Walaupun pemerintah Indonesia dan Australia sedang bersitegang gara-gara sadap menyadap, saya akan tetap melanjutkan cerita jalan-jalan saya ke benua kangguru yang sudah dari lama gak selesai-selesai. Karena saya nulisnya tergantung mood dan seringnya diselingin sama jalan-jalan tempat lain, ga berasa ternyata udah lewat setaun sejak kepergian saya ke sana. Jadi kalau saya nulis tentang Aussie lagi, itu bukan berarti saya pergi lagi ya, ini istilahnya #throwbackthursday
Kedatangan saya ke Melbourne bukan hanya bertepatan dengan musim gugur, tapi juga musim tugas buat para mahasiswa, termasuk Cipu. Merasa bersalah karena tidak bisa menemani saya terus selama disana, Cipu menyediakan satu hari khusus untuk jadi guide menyusuri Melbourne.
Seperti biasa, saya suka males mikir kalo pergi sama Cipu, enakan cuma terima beres ngintilin dia kemana-mana. Mungkin karena itu kita sering traveling bareng, soalnya si Cipu selalu antusias pengen kesana kemari, pengen liat ini itu. Ingat kan peristiwa City Council di Ho CHi Minh City? Sementara saya yang ga pernah punya ambisi untuk pergi ke suatu tempat tertentu, tanpa banyak perdebatan ikutin aja kemana dia mau pergi. Kalau buat saya sih yang penting jalan-jalan.
Hari itu kita janjian di depan Perpustakaan Melbourne. Kata Cipu tempat ini adalah salah satu meeting point paling hits dikalangan muda mudi melbourne. Pagi-pagi Cipu ke kampus dulu, sementara saya jalan-jalan ke Old Melbourne Gaol dan ikut simulasi masuk penjara. Ketika saya tiba di depan perpustakaan, Cipu sudah duduk di kursi yang terletak di trotoar sambil baca buku karangan Dewi Lestari titipannya yang saya boyong dari Jakarta.
Untuk mengenang salah satu trip fenomenal kita ke HCMC, Cipu mengajak saya makan Pho di RM Vietnam langganannya. Ironis nya adalah, waktu ke HCMC cipu gak sempet makan pho karena mungkin terlalu terobsesi sama city council dan ca phe sua da.
Kita naik kereta dari Flinders, berhenti di stasiun Footscray. Rasanya seperti naik mesin waktu dari jaman Victorian ke masa depan, soalnya bentuk stasiun Footscray itu futuristik banget.
Flinders Station yang Victorian |
Footscray yang futuristik |
Jalan sedikit dari stasiun Footscray sampai di depan suatu rumah makan mungil. Cipu mendorong pintu kaca, serta merta disambut oleh pria berwajah viet layaknya kawan lama. satu hal yang jadi ciri khas dari Cipu adalah, semua orang adalah kawan lama nya. Bahkan kalau lagi jalan dimana gitu tiba-tiba ada yang manggil dia, kawan lama dari makasar. Lagi makan di foodcourt Grand Indonesia,tiba-tiba dia nyamperin seorang perempuan mungil yang lagi makan sendirian, kawan lama di ostrali.
Cipu memesan semangkuk Pho dan segelas es kopi vietnam, saya pun memesan sama. Makan siang pesanan kita muncul dalam mangkuk besar yang dari dalamnya meruap-ruap asap panas kuah Pho. Serakus-rakusnya saya di indonesia, saya tidak akan pernah sanggup menghabiskan satu porsi makan standard aussie. Entah porsi nya yang kelewat jumbo atau ukuran lambung saya yang menciut karena udara dingin.
Kembali ke Stasiun Footscray, kita melanjutkan perjalanan dengan kereta Metro menuju salah satu daerah sub-urban melbourne paling ujung, Williamstown. Didalam kereta metro cipu melanjutkan bacaan nya sementara saya melongok ke jendela memperhatikan stasiun-stasiun yang terlewati. Yarraville. Spotswood. Newport. Williamstown.
Terletak di pinggir teluk tepi laut, Williamstown bisa dibilang merupakan fishing village. Tapi jangan dibayangin fishing village macam di Labuan Bajo ya, disini yang parkir di pinggir dermaganya barisan yacht warna-warni, bukan kapal nelayan dari kayu. Dari dermaganya, nun jauh di seberang lautan, terlihat skyline gedung-gedung bertingkat dari pusat kota Melbourne.
