Selasa, 29 Desember 2015

Anjing Pantai

Saya sudah pernah cerita tentang hewan-hewan yang berpengaruh dalam hidup saya, dalam postingan Peliharaan-Peliharaan Tante. Memang tidak secara langsung saya sadari tapi ternyata dari dulu saya memang punya ketertarikan khusus sama hewan-hewan. Pertanyaan terbesar dalam hidup saya adalah kenapa ikan  matanya disamping jalannya kedepan tapi kepiting matanya ke arah depan jalannya kesamping. Saya juga pernah bahas khusus tentang sapi di blog ini, tepatnya di postingan dengan judul Sapi.

Waktu traveling bukan hanya ketemu sama orang-orang unik yang saya kenal di jalan, saya juga banyak ketemu sama anggota spesies lain yang menginspirasi saya, seperti Komodo. Walaupun hanya bisa lihat sebentar tapi saya langsung jatuh cinta sama hewan reptil raksasa ini sampai-sampai saya menaruh hiasan replika komodo di dashboard mobil. 

Pernah ada tukang parkir yang komentar, "mba, itu biawaknya bagus." 

Saya langsung marah,"ini Komodo, pak. bukan biawak."

Pernah juga waktu isi bensin, komodo di dashboard mobil saya bikin takut mas-mas yang mau bersihkan kaca. Mas-mas malang itu rupanya punya fobia sama reptil, mungkin waktu kecil pernah digigit kadal atau pernah kejebak sama buaya darat seperti saya. Untungnya walaupun beberapa kali disakiti hatinya oleh buaya darat saya gak sampe trauma sama reptil. 

Sambil gemetaran si mas fobia kadal itu menghampiri jendela mobil sambil ngomong, "maaf bu, itu yang di kaca bisa ditutup sebentar, bu?". Wajahnya pucat pasi tapi dengan profesional tetap meneruskan pekerjaannya membersihkan kaca mobil saya. Kasian juga sih liatnya.

Cukup tentang komodo, saya akui memang saya belum bisa move on dari nya.

Tujuan utama posting saya kali ini sebenarnya mau cerita kejadian lucu waktu di Jimbaran, Bali. Saya lagi duduk sendirian sore-sore menjelang matahari terbenam di pasir. Dari kejauhan saya sudah lihat ada 3 ekor anjing menghampiri. Awalnya mereka duduk agak jauh dari saya, ada sekitar 1 meter. Lama-lama duduknya bergerak makin mendekat. Rupanya mereka lirik-lirik saya tidak bergeming ketika mereka duduk mendekat. lama kelamaan salah satu anjing yang berwarna putih berdiri memandang saya dan menghampiri perlahan dengan kepala agak menunduk minta dielus. Ketika saya mengulurkan tangan mengelus kepalanya, ketiga anjing itu nempel sama saya. Rupanya mereka sudah keseringan bergaul sama turis jadi manja.



Anjing termasuk hewan yang pertama kali di domestikasi oleh manusia dari serigala. Jadi nenek moyang anjing adalah serigala. Awalnya dipelihara untuk kegiatan berburu, tapi rupanya karena hewan ini yang paling cepat beradaptasi dengan kehidupan manusia, hingga sekarang anjing tetap populer sebagai hewan peliharaan. Dibandingkan dengan kucing, anjing sebagai hewan peliharaan lebih tahu bagaimana balas budi sama yang memelihara. 

Kalau kucing itu, walaupun kita pikir kita yang memelihara mereka padahal sebenarnya kita yang diperbudak. Kucing paling gak mau kalau disuruh-suruh dan suka ngambek kalau dimarahin, maunya cuma tidur-tiduran atau main-main. Semua kemauannya harus dituruti dan entah kenapa manusia selalu aja menuruti kemauan kucing-kucing. Anehnya makin judes mukanya, biasanya makin tinggi kasta kucingnya, kalau dijual lebih mahal dan kalau kontes-kontes biasanya menang. Ada sesuatu di muka nya atau pandangan matanya yang bisa mempengaruhi alam bawah sadar manusia untuk selalu mengikuti kemauannya. Mungkin karena itu di mesir jaman dahulu yang pertama-tama mempopulerkan kucing sebagai hewan peliharaan, salah satu dewanya berwujud kucing.

Menyesuaikan dengan gaya hidup di Bali dan perilaku manusia-manusianya, maka anjing-anjing di Bali pun jadi lebih ramah dan supel. Bukan cuma anak pantai yang gaul, anjing pantai pun begitu. Waktu saya lagi tidur-tiduran di pantai yang terletak di belakang hotel pagi-pagi tiba-tiba di atas muka saya ada wajah berbulu. 


Adorable. Who can resist this kind of cuteness <3 div="">

Kamis, 17 Desember 2015

Racauan orang yang lagi kurang piknik dan kebanyakan nonton video random di youtube

Sejarah dimulai ketika manusia mengenal tulisan. Manusia mengenal tulisan setelah mereka mengenal teknik bercocok tanam dan sudah tidak hidup berpindah-pindah untuk mengumpulkan dan berburu makanan (hunters and gatherers). Sebelum masa sejarah (pre historic) manusia yang hidup berpindah-pindah belum mengenal tulisan, ilmu dan pengetahuan diceritakan langsung dan diajarkan turun temurun. Cara bertahan hidup di alam, apa saja yang boleh dimakan, bagaimana cara berburu semua diajarkan secara lisan dan langsung diterapkan dalam kehidupannya.

Manusia sudah hidup dengan cara mengumpulkan makanan dan berburu sejak ada di bumi, beberapa ratus ribu tahun kemudian teknologi yang dipakai untuk hidup semakin rumit. Awalnya alat bantu untuk senjata, mengolah makanan, dan sebagainya menggunakan batu-batuan. Lama-lama mereka punya ide meruncingkan batu. Kemudian mereka hidup berpindah-pindah dalam kelompok untuk terus mencari makanan. Semakin lama teknologi yang mereka temukan makin canggih, mungkin karena di tempat-tempat baru yang didatangi mereka terbentur dengan tantangan alam baru dan harus terus menemukan cara untuk menanggulangi tantangan alam dan bertahan hidup. 

Hingga sampai pada era manusia mulai bercocok tanam. Mungkin awalnya gaya hidup bercocok tanam masih bercampur dengan berburu dan mengumpulkan makanan dari tumbuhan liar di hutan. Kemudian di beberapa daerah yang pada akhirnya menjadi pusat dari awal mula peradaban manusia seperti di mesopotamia, gaya hidup bercocok tanam lebih maju dan manusia mulai memenuhi sebagian besar kebutuhan makanannya dari hasil pertanian. Tapi laju kemajuan teknologi di bumi tidak sama. Ketika jaman peradaban mesopotamia terbentuk, sebagian besar manusia di bumi ini masih hidup sebagai kelompok nomaden hunters and gatherers.

Ketika daerah Eropa sudah memasuki era modernisasi di tahun 1700-an, Suku Aborigin di Australia masih hidup sebagai hunters and gatherers. Di saat itu juga pasti di pedalaman-pedalaman hutan di Indonesia masih banyak dihuni oleh suku asli yang hidup nomaden. Di pulau Jawa mungkin keberadaan suku nomaden terdesak oleh masuknya arus migrasi dari manusia yang hidup bercocok tanam padi, yang populasinya merupakan cikal bakal terbentuknya kerajaan di Jawa. Tapi di pulau-pulau lain seperti Sulawesi dan Kalimantan, mayoritas pasti masih dihuni suku nomaden. Waktu saya kecil aja di Irian Jaya (Sebutan papua jaman orde baru) masih banyak suku asli yang hidup di hutan dengan cara berburu. Di kalimantan pun masih ada suku Dayak yang tinggal di hutan yang masih belum jadi kebun sawit. 

Saya mau cerita video singkat yang baru saya tonton tentang Waorani, dari suku asli yang tinggal di hutan Amazon . Kalau mau nonton sepertinya harus Log In dulu dan daftar, jadi saya cerita aja sekilas. 

Waorani lahir sebagai suku nomaden di pedalaman Amazon. Waktu kecil Waorani masih hidup berpindah-pindah. Setiap 3 bulan pindah tempat, dia ikut jalan diikat pakai tali ke orangtuanya atau didukung di pundak orang tuanya. Mereka hidup dari makan hasil hutan dan berburu, makanan utamanya Yuca atau kalau kita bilang disini Singkong. Mereka hidup berkecukupan, alam memenuhi segala kebutuhan mereka. 

