Beberapa hari lalu saya baru baca buku klasik karangan virginia woolf, judulnya To The Lighthouse yang menceritakan tentang sebuah keluarga, seorang perempuan pelukis dan seorang penjaga menara mercu suar (light house).
Anak lelaki di keluarga itu ingin sekali ke menara mercusuar yang terletak di suatu pulau tidak jauh dari pantai tempat rumahnya berada, tapi ayahnya melarang karena yakin keesokan hari cuaca tidak bagus untuk melaut. Keinginan berkunjung ke mercusuar tertunda karena pecah perang dunia. Beberapa tahun kemudian, setelah anak lelaki itu dewasa, setelah perang dunia berakhir, setelah ibu mereka meninggal dunia tiba-tiba dalam tidurnya, sekeluarga mereka mengunjungi mercusuar itu.
Saya jadi ingat perjalanan saya menuju menara mercusuar di Belitung yang terletak di Pulau Lengkuas.
Waktu itu bulan november. Sedari pagi rombongan sudah tiba di dermaga untuk island hoping dan snorkeling, menunggu. Hujan deras disertai angin kencang menyerbu pulau kecil ini tanpa ampun. Awan hitam tebal yang berarak di atas langit nyaris memupuskan harapan kita untuk menjelajah laut.
Saya sudah menghabiskan sepiring indomie rebus ketika hujan mulai reda. Kami langsung diarak oleh pemandu menuju ke perahu kayu yang disewa untuk island hopping. Dua perahu untuk satu rombongan kita. Masing-masing membawa pelampung & peralatan snorkeling, kemudian melompat masuk ke dalam perahu.
Seharian hujan hampir tidak berhenti, tapi sudah tidak deras seperti pagi hari nya. Di spot snorkeling pertama saya menceburkan diri ke laut tidak pakai tes arus dulu sebelumnya, ternyata saya langsung terbawa arus menjauh dari perahu. Setengah mati saya berusaha berenang melawan arus mendekati perahu lagi, yang ada langsung ngos-ngosan. Waktu ke Belitung itu saya lagi ada di puncak berat badan paling tinggi dalam hidup saya, lagi gendut-gendutnya.
Karena arusnya terlalu kuat untuk snorkeling dan ga ada ikan yang bisa dilihat maka diputuskan mencari spot snorkeling di lain tempat. Kawan-kawan yang lain langsung kembali melompat ke laut di spot yang baru, sementara saya yang gendut dan pemalas memilih untuk duduk dan menonton sambil ngobrol sama Bapak yang punya perahu.
Bapak yang punya perahu, usianya mungkin sekitar 50-an tahun. Sebenarnya profesi si bapak adalah nelayan. Tidak jauh dari Belitung ada penangkaran ikan kerapu, kalau lagi panen si bapak akan menangkap kerapu dan menjualnya di pasar ikan di Bangka. Ikan Kerapu harganya tinggi. Kalau tidak ada kerapu, ikan apa saja boleh.
Setelah film Laskar Pelangi yang mengkomersilkan pulau belitung, si bapak jadi sering menyewakan perahunya untuk membawa turis.
“anak saya sekarang juga di Jakarta,” kisahnya dengan penuh rasa bangga menceritakan tentang anak perempuannya yang jadi seorang perawat di RS Fatmawati, “kapan kalau sempat datang saja ke sana, ketemu anak saya.”
Sepertinya bagi seorang bapak yang profesinya nelayan di suatu pulau kecil, anaknya bisa kerja di kota Jakarta - kota impian, adalah suatu kesuksesan baginya. Dari jerih payahnya berjuang di lautan, beliau berhasil membiayai sekolah anaknya hingga bisa dapat kesempatan memperbaiki hidup di kota, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari yang ada di desanya, mendapat uang lebih banyak, mengirimkan sebagian ke rumah, sehingga menaikan standard hidup keluarganya juga.
Kalau dulu waktu saya kecil ada film Kabayan, tentang seorang pemuda desa lugu, baik hati, lucu yang punya pacar namanya Nyi Iteung. Kabayan hidup sederhana, tapi santai dan ceria terus.
Jaman sudah berubah.
Sekarang yang lagi tren kisah-kisah tentang pemuda desa yang berhasil keluar dari desanya, sukses di ibukota hingga sampai ke luar negeri. Kisah ini laris jadi novel sampai dibikin filmnya ke bioskop. Inspirasional. Bukan hanya menularkan semangat untuk maju tapi juga memperkenalkan yang namanya ambisi.
Menurut saya ambisi adalah sesuatu yang berbahaya, kalau tidak bisa mengendalikannya, ambisi yang akan mengendalikan kita dan dengan semena-mena menjajah hidup kita. Kehidupan di kota besar yang membuat manusia terpapar terus-terusan sama persaingan yang keras membuat ambisi dalam diri tumbuh subur. Kita harus lebih baik dari orang lain kalau ingin memenangkan persaingan hidup di ibukota - survival of the fittest.
Kemudian kita terus memelihara ambisi dan memupuknya dengan nafsu sehingga tumbuh besar. Ambisi untuk mendapat gaji yang lebih besar. Ambisi untuk naik jabatan. Ambisi untuk punya rumah. Setelah punya rumah, ambisi meminta rumah yang lebih besar lagi. Setelah punya rumah lebih besar, ambisi tidak juga puas, minta ganti rumah yang lebih besar yang terletak di kota. Begitu juga dengan mobil, ambisi akan pretisius, luxury dan gengsi yang ditarget oleh jenis mobil mewah, bukan soal fungsi lagi.
