Saya terbangun karena terik matahari membakar kulit. Lengan kanan saya otomatis terangkat melindungi mata saya dari silaunya cahaya di siang hari itu. Dengan mata masih terpicing saya melihat butiran-butiran pasir menempel di sekujur lengan. Pasir berwarna kecoklatan. Dimanakah saya?
Sekelebat bayangan mengenai awan hitam yang menggumpal pekat di langit, kilat yang mencakar-cakar angkasa menimbulkan bunyi gelegar yang memekakan telinga. Jeritan yang tak kalah memekik, para wanita menjerit, anak-anak menangis memanggil ibunya, suara pria yang memberi komando-komando. Sementara diluar, suara angin menderu, gulungan ombak setinggi pohon saling berkejaran mendekat, sementara hujan deras bak air bah yang diguyur dari langit.
Saya teringat beberapa hari yang lalu, saya sedang susah payah berdiri diatas geladak kapal yang terguncang hebat, berusaha berjalan tertatih diantara kru kapal yang berlarian, salah satunya menubruk bahu saya hingga saya terjatuh. Disebelah saya seorang pria sedang muntah di pojok kapal, rupanya dia mabuk laut. Kapal ini sedang dihajar badai dashyat. Saya ingat melihat tulisan berukir yang indah di badan kapal sebelum saya menaiki nya - Batavia, itulah nama kapal ini.
Kapal itu telah karam, menabrak batu cadas yang merobek bagian badannya. Badai telah menyeret Batavia berserta muatannya entah terdampar dimana, saya sempat mendengar Kapten Pelsart berdiskusi dengan awaknya mengenai posisi saat ini dan mereka jelas tidak familiar dengan lokasi ini. Kapten menyuruh kami, para penumpang untuk turun dari kapal dan sementara membuat camp di pulau-pulau terdekat. Rombongan kami dibagi ke 3 pulau kecil terdekat, berikut dengan persediaan makanan minuman yang dibawa di kapal sementara menunggu ada kapal lain lewat yang akan menolong kita semua.
Sekarang sudah beberapa kali matahari terbit dan terbenam, Kapten Pelsart pergi bersama beberapa kru nya mencari sumber air yang bisa diminum. Pulau ini kering sekali, tak ada air yang bisa diminum meskipun di sekeliling kita sejauh mata memandang hanya ada hamparan air berwarna biru. Dilanda kehausan dan nyaris kelaparan, kami menunggu kabar gembira dari Kapten Francis Pelsart, tapi dia belum juga kembali. Harapan kami tinggal sejengkal menuju pupus.
Salah seorang penumpang dalam kapal, namanya Jerom Cornelis, dia ada satu pulau dengan kami. Kini kami adalah tawanan Cornelis. Dia dan komplotannya sekarang sedang mengobrak-abrik muatan-muatan berharga yang ada di kapal, menjarahnya. Kemarin terjadi drama pembantaian, sebagian dari kami melawan usaha perampokan para perompak itu, tapi kami terlalu lemah dan mereka menang, membunuh hingga 40 orang dari kami.
Saya berusaha bangkit dari posisi saya yang tergeletak meringkuk di pasir yang hangat, komplotan Cornelis sedang berusaha membongkar peti-peti muatan yang terkunci, sementara si pemimpin tampak berusaha mengenakan setelan sutra yang baru saja dijarahnya dari salah satu peti itu. Tampaknya mereka sedang lengah, mungkin ini saatnya saya menyusup dan menyebrang ke pulau sebelah untuk memberitahu Mr. Webhays yang ada di pulau sebelah.
Tapi warna lautnya begitu biru, ombaknya begitu besar, dan jarak ke pulau sebelah begitu jauh. Kuatkah saya berenang menyebrang hingga kesana? atau apakah saya akan hanyut terbawa ombak dan terhempas ke salah satu karang tajam di sebelah sana? ah persetan, toh pergi atau tidak saya juga akan mati kalau tetap disini. Maka saya pun mengendap-endap dibalik bebatuan, menuju pantai dan berenang menuju pulau sebelah.