Hingga suatu hari ketika Waorani sudah dewasa di tahun 90-an, datang orang-orang dari perusahaan minyak. Mereka membuat perjanjian dengan beberapa suku asli yang tinggal di hutan itu agar mereka bisa menambang minyak bumi disitu. Seharusnya perjanjiannya hanya 20 tahun, tapi sudah lebih dari 20 tahun perusahaan minyak itu masih beroperasi di sana. Waorani menyebutnya "the devil's tongue of spanish".

Kisah yang mirip pernah saya dengar dari Rio yang pernah tinggal bersama suku dayak di Kalimantan. Hidup mereka berubah drastis karena perusahaan kelapa sawit membeli tanah mereka untuk dibangun perkebunan. Mereka yang sebelumnya tidak terbiasa dengan konsep uang mempergunakannya secara konsumtif, beli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan dan tidak bisa jadi modal untuk hidup mereka selanjutnya kalau uang hasil penjualan tanah sudah habis. 

Sejak nenek moyang Suku Dayak hidup di hutan itu berabad-abad lalu, mereka hidup dari apa yang ada di hutan. Mereka punya kepercayaan, kewajiban dan tata cara yang diajarkan turun temurun bagaimana menjaga hutan agar bisa terus hidup dan makan dari apa yang ada di hutan. Mereka tidak perlu uang untuk beli makanan. Tapi karena hutan tempat mereka cari makan berubah jadi ladang sawit dan sudah ditukar sama uang, jadi otomatis hidup mereka berubah drastis. 

Sama persis seperti Waorani di hutan amazon. Sebelum perusahaan minyak datang mereka hanya makan apa yang ada di hutan; singkong, pisang, hewan buruan. Pakaian, alat berburu dan aksesoris lainnya diambil dari bahan yang tersedia di hutan, diajarkan turun temurun oleh orang tua mereka. Dan mereka merasa cukup. Setelah mengenal uang dan bisa beli bahan makanan, yang dimakan jadi lebih bervariasi; nasi, coca cola, biskuit, kue. Masalahnya adalah Waorani tidak punya skill untuk menghasilkan uang, sementara makin lama kehidupannya makin tergantung dengan uang karena hutan tempatnya tinggal sudah tidak sama seperti pada masa ayah dan kakeknya. 

Waorani khawatir dengan kondisi hutan yang semakin rusak karena pekerjaan ekplorasi, mereka sudah tidak bisa lagi hidup dari hasil hutan seperti dulu. Ya mirip-mirip kejadiannya antara di amazon, suku dayak di kalimantan, suku di papua. Itu juga yang terjadi sama banyak spesies hewan di dunia ini yang semakin lama semakin susah untuk bertahan hidup karena hutan tempat tinggal mereka makin lama makin sempit didesak oleh perkebunan, peternakan, jalan raya, perumahan, pabrik. Sekarang Waorani dan anggota suku yang tinggal di hutan itu tidak lagi bisa hidup berpindah-pindah. Anak-anaknya sudah tidak merasakan hidup nomaden, mereka menetap di rumah yang sudah di semen permanen dan sudah sekolah.

Waorani di Amazon, suku Dayak di Kalimantan dan suku di Papua merupakan sisa-sisa dari generasi hunters and gatherers di dunia ini. Anak-anak mudanya mungkin sudah tidak hidup sama seperti cara hidup kakeknya karena perkembangan dunia yang pesat tahun belakangan ini, mereka sudah tidak lagi berburu dan mengumpulkan makanan karena kebutuhannya dibeli di pasar. Mereka mungkin sudah tidak lagi mempelajari pengetahuan turun temurun dari orang tuanya tentang jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa jadi makanan atau jadi obat di hutan, tidak lagi mempelajari cara membuat pakaian dan membuat senjata dari bahan alami karena sudah sekolah dan belajar matematika, fisika dan kimia. 

Perubahan memang tidak terelakan, tapi lucu. Jaman dulu dunia ini tanpa batas, kemudian manusia membuat batasan-batasan untuk melindungi tempat tinggalnya contohnya batas negara, tapi lama-lama gaya hidup nya jadi sama semua dan mulai banyak yang menginginkan dunia tanpa batas (lagi). Yang hidup di peradaban inferior pasti kepingin mengikuti manusia yang hidup di peradaban superior. Kalaupun gak kepingin pilihannya hanya harus mengikuti atau terdesak. Seperti suku di Amazon dan Dayak terdesak sama globalisasi, suku Indian dan Aborigin terdesak sama kolonisasi bangsa eropa jaman dulu. 

Waktu ke Rinjani, kawan-kawan bule saya yang bareng mendaki sama saya sepakat kalau saya mengingatkan mereka sama Pocahontas waktu lihat saya lari-lari gak pake sepatu dipinggir danau. Katanya karena kulit saya yang tanned (bukan item yah), kepangan rambut dan tampak seneng banget lari-larian telanjang kaki. 

Pocahontas di disney memang keren, dia juga dari suku indian asli yang tinggal di hutan. Tapi kenyataannya ga seindah di film animasi. Pocahontas itu tokoh nyata dan memang benar dia ketemu John Smith yang berlayar pakai kapal dari Inggris. Si John Smith ini sendiri yang menulis surat ke Ratu Inggris tentang Pocahontas, seorang gadis anak kepala suku indian yang menyelamatkan nyawanya ketika mau dieksekusi sebagai penyusup asing. Mungkin itu yang menginspirasi cerita Disney. 

Saya pernah baca cerita asli tentang Pocahontas, di dunia nyata Pocahontas akhirnya menikah dengan pria Inggris, bukan John Smith. Dia jadi perempuan Indian pertama yang hidupnya di-westernisasi. Pocahontas diajari bahasa Inggris, pakai baju kayak perempuan inggris di era itu, gaya hidup dan tata caranya berubah jadi kayak orang eropa. Buat saya itu tragis dan menyedihkan, tapi mungkin pas jaman itu dari suku primitif yang hidup di hutan jadi anggota peradaban eropa yang canggih itu keren.

Waktu jaman kolonial di Indonesia dulu, Belanda juga membawa gaya hidup Eropa ke raja-raja Jawa. Pangeran dan Putri disekolahkan ke Belanda atau disekolahkan di sekolah elit yang didirikan dan diajar oleh orang Belanda, mempelajari bahasa dan gaya hidup eropa. Coba aja perhatikan kalau lagi berkunjung ke keraton atau museum kerajaan-kerajaan di Jawa. Di tahun 1800-an Sultan pun mulai memasukan unsur Jas ke pakaiannya, seperti gaya pakaian orang Eropa. Sekarang kita pakai baju, rok, kemeja, T-shirt, Jeans itu hasil nyata dari era kolonial, kita semua bergaya pakaian seperti orang barat. 

Berakhirnya satu jaman beralih ke jaman lain memang tidak terelakan dan kalau kita baca buku sejarah memang selalu terjadi. Sekarang ini adalah saatnya jaman hunters dan gatherers benar-benar berakhir. Generasi yang lahir sekarang-sekarang ini mungkin hanya akan tahu suku primitif yang tinggal nomaden di tengah hutan hanya dari wikipedia atau dari jalan-jalan ke goa pre-historic dan lihat gambar-gambar hasil karya orang purba di dinding goa karena budaya hidup hunters and gatherers sudah punah. Tapi mudah-mudahan kita semua tidak akan lupa kalau ada saat dimana manusia hanya mampu bertahan hidup di alam, belum punya teknologi untuk berusaha mengendalikan dan menjadi mahluk congkak yang berusaha menguasai dunia ini. 

Senin, 07 Desember 2015

Kembali ke Tanjung Lesung

Setelah survei singkat ke Tanjung Lesung tahun lalu akhirnya beberapa bulan lalu saya kembali ke pantai yang terletak di Banten itu. Kali ini saya menginap dua malam di Kalicaa Villa yang terletak di kawasan wisata Tanjung Lesung bersama keluarga dan ukulele biru.

Di hari keberangkatan ke Tanjung Lesung saya ada janji sama orang urusan pekerjaan di suatu pameran di JCC. Selesai urusan lagi jalan-jalan tanpa arah di pameran tiba-tiba saya lihat sosok yang familiar. Rupanya Cipu lagi jaga stand pameran.

Woow, saya tidak mengira akan bertemu Cipu.

Cipu
Saya janjian sama adik saya di kantor, target mau makan siang di Serang, tapi karena macet sedikit di jalan toll makan siang jadi agak terlambat. Kami berhasil tiba di Tanjung Lesung sebelum sunset, jadi masih sempat menyaksikan matahari terbenam di teluk yang terletak di bagian barat pulau Jawa itu. Langit cerah, laut disana tampak biru jernih dan pasir putih bersih. 

