kuning dan senter kepada kami. Kesan awal melihat sosoknya kayaknya orangnya serius. Ternyata jauh menyimpang dari kesan pertama yang menipu itu. Masih di jalan setapak menuju gua aja kami sudah dibuat tertawa terus karena guyonannya yang acak dan absurd. 

Setelah tahu saya, mba efa dan pagit datang dari Jakarta Om John langsung menceritakan masa mudanya saat mengadu nasib di Jakarta. Bermodalkan wajah galak  seram serius, Om John berhasil mendapat pekerjaan menjadi preman  keamanan di Tanah Abang, kemudian sempat jadi tukang parkir, sempat juga luntang lantung jadi pengangguran sampai tidak punya uang sepeser pun untuk beli makanan. 

"Waktu itu saya dan kawan dua orang, kami sudah kelaparan sekali. Kemudian ingat kalau di kampung juga kami bisa hidup hanya makan daun ketela, akhirnya kami petik saja daun-daunan."

"Daun singkong?" tanya saya.

"Bukan. Kami tidak menemukan daun ketela, akhirnya sembarang daun saya kami petik. Mana kami petik dengan perasaan berdosa karena dari pekarangan rumah orang.

"Sebelum saya pergi ke Jakarta, Bapak saya berpesan: Apa pun yang kau lakukan disana, jangan kau mencuri. Nah itu karena terpaksa kami mencuri daun, karena kelaparan."

"Terus?" 

"Setelah kami makan daun itu, malamnya kami semua sakit perut."

Saya, Mba Efa dan Pagit langsung tertawa padahal kalau dipikir-pikir, itu kan cerita sedih ya.

Jalan Setapak  menuju Gua Batu Cermin

"Hidup di kota itu sebenarnya enak. Kalau disini kemana-mana harus jalan jauh, naik turun bukit. Maka itu orang sini makannya banyak. Yang penting nasi nya banyak."

Kemudian Om John bercerita tentang kawannya yang merantau ke Jawa kemudian menikah dengan perempuan Jawa. Beberapa tahun menikah kawan nya itu pulang kampung ke Flores membawa anak dan istrinya. Selang beberapa waktu porsi makan istri kawannya mulai tambah banyak. Awalnya makannya 1/4 piring kemudian tambah jadi 1/3 piring, sampai akhirnya makan nasinya sudah menggunung penuh sepiring. 

Suatu saat istri kawannya itu pulang ke Jawa, melihat dia makan ibu istrinya itu berseru,"Bisa mati nanti kau makan sebanyak itu!"

Saya, Mba Efa dan Pagit kembali terbahak-bahak. Saat itu kami sudah berada dalam lorong gua sehingga suara tawa kami menggema ke seluruh penjuru gua.

"Kalau dapat tamu seperti kalian itu enak, mudah dibuat tertawa," ujar Om John, "kalau dapat tamu dari Papua itu tantangan untuk saya, susah sekali dibuat tertawa. Mahal sekali mereka mau kasih unjuk gigi. Tapi saya tau kuncinya membuat mereka unjuk gigi..."

"Bagaimana?" tanya mba Efa.

"Ajak lomba lari saja. Selesai lari, ketika mereka terengah-engah baru kelihatan giginya," sembari menirukan gerakan orang terengah-engah habis lari sambil monyongin giginya.

Gua Batu Cermin ditemukan di tahun 1950-an oleh seorang Pastur Belanda yang juga seorang arkeolog bernama Verhoven. Jalan setapak untuk masuk ke  dalam gua nya sudah dibuat dari conblock dan untuk naik ke jalan masuk ke gua yang ada di atas bukit sudah dibuat tangga dari semen jadi pengunjung tidak perlu memanjat. 

Gua ini termasuk gua peninggalan jaman purbakala. Gua purbakala saya yang kedua setelah Tam Pee Hua To di Krabi, Thailand.

Flores adalah salah satu pulau yang menjadi tujuan para pastur misionaris yang memperkenalkan dan mengajarkan tentang agama kepada suku-suku asli Flores jaman dulu yang masih primitif dan mayoritas masih hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Saat ini agama sudah merasuk ke pedalaman-pedalaman Flores, jadi mayoritas masyarakatnya menganut Katolik. 

Pastur yang jadi misionaris bukan hanya memperkenalkan agama kepada suku primitif, tapi juga merubah gaya hidup mereka dengan cara membawa peradaban yang lambat laun merubah gaya hidup aslinya. Menurut Om John, Pastur di Flores yang mengkoordinasi pembuatan jalan raya di daerah tempat tinggal nya waktu dia kecil. Para kaum pria bergotong royong membangun jalan raya di gunung dan membelah bukit dengan dana sumbangan dari Gereja Katolik. 

"Yang bangun jalan di sini bukan Soeharto. Yang bangun jalan disini adalah bapak saya dan kakek saya," kata Om John.

Yang membuat Verhoven tertarik dengan gua tersebut karena di dalam gua itu, selain stalaktit dan stalakmit, terdapat juga tanda-tanda fosil dan batu-batu karang dari laut. Jadi bisa dibayangkan kalau daerah itu dulunya ada dibawah permukaan laut, termasuk Labuan Bajo juga beberapa puluh ribu tahun lalu masih berada di bawah permukaan laut.