Sementara saya yang terlalu pemalas, hingga saat ini ambisi dalam diri saya layu, kering dan kurang gizi. Dalam persaingan survival of the fittest ini saya lebih suka jadi ubur-ubur, jenis hewan yang strukturnya sangat sederhana sampai-sampai di anatomi tubuhnya ga ada otak. Gerakannya juga ya gitu-gitu aja, ngambang-ngambang nyantai. Tapi ubur-ubur ini salah satu spesies tertua yang berhasil hidup di bumi ribuan tahun gak pakai ber-evolusi drastis atau punah.
Saya malahan lebih senang jadi penonton dan mengamati - apakah warga kota besar yang ambisius itu bahagia ?
Saya melihat bapak nelayan di sebelah saya, apakah putri si bapak ini sekarang bahagia karena berhasil membuat bangga bapaknya dengan bekerja di ibukota dan mengirim sebagian penghasilannya untuk membantu ekonomi keluarganya?
Apakah si Bapak Nelayan ini bahagia?
“Lebih enak jaman Suharto,” lagi-lagi saya mendengar keluhan seperti ini dari orang-orang yang tinggal jauh dari kota besar yang semakin merasa hidupnya tidak diperhatikan di era reformasi, “sekarang harga solar naik terus. Kalau cuma dari ikan, kadang tidak balik modal. Bagus lah sekarang mulai banyak turis.”
“Sejak film itu ya, Pak?” tanya saya.
“Sebelum film itu ada sedikit, sekarang semakin banyak (turis),” kata si bapak terkekeh sembari menghisap Dji Sam Soe nya dalam-dalam.
Mungkin turisme seperti ini ga jelek-jelek amat seperti yang banyak dikecam oleh para pecinta lingkungan. Mungkin ini bisa jadi salah satu cara untuk membuat uang tersebar merata hingga ke pelosok negeri. Asalkan si hantu ambisi gak ikut-ikutan, mungkin bisa tercipta suatu keseimbangan yang harmonis. Masalahnya, kemana si uang pergi, hantu ambisi selalu ikut sih. Dan biasanya dimana ambisi menampakan diri dan tumbuh subur disitulah kekacauan mulai terjadi.
Di kasus Kabayan, hantu ambisi muncul di sosok ibunya Nyi Iteung, si Ambu. Walaupun Nyi Iteung menerima Kabayan apa adanya dengan segala kesederhanaannya, tapi Ambu tidak setuju karena berambisi mau punya menantu kaya, tidak miskin seperti Kabayan.
“Kalo nak ini asli jakarta?” tanya si bapak.
“Saya sih dari bayi sampai besar di jakarta, Pak.”
“Jakarta nya di sebelah mana?”
“Rumah saya sih di perbatasan Jakarta- Bekasi.”
“Dekat sama Fatmawati?”
Saya tertawa sembari mengira-ngira jarak, “ya..... lumayan jauhlah, pak.”
“Kalau aslinya dari mana? Asli Jakarta?”
Pertanyaan yang paling sulit dijawab karena saya sendiri sebenarnya krisis identitas suku, bahkan krisis identitas ras juga.
“Campur-campur, pak,” saya pun menjawab sekenanya.
“Campur-campur bagaimana?” tanya si bapak masih penasaran.
Akhirnya saya mencoba se simpel mungkin, “ ibu saya dari sunda, ayah saya dari sulawesi.”
Si Bapak langsung berbinar sambil menunjuk ke suatu arah, “disebelah sana itu banyak orang Bugis, disana ada kampung bugis.”
Saya pun tertawa, “Sulawesi utara, pak. Bukan sulawesi selatan.”
“Ooooh..” Si bapak menghisap rokoknya untuk terakhir kali sebelum membuang nya ke laut.
Di kejauhan menara mercusuar terlihat menjulang di tengah pulau kecil di tengah lautan, kesanalah tujuan kita selanjutnya. Sebagian kawan-kawan saya memutuskan untuk berenang hingga sampai ke Pulau Lengkuas itu, sementara saya yang pemalas lebih memilih untuk menumpang perahu kayu ini sampai ke pinggir pantai sembari menonton pelampung-pelampung oranye mengambang di atas permukaan laut berlomba-lomba menuju pantai.
“Kalau sempat nanti harus ke Pulau Burung, disitu bagus,” seru si bapak bersemangat dari ujung geladak, sementara saya duduk di atas atap perahu, menyaksikan menara mercusuar yang semakin lama semakin besar dan tinggi di hadapan saya.
Saya tidak punya ekspektansi apa-apa terhadap perjalanan ini, ke pulau mana pun buat saya ga jadi masalah, saya tetap menikmatinya. Walaupun akhirnya kita tidak sempat pergi ke pulau burung karena sudah kesorean, saya tidak kecewa. Si bapak malahan yang kelihatan kurang puas karena tidak bisa menunjukan pulau burung yang dianggapnya sangat bagus dan memang merupakan salah satu ikon pulau belitung.
Hingga saat ini pun saya masih perempuan yang sama (dengan berat badan yang sudah berkurang beberapa kilogram) yang duduk di kapal itu lebih dari 2 tahun yang lalu, terlalu malas untuk punya ambisi, terlalu malas untuk punya ekspektansi - Apakah saya bahagia?
Bersama si Bapak Nelayan |
Note: postingan ini ditulis dalam keadaan sakit gigi