Villa yang kami tempati terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu, dapur, dua kamar mandi yang satu berukuran lebih kecil ada di kamar tidur utama yang ukurannya lebih luas, gazeboo untuk santai-santai dan kolam renang kecil. Ternyata kalau malam anginnya dingin. Saya, adik bungsu dan sepupu yang punya rencana mau berenang malam di kolam renang itu terpaksa mengurungkan niat. Kamar mandi utama yang terletak di luar shower di bawah langit alias tidak pakai atap, tren kamar mandi resort terkini yang diadaptasi dari gaya hidup tradisional di pedesaan. Waktu menyalakan shower saya langsung sadar kalau saya tidak sendiri, ada seekor kodok dipojokan yang lagi memperhatikan saya.

Woow, saya tidak mengira akan ketemu kodok di kamar mandi.

Dini hari, masih gelap, saya keluar dari villa menuju dermaga diikuti oleh adik dan sepupu. Sampai di dermaga masih gelap dan banyak bintang, saya tiduran sambil memandang bintang dan mendengarkan bunyi gemericik ombak di bawah dermaga. Angin bertiup kencang dan dingin. Tak lama semburat warna jingga mulai tampak di bagian timur. Semakin lama semakin terang, saya melihat kebawah dermaga ternyata penuh dengan terumbu karang bagus-bagus dan tampak jelas karena airnya bening sekali.

Koralnya terlihat dari atas dermaga
Ketika mulai terang kami pun beranjak dari dermaga dan mejelajahi area sekitar. Dermaga itu tempat saya foto sama ukulele tahun lalu, ada di kompleks Green Coral beach camp. Jaraknya sekitar satu kilometer dari kompleks Kalicaa Villa tempat saya menginap. Disitu ada tenda-tenda camping yang disewakan, ada paketnya per pax termasuk makan dan minum. Kalau mau snorkelling di situ ada tempat yang menyewakan peralatan snorkeling dan ada paket trip juga kalau mau snorkelling yang agak jauh pakai boat. Tempat penyewaan alat snorkelling baru buka jam 10 pagi, jadi rencana berikutnya kami akan balik ke villa untuk sarapan kemudian balik ke situ untuk snorkelling.

Di jalan balik menuju villa saya lihat ada tanda panah ke kebun binatang mini, ada jalan setapaknya. Sebidang tanah tidak begitu luas yang di dalamnya ada kandang-kandang kecil. Isi kandang itu ada beberapa jenis ayam, kelinci, kambing dan beberapa macam burung diantaranya ada burung merak. Favorit saya adalah ayam yang suara berkokoknya aneh, kayak lagi ketawa.

Woow, saya tidak mengira akan ketemu ayam yang bisa tertawa ngakak.

Diantara kompleks Green Coral Beach dan Kalicaa Villa ada Tanjung Lesung Beach Hotel. Hotel & Resortnya beda kompleks dan beda konsep sama Villanya, tapi sepertinya pengelolanya sama karena waktu saya check in di lobby hotel Tanjung Lesung juga. Karena waktu check in di lobby hotel, maka kami pikir breakfast nya di restorant hotel itu juga. Jadi kami ke villa, ambil kupon, kemudian jalan ke hotel lagi. Sampai di restoran baru diberitahu kalau untuk villa sarapannya di restoran berbeda yang ada di kompleks Kalicaa Villa. Yah jadi kami berbondong-bondong balik lagi ke kompleks villa. 

Ternyata memang benar ada restoran juga di kompleks villa. Sarapan ada dua macam, menu Indonesia yaitu nasi goreng dan menu western yang terdiri dari roti, omelet dan sosis. Setelah menunggu sekian lama sampai lemas karena lapar akhirnya datang juga sarapannya. View dari restorannya yang langsung ke pantai sih bagus, tapi karena udah kelaparan dan lemas akibat banyak jalan dari sebelum matahari terbit jadinya sudah tidak nafsu sama pemandangan pantai yang bagus. 

Setelah sarapan dan energi sudah kembali full saya memprovokasi adik-adik dan sepupu untuk jalan lagi ke Pantai Bodur. Saya sebelumnya belum pernah kesana, cuma pernah lihat di suatu blog dan lihat tanda panah penunjuk arah yang terlihat dari jalan masuk ke kompleks villa. Saya tidak tahu seberapa jauh ke dalam, ternyata jauh juga kalau jalan kaki. Apalagi di tengah perjalanan matahari mulai terik. Sebelum sampai ke pantai ada bidang tanah luas yang mirip savana-savana-an kalau di foto. Pantainya bagus, pasir putih, ada ombak dan sepi banget, jadi berasa pantai milik berempat. 

Saya menggelar kain pantai di bawah pohon kelapa dan mengeluarkan camilan yang dibawa, sambil main-main ukulele, foto-foto dan ngobrol-ngobrol. Kalau kondisi begini sih betah banget, sampai gak berasa udah siang lagi. Waktu itu Eyang saya ikut sama Papa Said dan Mama Said, mereka udah telpon nyari-nyari untuk makan siang. Kami pun di jemput pakai mobil ke Pantai Bodur dan makan siang di restoran yang ada di Green Coral beach camp. Tahun lalu waktu juga kami makan siang di restoran itu.

Sayangnya kami tidak bawa baju berenang, padahal bisa tuh habis makan langsung snorkeling. Kembali ke villa malahan asik berenang-renang di kolam villa dan leyeh-leyeh di gazebo, ternyata sadar-sadar sudah sore. Tempat penyewaan snorkeling tutup jam 4 sore. Yasudah kami terusin berenang di kolam kecil sambil ngemil kentang goreng, menjelang sunset kami baru beranjak ke pantai di depan villa. 

Anissa, adik bungsu

Hari terakhir di Tanjung Lesung, saya bangun pagi dan melaksanakan ritual morning run. Berangkatnya menyusuri pinggir pantai, kali ini sudah terang. Saya terus berlari sampai pintu gerbang kawasan Tanjung Lesung, dibawah barisan pohon yang membentuk kanopi. Disisi jalan masih ada hutan, saya mendengar bunyi monyet-monyet dan ketika saya menengok keatas mereka lagi gelantungan nonton saya lari pagi. Tapi ketika saya berhenti dan mengeluarkan handphone untuk memotret, mereka kabur.

Woow saya tidak mengira akan ketemu monyet.

Sampai di gerbang saya putar balik, di pinggir jalan ternyata ada tanda-tanda lalu lintas gambar hewan. Ada gambar monyet. Ada gambar Babi hutan. Ada gambar komodo atau buaya atau kadal.

Woow saya tidak mengira akan ketemu babi hutan dan komodo. Untungnya sih gak ketemu.

Pemandangan Lari Pagi di Tanjung Lesung

Sampai di kompleks villa saya lihat adik dan sepupu saya lagi main di pinggir pantai, saya bikin kopi dan ambil buku kemudian menyusul mereka. Tapi lihat air jernih jadi pengen nyemplung, akhirnya ganti baju renang dan nyebur ke laut. Airnya dingin. Ketika air mulai menghangat kena sinar matahari pagi, ikan-ikan mulai bermunculan berenang-renang dibawah saya.

Woow, saya tidak mengira akan ketemu ikan. 



Sabtu, 28 November 2015

Princess Garden Plan 2016

Kemarin saya bangun pagi ketika matahari mulai terbit dan ayam-ayam papa said lagi pada berisik berkokok. Malam sebelumnya hujan deras pake petir mengguyur daerah rumah dan tentunya tanaman-tanaman di kebun Princess. 

Princess nya ya sudah pasti saya.

Sebelum berangkat ke kantor saya menyempatkan diri menengok kebun. Sudah sebulan lebih kegiatan berkebun saya berkurang drastis terutama yang di halaman samping. Alasan pertama karena pekerjaan. Hampir setiap hari saya pulang malam dan banyak menempuh jarak jauh sehingga sampai di rumah udah kehabisan energi. Alasan kedua karena saya lagi sebel sama ayam liar Papa Said yang suka ngacak-ngacak tanaman yang baru saya tanam. Setelah tanaman jagung saya yang baru tumbuh beberapa minggu di acak-acak, tanaman kacang panjang saya juga sempat di rusak dan malahan ada yang bertelur disitu. Rasanya jadi males tambah tanaman karena pasti akan dirusak ayam. 

Ayam-ayam itu bisa terbang melewati pagar kawat setinggi 1 meter. Tanpa ampun mereka menyerang tanaman yang baru, sementara tanaman yang sudah lama dan besar walaupun diacak-acak masih bisa bertahan. Selama beberapa bulan saya masih menikmati hasil panen terong ungu dan kacang panjang yang Alhamdulillah masih produktif sampai sekarang walaupun senantiasa tampak bekas koyakan patuk ayam di daun-daunnya. 