Kenorakan saya kumat ketika melihat pancuran air minum yang cantik banget, langsung pengen cobain minum dari keran situ. Tapi rupanya karena saya terlalu pendek, air yang keluar dari kerannya berpancur terlalu tinggi, bukannya masuk ke mulut saya tapi langsung menuju mata, membasahi sekujur muka dan belepotan sampai ke baju saya. basah semua. Cipu ngakak.
Kita masuk ke kantor tourist information, yang jaga seorang nenek. Begitu tau kalau Cipu adalah mahasiswa di Melbourne nenek itu langsung bertanya, "Kamu supporter Tim Footy apa?"
Jujur, saya kurang ngerti esensi dari jalan-jalan ke Williamstown itu. Menurut saya tidak ada yang menarik banget, kotanya sepi dan buat saya terlalu bersih dan teratur dan membosankan. Kurang dari satu jam kita di sana, mondar-mandir memotret-motret yacht dan burung (yang kata cipu namanya) Seagull. Disana emang saya nyaris gak pernah keringetan, tapi tidak selalu karena udaranya dingin. Giliran ada matahari muncul, justru terik nya lebih garang dari di Indonesia yang tropis. Mencubit-cubit kulit hingga perih. Panas tapi kering.
Yacht warna wani dengan background Kota Melbourne |
Kita berjalan tak tentu arah, di taman ada serombongan ibu-ibu muda beserta bayi-bayinya lagi kumpul-kumpul, piknik, mungkin semacam arisan. Beberapa anak balita bermain ayunan dan prosotan di playground. Sepasang muda-mudi menenteng sepedanya berjalan melintasi gedung Gereja yang bangunannya bertipe gothic. Selain itu tidak banyak aktifitas yang bisa dilihat, benar-benar hening dan steril seperti di lorong rumah sakit. Cipu melihat sebuah bus dan buru-buru mengajak saya menyebrang jalan raya yang luas tapi sepi berlari mengejar bus itu. Bus sudah akan berangkat ketika kita masuk ke dalamnya. Saya tidak tanya kemana. Di dalam bus sepi. Cipu mengambil tempat paling belakang karena mau solat dzuhur dulu.
Bus terus melaju. Beberapa kali berhenti di tempat pemberhentian, tapi tidak ada yang naik. Sampai tiba di pemberhentian bus di depan sekolah, anak-anak sekolah seumuran anak smp menyerbu masuk memadati bus. Saya dan Cipu nyaris tak bisa bergerak. Suasana jadi ramai, sesak dan berisik. Kita telah terjebak di dalam satu bus penuh berisi alay-alay australia. Di sebelah saya anak cewek abg heboh ngobrol teriak-teriak sama temen-temennya membahas mau ganti pesan voicemail di teleponnya pake lagu carly ray jebsen, call me maybe.
Cipu mencolek bahu saya dari belakang, mukanya mencurigakan, mengajak saya untuk turun pemberhentian berikutnya. Pas kita turun baru cipu mengaku kalau kita salah naik bus. Saya hanya pasrah terduduk di halte menunggu bus lain lewat, di jalanan yang lebar tapi sepi. panas. kosong. tersesat. bengong di halte. bertopang dagu. mata mulai berat. kepala terantuk.
Dari kejauhan sebuah bus datang.
Saya menegakkan kepala, langsung berdiri.
"Bukan bus ini," kata Cipu.
Ok. Saya kembali terduduk di halte menunggu bus lain lewat, di jalanan yang lebar tapi sepi. panas. kosong. tersesat. bengong di halte. bertopang dagu. mata mulai berat. kepala terantuk.
terdampar di halte mana tau gara2 guide |
"Ini bus nya, mil. siap-siap," seru cipu menyambut kotak besi yang muncul dari kejauhan.
Tujuan berikut guide saya adalah melihat sunset di St. Kilda, salah satu kawasan pantai terkenal di Melbourne. Kalau udara dingin katanya disini ada Penguin. Iyak, Penguin, burung warna putih hitam yang jalan nya lucu dan hidupnya di es itu.
Dari Bus kita masih lanjut naik Tram hingga ke St.Kilda. Ada bangunan-bangunan yang bentuknya bagus-bagus, ada pohon-pohon palem di sepanjang jalan, ada menara jam yang tersusun dari batu bata coklat kemerahan, ada Amusement Park seperti Dufan yang gerbangnya berbentuk kepala badut yang lagi menganga lebar - Luna park, ada kembaran Luna Maya yang berpose didepannya *ditimpukrame2*, ada orang-orang yang duduk di pinggir pantai, ada es krim dan ada sunset.
Luna Park dan kembaran Luna Maya |
Clock Tower di St. Kilda |
es kriiiiimmmmm..... |
Sunset <3 td="">3> |