Entah karena usaha saya berenang atau arus yang membawa tubuh saya, sampai juga saya di pulau tujuan. Mr. Webhays sangat berang mendengar kabar pembajakan oleh Cornelis dan mulai mengumpulkan anak buahnya untuk mengatur strategi. Tidak berapa lama, datanglah Cornelis dan beberapa orang anak buahnya menyerang ke pulau Webhays, tapi karena sudah prepare akan hal itu Webhays berhasil mengalahkan Cornelis bahkan menahan nya.
Di kejauhan iring-iringan kapal besar muncul dari ujung horizon, Mr. Webhays tahu itu pasti bala bantuan yang dibawa Kapten Pelsart. Rupanya dalam usahanya mencari air minum, Kapten sampai lagi di Batavia dan berhasil meyakinkan Governor Belanda di Batavia untuk membantu nya. Anyways, Kapten Pelsart yang tidak tahu drama pembajakan yang terjadi di pulau sebelah tampak mengarahkan kapalnya ke arah sana. Walaupun Cornelis berhasil dilumpuhkan dan ditahan oleh Mr. Webhays, tapi sisa komplotan perompak masih banyak sekali di pulau itu.
Mr. Webhays pun segera melompat ke sekoci dan menuju kapal besar itu, berusaha memperingatkan Kapten Pelsart. Singkat cerita, para perompak itu berhasil dilumpuhkan oleh Pelsart dan bala bantuan yang dibawanya. Para penumpang kapal Batavia yang karam beserta muatan-muatannya berhasil diselamatkan. Sedangkan Cornelis dan pengikutnya, yang bertanggung jawab atas pembajakan dan pembunuhan, dicampakan di salah satu pulau itu.
Saya terbangun oleh sentuhan lembut pramugrari yang memberi tahu bahwa pesawat Air Asia X yang saya tumpangi hampir sampai di Melbourne dan saya harus menegakan sandaran kursi. Ah rupanya saya bermimpi setelah ketiduran membaca e-book tentang penemuan pulau Australia. Di layar tablet saya masih terpampang lokasi dimana kapal Batavia yang terseret badai itu karam. Di bagian barat benua itu, yang kini dinamakan Pelsart Island.
8 Jam perjalanan dari Kuala Lumpur ke Melbourne ditambah 4 jam perjalanan dari Jakarta ke Kuala Lumpur. Itu belum termasuk waktu transit di Kuala Lumpur, melewati 3 zona waktu, tanpa sedikit pun saya merasa jetlag. Hanya sedikit disorientasi waktu jadi kalau suatu saat ada yang protes sama hitungan jam saya itu, udah ga aneh lagi deh. Mungkin excitement menginjakan kaki pertama kali di benua ini berhasil mengusir semua rasa lelah, letih dan pegal akibat duduk berjam-jam.
Waktu sudah hampir tengah malam di Bandara Toulamarine, Melbourne tapi petugas imigrasi menyapa saya dengan riang dari belakang counternya sembari membolak-balik paspor saya. “First time to Australia?”
“Yes,” jawab saya menjinjitkan di ujung kaki berusaha melihat wajah pria yang sedang berbicara dibalik meja yang nyaris setinggi badan saya.
Sembari tetap sibuk mengetik-ngetikan jarinya di atas keyboard komputer dia kembali bertanya apa pekerjaan saya, apakah saya ada saudara atau teman di kota itu, berapa lama saya di Australia. Kemudian saya dengar bunyi cap stempel beradu dengan lembaran kertas, sambil tersenyum lebar petugas imigrasi itu menyerahkan paspor saya kembali, ”Enjoy your holiday,” katanya.