Tanaman-tanaman cabai yang daun-daunnya sempat banyak meranggas karena udara super panas bulan lalu sudah tidak menghasilkan cabai lagi. Akhirnya saya putuskan akan meremajakan tanaman-tanaman tersebut di musim yang mulai hujan ini. Lagipula mereka juga sudah terlalu tua, umurnya sudah lebih dari satu tahun dan yang terakhir saya tanam berumur 11 bulan.

Saya mencabut satu tanaman cabai yang sudah tua di kandang tanaman sayur saya, tanaman itu ditanam oleh Papa Said dan sudah ada sejak sebelum saya dapat jatah sepetak tanah untuk berkebun dari Papa Said. Sementara ada satu tanaman cabai yang saya sisakan, tanaman berumur 11 bulan yang saya tanam dari benih yang saya beli online, sejak mulai hujan akhir-akhir ini tanaman itu mulai menampakan semangat hidup lagi dengan muncul banyak daun-daun baru yang segar.

Pagi itu di Princess Garden semilir angin yang berhembus terasa sejuk. Bau tanah basah buat saya punya efek aromateraphy menenangkan jiwa. Burung-burung ramai berkicau menambah kesyahduan di hari Jumat itu. Daun-daun tampak sangat hijau dan segar dengan efek sedikit bulir-bulir air di atasnya. Tiba-tiba semangat berkebun saya jadi menggebu-gebu. Sampai di kantor saya langsung menggambar planning tanaman-tanaman apa yang akan saya tanam di penghujung tahun 2015. Karena bentuknya baru akan tampak tahun depan, maka saya sebut ini Year 2016 Plan for Princess Garden


Plot Plan untuk bulan Agustus 2015 yang gagal total

Menjelang bulan Agustus kemarin saya sempat bikin plot plan juga. Sebelumnya ada 3 pohon terong berjajar di kandang tanaman saya, kemudian ada kacang panjang dan buncis yang saya tanam di dalam pot, sementara sisi kanan kandang di dominasi oleh dua pohon cabe yang rimbun. Waktu itu masih banyak ruang kosong di kandang tanaman itu, saya pikir mereka memang harus dikasih jarak-jarak supaya akar-akarnya tidak berebutan unsur makanan.

Tapi kemudian saya nonton youtube satu acara berkebun yang bilang kalau tanahnya cukup unsur haranya ga perlu terlalu jauh jaraknya, kalau terlalu jauh malah nanti akan banyak rumput-rumput liar dan kita malah jadi ngabisin banyak waktu buat cabutin rumput liar. Yang perlu dilakukan itu adalah yang namanya Companion planting, jadi kita mencampur jenis-jenis tanaman supaya lebih efisien mempergunakan lahan yang ada dan menghasilkan hasil yang optimal.

Waktu itu saya sudah mulai mengenal Companion Planting, tapi baru sedikit yang saya tahu. Diantaranya kalau Marigold bisa ditanam dengan tanaman jenis terong-terongan, tomat, cabai untuk membantu menghalau lalat-lalat yang suka hinggap dan bertelur di daun tanaman. Kalau cuma numpang bertelur sih tidak apa-apa, masalahnya ketika telurnya menetas, sebelum jadi lalat dan bisa terbang, larvanya makanin daun. Kalau banyak bisa menyebabkan daun-daun gak efektif berfotosintesis dan akhirnya merusak tanaman.

Tanaman bawang juga bisa berfungsi mengusir hama-hama yang bisa merusak atau memakan tanaman kita karena mereka tidak suka baunya. Karena itu di Plan bulan agustus saya menambahkan Marigold dan Bawang di dalam kandang tanaman saya.

Sepertinya saya memang harus lebih banyak riset dan praktek soal companion planting. 

Dari segala sumber browsing di internet saya juga tahu kalau tanaman kacang-kacangan (beans) kayak kacang panjang dan buncis bisa memperbaiki kandungan nitrogen dalam tanah. Nitrogen itu zat yang diperlukan tanaman untuk memperbanyak daun. Ada satu lagi konsep yang saya baru tahu yaitu Rotation Planting, jadi di satu tempat itu sebaiknya tanaman yang ditanam gak sama terus dari tahun ke tahun, kalau kita punya beberapa tempat, harus dirotasi. Hal itu untuk menghindari penyakit tanaman dan hama-hama keburu datang. 

Selain itu Rotation Planting juga ada hubungannya dengan unsur tanah. Jadi tanaman sayur pada intinya dibagi menjadi empat kelompok besar, masing-masing kelompok membutuhkan unsur hara yang berbeda, misalnya sayuran daun-daunan seperti selada, bayam, kangkung membutuhkan banyak nitrogen untuk daunnya. Maka dari itu sayur daun baiknya ditanam di tanah yang bekas ditanam kacang-kacangan, karena tanah itu pasti banyak nitrogennya. Kalau kita tanam (misalnya) tomat disitu sebelum sayuran daun, ya sebenarnya tidak apa-apa juga tapi sayang aja karena untuk tanaman tomat kalau terlalu banyak nitrogen nanti daunnya kebanyakan malah gak ada buahnya. 

Awalnya kacang panjang dan buncis saya tanam di pot. Buncis sudah layu lebih dulu karena panas. Sementara kacang panjang yang di dalam pot tidak menghasilkan buah yang banyak, daun-daunnya pun kecil-kecil dan jarang. Karena itu di Plan Agustus saya menanam kacang panjang langsung di tanah. Hasilnya sampai sekarang, tanaman tersebut sudah berusia 4 bulan lebih tapi masih produktif menghasilkan kacang panjang. Mungkin saya akan bikin postingan khusus tentang menanam kacang panjang besok-besok.

Asalnya tanaman terong ungu saya ada tiga. Kemudian tiba-tiba mereka diserang hama warna putih kayak ketombe yang mengerubungi batang-batang dan bawah daun. Cari-cari di internet akhirnya tahu kalau namanya adalah Mealybugs. Cara menghilangkannya adalah dengan menyiramnya dengan larutan bawang putih di campur sama sabun cuci piring. Tapi gak berhasil. Sementara itu ketiga pohon masih menghasilkan terong tapi ukurannya jadi drastis menyusut, jadi kecil-kecil dan jadi ada bercak-bercak di buahnya.

Akhirnya saya ambil langkah ekstrim. Saya cabut dua pohon terong, menyisakan satu yang serangan mealy bugsnya tidak terlalu parah. Satu pohon terong itu saya pangkas bagian atas pohon yang banyak hama nya. Saya tetap menyemprot dengan larutan bawang putih seminggu sekali, masih ada sedikit mealybugs tapi tidak parah seperti sebelumnya. Malahan sejak ada kepik datang makanin mealy bugs sampai sekarang saya sudah tidak pernah semprot larutan bawang putih lagi dan satu pohon itu terus berbuah hingga sekarang. 

Ketika mulai hujan satu masalah muncul lagi, yaitu belalang. Telur-telur belalang menetas ketika tanah mulai lembab oleh hujan, jadi sekarang di terong saya lagi banyak bayi belalang. hiks. 

Tanah yang bekas dua pohon terong yang saya cabut itu saya cangkul sampai gembur kemudian di tambah kompos, sambil menunggu bibit jagung yang saya pesan online datang. Sewaktu mencangkulnya saya sambil nyanyi: Cangkul Cangkul Cangkul yang dalam. Menanam jagung di kebun Princess.

Princessnya ya sudah pasti saya.

Biji jagung pun datang dan saya langsung tanam di tanah. Tidak seperti tanaman-tanaman saya yang lain yang saya semai dulu di wadah kecil sampai mereka cukup besar untk dipindah ke tanah, menurut berbagai macam sumber yang saya baca tanaman jagung harus di tanam langsung di tanah dari biji karena akarnya rentan dan gak bisa dipindah-pindah. Satu bulan tanaman jagung saya tumbuh cukup tinggi sekitar 10 cm.

Hingga suatu hari mimpi buruk itu datang. Suatu sore sepulang kantor ketika mau menyiram tanaman saya mendapati tanaman jagung saya hilang. Ketika di dekati tampak ujung-ujungnya seperti dimakan hewan. Awalnya saya menuduh itu perbuatan tikus. Saya menaruh jebakan tikus dan racun tikus di sekitar kandang tanaman dan kembali menanam jagung. 

Sebulan kemudian kejadian itu kembali terulang. Kali itu bukan hanya jagung yang hilang, tanaman kacang panjang saya juga di obrak abrik, beberapa ada yang tercerabut dari tanah. Untung saya masih ada sisa anakan kacang panjang yang saya semai, langsung saya pindah ke tanah itu untuk mengganti tanaman yang tercerabut. Tapi karena kesal saya tidak tanam jagung lagi.

Beberapa hari kemudian saya memergoki biang kerok yang suka acak-acak kandang tanaman saya. Ternyata ayam Papa Said yang masuk dan seenaknya mengais-ngais, mematuk-matuk dan meluluh lantakan tanaman saya. Setelah itu saya lumayan males nambah tanaman baru di situ.