Mba Efa, Pagit dan Saya - Anak Goa

Ukuran gua nya besaaarrr bingit

Flores sendiri sudah ada sejak jaman purbakala, tapi karena permukaan dataran dan laut di bumi masih berubah-rubah - yang dulunya daratan bisa jadi laut, yang dulunya laut bisa jadi darat maka ukuran pulau Flores jaman dulu mungkin lebih kecil dari sekarang. Bisa jadi karena perubahan permukaan laut, atau bisa jadi karena pergerakan lempengan bumi menyebabkan posisi daratannya jadi naik, saya belum cari-cari info lebih mendalam tentang itu. 

Tahun 2003 di Flores ditemukan rangka spesies Homo baru yang kemudian diberi nama Homo Floroensis. Setelah direkonstruksi di perkirakan spesies Homo yang telah punah tersebut berukuran lebih mungil daripada Homo Sapien maka spesies ini dijuluki The Hobbit. Kalau yang tau Lord of The Ring pasti tau deh. Manusia-manusia mini ini sebenarnya ada di legenda lokal yang diceritakan secara turun temurun oleh kakek nya kakek orang asli Flores, kalau tidak ditemukan fosil tulang itu mungkin beberapa generasi lagi legenda manusia mini di flores hanya akan jadi mitos. 

Fosil tulang belulang Homo Floroensis atau Hobbit itu ditemukan di daerah Ruteng, beberapa jam lagi naik kendaraan kalau dari wilayah Gua Batu Cermin. Ya kemungkinan di saat Gua Batu Cermin masih di bawah laut, di Ruteng sudah daratan. Di Gua Batu Cermin kita juga bisa melihat fosil ikan purba yang sudah menempel di bebatuan. 

Selain itu kita bisa melihat fosil-fosil batu karang dan kulit kerang yang sudah membatu. Ada batu berbentuk penis yang konon kalau diusap-usap oleh pria dewasa bisa menambah kejantanan. Ada juga yang disebut Om John sebagai Batu Bernyanyi, batunya menempel di dinding gua bentuk nya bulat-bulat dengan ukuran berbeda, tapi rupanya dalamnya kosong sehingga kalau di ketok-ketok menimbulkan suara yang nadanya berbeda. Makin kecil ukuran bulatannya nada yang dihasilkan makin tinggi. Dan tentu saja di dalam gua kita akan menemukan Stalakit dan Stalakmit, sepasang batu romantis yang harus menunggu ratusan tahun untuk bisa bersatu.

Terus kenapa namanya Gua Batu Cermin? 

Hmm.. kalau itu sepertinya kalian harus datang kesana dan lihat sendiri supaya paham darimana asal nama Gua Batu Cermin. Nanti kalau ketemu Om John, saya titip salam. 

batu bernyanyi

Foto Bareng
NB: Foto-foto di postingan ini ada yang saya pinjem dari foto Mba Efa, soalnya foto di kamera saya gak ada saya nya. 

Senin, 22 September 2014

Dakken

Pada postingan tentang Bandung yang sebelum ini saya memang bilang kalau perkembangan di kota kembang ini dalam beberapa tahun pesat sekali dari segi wisata nya, ya termasuk wisata kuliner dan akomodasinya. Sepertinya tiap minggu ada aja tempat kuliner baru, hotel baru, tren wisata baru di Bandung. Tapi di tempat tertentu keadaan masih sama persis seperti beberapa tahun lampau ketika saya tinggal di Bandung.

Contohnya di Pasar Simpang Dago. Belum lama saya lewat di daerah itu dan memperhatikan pedagang kaki lima yang ada di sederet jalan seberang pasar simpang. Saya dan Chacha memperhatikan penjual-penjual makanan tempat kita biasa bergerilya di sore menjelang malam, ternyata masih sama seperti dulu. Pecel Lele-nya, Roti bakar-nya, Nasi goreng-nya, tendanya pun masih model yang dulu. 

Ada satu tempat ngopi, terletak di Jalan Riau tempat saya biasa menghabiskan waktu sama temen-temen dulu. Biasanya sih menghabiskan waktu di awal-awal bulan ketika baru dapet kiriman uang bulanan. Namanya Dakken. Dulu tempat ini comfy sekali, di tata seperti rumah, ada ruang tamu, ruang kamar, ruang makan dan beranda. Terakhir saya ke Bandung sama Chacha kita mampir ke tempat ini. Dari luar tampak tidak berubah, walaupun ketika masuk ke dalam ternyata konsepnya sudah dirubah sedikit. Semua ruangan di pasang meja makan, furniture nya tidak bervariasi lagi seperti dulu. 

Ada satu hal lagi yang tidak berubah. Ketika Chacha menanyakan apa menu spesialnya, ternyata rekomendasi waiter masih sama persis seperti dulu. Aaaaah.. nostalgia masa muda.

Cemilan Nostalgia

Akuh merasa muda kembali

Ini Jaman dahulu kala nya, tebak aku yang mana



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...