8 Jam perjalanan dari Kuala Lumpur ke Melbourne ditambah 4 jam perjalanan dari Jakarta ke Kuala Lumpur. Itu belum termasuk waktu transit di Kuala Lumpur, melewati 3 zona waktu, tanpa sedikit pun saya merasa jetlag. Hanya sedikit disorientasi waktu jadi kalau suatu saat ada yang protes sama hitungan jam saya itu, udah ga aneh lagi deh. Mungkin excitement menginjakan kaki pertama kali di benua ini berhasil mengusir semua rasa lelah, letih dan pegal akibat duduk berjam-jam.
Waktu sudah hampir tengah malam di Bandara Toulamarine, Melbourne tapi petugas imigrasi menyapa saya dengan riang dari belakang counternya sembari membolak-balik paspor saya. “First time to Australia?”
“Yes,” jawab saya menjinjitkan di ujung kaki berusaha melihat wajah pria yang sedang berbicara dibalik meja yang nyaris setinggi badan saya.
Sembari tetap sibuk mengetik-ngetikan jarinya di atas keyboard komputer dia kembali bertanya apa pekerjaan saya, apakah saya ada saudara atau teman di kota itu, berapa lama saya di Australia. Kemudian saya dengar bunyi cap stempel beradu dengan lembaran kertas, sambil tersenyum lebar petugas imigrasi itu menyerahkan paspor saya kembali, ”Enjoy your holiday,” katanya.
hhmmmm.... mimpimu seliar tulisanmu.. waktu ke bagian imigrasi itu iler kering udah dielap blom?
BalasHapusyaaaah... ketauan deh klo ileran hahahaa
Hapuswah jalan2 terus nich mbak mila,,
BalasHapuskapan ya saya juga bisa sperti itu,,
pngen dech rasanya,,
jalan2 itu yang penting eksekusi nya... jalan aja wesss hehehee
Hapussalam kenal aja deh,...
BalasHapuskunjungan pertama :)
salam kenal ^_^
Hapusoalaa mimpi toh..
BalasHapusmaen kesini tau2 uda terdampar dia australia ajah..
nitip kangguru 1 yah mbak :D
aku udah balik malah dari ausie... kamunyaaaah kemana ajaaaa
Hapusuntung nggak mimpi disandera Jan Pieterzon Coen, Mbak.
BalasHapusatau diajak James Cook perang sama penduduk asli, hehe.
hahaha... mungkin mimpi aku berikutnya tentang JP Coen.
Hapushai mila..udah lama ga mampir ke blog mila nih..
BalasHapustambah seru aja tulisannya..seru bgt deh bisa sering2 jalan2 kyk mila..
bagi2 resepnya dong mila biar sering2 jln2 kyk mila.. :D
hiyaaaah.. ga ada resepnya sih mba, cuman aku seneng keluyuran ga jelas aja hehehee
Hapusberkunjung disini
BalasHapusAku tidak bisa membayangkan kalau mimpi itu terjadi dikehidupan nyata saat ini,mungkin semua itu akan menjadi berita besar disetiap surat kabar
BalasHapusini terjadinya jaman dulu, makanya masuk ke sejarah hahaaa
HapusMilaaaaaaaaaaa.. aku suka cara penceritaan kamu nyeritain ulang sejarah. Kok bisa kok bisa kok bisaaaaaaaaaa.. >O<
BalasHapusDan seperti biasa deh, kurang panjang nih postingannya.. -___-
sejarah penemuan australia memang seru gini mba, penuh kisah adventure gitu.. hihihihiy
Hapuswah enjoy australia!! btw salam kenal ya :)
BalasHapussalam kenal jugaa ^_^
HapusMila I looooooooove this post!!! Keren abissss!!!!
BalasHapustengkyu Dayu, I loooooooove you hahahaaa
HapusYa ampuuuun, chi kirain mbaknya tetiba jadi cerpenis, ternyata oh ternyataaa....
BalasHapusHahaha....
ini semi cerpenis wkwkwkwk....
Hapus