Hingga 2 minggu lalu. Saya punya pohon okra di pot yang mau saya pindah ke kandang tanaman saya. Tapi sebelumnya saya bikin benteng untuk melindungi okra saya itu. Saya bikin sekat lagi di tengah kandang tanaman dan saya beli net (semacam jaring yang mirip jalan nelayan) untuk menutup atasnya supaya ayam tidak bisa masuk dari atas. Sampai sekarang sih masih aman.

2016 plot plan

Melihat tanaman okra yang sudah semakin besar sejak di transplant dan bahwa lokasi yang telah di bentengi itu cukup aman dari serangan ayam, maka selanjutnya saya akan tanam beberapa tanaman baru sampai Okra jadi besar banget dan cukup kuat mempertahankan diri sendiri dari serangan ayam.

Marigold yang saya semai beberapa bulan lalu untuk diletakan di kandang tanaman masih saya pelihara di pot. Sejak peristiwa pembantaian jagung saya takut meletakan tanaman lain di situ, takut di eksekusi sama ayam. Saya punya tempat lain di pojok belakang rumah, sebelah kamar saya, tempat tanaman pot-pot saya seperti kangkung, bayam, sawi, kemangi. Tanaman Marigold saya pelihara di situ juga. Beberapa hari lalu saya mulai menanam marigold di kandang tanaman. Berikutnya saya akan tanam Parsley saya disitu, saya juga punya parsley di pot yang biasa di pakai langsung kalau mau bikin pasta oglio olio. Mungkin di tempat yang agak terhalang sinar mataharinya saya akan tanam kemangi lagi.

Tadi pagi saya menebar biji kangkung di depan pohon Okra. Biasanya kangkung sudah bisa dipanen dalam waktu 30 - 40 hari, jadi kurang lebih sebulan, cukup lah sampai okra nya makin besar dan benteng di lepas.

Saya belum punya rencana sama pohon cabe dan terong ungu yang lama, jadi sepertinya akan saya biarkan disitu dulu sampai benar-benar sudah tidak menghasilkan buah lagi.

Kacang panjang rencananya akan saya cabut di awal desember, rencananya disitu saya mau tanam Jagung dan Kacang Panjang gaya the three sisters. Suku Indian kuno dulu punya tradisi menanam gaya ini, mereka biasa menanam Jagung, tanaman kacang-kacangan merambat dan squash di satu tempat, jadi kayak semacam sistem tumpang sari. Saya tidak punya bibit squash, jadi cuma akan menanam jagung dan kacang panjang aja. Nantinya kacang panjang akan berfungsi sebagai nitrogen fixer buat jagung dan tumbuhnya merambat di pohon jagung yang akan berfungsi sebagai penyangganya.

Kali ini saya mau semai jagung dan kacang panjang di tempat lain dulu sampai besar baru saya pindah ke tanah. Sementara itu menunggu waktu persemaian kurang lebih sebulan saya akan tanam kangkung atau bayam, yang tentunya nanti akan dilindungi lagi pakai net (jala) supaya aman dari ayam.

Di depannya itu saya belum kepikiran mau tanam apa. Pengennya sih tanam bawang merah atau bawang putih. Tapi waktu tanam bawang awal-awal gagal total, mungkin karena tanah saya masih terlalu berstruktur lempung jadi kurang bagus untuk tanam bawang. Mungkin bisa kalau tanahnya dicampur sedikit pasir, kepingin sih coba lagi. 





Minggu, 22 November 2015

Lawangwangi dan Gubug Mang Engking

Belakangan saya memang jadi sering mondar-mandir jakarta - bandung karena ada urusan pekerjaan. Nah seringnya yang terjadi adalah urusan kerjaan selesainya sebentar saja, yang bikin lama nyangkut di Bandung urusan nongkrong dan makan (dan biasanya ada unsur-unsur nostalgia sih). 

Seperti belum lama kemarin saya ke bandung untuk urusan pekerjaan, sengaja menyempatkan diri mampir di Yoghurt Cisangkuy dan makan siang di Gudeg Banda. Saya baru tau kalau sate ayam yang dulunya dijual sama nenek-nenek yang pakai gendongan di depan toko yoghurt cisangkuy sudah naik derajat pakai gerobak modern yang bagus. Si nenek kemana ya? Jangan-jangan lagi leyeh-leyeh di pinggir kolam renang di rumah mewahnya, hasil dari usaha sate ayam yang sukses.

Makanan jajanan saya jaman dulu banyak yang masih belum berubah, harganya juga relatif masih pada terjangkau. Tapi ada juga yang bikin syok, kayak kemarin banget kawan saya jajan Cireng Cipaganti di Cipaganti. Pas selesai sempat kaget karena perasaan gak beli banyak tapi total belanjanya bisa sampai sembilan puluhan ribu rupiah. Beli cireng 20rebu di belakang kantor saya bisa dapet dua kantong plastik. Udah gitu cireng nya tipis-tipis dan bulatannya kecil banget.

Yang saya mau cerita sekarang ini kejadiannya sudah lama sih, sekitar bulan lalu, sebelum makan gudeg banda dan cireng mihil bingits itu. Saya bertiga dengan chacha dan nico ada janji ketemu sama Pak Made yang ada di cerita Mendadak Bali Part 2. Kami bertiga sampai di Bandung kepagian, karena janji sama Pak Made baru jam 10 akhirnya kami memutuskan sarapan di Kiosk Setiabudi, saya sarapan Kupat Tahu Gempol disitu. 

Selesai urusan kerjaan sama Pak Made ternyata masih siang, mumpung lagi ada di Bandung pas weekday jadi kesempatan buat kami ke tempat-tempat happening di Bandung yang kalau weekend ramai sama orang jakarta. Lawangwangi adalah salah satu tempat yang lagi seliweran di sosial media, tempat itu yang jadi tujuan kami di siang menjelang petang sambil ngopi dan ngemil cantik.

Lokasi Lawangwangi terletak di Dago Giri, jalan di dago yang menuju arah Lembang. Jadi lewatin Terminal Angkot Dago sedikit sebelum jembatan jalannya terbagi dua, yang jalan lebih besar agak lurus ke atas itu ke arah Dago atas (cafe-cafe seperti siera, the valley, congo etc). Kalau mau ke Lawangwangi ambil yang jalan di kiri, lebih kecil dan sedikit menurun, dari situ lurus-lurus aja ikutin jalan besar nanti tempatnya ada di sebelah kanan.

Selain cafe, di Lawangwangi juga ada art gallery. Ikon dari tempat ini adalah lookout point buat melihat pemandangan yang bentuknya mirip dermaga, dari situ bisa melihat kebun-kebun sayur dan hutan pinus yang sepertinya merupakan bagian dari hutan raya Ir. H. Djuanda. Dari segi arsitektur tempatnya bagus banget, tapi saya kurang betah lama-lama akhirnya memutuskan cari tempat makan lain.

Instagramable lookoutview

Pemandangan hutan pinus dan petak-petak kebun sayur

Dari Lawangwangi kami niat cari makanan sunda, walaupun belum tahu akan kemana kami memutuskan ke arah Lembang. Di jalan menuju Lembang muncul ide buat makan di Gubug Mang Engking. Sebenarnya restoran khas sunda ini juga ada di Jakarta, tapi kami belum pernah cicipin masakan sunda disana yang katanya terkenal sama hidangan udang galahnya. 

Walaupun tiba di Gubug Mang Engking sebelum magrib dan masih terang, tapi udaranya sudah dingin sekali. Bikin tambah lapar. Ditambah kami duduk di atas saung yang terletak di atas danau, makin tiris euy. Nah kalau di Gubug Mang Engking ini saya betah lama-lama. Saya memang suka tempat-tempat yang close to nature, pake bambu-bambu, liat pohon-pohon dan daun-daunnya, dengar suara gemericik air, diterpa angin sepoi-sepoi, bawaannya kepingin selonjoran sambil sarungan. 

Kami memesan set menu yang terdiri dari nasi, udang galah bakar madu, gurame, tumis kangkung dan teh botol yang kami minta ganti sama teh hangat. Udang bakar madunya terlalu manis kalau buat saya, tapi gurame nya enak karena pedas sesuai dengan selera saya nyaammm. Gak pakai lama hidangan itu ludes kami garap bertiga. 

Gubug Mewah Mang Engking

Di bawah meja langsung air, hati2 sama HP jangan sampe jatoh ya


Ludesssss

Jumat, 13 November 2015

Instagrammable Batiqa Hotel


Pas di tanggal cantik 11 - 11 (november) kemarin saya jalan-jalan ke kawasan industri Jababeka di Bekasi untuk acara Grand Launching Hotel BATIQA. Ini adalah merupakan hotel unit ketiga  yang telah  diluncurkan di bawah jaringan BATIQA Hotel Manajemen, yang pertama ada di Karawang, yang kedua di Cirebon. Hotel keempat BATIQA berada di Palembang, sudah soft opening sejak 5 november 2015. 

Walaupun hotel ini termasuk kategori Budget Hotels, tapi desainnya beda banget dengan hotel-hotel sejenis yang rata-rata desain arsitekturnya minimalis dan banyak pakai warna cerah. BATIQA hotel mengusung tema Batik dengan desain interior yang didominasi oleh unsur kayu, hal ini menimbulkan kesan mewah dan nyaman, tidak seperti rata-rata budget hotel yang kadang karena terlalu minimalis sampai terasa seperti tidur di kamar kos. Dari mulai masuk Lobby, Lounge, Restoran hingga ke kamar, semuanya instagrammable. Karena itu Pihak Manajemen Hotel BATIQA - yang ternyata juga memiliki dan mengelola Hotel Bintang 5 Gran Melia - mengatakan bahwa ini adalah bintang 3 plus plus.  

BATIQA Hotel Jababeka memiliki 127 kamar yang terdiri dari  122 kamar tipe superior dan 5 kamar tipe suites. Setiap kamar tipe Suites memiliki beranda masing-masing. Selain itu BATIQA Hotel Jababeka juga dilengkapi berbagai fasilitas pendukung  seperti FRESQA Bistro, Gym Center, Spa and Massage, 24 jam room service serta fasilitas Wi-Fi dengan kecepatan tinggi, dan TV cable.

Superior Room

Superior Room

Suite Room
BATIQA Hotel Manajemen berharap BATIQA Hotel Jababeka dapat menjadi pilihan utama  bagi para pebisnis dalam melakukan kunjungan bisnisnya di kawasan industri Jababeka seperti halnya BATIQA Hotel & Apartments Karawang yang telah lebih dahulu beroperasi dan menjadi tempat pilihan untuk melakukan segala aktivitas relasi bisnis di dalam kawasan industri. Karena itu Hotel BATIQA Jababeka juga menyediakan paket meeting untuk kantor-kantor dan pabrik-pabrik yang banyak terdapat disana.

Hotel BATIQA memiliki 4 ruang meeting dan 1 ballroom yang kapasitas maksimalnya 250 orang. Sesuai dengan tema budaya Indonesia yang diusung, penamaan ruang meeting ini berdasarkan nama karakter wayang Pandawa Lima. Paket meeting yang disediakan beragam dari mulai Full-day meeting package, hingga Half-day meeting package dengan harga bervariasi mulai dari175.000 NETT/PAX

Tahun ini Hotel BATIQA sedang membangun Hotel baru lagi di beberapa lokasi yang rencananya akan di buka tahun 2016, yaitu Hotel BATIQA Pekanbaru dan Hotel BATIQA Lampung. Tahun 2017 rencananya juga akan dibuka Hotel BATIQA Cassablanca Jakarta (Psssttt.. bocorannya lokasinya di seberang Mal Kota Kasablanka).

Sambil menunggu itu sepertinya saya bakal coba nih Hotel BATIQA yang di Jababeka, kebetulan untuk tahun baru ada promo kamar hanya dengan Rp. 950.000,net untuk menginap di superior room untuk minimum menginap dua malam berlaku dari 24 Desember 2015 – 2 Januari 2016 sudah termasuk Welcome Drink, sarapan untuk dua orang, 5 pcs laundry dan makan malam untuk dua orang (menu pilihan). Selain itu, FRESQA Bistro juga menghidangkan hidangan spesial akhir tahun yaitu menu Soka Salty Egg Rp. 70.000,nett per porsi dan Buffet Barbecue Special tahun baru hanya dengan Rp. 100.000,++.






Hotel BATIQA Jababeka
Jl. Niaga Raya dalam Kawasan Industri Kota Jababeka II Blok CC 3A
Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
Phone : +62 21 2809 9000
Fax : +62 21 2809 9009

twitter : @batiqahotels
Instagram : batiqahotels

Rabu, 04 November 2015

Tiba di 10 Kilometer pertama

Butuh waktu 1,5 tahun dari pertama saya mulai rutin lari hingga mencapai jarak 5km. Mulai dari awal tahun 2013 hingga pertengahan tahun 2014. Sebelumnya kalau lari pagi palingan cuma 2 sampai 3 km aja, satu kali keliling komplek. 

Dari 5 km pertama ke 10 km pertama butuh waktu 1,5 tahun lagi. Sengaja momen lari 10 km pertama kali itu dipas-in sama hari ulang tahun saya ke-33, yaitu pada bulan agustus 2015. Walaupun dari saat itu sampai sekarang saya belum lari sampai 10 km lagi.  

Sebenarnya saya lari tidak punya target mau ikut marathon atau punya ambisi harus mencapai pace tertentu. Saya senang lari-lari santai sambil mendengarkan lagu yang sudah saya pasang di playlist, kadang sambil lihat-lihat orang-orang. Beberapa bulan lalu sempat ada saatnya kegiatan lari saya berantakan, efeknya langsung terasa di badan terutama saat baru bangun tidur. Waktu itu selain jadwal lari berantakan, makan saya juga sempat berantakan, badan jadi terasa capek terus dan lemas. 

Gak tahan sama kondisi badan yang sluggish dan sakit-sakit tiap bangun tidur, saya mulai lari lagi. Asiknya sekarang banyak teman-teman yang bisa diajak lari bareng. Saya memang belum minat ikut event lari berjamaah yang lagi marak akhir-akhir ini, tapi senang kalau lari bareng teman-teman. Belum lama ini kami coba lari di Kebun Raya Bogor, lari dari Sentul City ke Gunung Pancar, yang terakhir lari di Buperta Cibubur. Nanti kapan-kapan saya ceritain disini deh.

Tempat saya rutin lari kalau hari biasa di Taman Tebet yang lokasinya pas di belakang gedung kantor, tinggal nyebrang. Kalau sabtu atau minggu saya biasa lari di komplek rumah. Waktu awal-awal saya lari kayaknya jarang menemukan orang seusia saya yang olah raga di taman atau di sekitar komplek, seringnya ketemu oma-oma dan opa-opa yang masih lincah dan tampak sangat sehat di usianya. Setahun / dua tahun belakangan baru mulai banyak orang-orang muda yang pakai gear lari komplit wara-wiri lari di rute lari rutin saya. 

Kadang kalau di  kantor lagi tidak banyak pekerjaan, saya gabung sama teman-teman yang rutin lari di GBK Senayan tiap Selasa dan Kamis. Nah kalo itu banyak mas-mas cogan (cowo ganteng) yang pakai celana gemes dan adik-adik unyu yang walaupun  udah lari keringetan tetap terlihat segar. Kalau lagi iseng banget weekend lari di Ancol. 

Rute Komplek Rumah

Rute Komplek
Ada 3 macam rute lari di area dekat rumah yang saya rangkai hingga bisa mencapai 5 km. Yang pertama rute lari dari rumah ke arah Kalimalang dan balik lagi, bukan rute berputar jadi pulang pergi lewat jalan yang sama. Tantangannya adalah rute ini harus lewat dua kali tanjakan lumayan dashyat ketika lewat jalan jembatan yang lewat diatas jalan toll. Rute kedua lewat komplek tetangga, tapi sama seperti rute pertama jalur ini jalur ramai kendaraan apalagi semenjak ada proyek pembangunan jalan di kalimalang. Jadi agak males lewat kedua rute ini sekarang karena banyak debu dan banyak motor walaupun subuh-subuh.

Rute satu lagi adalah rute komplek. Dari sejak saya mulai lari pas jaman kuliah sebenarnya rute ini yang saya pakai, tepatnya sebagian dari rute ini, yaitu rute yang melingkar totalnya sekitar 2,5 km. Setelah saya sudah biasa lari 5 km saya tambah dengan rute melintasi jalan raya komplek bolak-balik karena kalau mau berputar belum ketemu jalurnya dan pastinya akan lebih dari 5 km (3 mil lebih), jadi untuk sementara ini masih jadi rute comfort zone saya tiap weekend.

Rute Taman Tebet

Rute Taman Tebet
Ada dua taman di Tebet Barat yang letaknya bersebelahan. Taman Honda dan Taman sebelahnya yang saya tidak tahu namanya. Nah, saya biasa lari di taman yang saya tidak tahu namanya. Kalau taman Honda satu kelilingnya hanya 400m dan lebih ramai sama orang pacaran daripada orang olahraga. Kalau taman yang saya tidak tahu namanya satu keliling 800m, walaupun kadang suka agak bau kali tapi tempatnya adem dan kontur tracknya tanjakan turunan jadi seru. Yang lari disitu juga lumayan serius larinya. Biasanya saya lari setiap selasa dan/atau kamis, dan ada beberapa orang tertentu yang selalu ketemu di hari dan jam yang sama. Kalau pagi banyak opa-opa dan oma-oma. Saya biasa lari sore, di jam pulang kantor. Jadi kalau ada yang mau lari di taman tebet hari selasa atau kamis sore, kemungkinan besar akan ketemu saya ;)

Rabu, 14 Oktober 2015

Mendadak Bali Part 1; Dari Gunung Turun ke Pantai

Akhirnyaaaaah sampai juga kita ke postingan yang ditunggu-tunggu permisah. 

Eh ada yang nungguin gak ya?

Eniwei, untuk mengingatkan, sekuel dari postingan ini sudah dipublish di blog ini duluan dan bisa dibaca disini : Mendadak Bali Part 2; Dalam Rangka Bisnis Trip. Alasan kenapa saya nulis part 2 nya dulu baru part 1 nya juga bisa dibaca disitu.

Cerita kali ini berkorelasi dengan perjalanan saya ke Merbabu. Kenapa saya bisa tiba-tiba langsung terbang ke Pulau Dewata selepas turun dari Puncak Kenteng Songo bisa dibaca disini: Terdampar di Muntilan.

Sekarang saya akan melanjutkan cerita mulai dari dini hari di Bandara Udara Adisucipto, Jogjakarta. Waktu itu sempat deg-degan takut ketinggalan pesawat. Saya salah perhitungan waktu dan underestimate kondisi bandara udara di Jogja saat itu, saya tiba satu jam kurang sebelum waktu keberangkatan. Nah, saat itu entah kenapa hanya ada 4 loket check in yang buka, maskapai yang saya akan tumpangi kebagian dua loket yang menerima semua tujuan check-in. 

Saya tidak web check-in sebelumnya karena saya pikir toh nantinya juga harus mengantri di loket karena saya bawa tas besar banget habis naik gunung. Antrian panjang mengular dan lama banget majunya. Setengah jam berlalu, jatah waktu check in untuk penerbangan saya nyaris di tutup padahal saya ada di posisi ke 8 di antrian dan penumpang di  depan saya kopernya banyak. Di antrian sebelah, saya sempat melihat ada kawan saya yang tidak begitu kenal dekat. Karena kondisi deg-degan ketinggalan pesawat dan suasana yang sumpek karena kebanyakan orang saya males menyapa, pura-pura gak liat aja. 

Saat keringat dingin sudah mulai keluar dan mulai resah ngintip-ngintip mba-mba di loket, tiba-tiba jurusan pesawat saya dipanggilin dari depan loket untuk diutamakan karena sudah mau boarding. Saya segera meluncur ke depan antrian, sedikit menyikut orang yang ada di depan counter yang gak mau minggir (maap ya pak). Masuk ke ruang tunggu langsung meluncur ke pintu boarding. Fiuh...

Sekitar satu jam setelahnya saya sampai di Bali, dijemput sama Chacha yang begitu melihat saya di pintu keluar kedatangan bandara Ngurah Rai langsung ketawa ngakak. Waktu itu saya pakai sepatu gunung belepotan lumpur, compression pants (semacam celana legging), jaket wind breaker, keril 50L yang belepotan lumpur dan menenteng tenda yang sudah gak saya masukin lagi ke dalam tas. Sementara orang-orang lain tampak fresh dan posh gaya orang mau liburan di Bali. 

eksis pake kacamata cengdem

Pagi itu saya langsung diboyong ke Ubud. Di mobil saya sempat ganti sepatu gunung pakai sendal karet dan memoles lipsetik merah menyala supaya gak keliatan terlalu kumal. Ketika itu saya baru ingat ada satu item super penting yang lupa saya bawa, yaitu kacamata hitam. 

Jalan-jalan di Bali gak pake kacamata hitam rasanya kurang afdol. Di Pasar Ubud saya iseng-iseng nawar kacamata hitam cengdem (seceng adem), tapi harganya gak beneran seceng, setelah proses tawar menawar yang alot saya beli kacamata itu seharga 40 ribu. Si Chacha pun ikut beli topi pantai super lebar disitu.

Ubud berasa panas banget karena hari sebelumnya saya sempat menggigil di puncak gunung. Saya pun memilih ngadem sambil makan gelato. Setelah makan siang di kawasan Ubud, sorenya Chacha punya ide ke Pantai Pandawa karena kami memang belum pernah kesana. Ya memang agak ketinggalan jaman sih ya. 

Jalan menuju ke Pantai itu memang luar biasa, seperti menembus tembok bukit kapur. Tapi setelah saya mengintip dari atas ke kawasan pantainya yang berpasir putih, tiba-tiba entah kenapa jadi ga semangat buat main di pantai. Mungkin karena pantainya kelihatan ramai sekali kayak di ancol, waktu itu memang bertepatan dengan libur anak sekolah, jadi banyak bis-bis rombongan anak-anak sekolah. Mungkin juga karena saya kecapekan karena sudah berapa hari tidurnya gak bener. Tapi kalau saya ke Bali lagi sudah jelas ini bukan pantai yang akan masuk ke dalam kategori 'yang harus dikunjungi lagi', lebih cocok masuk ke kategori 'asal tau saja'. 

masih dengan kacamata cengdem
Chacha booking hotel yang lagi promo di salah satu web pemesanan hotel. Letaknya di daerah Batu Belig yang tidak terlalu ramai. Keluar sedikit dari halaman belakang hotel sudah ketemu pantai.


A photo posted by mila (@milasaid) on

Malamnya saya dan Chacha janjian sama Rio di cafe yang kebetulan banget berada di tempat yang tidak jauh dari situ. Saya dan Chacha naik shuttle dari hotel yang berangkat tiap jam ke arah Kuta dan Legian, tapi karena malam itu yang naik shuttle hanya kami berdua maka pak supir inisiatif mengantar kami sampai di depan pintu cafe. Padahal seharusnya kami diturunkan di depan jalan besar kemudian jalan sedikit beberapa meter ke cafenya.

Sampai disana Rio sudah menunggu, katanya baru pulang kondangan. Saya terakhir ketemu Rio waktu transit di Bali ketika mau ke Timor Leste. Dari sejak itu ada rencana mau kemah ceria yang hingga sekarang masih merupakan wacana yang belum sempat terlaksana.

ceritanya lagi diskusi serius sama rio. kelihatan serius kan?


Minggu, 27 September 2015

Sade, Desa Tradisional Suku Sasak

Berkunjung ke Lombok tidak afdol kalau tidak mengunjungi desa suku asli Lombok yaitu Suku Sasak, maka saya, Chacha dan Pagit memasukan Kampung Sade sebagai destinasi wajib yang harus kami kunjungi. 

Begitu memasuki gerbang kampung yang sesak oleh turis siang itu kami langsung disambut oleh seorang bapak yang kemudian menjadi pemandu kami selama berada di sana. Kami diajak menyusuri lorong-lorong di antara rumah-rumah tradisional yang rangkanya terbuat dari kayu, dindingnya dari anyaman bambu dan lantainya terdiri dari campuran tanah dan kotoran kerbau.

"Lantai-lantai rumah ini rutin dilapisi kembali oleh kotoran kerbau," kata bapak pemandu. Lantai rumahnya berwarna abu-abu seperti semenan, tapi bukan. Warna abu-abu itu adalah warna kotoran kerbau yang mengering. Konon semakin sering dilapisi lagi maka lantainya akan semakin mengkilap.

Kami dibawa ke rumah yang pernah dijadikan lokasi syuting FTV. 


ruang tengah

dapur yang terletak di sudut kamar tidur
"Ini rumah pernah dijadikan syuting FTV, mba. Waktu itu anaknya ahmad dhani (Al) ikut menggosok lantai rumah dengan kotoran kerbau betulan. Dia tinggal disini lebih dari sebulan untuk syuting itu."

Ini sudah ketiga kalinya saya dengar warga lokal yang bangga kampungnya jadi lokasi syuting FTV dan kedatangan artis ibukota. Waktu saya ke Dieng, ngobrol-ngobrol sama warga lokal juga mereka menunjuk rumah yang pernah jadi lokasi syuting FTV. Begitu juga waktu saya ke suatu tempat di Jogja yang kayaknya sudah langganan jadi tempat syuting. 

"Jumlah rumah disini sudah tidak berubah dari bertahun-tahun lalu karena keterbatas tempat," kata si bapak.

Kami diajak masuk ke dalam rumah yang jadi tempat syuting FTV itu, rumahnya dua lantai. Lantai satu ruang tamu. Sedangkan lantai dua nya adalah kamar tidur dan dapur. Tidak ada sekat diantara kamar tidur dan dapur. Peralatan masaknya masih tradisional, menggunakan kayu bakar. 

"Terus kalau ada anaknya yang sudah besar, menikah dan punya anak semuanya tinggal di satu rumah?" 

Saya membayangkan bagaimana caranya beberapa generasi bisa hidup dalam satu rumah yang minimalis dan tidak begitu luas itu. Tapi ternyata enggak sih. Kalau anaknya sudah besar dan menikah mereka boleh memilih untuk tinggal di luar kampung Sade.

"Biasanya yang diwariskan rumah disini anak bungsu, yang sekaligus merawat orang tuanya. Kakak-kakaknya yang sudah menikah boleh tinggal di kampung yang terletak tidak jauh dari sini, tapi rumah-rumahnya sudah modern. Ada juga yang tinggalnya jauh atau merantau."
 
Atap rumah-rumah di kampung Sade terbuat dari alang-alang yang ukurannya tertentu dan dikeringkan. 

"Kalau warna atapnya sudah coklat, itu tandanya harus diganti." 

"Siapa yang ganti, pak?"

"Ya warga kampung gotong royong mengerjakannya. Disini semua anak laki-laki harus bisa membuat rumah. Kalau sudah bisa membuat rumah sendiri baru boleh menikah. Kalau anak perempuan, harus bisa menenun baru boleh menikah."

Suku Sasak sebaiknya menikah dengan sesama suku. Untuk meminang gadis Sasak biasanya keluarga pria disyaratkan membayar mahar berupa kerbau. Kalau gadis yang akan dipinang cantik dan pandai menenun, itu pasti jumlah kerbaunya yang harus dibayar calon mempelai pria pasti bakal banyak. 

Sepanjang perjalanan kami menyusuri lorong di sudut-sudut jalan ada perempuan-perempuan berbagai usia sedang asik menenun. Dari mulai nenek-nenek sampai gadis remaja. Ada seorang gadis remaja yang punya ilmu memintal benang yang diturunkan dari keluarganya, neneknya memintal benang, ibunya memintal benang, dan sekarang dia juga memintal benang. 




Kata si Bapak Sasak itu, sebenarnya kayu yang digunakan untuk alat memintal itu waktu jaman Belanda dulu bisa dipakai jadi senjata perempuan Sasak, bentuknya dikamuflase sebagai alat penenun padahal sebenarnya adalah senjata. Keren abis. 

Adzan Dzuhur berkumandang ketika kami sedang dibawa melihat sumur tua yang merupakan sumber air satu-satunya di Kampung Sade. Suku Sasak adalah penganut agama Islam. Di kampung itu terdapat salah satu masjid tertua di Lombok tapi bukan yang paling tua. Masjid paling tua di Lombok yang usianya sekitar 4 abad justru terletak di desa Bayan di kaki Gunung Rinjani. Sayangnya kami tidak sempat berkunjung kesana. 

Pagit meminta izin untuk sholat di situ.

"Sekalian saja sama saya sholat disana," si bapak pun memandu kami ke mesjid, memberi tahu dimana mengambil wudhu dan memberi pinjaman mukena ke kami. 

Dengan banyaknya turis berkeliaran di Kampung Sade, hampir tiap rumah disitu menjual souvenir khas lombok berupa kain tenun, gantungan kunci, gelang, kalung dan macam-macam. Rupanya istri si bapak pemandu jualan kain tenun. Kami pun kalap karena kainnya bagus-bagus dan harganya lebih murah dibandingkan yang dijual diluaran. Seperti biasa, yang belanja paling banyak sudah pasti si Chacha. Saya aja yang biasanya males belanja beli kain tenun, kain sarung tenun dan sajadah tenun - semuanya motif khas NTB. 

Acara belanja ditutup dengan foto bareng kami bertiga dengan Bapak Pemandu, istrinya yang jualan kain, dua orang anaknya yang lagi main-main disitu dan (tentunya) barang belanjaan. 


Senin, 14 September 2015

Terdampar di Muntilan

Sore itu, menjelang Magrib, saya dan kawan-kawan yang tersisa selepas pendakian ke Merbabu selama 3 hari 2 malam masih asik berbincang di basecamp. Sebagian kawan yang tidak nyasar, lagi girang-girangnya membully saya dan kawan lain yang sempat tersasar di jalan turun dari sabana ke basecamp Selo. Cerita nyasarnya yang komplit ada di postingan Salah Jalan.

Sebagian besar kawan serombongan saya sudah jalan duluan ke Jogja karena mengejar kereta kembali ke Jakarta yang akan berangkat sore hari. Sementara saya masih memilih bersantai-santai di basecamp karena tidak mengejar kereta. Awalnya saya ikut rombongan yang pulang duluan itu, malahan saya sudah punya tiket kereta pulang ke Jakarta barengan sama mereka. Tapi saya harus merelakan tiket kereta saya itu hangus.

Satu hari sebelum berangkat ke Merbabu, Papa Said tiba-tiba muncul di pintu kamar saya subuh-subuh memberitahu kalau di saat long weekend itu sekeluarga mau ke Bali dan saya disuruh langsung menyusul ke Bali sepulang dari Merbabu. Itu nanti akan saya ceritakan di postingan Mendadak Bali Part 1, yang belum saya tulis juga hingga sekarang. Tapi Part 2-nya sudah dipublish dan bisa dilihat di postingan Mendadak Bali Part 2.

Ada satu orang pendaki yang gabung sama kami, dia punya cerita seru waktu mendaki di suatu gunung, saya lupa gunung apa tapi pokoknya  tembusnya di Grojogan Sewu. Yang wajar perjalanan dari gunung itu ke grojogan sewu akan memakan waktu 2 hari 3 malam, tapi anehnya orang itu cuma merasa jalan selama satu malam saja. Sementara itu orang tuanya di rumah sudah sibuk mencari-cari dia karena tidak ada kabar selama 2 hari. Dia seperti terjebak di semacam dimensi waktu kayak twilight zone gitu. 

Ngobrol-ngobrol gak berasa kalau sudah makin sore, akhirnya setelah melalui diskusi dan riset angkutan apa yang akan kita pakai untuk ke jogja, pilihan jatuh ke mobil pick-up karena paling murah. Tapi karena supir tidak berani bawa penumpang di bak terbuka masuk ke daerah jogja maka kami akan diantar sampai terminal muntilan kemudian naik bus sampai ke Terminal Jombor di Jogja.

yang ga salah jalan (kiri) dan yang salah jalan (kanan)
Kami baru berangkat setelah magrib jadi ternyata tiba di Muntilan sudah kemalaman. Tiba di terminal bus ternyata sudah sepi, tidak ada bus lagi. Akhirnya orang disitu menyarankan kami menunggu di jalan raya, tapi jalan raya sudah sepi di Muntilan jam 9 malam. Akhirnya sopir inisiatif mengantarkan kami ke suatu pertigaan yang katanya selalu lewat bus AKAP yang mau ke arah Jogja. Kami diturunkan di pertigaan itu.

Satu jam berlalu tidak ada satu pun bus AKAP yang lewat di pertigaan itu. Makin lama yang tadinya lumayan banyak mobil berseliweran sampai hanya ada satu dan dua kendaraan yang melintas. Sempat ada dua atau tiga bus yang lewat tapi bukan ke arah Jogja. Kami semua sudah gelosoran di trotoar, bersandar di keril masing-masing sambil main-main henpon. 

Saya sudah mulai mengantuk, masih belepotan lumpur akibat salah jalan dan badan terasa lengket karena keringat. Masih memikirkan bagaimana caranya dari Terminal Jombor ke hotel yang saya booking melalui website booking hotel, yang tempatnya aja saya belum tau ada dimana. Harusnya sih dekat dengan Bandara Udara Adisucipto Jogja. 

Ngomong-ngomong soal Bandara Udara, saya mulai khawatir kalau harus terdampar di Muntilan sampai pagi karena pesawat saya ke Bali berangkat jam 6 pagi. Tiba-tiba de ja vu peristiwa di Malaka nih, nyaris gak bisa pulang karena gak dapat bus

Karena jalanan sepi jadi penantian itu rasanya lebih lama. Kemudian dari jauh terlihat bus yang ke arah Jogja, kami langsung bersiap-siap dan naik ke atas bus. Di terminal Jombor, sudah hampir tengah malam, say aberpisah dengan kawan-kawan saya naik taksi langsung menuju hotel yang ternyata hanya berjarak 7 menit ke bandara. Yaayy.. gak jadi ketinggalan pesawat ke Bali deh. Fiuh.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...